“Sayang? Masih lama?”Hera yang baru saja keluar dari kamar mandi lantas terkekeh geli. “Ini lho, masih handukan. Mau ke dokter handukan gini?”Ikarus meraup wajahnya dengan gusar. Senyumnya terbit di wajahnya begitu saja. Pria itu kemudian melangkah mendekati Hera yang kini perutnya sudah membola. Usia kandungannya sudah menginjak bulan ketujuh, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. “Aku nggak sabar pengen lihat perkembangan jagoan kita.” Ikarus melingkarkan tangannya ke pinggang Hera, memeluk perempuan itu dari belakang. “Wangi banget, sih?”“Awas dong, Papa. Mama mau ganti baju dulu, nih. Gimana bisa ganti kalau kamu peluk gini, coba? Katanya nggak sabar pengen lihat jagoannya.”Ikarus melepaskan diri lalu terkekeh. “Iya, iya. Aku tunggu di depan kalau gitu, ya? Tapi jangan lama-lama.”“Iya.”Setelah menunggu lima belas menit, akhirnya Hera selesai bersiap-siap. Keduanya berjalan meninggalkan unit mereka untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.Tepat saat
“Hai, Rhe… gue datang.” Hera menaruh sebuah buket bunga lily di atas pusara Rhea. Menatap lekat batu nisan yang bertuliskan ‘Sorhea Winona’ itu dengan perasaan berkecamuk. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Rhea. “Lo apa kabar? Lo baik-baik saja di sana, kan?”Hera menggigit bibirnya bagian dalam. Menahan desakan air di pelupuk matanya. Rasanya masih seperti mimpi. Baru kemarin Hera masih tertawa bersama Rhea, namun ia tidak menyangka jika Tuhan telah mengambil sahabatnya satu tahun yang lalu.“Rhe, bentar lagi lo bakalan banyak keponakan.” Hera mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Tak mampu menghalau air matanya yang jatuh begitu saja. “Eve bentar lagi lahiran, dan Eros… dia juga bahagia seperti pesan terakhir lo. Bentar lagi dia juga bakalan jadi seorang ayah.” Perempuan itu kemudian menoleh ke samping, menatap Ikarus yang sejak tadi berdiri di sisinya. “Ada banyak hal yang pengen gue ceritakan sama lo, Rhe. Minggu lalu gue dapat kejutan dari Ikarus, dia beli rumah
“Rus… lagi ngapain?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Hera yang baru saja bangun dari tidurnya. Sejak pulang kerja tadi, Hera memang memilih untuk tidur lantaran tengah mengantuk.Ikarus menoleh lalu menurunkan laptop dari pangkuannya, merentangkan tangannya ke arah Hera agar segera menghampirinya.“Lagi ngerjain weekly report, Sayang. Kok bangun?”“Iya. Aku tadi mimpi buruk.” Hera lantas berhambur memeluk Ikarus, menyurukkan wajahnya di ceruk leher suaminya.Masih dengan mengenakan pakaian kerjanya, Ikarus mengusap punggung Hera dengan lembut, kemeja yang dikenakannya basah karena keringat. “It’s okay… mimpi kan cuma bunga tidur, Ra. Kamu baik-baik saja sekarang.”Lama Hera berdiam diri di dalam dekapan Ikarus. Perempuan itu kemudian menarik diri, lalu menatap Ikarus dengan lekat.“Rus…”“Hm?”“Kayaknya Dede kangen sama kamu, deh.”Ikarus tercenung selama beberapa saat. Pria itu kemudian menarik ujung bibirnya ke atas lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir Hera. “Bentar ya
“Terima kasih untuk waktunya, Pak. Saya berharap kerjasama ini bisa berlangsung lama.”“Sama-sama, Pak Ikarus. Kalau begitu saya pamit dulu.”Setelah menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu klien, Ikarus melenggang meninggalkan restoran. Tangannya merogoh saku celananya, lalu membelalak.‘32 missed called from Heraira Cassandra’‘10 missed called from Mama’Ikarus menghentikan langkahnya. Ia mendadak panik. Jemarinya kemudian bergulir, menekan tombol memanggil. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi.Lalu, “Ra! Kamu—”“Bang, ini Mama. Kamu di mana sih, Bang? Dari tadi Mama coba telepon, Hera juga udah telepon kamu puluhan kali. Kok nggak dijawab, sih?”Mendengar suara Bella yang panik, Ikarus ikut panik. “Maaf, Ma. Aku tadi lagi meeting. Ada apa?”“Buruan ke rumah sakit, Bang. Hera mau lahiran!”Ikarus membelalak. Lalu tanpa pikir panjang pria itu berlari meninggalkan restoran untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.“Mama temenin Hera dulu ya, Ma. Ini aku lan
“Rus? Suar mana?”Hera yang baru saja tiba di kediamannya lantas mengedar ke sekitar. Wajahnya terlihat lelah, ditambah dengan ia tidak menemukan putranya di sana.“Pulang-pulang tuh, kenapa bukan suaminya yang dicariin lebih dulu, sih? Kamu sengaja mau bikin aku cemburu atau gimana?” protes Ikarus saat itu.Hera menghela napas lalu melangkah mendekati Ikarus yang terlihat santai di sofa. Pria itu tengah mengambil cuti hari ini. “Iya, iya.” Hera mencium pipi Ikarus dengan pelan. “Suar sekarang di mana? Kamu kok kelihatan rapi gini? Mau ke mana?”Bayi mungil yang kini usianya baru menginjak tujuh bulan itu seakan jadi obat lelah Hera. Setiap kali perempuan itu menghabiskan waktu seharian dengan pekerjaannya yang menumpuk, setelah melihat Suar, lelahnya tiba-tiba menguap begitu saja.“Tadi Mama sama Papa mampir ke sini. Terus Suar sama Budhe Harni diangkut sekalian. Katanya biar papa sama mamanya ada waktu berduaan.”Hera terkekeh lalu berhambur memeluk Ikarus. “Emang selama ini kita ng
“Hari ini lo jadi pergi sama Bima, Ra?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Ares—atasan sekaligus sahabatnya di tempat ia bekerja, membuat lamunan Hera terburai.Pria itu tengah sibuk mengecek banquet event order (BEO) yang baru saja diserahkan Hera kepadanya. Sesekali melirik ke arah perempuan itu, mengernyit heran.“Jadi. Kenapa?” tanya Hera yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.“Tumben banget acaranya di Bali. Biasanya juga di Jakarta, kan? Dan tumben juga cowok lo nongol.” Ares menyandarkan punggungnya ke belakang. “Biasanya juga… dia sibuk, kan?”Hera menurunkan ponselnya, menatap lekat ke arah Ares yang sama sekali tidak menatapnya. “Res?” Baru kemudian Ares mendongak dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam Hera. “Gue heran kenapa kalian pada nggak suka sama Bima, sih?”Ares mengedikkan bahu. “Nggak suka gimana? Gue nggak pernah bilang kalau gue nggak suka sama dia, deh.”“Dari cara lo bersikap dan ngomong sekarang tuh, lo nggak bisa bohong sama gue, Res. Nggak
“Terus planning lo apa?” tanya Ares saat itu.Sejak tahu kabar bahwa Ikarus diusir dari apartemen, Ares langsung bergegas menemui sahabatnya itu.Ikarus mengedikkan bahu sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Menangkap pelakunya. Gue nggak mungkin tinggal diam kalau aset gue dicuri sama dia gitu aja, kan?”“Jangan bikin malu elah, Rus. Masa penipu kena tipu?” sahut Eros langsung.Ikarus mendecak pelan. “Penipu juga manusia, Ros. Lagian gue udah lama juga nggak main begituan.”“Well, untuk sementara waktu lo bisa pakai satu kamar di hotel, Rus.”“Nggak usah, Res. Gue bisa—” Lalu pandangan Ikarus tertoleh pada Eros yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Nggak ya, Nyet!” ujar Eros seolah tahu maksud dari tatapan Ikarus. “Gue tahu lo secinta itu sama gue, tapi gue nggak bisa nolongin lo kali ini. Lo tahu kan… kalau kosan gue udah mirip kayak kuburan dibandingkan disebut kamar? Single bed, Anjir. Kalau lo cewek, mah. Gue iyain aja! Masalahnya lo cowok!”“Tail lah! Gue bisa tidur di mana
“Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam, pria itu membalas pagutannya.Ikarus adalah pria normal. Seolah ada yang membangunkan sesuatu yang ada di dalam diri Ikarus, tubuh pria itu seketika memanas. Sebagian di dalam diri Ikarus memintanya untuk berhenti. Namun di sisi lain ia tidak ingin menghentikan apa yang baru saja akan dimulainya. Terlebih saat bibir Hera yang terasa manis membuat segalanya semakin menggila.Ikarus semakin memperdalam ciumannya. Satu tangannya melingkar di tengkuk leher Hera. Sementara satu tangan lainnya bergerak ke belakang, meremas pinggul Hera seiring dengan Ikarus yang menggeram pelan.Pun dengan Hera yang mulai menggerakkan pinggulnya, seolah bukan hanya Ikarus saja yang menggila, Hera juga merasakan hal sama.Bibir keduanya saling bertautan, li