“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.
Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya. “Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.” “Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.” “Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati. “Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?” “Kenapa? Lo nggak mau temenan sama gue yang miskin gini, ya?” tembak Ikarus dengan tatapannya yang tajam. “Nggak gitu… lo kenapa sih, sensi banget sama gue?” “Yang mulai siapa?” sahut Ikarus. “Dah ya, gue mau—” “Tidur di sini aja.” Hera menghela napas pendek. “Kalau nggak di sini, lo mau numpang di mana emangnya, hm? Ke kosan Eros yang sempitnya kayak kuburan? Atau ke tempat Ares atau Zeus yang setiap hari lo nggak bakalan tenang gara-gara digangguin anak-anak mereka?” Hera menggigit bibirnya bagian dalam. “Cuma di sini yang ada dua kamar. Lo bisa pakai—” “Gue nggak mau numpang di tempat cewek yang statusnya tunangan orang.” “Dan lo ngomong begitu seolah-olah lupa sama kejadian semalam?” sembur Hera tak terima. Ikarus mengedikkan bahu. “Lo sendiri yang minta gue ngelupain apa yang terjadi semalam, kan?” “Lo bahkan menolak permintaan gue, kali aja lo lupa.” Ikarus menghela napas panjang sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Habisin nasi goreng lo!” Tidak ada percakapan apa-apa selama beberapa saat. Hera sibuk mengunyah nasi gorengnya tanpa suara. Terus terang saja ia memang sejak tadi kelaparan. Salahkan tingkahnya yang kekanakan. Hanya karena ada yang mengganjal di hatinya terkait kejadian semalam, ia bahkan melakukan hal-hal bodoh hanya untuk sekadar menarik perhatian Ikarus. “Rus…” “Hm?” “Lo mau nggak nikah sama gue?” Mendengar pertanyaan itu, Ikarus tiba-tiba tersedak. Ia sedikit menegakkan posisi duduknya sembari menekan dadanya kuat-kuat yang kini terasa perih. “Lo bisa hati-hati nggak, sih? Diminum!” ujar Hera sembari mengangsurkan segelas air putih kepadanya. “Lo yang bikin gue keselek.” Ikarus sudah mendelik sembari mengusap bibirnya yang basah. “Lo kenapa sih, Ra. Lo lagi stres atau banyak pikiran, ya? Mending lo sekarang tidur aja, deh.” Hera lantas bangkit dari duduknya lalu membereskan sisa-sisa tempat nasi gorengnya. Baru setelahnya ia bergerak menuju wastafel dan langsung mencucinya. “Gue serius, Rus.” Hera mendesah gusar. “Katanya lo mau tanggung jawab.” “Ya nggak… begini juga, kan?” ujar Ikarus ragu. “I mean, ini nikah, Ra. Bukan semacam lo ngajakin ngopi atau nongkrong sama anak-anak.” “I know. Tapi gue sekarang lagi buntu.” Hera menghela napas panjang sembari satu tangannya ditopangkan di kepala. “Buntu kenapa? Lo lagi ada masalah?” tanya Ikarus. Ada jeda selama beberapa saat dan Ikarus bisa melihat setitik keraguan di balik mata lelah Hera. “Yang kalian bilang benar… Bima nggak cukup baik untuk dijadikan pasangan hidup buat gue.” Hera membalikkan badan lalu bersandar di pinggiran kabinet dapur. “Bima sengaja deketin gue agar dia bisa jadi artis terkenal.” “Lo tahu dari mana?” tanya Ikarus menanggapi ucapan Hera. “Gue dengar sendiri dari mulutnya. Dia bicara seolah-olah itu hal yang terlalu biasa… dia bicara dengan teman sesama artis, dan gue nggak sengaja mendengar semuanya.” Hera terkekeh pelan. “Silakan kalau lo mau menertawakan gue. Ditambah dia dengan penuh percaya dirinya bilang kalau mau cicipi tubuh gue.” Hera menghela napas. “In his dream.” “Lo nggak tampar dia?” Hera tersenyum getir sambil menggelengkan kepalanya. “Terlalu mudah… gue pengen dia membayar apa yang sudah dia lakukan ke gue. At least, dia harus hancur karirnya karena sudah berani main-main sama gue.” Perempuan itu bersedekap, menatap lekat ke arah Ikarus. “Karena itulah gue butuh lo untuk bantu gue, Rus. Gue bakalan kasih tumpangan di sini buat lo, dan sebagai gantinya… lo bantu gue buat balas dendam ke dia.” “Lo udah punya planning? Nyokap lo tahu soal ini?” Hera lagi-lagi menggeleng. “Ya itu tadi… lo nikah sama gue. Nyokap sih belum tahu. Karena tadinya gue pikir dia bakalan serius sama gue dan dia juga udah berhasil meyakinkan nyokap gue.” “Gue bisa bikin karirnya Bima hancur dalam sekejap. Gue bisa bikin namanya viral dalam hitungan detik.” “No! Itu terlalu… cepat nggak, sih? Gue harus memastikan dia benar-benar tersiksa dulu, Rus. Kalau perlu… kita nikah dalam waktu dekat ini? Gimana?” Ikarus menghela napas pendek. “Dasar orang gila! Nggak lo, nggak Artemis, sama aja.” “Kasusnya kan beda, Rus. Kalau Artemis karena dia didesak sama bokapnya, ditambah dia nggak mungkin menjalin hubungan sama si Om yang punya istri itu, kan? Sementara gue, gue kan pengen balas dendam sama Bima karena udah berani manfaatin gue.” “Terus menurut lo, nyokap lo nggak bertanya-tanya gitu? Secara nyokap lo suka banget sama Bima. Apa nggak kaget tiba-tiba lo nikah sama gue?” “Mama kan juga kenal sama lo, Rus. Nggak bakalan kaget-kaget amat lah.” “Terus gue dapat apa?” tembak Ikarus langsung. “Gue udah ngasih tumpangan buat lo di sini, by the way. Masih kurang?” “Nggak sebanding dong, Ra.” Ikarus ikut bangkit dan berjalan mendekati Hera. “Gue bakalan bilang apa ke bokap sama nyokap gue, hm?” “Ya anggap aja… lo cinta sama gue. Karena itu lo nikahin gue. Selesai, kan?” Ikarus menggeleng dan Hera kembali melanjutkan ucapannya. “Terus lo mau apa dari gue?” “Temenin gue kondangan.” Hera tertegun cukup lama. “Wah… cuma itu doang?” Ikarus mengangguk. “Untuk sementara itu dulu. Sambil gue pikir-pikir permintaan lainnya.” “Lo nggak berniat buat nidurin gue, kan?” ujar Hera dengan cepat. “Kalau gue udah nikah sama lo. Bukankah itu hal wajib yang harus dilakukan, ya?” Hera kemudian memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. “Ngg… lo menganggap pernikahan ini bakalan serius?” “Terus lo maunya main-main?” “Ya nggak gitu juga, Ikarus. At least lo nikahin cewek yang beneran lo cinta, deh. Tapi bukan gue orangnya, dong?” Ikarus menghela napas. “Gue mau ambil koper di tempatnya Eros. Kalau lo udah ngantuk, tidur aja. Password apartemennya masih sama, kan?” “Lama, nggak? Eros nggak ada di kosan katanya.” “Kuncinya paling ada di bawah keset. Nggak lama, kok. Cuma ambil koper doang.” “Oke.” Hera mengangguk. “Gue cuma mau memastikan aja kalau lo nggak akan kabur gara-gara gue ajak nikah.” “Nggak. Soal pernikahan… kita bicarakan nanti. Gue nggak mau bantu cuma-cuma soalnya.” “Dasar perhitungan!” Sepeninggal Ikarus, Hera memilih untuk menghabiskan waktu di depan layar televisi lantaran ia belum mengantuk. Ada banyak hal yang kini berjejalan di kepalanya, membuat perempuan itu ragu dengan keputusannya. Sesekali ia menoleh ke arah paper bag yang sengaja disiapkan Hera di sana. Malam ini ia akan memberikannya kepada Ikarus. Satu jam telah berlalu, Hera menolehkan wajah saat mendengar seseorang menekan digit-digit angka di depan pintu. Bersamaan dengan wajah Ikarus yang muncul dari balik pintu unitnya. “Belum tidur?” tanya Ikarus sembari melirik jam yang melingkar di tangannya. “Be-belum. Gue lagi nonton drakor tadi.” “Oh.” Ikarus manggut-manggut. “Gue ke kamar, ya?” “Tunggu, Rus.” Pria itu menghentikan langkahnya. Satu alis Ikarus tertarik ke atas. “Kenapa?” Hera tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Ia mengangsurkan sebuah paper bag dengan label nama ‘gucci’ kepada Ikarus. “Apa ini?” tanyanya sembari menundukkan wajah. “Buat gantiin kemeja lo yang gue rusak semalam.” Hera menggigit bibirnya bagian dalam. “Kita… damai, kan?” Diam-diam Ikarus menarik bibirnya. “Lo juga sebenarnya belum bisa lupa sama apa yang kita lakukan semalam, kan?” “Ngg… nggak. Gue udah lupa, kok!” Hera menelan ludahnya dengan susah payah, lalu memalingkan wajahnya dengan cepat. Mencoba menghindari tatapan Ikarus. “Oh ya…” Ikarus melangkah mendekati Hera, membuat perempuan itu berjengit kaget karenanya. Kini jarak keduanya tinggal sejengkal dengan tatapan mereka bertumbukan selama beberapa saat. “Rus, lo mau ngapain?!” tanya Hera dengan antipati. “Lo bahkan nggak berani natap gue, Ra,” ujar Ikarus lirih. “Begitu lo bilang udah lupa? Pembohong ulung!” katanya sembari menyentil dahi Hera. Hera kemudian mendorong dada bidang Ikarus. Membuat pria itu menjauh darinya. “Nggak usah aneh-aneh, deh! Dah ah, gue ngantuk!” Hera melangkah cepat meninggalkan Ikarus dan segera bergegas menuju ke kamarnya. Setelah mengunci kamarnya sebanyak dua kali, perempuan itu menyentuh dadanya yang berdebar begitu kencang. “Wah… kayaknya emang gue udah nggak waras, deh!” *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.][Kangen…]Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke b
“Belum balik?” Ikarus mendongakkan wajah dan mendapati Ares berdiri di ambang pintu ruangannya. “Mau ngopi dulu, nggak? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”Ikarus tidak menjawab namun ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengayunkan langkahnya menuju ke Sixty Lounge—cafe yang ada di pinggir pantai, masih di bawah naungan Sixty Season Resort.Begitu tiba di Sixty Lounge, mereka kemudian memesan dua cangkir kopi dan langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Ditatapnya kerlap-kerlip di seberang lautan sana. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Lalu, “Gue tadi siang ketemu sama Nadine. Dua minggu lagi dia akan menikah.”“So?”Ikarus menggeleng. “Gue udah feeling lama sebenarnya, Res. Hubungan gue sama Nadine nggak akan berhasil. Lo masih ingat waktu lo minta gue untuk melepaskan dia dan memilih untuk deketin Hera, kan?” Pria itu menyesap kopinya. “Gue sempat memikirkannya.”“Memikirkan Hera?”Ikarus mengangguk. “Iya. Hanya saja waktu itu Nadine yang nggak mau gue l
“Karena lo nggak bilang gue mesti pakai dress yang gimana, gue ambil dress asal. Semoga aja gue nggak saltum.”Mendengar perkataan itu, Ikarus yang terlihat resah sejak tadi lantas menoleh ke belakang dan langsung tertegun.“Gimana? Gue udah cocok digandeng ke kondangan, kan?” ujarnya lagi. Perempuan itu memutar tubuhnya, seolah ingin memperlihatkan betapa sempurnanya penampilannya kali ini.Ikarus yang melihatnya lantas bangkit dari duduknya dan langsung menerbitkan senyuman kecilnya. “Perfect!”Sudah hampir satu bulan lebih Ikarus tinggal di apartemen Hera. Dan selama itu pula mereka menjadi partner yang saling menguntungkan satu sama lain.“Gue nggak habis pikir kenapa Bima nggak seriusin lo aja,” celetuk Ikarus sembari membelai bahu Hera. “Lo cantik, lo sempurna, lo juga… enak.”Mendengar kalimat kurang ajar Ikarus, Hera menatap pria itu dengan tatapan galak. “Bilang aja lo ketagihan!”Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas. “Lo juga, kan?”Hera lantas menundukkan wajahnya. Pura-
“Take off your underpants.”“Lo gila?!” Hera membelalak. “Di sini?”Ikarus tidak menjawabnya. Wajahnya sudah merapat, lalu ia mendaratkan kecupan di ceruk leher Hera dengan satu tangannya menurunkan dress itu hingga lirih ke pinggang.Tak hanya sampai di sana, tangannya kemudian bergerak turun. Telapak tangannya yang hangat bergerak mengusap paha di balik dress yang dikenakannya. Menurunkan celana dalam Hera dengan tangannya sendiri.Lalu, “Akh, Rush…” Jemari Ikarus sudah menyelinap dan tenggelam di bawah sana. Membuat Hera yang tidak tahan dengan sentuhan Ikarus hanya bisa menggigit bibirnya. “You’re crazy.” Meskipun dalam hatinya, Hera juga menikmati.“You look so sexy in two situations,” desis Ikarus dengan suara sensual. “When you wear the sexiest dress and when you moan my name loudly.”Hera menarik ujung bibirnya ke atas membentuk sebuah senyuman. Ia bisa merasakan dadanya berdesir hangat seiring dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Terlebih saat jemari Ikarus dengan lihai memai
Geliat tubuh Hera yang kini berada di sampingnya membuat Ikarus yang sejak tadi sudah terbangun dengan satu tangannya yang memegang iPad, kemudian menoleh. Tangannya terulur. Mengusap punggung telanjang Hera, mencoba untuk menenangkannya. Setelah melakukan percintaan panas di mobil, malamnya mereka melanjutkan aktivitas menyenangkan itu di kamar Hera lagi. Ikarus sempat memuji dirinya sendiri. Sejak kapan ia bisa membuat Hera yang baru pertama kalinya berhubungan seks bisa menjadi semaniak ini?“Lo udah bangun?” Antara masih mengantuk atau menyadari bahwa Ikarus yang tengah terbaring dengan satu tangannya memegang iPad, membuat Hera mengerjap pelan. “Jam berapa sekarang?”“Masih jam empat, Ra. Kalau lo mau tidur, tidur aja lagi. Nanti gue bangunin jam lima.”Hera hanya bergumam. Satu tangannya melingkar di perut Ikarus yang masih belum mengenakan apa-apa. Matanya kembali terpejam dan hal itu membuat Ikarus menghentikan aktivitasnya.Pria itu menaruh iPad di atas nakas lalu menyurukk
HERA mengayunkan langkahnya melewati pintu masuk Perkara Segalanya Coffee. Ia melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya, lalu menatap ke sekitar. “Hai, Ri.” Hera melangkah menghampiri konter barista. Ia berdiri dengan satu tangannya yang menopang dagu. Menatap lekat ke arah perempuan itu. “Wah… rame banget, ya?”Sepupu Agnia itu mengulas senyuman kecil. “Eh, Mbak Hera. Iya, nih, Mbak. Mbak Hera sendirian?”“Iya. Yang lainnya sih masih jadi kacung. Gue mau nemuin si Mami Cantik itu.” Dagu Hera menunjuk ke arah Artemis yang tengah memangku Tiff—putrinya yang kini berusia tujuh bulan. “Eros shift apa hari ini?”“Hari ini dia libur, Mbak. Mbak Hera mau pesan apa? Biar sekalian aku buatin.”“Mm, boleh. Gue pesan iced cappuccino deh, Ri. Open bill aja, ya? Kali aja nanti mau nambah lagi.”“Oke.”Setelah pesanannya jadi, Hera kemudian mengayunkan langkahnya menuju toilet untuk sekadar mencuci tangannya. Sebelum kemudian ia menghampiri Artemis yang tengah duduk bersama bayinya.Artemis sen
Hoek!“Ra, lo baik-baik saja?” tanya Rhea yang sudah berdiri dengan satu tangannya yang membawa tasnya.Hera baru saja kembali ke hotel setelah menghabiskan sorenya bersama Artemis di Perkara Segalanya Coffee. Sebelum pulang tadi, Hera mendapatkan pesan dari seseorang. Nomor tak dikenal, namun Hera tahu siapa yang mengirimkan pesan itu.[Bisa kita ketemu? Ada yang harus kita bicarakan. Tentang Mas Ikarus.]Hera sudah bisa menebak jika Nadine tidak akan tinggal diam setelah mengetahui apa yang terjadi dengannya dengan Ikarus. Terlebih saat ia tahu bahwa Nadine tidak bisa merelakan Ikarus untuk bersamanya.“Gue nggak apa-apa kok, Rhe. Kalau Lo mau balik, balik aja.”“Lo yakin?” Rhea kemudian menyentuh kening Hera dengan punggung tangannya, sedikit hangat. “Lo nggak demam. Atau jangan-jangan lo masuk angin? Siang tadi udah makan belum?”“Udah, kok.”“Lo yakin nggak mau ke dokter?”Hera mendesah pelan sembari memutar matanya. “Gue baik-baik saja, Rhe. Sana deh kalau lo mau balik.”Rhea me
“Mas, aku kangen. Kapan aku bisa ketemu Mas Ikarus?”Ikarus menghela napas panjang. “Nad, minggu lalu kamu baru saja menikah.”“Aku tahu. Tapi aku kangen sama Mas Ikarus.” Ikarus hanya diam, dan Nadine kembali melanjutkan. “Aku tahu kalau Mas Ikarus masih sayang sama aku. Pun begitu dengan aku, Mas. Mas Ikarus masih mau ketemu sama aku, kan?”Ikarus mendesah pelan, matanya terpaku pada bahan-bahan makanan yang baru saja disiapkannya. Ikarus baru akan mulai memasak. Tinggal bersama Hera selama berminggu-minggu, membuat pria itu menjadi tahu apa saja yang disukai Hera. “Kamu di mana sekarang?” tanyanya dengan bimbang.“Aku di… luar. Mas Ikarus mau menemui aku sekarang?”“Mas kabarin di mana tempatnya.”Setelah mengakhiri panggilannya, Ikarus kemudian melanjutkan ritual memasaknya. Meskipun tidak terlalu ahli dalam memasak, nyatanya masakannya tidak terlalu buruk. Sesekali Hera memujinya dan entah mengapa Ikarus merasa senang dipuji perempuan itu.Setelah memastikan makanannya telah mata
“Rus? Suar mana?”Hera yang baru saja tiba di kediamannya lantas mengedar ke sekitar. Wajahnya terlihat lelah, ditambah dengan ia tidak menemukan putranya di sana.“Pulang-pulang tuh, kenapa bukan suaminya yang dicariin lebih dulu, sih? Kamu sengaja mau bikin aku cemburu atau gimana?” protes Ikarus saat itu.Hera menghela napas lalu melangkah mendekati Ikarus yang terlihat santai di sofa. Pria itu tengah mengambil cuti hari ini. “Iya, iya.” Hera mencium pipi Ikarus dengan pelan. “Suar sekarang di mana? Kamu kok kelihatan rapi gini? Mau ke mana?”Bayi mungil yang kini usianya baru menginjak tujuh bulan itu seakan jadi obat lelah Hera. Setiap kali perempuan itu menghabiskan waktu seharian dengan pekerjaannya yang menumpuk, setelah melihat Suar, lelahnya tiba-tiba menguap begitu saja.“Tadi Mama sama Papa mampir ke sini. Terus Suar sama Budhe Harni diangkut sekalian. Katanya biar papa sama mamanya ada waktu berduaan.”Hera terkekeh lalu berhambur memeluk Ikarus. “Emang selama ini kita ng
“Terima kasih untuk waktunya, Pak. Saya berharap kerjasama ini bisa berlangsung lama.”“Sama-sama, Pak Ikarus. Kalau begitu saya pamit dulu.”Setelah menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu klien, Ikarus melenggang meninggalkan restoran. Tangannya merogoh saku celananya, lalu membelalak.‘32 missed called from Heraira Cassandra’‘10 missed called from Mama’Ikarus menghentikan langkahnya. Ia mendadak panik. Jemarinya kemudian bergulir, menekan tombol memanggil. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi.Lalu, “Ra! Kamu—”“Bang, ini Mama. Kamu di mana sih, Bang? Dari tadi Mama coba telepon, Hera juga udah telepon kamu puluhan kali. Kok nggak dijawab, sih?”Mendengar suara Bella yang panik, Ikarus ikut panik. “Maaf, Ma. Aku tadi lagi meeting. Ada apa?”“Buruan ke rumah sakit, Bang. Hera mau lahiran!”Ikarus membelalak. Lalu tanpa pikir panjang pria itu berlari meninggalkan restoran untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.“Mama temenin Hera dulu ya, Ma. Ini aku lan
“Rus… lagi ngapain?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Hera yang baru saja bangun dari tidurnya. Sejak pulang kerja tadi, Hera memang memilih untuk tidur lantaran tengah mengantuk.Ikarus menoleh lalu menurunkan laptop dari pangkuannya, merentangkan tangannya ke arah Hera agar segera menghampirinya.“Lagi ngerjain weekly report, Sayang. Kok bangun?”“Iya. Aku tadi mimpi buruk.” Hera lantas berhambur memeluk Ikarus, menyurukkan wajahnya di ceruk leher suaminya.Masih dengan mengenakan pakaian kerjanya, Ikarus mengusap punggung Hera dengan lembut, kemeja yang dikenakannya basah karena keringat. “It’s okay… mimpi kan cuma bunga tidur, Ra. Kamu baik-baik saja sekarang.”Lama Hera berdiam diri di dalam dekapan Ikarus. Perempuan itu kemudian menarik diri, lalu menatap Ikarus dengan lekat.“Rus…”“Hm?”“Kayaknya Dede kangen sama kamu, deh.”Ikarus tercenung selama beberapa saat. Pria itu kemudian menarik ujung bibirnya ke atas lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir Hera. “Bentar ya
“Hai, Rhe… gue datang.” Hera menaruh sebuah buket bunga lily di atas pusara Rhea. Menatap lekat batu nisan yang bertuliskan ‘Sorhea Winona’ itu dengan perasaan berkecamuk. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Rhea. “Lo apa kabar? Lo baik-baik saja di sana, kan?”Hera menggigit bibirnya bagian dalam. Menahan desakan air di pelupuk matanya. Rasanya masih seperti mimpi. Baru kemarin Hera masih tertawa bersama Rhea, namun ia tidak menyangka jika Tuhan telah mengambil sahabatnya satu tahun yang lalu.“Rhe, bentar lagi lo bakalan banyak keponakan.” Hera mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Tak mampu menghalau air matanya yang jatuh begitu saja. “Eve bentar lagi lahiran, dan Eros… dia juga bahagia seperti pesan terakhir lo. Bentar lagi dia juga bakalan jadi seorang ayah.” Perempuan itu kemudian menoleh ke samping, menatap Ikarus yang sejak tadi berdiri di sisinya. “Ada banyak hal yang pengen gue ceritakan sama lo, Rhe. Minggu lalu gue dapat kejutan dari Ikarus, dia beli rumah
“Sayang? Masih lama?”Hera yang baru saja keluar dari kamar mandi lantas terkekeh geli. “Ini lho, masih handukan. Mau ke dokter handukan gini?”Ikarus meraup wajahnya dengan gusar. Senyumnya terbit di wajahnya begitu saja. Pria itu kemudian melangkah mendekati Hera yang kini perutnya sudah membola. Usia kandungannya sudah menginjak bulan ketujuh, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. “Aku nggak sabar pengen lihat perkembangan jagoan kita.” Ikarus melingkarkan tangannya ke pinggang Hera, memeluk perempuan itu dari belakang. “Wangi banget, sih?”“Awas dong, Papa. Mama mau ganti baju dulu, nih. Gimana bisa ganti kalau kamu peluk gini, coba? Katanya nggak sabar pengen lihat jagoannya.”Ikarus melepaskan diri lalu terkekeh. “Iya, iya. Aku tunggu di depan kalau gitu, ya? Tapi jangan lama-lama.”“Iya.”Setelah menunggu lima belas menit, akhirnya Hera selesai bersiap-siap. Keduanya berjalan meninggalkan unit mereka untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.Tepat saat
“WHAT?!? Riri hamil anaknya Eros?” Mendengar perkataan Ikarus barusan, membuat Hera seketika membelalak. “Kamu udah pastikan kebenarannya?”Ikarus mengangguk. “Aku juga sempat kaget tadi. Udah gitu Ares ngamuk di kafe sampai bikin Eros babak belur.”“Tapi Eros nggak apa-apa, kan?”“Nggak apa-apa, kok. Untungnya Riri keluar dari ruangan dan menenangkan Ares.”“Ini kayak bukan Eros banget nggak, sih?” Hera menghela napas pendek. “Kayaknya aku harus nemuin Eros sekarang, deh.”“Sekarang banget?” Ikarus melepas kemeja yang dikenakannya, “tapi udah malam, Sayang.”Hera kemudian turun dari ranjang tidurnya lalu bergerak mendekati lemari pakaian untuk mengambil baju ganti di sana. “Masih jam delapan, kok. Aku harus tahu kebenarannya. Kita tahu kalau selama ini Eros belum bisa ngelupain Rhea, kan? Dan kita tahu hal itu.” ujar Hera terlihat tidak percaya.Ikarus menghela napas. “Aku anterin, ya?”“Nggak usah, Rus. Kamu juga barusan pulang, kan? Kamu pasti capek juga.”“Nggak ada kata capek ka
Hera hanya bisa menggelengkan kepalanya begitu tiba di Bali Galeria Mall. Suasana mall sore itu terlihat cukup ramai mengingat bahwa mereka berkunjung saat akhir pekan.“Emang kita mau nonton apa sih, Bang?” tanya Bella saat mereka sudah melangkah memasuki mall.Ikarus terkekeh. “Ada film Marvel, Ma. Bukan film horor, kok, jadi Mama nggak usah khawatir.”Bella menghela napas lega. “Sumpah, ya. Seumur-umur, Mama belum pernah double date begini, mana yang ngajak double date anak sendiri pula.”Ikarus kembali tertawa. “Kapan lagi bisa ngajak Mama sama Papa kencan barengan, kan?”Bella dan Kairav hanya menggelengkan kepalanya. Lalu mereka berjalan menaiki eskalator untuk menuju bioskop. Beruntungnya Ikarus sudah sempat membeli tiket nontonnya secara online, sehingga mereka tidak perlu mengantri lagi begitu mereka tiba di gedung bioskop.“Ra, kayaknya habis nonton nyalon bentaran seru deh, ya?” celetuk Bella saat itu.“Ah iya, Ma. Aku juga kayaknya pengen banget creambath, deh. Semenjak h
“Makan malam di luar, yuk? Sekalian aku pengen ngajak nonton kamu.” Ikarus menyurukkan wajahnya di ceruk leher Hera. Alih-alih menunggu tanggapan istrinya Ikarus kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi kamu lagi mager banget, ya? Masih ngerasa mual?”Suara Ikarus sejenak membuat Hera yang tadinya masih terpejam kini membuka matanya.Ini hari Sabtu, dan mereka libur. Seharian ini Hera menghabiskan waktunya dengan bergelung di bawah selimut. Entah karena hormon kehamilannya, Hera benar-benar malas untuk melakukan sesuatu akhir-akhir ini.“Mau nonton apa? Tumben banget, sih?” tanya Hera dengan malas.“Kok tumben? Emangnya salah kalau aku ngajak kamu ‘pacaran’ istri sendiri? Udah lama banget kayaknya kita nggak jalan berdua, kecuali kalau lagi makan, Ra. Ya, kan?”Hera memutar matanya lalu terkekeh geli. “Kamu kenapa, sih? Aneh banget tahu, nggak.”“Aneh kenapa, coba?”“Ya aneh aja. Nggak kayak biasanya kamu begini.” Hera tersenyum kecil, lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi Ikarus. “Tad
“Kamu emang sengaja sekongkolan sama Eros, kan? Makanya bisa tahu kalau aku di sini?”Ikarus terkekeh lalu menyelipkan anak rambut Hera ke belakang telinga. Dibandingkan dengan sebelumnya yang masih merasa kesal, Hera sudah terlihat lebih tenang sekarang.Ikarus menghela napas. “Kenapa pakai acara kabur-kaburan segala, coba? Kan aku jadi khawatir sama kamu, Ra.”“Siapa coba yang memulai? Salah siapa pakai acara ngambek-ngambek nggak jelas gitu.”“Ya kan aku nggak suka kalau ada cowok yang deket-deket sama kamu, Ra. Mana dia kelihatan banget kalau tertarik sama kamu pula. Siapa yang nggak kesal, coba?”“Aku nggak akan berpaling sama kamu, Rus. Jadi kamu nggak usah khawatir. Lagian siapa yang bakalan naksir kalau tahu aku udah bersuami dan sekarang aku lagi hamil muda gini, hm?”“Dia nggak tahu kalau kamu lagi hamil, by the way.” Ikarus mendecak, menoleh dan memperhatikan Eros yang tengah duduk di bibir pantai, menikmati matahari terbenam yang terasa sempurna seorang diri.“Kan! Mulai l