“Mas, aku kangen. Kapan aku bisa ketemu Mas Ikarus?”Ikarus menghela napas panjang. “Nad, minggu lalu kamu baru saja menikah.”“Aku tahu. Tapi aku kangen sama Mas Ikarus.” Ikarus hanya diam, dan Nadine kembali melanjutkan. “Aku tahu kalau Mas Ikarus masih sayang sama aku. Pun begitu dengan aku, Mas. Mas Ikarus masih mau ketemu sama aku, kan?”Ikarus mendesah pelan, matanya terpaku pada bahan-bahan makanan yang baru saja disiapkannya. Ikarus baru akan mulai memasak. Tinggal bersama Hera selama berminggu-minggu, membuat pria itu menjadi tahu apa saja yang disukai Hera. “Kamu di mana sekarang?” tanyanya dengan bimbang.“Aku di… luar. Mas Ikarus mau menemui aku sekarang?”“Mas kabarin di mana tempatnya.”Setelah mengakhiri panggilannya, Ikarus kemudian melanjutkan ritual memasaknya. Meskipun tidak terlalu ahli dalam memasak, nyatanya masakannya tidak terlalu buruk. Sesekali Hera memujinya dan entah mengapa Ikarus merasa senang dipuji perempuan itu.Setelah memastikan makanannya telah mata
“Sumpah ya, Kak. Lo nggak lagi kesurupan, kan tiba-tiba lo datang ke sini? Ini udah malam dan lo udah berhasil bikin gue nggak jadi party sama anak-anak.”“Makanya kalau lo mau ke sini tuh, diam-diam aja nggak, sih? Gue lagi galau, Waf. Bisa nggak, kelakuan lo nggak dajjal-dajjal amat sama kakak sendiri?”Wafa mendecak sembari memutar matanya, menatap Hera yang kini tengah menyandarkan kepala di bantal besar di pangkuannya. “Ck! Lo galau kenapa, sih? Mending kita party aja gimana? Guest star di Despresso Bar Sheila on 7, nih!” “Gue lagi males clubbing. Dan kayaknya gue udah nggak boleh clubbing, deh.”“Kenapa? Tumben?” Wafa mengerutkan keningnya. Matanya menatap Hera dengan raut penasaran.“Gue hamil.”“Oh—” Wafa kembali menoleh ke depan. “WHAT?! HAMIL?!”Hera bahkan sampai mendelik tajam mendengar teriakan Wafa. “Apaan sih, Waf! Lo bisa santai, nggak?”Wafa sudah melotot dengan mulutnya yang menganga. Kehilangan kata-kata saat melihat reaksi Hera yang biasa-biasa saja. “Sumpah ya, K
“HERA!”Ikarus seketika menghentikan langkahnya. Jantungnya mendadak berdebar kencang bersamaan dengan tubuhnya yang tersentak saat mendengar suara dentuman keras di seberang sana.Sayup-sayup Ikarus bisa mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya. “Ra! Hera! Lo di mana? HERA! Fuck!”Ikarus berlari keluar dari hotel. Tangannya dengan sigap membuka aplikasi pelacak untuk menemukan keberadaan Hera saat ini. Begitu lokasinya telah ditemukan, Ikarus bergegas melajukan mobilnya dan segera meninggalkan hotel detik itu juga.Butuh waktu kurang lebih lima belas menit untuk Ikarus tiba di lokasi kejadian. Beberapa jalanan macet total dan ada banyak pihak kepolisian yang tengah melakukan olah TKP.Lalu, “Dilarikan ke rumah sakit mana untuk korban kecelakaan ini, Pak? Bagaimana kondisi korban? Saya keluarganya, saya—”“Ada salah satu korban yang meninggal di tempat, Pak. Semua korban sudah dilarikan ke Leanders Hospital. Untuk itu, silakan Bapak langsung ke rumah sakit saja.”Sekujur tubuh Ika
“Rus!”Suara panggilan itu seketika membuyarkan keterdiaman Ikarus. Malam sudah larut, setelah empat jam berada di ruang operasi, akhirnya Hera sudah dipindahkan ke ruang rawat pasien. Sementara Ikarus masih terjaga tepat di depan ruang rawat perempuan itu.“Res…”“Gue udah dengar dari Zeus soal Hera.” Ares bersama Eros melangkah menghampiri Ikarus yang tampak kacau saat ini. “Bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Ares penasaran.“Hera sudah melewati masa kritisnya,” jawab Ikarus dengan suara serak.“Syukurlah.” Terdengar helaan napas lega dari Ares dan Eros. “Gimana kronologi kejadiannya, Rus?” tanya Eros penasaran.Ikarus menghela napas sambil mengurut keningnya yang terasa nyeri. Dadanya masih saja terasa sesak meskipun Hera sudah melewati masa kritisnya.“Gue nggak tahu gimana kejadiannya. Yang jelas sebelum kejadian itu, gue sama Hera sempat ketemu. Kami sempat berselisih paham. Dan setelahnya, Hera ninggalin gue. Tak lama setelah itu, Hera nelpon dan dia minta tolong, tapi sebel
Grup Cuma Wacana[Artemis: Udah tiga hari dan nggak ada kabar apa-apa. Hera bakalan bangun, kan? ☹️][Eve: Ar, jangan bikin gue sedih. Sejak kejadian itu gue mengabaikan Astu sama Nira akhir-akhir ini. Maaf ya, Mas Ares. Maaf ya, Astu dan Niranya Mama. ☹️][Rhea: Bisa nggak sih, nggak usah chat yang sedih-sedih? Gue nggak konsen nulis BEO. Setiap kali mau minta tanda tangan, ruangan Hera kosong. 😭😭😭][Artemis: Ra, bangun, Ra. 😭😭😭😭😭😭][Eve: Ra, bangun, Ra. 😭😭😭😭😭😭][Rhea: HERAAAAA! 😭😭😭😭😭]Ikarus menatap nanar pada chat room di grupnya yang kini terasa sepi tanpa kehadiran Hera. Tidak ada huru-hara dan canda tawa yang biasa menjadi obat lelahnya kala ia bekerja. “Ra… bangun. Gue sama anak-anak kangen,” gumam Ikarus dengan matanya yang berkaca-kaca.Lalu deringan ponsel miliknya sejenak mengalihkan perhatian Ikarus. Keningnya mengerut begitu mendapati nama Wafa muncul di layar. “Halo?”“Mas Ikarus, kamu di mana?”Kening Ikarus seketika mengernyit. “Aku masih di apart
“Pasien mengalami amnesia disosiatif, Bu. Di mana Nona Hera telah kehilangan kepingan ingatannya akibat traumatis yang dialaminya. Cedera di kepalanya menyerang syaraf otak yang mempengaruhi beberapa ingatan di dalamnya.”“Sampai kapan dia akan lupa dengan kami, Dok?” tanya Miranda dengan tangisnya yang menggugu.Dokter Rasya kemudian menggeleng. “Saya tidak bisa memastikannya, Bu. Hal ini tergantung bagaimana kemampuan pasien itu untuk mengumpulkan ingatannya kembali. Bisa jadi hanya beberapa hari, Minggu, bulan, tapi bisa juga sampai tahunan.”“Ya Allah, Anak Mama.” Miranda bisa merasakan dadanya sesak. Ia sudah kehabisan tenaga. Yang bisa dilakukannya hanyalah menangis.“Saya akan mencoba untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tapi untuk sementara waktu, karena pasien masih bingung dengan identitasnya sendiri. Tolong jangan dipaksa untuk mengingat dulu.”“Apa yang harus kami lakukan, Dok?”“Biarkan pasien tenang dulu, Bu. Peran keluarga memang sangatlah penting. Kita bisa membua
“Bisa kita mulai? Dimulai dari… siapa kamu?” tanya Hera lirih.Ikarus tak langsung menjawab. Ia menundukkan wajahnya seolah tengah berpikir untuk menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Hera.“Prince Ikarus Leanders.” Pria itu menjulurkan tangannya ke depan, mengajak Hera untuk berjabat tangan. “Aku nggak akan meminta kamu mengingatku disaat dokter baru saja bilang kalau kamu mengalami amnesia. Tapi aku juga nggak keberatan jika harus menjadi orang baru untuk kamu, Ra.” Ikarus menerbitkan senyuman kecil. “Heraia Cassandra, kenalkan aku Prince Ikarus Leanders.”“Dan aku memanggil kamu…?” Hera menggantung ucapannya selama beberapa saat. “Prince?”“Aku tahu kalau aku tampan seperti pangeran.” Ikarus terkekeh. “Tapi kamu cukup memanggilku Ikarus saja.”“Wah… percaya diri sekali kamu.” Hera membalas jabatan tangan Ikarus. “Well, Ikarus. Apa kamu juga adalah anggota keluargaku?”“Bukan.” Ikarus menggeleng. “Di dunia kamu sebelumnya, aku… adalah sahabat kamu, Ra.”Hera mencoba
“Hai.” Mendengar sapaan itu, Hera kemudian mendongak lalu ia tersenyum kecil. “Pagi, Tante.”“Pagi, Ikarus. Kamu selalu datang ke sini, apa kamu nggak sibuk?” tanya Miranda sambil sesekali menoleh ke arah Hera yang memilih untuk diam.Seminggu telah berlalu dan tidak ada satu hari pun yang dilewatkan Ikarus untuk tidak datang ke rumah sakit. Pria itu bahkan seringkali menghabiskan malamnya dengan terjaga, hanya untuk memastikan Hera baik-baik saja.“Nggak, Tante. Saya cuma mau memastikan bagaimana kondisi Hera.”“Kata Dokter Rasya dia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dia nggak lagi bingung dan ketakutan seperti saat awal-awal dia siuman.” Miranda kemudian bangkit, “Mama keluar sebentar untuk telepon, boleh? Biar ditemani sama Ikarus dulu ya, Sayang.”“Iya, Ma.” Meskipun tidak ingat apa-apa, namun Hera tahu jika perempuan paruh baya bernama Miranda Jessica itu adalah ibunya. “Ikarus, titip Hera sebentar, ya? Tante mau telepon kantor dulu.”“Iya, Tante.”Sepeninggal Miranda