Adrian menyimpan rambut yang baru saja dia cabut dan menatap Zayden yang perlahan membuka mata dan menatapnya. Zayden merasa cukup asing dengan Adrian, jadi langsung bersikap waspada.Adrian beranjak dan melangkah mundur, mencoba menjaga jarak aman.Pria itu bersedekap dan tersenyum sinis seperti biasanya."Bagaimana keadaanmu, nak?"Zayden mengerjapkan matanya yang lebar. Saat akan berbicara, dia merasa kalau tenggorokannya terasa panas dan terasa sakit kalau berbicara.Adrian membuka tutup botol air mineral dan menyodorkannya ke mulut Zayden. "Kamu lagi demam, jadi wajar kalau tenggorokanmu kering dan serak. Jangan khawatir, minum air ini, nanti juga baikan."Zayden melakukan apa yang diperintahkan Adrian, mengambil botol air yang pria itu sodorkan dan meminumnya. Zayden yang sedang sakit itu benar-benar seperti anak kecil. Dia patuh dan lucu, memegang botol air minum di tagannya. Tatapan cerah dan jernihnya menatap Adrian lekat.Adrian juga menatap Zayden yang berbaring di ranjang.
"Kalau dia nggak menginginkanku lagi, aku juga nggak mau panggil dia Papa. Aku nggak mau tinggal di sini lagi!"Adrian memandangi wajah kecil Zayden lekat-lekat. Meskipun wajah bocah itu mirip dengan Valerio, setelah dilihat lebih dekat, raut wajah di antara kedua alis bocah itu sangat mirip dengan Briella.Makin melihat ini, dia pun makin dibuat penasaran. Adrian termenung dan mencari cara untuk menemukan rambut Valerio agar bisa melakukan tes DNA."Bukan kamu yang menentukan apakah kamu akan tinggal di sini atau nggak." Adrian menepuk pundak Zayden. "Akhir-akhir ini Papa dan Mama mu sangat sibuk dan ada beberapa hal yang perlu diselesaikan. Papa mu juga pasti akan datang menemuimu kalau masalahnya sudah selesai. Sekarang semua orang sedang sangat kacau. Zayden, lebih baik kamu juga patuh dan sekolah dengan benar. Dengarkan apa yang dikatakan orang dewasa."Zayden menjawab, "Biasanya Mama akan bicara padaku tentang apa pun yang terjadi. Kenapa kali ini Mama pergi tanpa bilang apa pun
"Kalau begitu, kuharap kamu ingat apa yang sudah kamu katakan." Rieta memperingatkan, "Jangan sampai membuat kekacauan di acara besok. Kalau nggak, aku punya ratusan cara biar kamu pulang dengan patuh."Adrian menutup telepon dan menggenggamnya dengan erat, mencoba melampiaskan semua kemarahan di dalam hatinya. Dia tidak pernah begitu frustrasi dan tidak berdaya seperti ini sebelumnya.Rieta memang cukup kejam. Jika tidak, tidak mungkin dia bisa berada di posisinya saat ini dan menjadi ibu tiri Valerio."Om, kamu bicara dengan siapa di telepon?"Pintu kamar Zayden terbuka, memunculkan kepala kecil Zayden."Kamu dengar pembicaraanku di telepon?"Zayden mengangguk. "Aku juga dengar kalau kamu sepertinya bicara sama perempuan. Apa Om Valerio mau nikah sama wanita lain?"Adrian berjalan menghampiri Zayden dan memeluknya, memukul pantatnya sambil berjalan menuju ranjang Zayden."Kenapa telingamu tajam sekali, beraninya menguping pembicaraan orang dewasa di telepon.""Om, aku cuma khawatir s
Briella mengernyitkan dahinya, sudah bisa membayangkan topik apa yang akan dibicarakan pria itu kepadanya.Briella terlalu malas untuk menghadapinya.Langkah kaki terdengar mendekat dan Klinton membuka pintu kamar, langsung menghampiri Briella."Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"Lelaki itu bertanya dan Briella melambaikan tangan. "Terima kasih Pak Klinton atas perhatiannya. Hanya saja, dibandingkan menanyakan kondisiku, aku lebih tertarik untuk mengetahui sampai kapan kamu berencana mengurungku di sini.""Nona Briella, sepertinya kamu salah paham dengan maksudku membawamu ke mari. Aku nggak bermaksud mengurungmu. Justru sebaliknya, aku ingin melindungimu.""Melindungiku?" Briella mencibir dan menatap Klinton, berbicara dengan nada mengejek, "Pak Klinton ternyata orang yang sangat baik. Cuma aku merasa kalau cara melindungi yang seperti ini terlalu istimewa, bukan? Atau ada sesuatu nggak pantas yang kamu lakukan, jadi kamu mengurungku di tempat terpencil ini, nggak ingin aku terhu
"Briella, nggak ada orang yang menyukai wanita yang nggak mencintai dirinya sendiri." Nada bicara Klinton tiba-tiba berubah dingin, "Punya anak tanpa status, tapi masih punya anak lainnya di dalam kandungan. Nona Briella, kelakuanmu yang seperti ini nggak bisa dipahami oleh akal sehat manusia. Selain itu, Nona Briella sudah terlalu banyak melakukan perbuatan tercela. Aku nggak mengatakan apa pun karena aku memikirkan harga diri mu. Tapi kalau kamu nggak menganggap itu sebagai aib, ya sudah. Nggak ada hal yang tabu untuk dibicarakan."Briella menunduk dan menatap pola pada selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya tiba-tiba menjadi sedikit kabur saat mendengar kata-kata Klinton yang menusuk hatinya seperti pedang. Gelombang rasa malu dan harga diri membanjiri benak Briella, membuatnya terlihat menyedihkan.Dia seperti pendosa yang melakukan kejahatan keji, jadi pantas menerima semua penderitaan yang dia alami sekarang.Briella merasa sedikit tercekik dan menutupi dadanya untuk bernapas.K
Suara mobil terdengar menusuk karena rem yang diinjak, membuat roda ban bergesekan dengan tanah.Mobil itu berhenti di depan kediaman Keluarga Regulus dan berhenti di depan gerbang utama. Pak Rinto bergegas turun dari mobil.Menatap rumah tua yang megah di depannya, Pak Rinto menepuk-nepuk debu yang menempel di tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam dengan langkah cepat.Di ambang pintu ada pelayan rumah yang berjejer. Melihat kedatangan Pak Rinto, mereka pun menyambutnya. Pak Rinto bertanya, "Apa tuan besar ada di dalam?""Baru saja selesai sarapan dan mendengarkan lagu di kursi malas. Sekarang, beliau tertidur."Pak Rinto memelankan suaranya, bahkan langkah kakinya pun tanpa sadar menjadi pelan."Buat kebisingan dan buat tuan besar bangun. Ada hal mendesak yang ingin aku sampaikan.""Nggak bisa. Kalau tuan besar marah dan menyalahkanku, aku akan dimarahi lagi.""Urusanku lebih penting daripada urusanmu. Dimarahi tuan besar atau dibunuh Pak Valerio, mana yang kamu pilih?"Pelayan itu te
Valerio melirik dokumen yang diserahkan Rieta. Dia bahkan tidak repot-repot membacanya dan langsung membuangnya."Aku tahu persis apa yang harus kukatakan, jadi nggak perlu membuatkan jawaban untukku."Valerio tahu kalau apa yang Rieta ingin Valerio jawab adalah semua jawaban yang sudah dia susun dan semuanya bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati Valerio."Aku nggak mengizinkanmu membuat jawaban sendiri." Rieta memungut dokumen yang dibuang oleh Valerio, lalu melemparkan ke pelukan Valerio. "Kamu mewakili Perusahaan Regulus. Sebagai ketua dewan direksi Perusahaan Regulus, kamu harus membela kepentingan perusahaan dan para pemegang saham dan berbicara. Ingat, sikap impulsifmu bisa membuat kerugian dan masalah yang sangat besar. Sadar dan bersikap dewasalah.""Gimana kalau aku nggak mau?" Valerio melipat kakinya, lalu melanjutkan, "Gimana kalau aku malah bilang akan membatalkan pertunangan dan menikahi Briella?""Valerio! Jangan main-main!""Siapa yang main-main, aku atau kamu,
Valerio menatap layar ponselnya dan melihat foto Briella yang tengah berbaring di atas ranjang."Di mana?""Sebuah vila di hutan pinggiran kota."Valerio mengangkat alisnya heran. "Milik Keluarga Atmaja?""Ya. Ada Klinton yang menjaga Briella. Dia baik-baik saja.""Kenapa?" Valerio kembali bertanya karena tidak mengerti, "Kenapa kamu melakukan ini? Briella nggak salah, dia bahkan sedang mengandung anakku! Jangan melibatkannya ke dalam masalah di antara kita.""Kamu harusnya merenungkan kesalahanmu." Rieta menyimpan kembali ponselnya, lalu melanjutkan, "Aku janji Briella dan bayi dalam kandungannya akan baik-baik saja. Kami bahkan akan melindunginya. Yang penting kamu mau bekerja sama dan bersikap patuh di depan media untuk menstabilkan citra perusahaan dan para pemegang saham perusahaan. Setelah itu, aku akan mempertemukan kalian lagi.""Bersikap patuh di depan media katamu?""Aku nggak punya permintaan lain kepadamu selama kamu dan Davira bertindak layaknya pasangan yang saling mencin