Abimana memahami sesuatu begitu mendengar Valerio mengatakan ini. Dia melirik Rieta dan menghela napas dalam hati.Sama seperti dulu, dia tidak bisa menghentikan perceraian orang tua kandung Valerio. Sekarang, dia pun dia tidak bisa menghentikan Rieta yang mengandalkan status sebagai ibu Valerio untuk mengatur pernikahan Valerio demi kepentingan perusahaan.Tidak ada kebebasan bagi seorang anak dalam keluarga besar seperti mereka, terutama kalau sudah terkait ahli waris.Abimana sangat menyayangi Briella, tetapi aturan semacam ini sudah ditetapkan oleh leluhur keluarga mereka. Abimana mengakui kalau aturan ini kurang sesuai. Jadi, kalau Valerio berani melanggarnya demi Briella, tentu saja dia akan sangat mendukung. Hanya saja, Valerio memilih untuk tetap berpegang teguh pada peraturan dan menjaga bisnis keluarga di saat-saat genting seperti ini."Lakukan saja apa yang sudah kamu putuskan. Nggak ada lagi yang bisa aku lakukan."Abimana berdiri dan menghormati pilihan Valerio meskipun wa
...Malam tiba, waktu pun berlalu dengan sangat cepat. Briella terus tertidur di dalam kamar. Saat ini, ada seorang pria dan wanita yang berdiri di sampingnya, tengah membicarakan sesuatu dengan suara pelan."Davira, kamu harus tahu kalau Valerio nggak mencintaimu."Davira mendengus kesal dan melangkah keluar dari kamar."Kita bicara di luar saja, Kak."Klinton melepas jaket yang dia kenakan dan memakaikannya ke tubuh Davira. Setelah itu, dia baru mengikuti Davira berjalan keluar dari kamar Briella.Keduanya duduk di ruang tamu sambil minum teh, mereka duduk berhadapan dan membicarakan banyak hal.Dalam beberapa hari ini Davira selalu merasa khawatir. Dia merasa kalau konferensi pers besok akan menjadi titik balik yang krusial. Namun, dia cukup puas dengan apa yang sudah berjalan sejauh ini.Setelah masalah besok selesai, semuanya pun berakhir. Sudah saatnya menentukan siapa pemenang dari situasi yang terus tarik ulur ini."Kak, aku sangat bahagia punya seorang kakak sepertimu." Davira
Klinton terlihat sedikit khawatir, tetapi apa yang ada di dalam hatinya tidak bisa dia katakan di saat seperti ini. Dia menyimpannya sendiri dan memilih untuk tidak mengungkapkannya. Selama adiknya bisa bahagia, dia bersedia melakukan apa pun.Davira terlihat sangat ceria dan bahagia. Dia pun memeluk Klinton lagi dan mengatakan, "Kak, aku juga dapat dukungan dari Keluarga Regulus. Seluruh dunia ada di pihakku, jadi aku nggak takut pada apa pun. Aku ingin menikah dengan Valerio sesegera mungkin. Bulan depan saja. Yang penting kita menikah secara resmi dan aku menjadi istrinya yang sah. Setelah itu, aku bisa berpuas diri dan nggak perlu mengkhawatirkan apa pun. Ya, Kak?"Klinton menghela napas dalam, menatap adiknya untuk waktu yang lama. setelah itu, dia baru mengiakan walau sedikit enggan."Haha, aku sangat senang. Terima kasih sudah sangat menyayangiku, Kak!"Davira berdiri, lalu mengatakan, "Kak, aku sudah nggak sabar dan mau ketemu Rio sekarang juga. Aku akan memberitahunya kalau ta
"Bu Rieta, apa kedatanganku yang selarut ini mengganggu istirahat Bu Rieta?"Davira menatap Rieta yang duduk di seberang meja dengan saksama. Bahkan cara bicaranya pun menjadi lebih sopan dan santun.Rieta merapikan rambutnya dan kedua kakinya ditumpuk dan tersembunyi di balik terusan yang dia kenakan. Tatapan datarnya menatap Davira, lalu menjawab sembari menyunggingkan senyuman tipis."Nggak, kok. Kalau malam ini kamu nggak datang pun aku akan tetap menghubungimu. Mulai hari ini, kita akan menjadi keluarga. Jadi, kamu juga nggak perlu sesopan itu saat bicara denganku."Davira terlihat malu, lalu menundukkan kepalanya. Sikapnya terlihat sedikit kaku. "Kalaupun seperti itu, etika yang seharusnya ada, nggak boleh diabaikan. Bu Rieta barusan bilang akan menghubungiku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Rieta mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan."Saat konferensi pers besok, Rio akan mengumumkan tanggal pernikahan kalian. Aku memintamu datang biar kamu bisa berdiskusi dengannya d
"Bu Rieta, terima kasih sudah mau mendukung hubunganku dengan Rio. Aku akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.""Aku sudah bilang kalau aku akan membantumu.""Hmm, kalau begitu aku akan membawakan tehnya untuk Rio."Davira berjalan ke ruang kerja dengan nampan yang berisi teh di tangan. Dia mengetuk pintu ruang kerja dengan pelan, tetapi tidak kunjung ada jawaban dari dalam ruangan. Jadi, dia bertanya dengan cemas."Rio, ini aku. Aku membawakanmu teh."Valerio yang mendengar suara Davira pun langsung menolaknya, "Aku nggak butuh. Pergilah.""Rio, aku ...." Davira sedikit tidak berdaya "Tapi ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku nggak akan pergi."Valerio mengusap keningnya agak kesal dan terus mengabaikan suara-suara di luar.Davira menggertakkan gigi, tetap membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruang kerja.Melihat itu, Valerio menjadi kesal, "Sudah kubilang, aku nggak butuh."Davira meletakkan nampan teh yang dia bawa dan duduk di seberang Valerio. "Bu Rie
"Aku harus menemuinya sekarang.""Nggak bisa.""Kalau begitu konferensi pers besok dibatalkan.""Nggak bisa." Davira sangat paham dengan situasi saat ini. Kalau dia tidak melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dia tidak akan memiliki kesempatan lain.Briella adalah orang yang paling dipedulikan Valerio. Briella sudah berhasil dikendalikan, ini juga cara Rieta untuk menahan Valerio. Situasi ini merupakan kesempatan terbaik bagi Davira untuk mencapai keberhasilan.Kakaknya dan Bu Rieta sudah membuka jalan untuknya. Dia akan menjadi orang yang bodoh kalau tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik."Rio, jangan pernah punya pikiran buat menentang Bu Rieta. Dia sudah mengatur semua ini sejak awal dan nggak ada siapa pun yang bisa menentangnya. Pikirkan ibu kandung dan wanita yang kamu cintai. Kamu hanya bisa patuh dan nggak ada jalan lain yang bisa kamu tempuh."Wajah tampan Valerio terlihat muram dan tegang, seperti pisau dan menorehkan luka yang begitu dingin.Dia tahu lebih baik da
Malam yang kacau dan Valerio bangun cukup pagi.Valerio membuka matanya dan mendapati dirinya tidur di tempat tidurnya sendiri bersama dengan seorang wanita di sebelahnya. Dia menyibakkan selimut dan langsung menendang wanita itu dari kasur bahkan tanpa melihat wajahnya terlebih dahulu.Terdengar suara gedebuk dan rintihan kesakitan wanita itu."Sakit!"Davira berusaha beranjak dari lantai, menyentuh keningnya yang sudah benjol dan berdarah. Dia pun meringis kesakitan.Valerio mengerutkan kening tidak percaya dan mengenakan kembali pakaiannya. Keningnya berkerut saat melihat wanita yang terjatuh ke lantai."Davira, apa yang kamu lakukan padaku tadi malam?""Apa maksudmu apa yang sudah kulakukan padamu?"Tangan Davira menopang di sisi tempat tidur dan dia berusaha untuk duduk. Penampilannya yang mengenakan baju tidur terlihat sedikit berantakan. Pakaian tidur itu pun bahannya sangat tipis dan minim."Kamu pingsan dan aku menolongmu. Tapi kamu malah ...."Davira menutupi wajahnya yang me
Valerio melihat video itu dan menggertakkan gigi penuh kemarahan, "Omong kosong!"Rieta mengambil kembali ponselnya dan menggoyangkannya di tangannya. Gelagatnya terlihat seperti akan mengirimkan video ini kepada semua reporter yang hadir di konferensi pers hari ini.Valerio tidak menjawab dan langsung merampas ponsel Rieta dan membantingnya ke tembok. Layar ponsel itu langsung retak dan rusak.Rieta tidak panik. "Hancurkan saja, toh aku punya cadangan dan sudah menyimpannya di email. Kalau kamu nggak datang di konferensi pers hari ini atau nggak menjawab pertanyaan sesuai dengan jawaban yang aku berikan, video itu akan sampai ke email berbagai media.""Apa untungnya tindakanmu ini untuk perusahaan? Bukannya malah merugikan perusahaan?" Valerio sudah muak dengan manipulasi Rieta yang luar biasa ini. "Berhenti menggunakan alasan yang kamu sebut sebagai alasan yang terbaik untuk Perusahaan Regulus. Kamu hanya ingin mendapatkan relasi yang nggak pantas. Rieta, jangan membuatku menguak sem
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu