Klinton terlihat sedikit khawatir, tetapi apa yang ada di dalam hatinya tidak bisa dia katakan di saat seperti ini. Dia menyimpannya sendiri dan memilih untuk tidak mengungkapkannya. Selama adiknya bisa bahagia, dia bersedia melakukan apa pun.Davira terlihat sangat ceria dan bahagia. Dia pun memeluk Klinton lagi dan mengatakan, "Kak, aku juga dapat dukungan dari Keluarga Regulus. Seluruh dunia ada di pihakku, jadi aku nggak takut pada apa pun. Aku ingin menikah dengan Valerio sesegera mungkin. Bulan depan saja. Yang penting kita menikah secara resmi dan aku menjadi istrinya yang sah. Setelah itu, aku bisa berpuas diri dan nggak perlu mengkhawatirkan apa pun. Ya, Kak?"Klinton menghela napas dalam, menatap adiknya untuk waktu yang lama. setelah itu, dia baru mengiakan walau sedikit enggan."Haha, aku sangat senang. Terima kasih sudah sangat menyayangiku, Kak!"Davira berdiri, lalu mengatakan, "Kak, aku sudah nggak sabar dan mau ketemu Rio sekarang juga. Aku akan memberitahunya kalau ta
"Bu Rieta, apa kedatanganku yang selarut ini mengganggu istirahat Bu Rieta?"Davira menatap Rieta yang duduk di seberang meja dengan saksama. Bahkan cara bicaranya pun menjadi lebih sopan dan santun.Rieta merapikan rambutnya dan kedua kakinya ditumpuk dan tersembunyi di balik terusan yang dia kenakan. Tatapan datarnya menatap Davira, lalu menjawab sembari menyunggingkan senyuman tipis."Nggak, kok. Kalau malam ini kamu nggak datang pun aku akan tetap menghubungimu. Mulai hari ini, kita akan menjadi keluarga. Jadi, kamu juga nggak perlu sesopan itu saat bicara denganku."Davira terlihat malu, lalu menundukkan kepalanya. Sikapnya terlihat sedikit kaku. "Kalaupun seperti itu, etika yang seharusnya ada, nggak boleh diabaikan. Bu Rieta barusan bilang akan menghubungiku? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Rieta mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan."Saat konferensi pers besok, Rio akan mengumumkan tanggal pernikahan kalian. Aku memintamu datang biar kamu bisa berdiskusi dengannya d
"Bu Rieta, terima kasih sudah mau mendukung hubunganku dengan Rio. Aku akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.""Aku sudah bilang kalau aku akan membantumu.""Hmm, kalau begitu aku akan membawakan tehnya untuk Rio."Davira berjalan ke ruang kerja dengan nampan yang berisi teh di tangan. Dia mengetuk pintu ruang kerja dengan pelan, tetapi tidak kunjung ada jawaban dari dalam ruangan. Jadi, dia bertanya dengan cemas."Rio, ini aku. Aku membawakanmu teh."Valerio yang mendengar suara Davira pun langsung menolaknya, "Aku nggak butuh. Pergilah.""Rio, aku ...." Davira sedikit tidak berdaya "Tapi ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku nggak akan pergi."Valerio mengusap keningnya agak kesal dan terus mengabaikan suara-suara di luar.Davira menggertakkan gigi, tetap membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruang kerja.Melihat itu, Valerio menjadi kesal, "Sudah kubilang, aku nggak butuh."Davira meletakkan nampan teh yang dia bawa dan duduk di seberang Valerio. "Bu Rie
"Aku harus menemuinya sekarang.""Nggak bisa.""Kalau begitu konferensi pers besok dibatalkan.""Nggak bisa." Davira sangat paham dengan situasi saat ini. Kalau dia tidak melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dia tidak akan memiliki kesempatan lain.Briella adalah orang yang paling dipedulikan Valerio. Briella sudah berhasil dikendalikan, ini juga cara Rieta untuk menahan Valerio. Situasi ini merupakan kesempatan terbaik bagi Davira untuk mencapai keberhasilan.Kakaknya dan Bu Rieta sudah membuka jalan untuknya. Dia akan menjadi orang yang bodoh kalau tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik."Rio, jangan pernah punya pikiran buat menentang Bu Rieta. Dia sudah mengatur semua ini sejak awal dan nggak ada siapa pun yang bisa menentangnya. Pikirkan ibu kandung dan wanita yang kamu cintai. Kamu hanya bisa patuh dan nggak ada jalan lain yang bisa kamu tempuh."Wajah tampan Valerio terlihat muram dan tegang, seperti pisau dan menorehkan luka yang begitu dingin.Dia tahu lebih baik da
Malam yang kacau dan Valerio bangun cukup pagi.Valerio membuka matanya dan mendapati dirinya tidur di tempat tidurnya sendiri bersama dengan seorang wanita di sebelahnya. Dia menyibakkan selimut dan langsung menendang wanita itu dari kasur bahkan tanpa melihat wajahnya terlebih dahulu.Terdengar suara gedebuk dan rintihan kesakitan wanita itu."Sakit!"Davira berusaha beranjak dari lantai, menyentuh keningnya yang sudah benjol dan berdarah. Dia pun meringis kesakitan.Valerio mengerutkan kening tidak percaya dan mengenakan kembali pakaiannya. Keningnya berkerut saat melihat wanita yang terjatuh ke lantai."Davira, apa yang kamu lakukan padaku tadi malam?""Apa maksudmu apa yang sudah kulakukan padamu?"Tangan Davira menopang di sisi tempat tidur dan dia berusaha untuk duduk. Penampilannya yang mengenakan baju tidur terlihat sedikit berantakan. Pakaian tidur itu pun bahannya sangat tipis dan minim."Kamu pingsan dan aku menolongmu. Tapi kamu malah ...."Davira menutupi wajahnya yang me
Valerio melihat video itu dan menggertakkan gigi penuh kemarahan, "Omong kosong!"Rieta mengambil kembali ponselnya dan menggoyangkannya di tangannya. Gelagatnya terlihat seperti akan mengirimkan video ini kepada semua reporter yang hadir di konferensi pers hari ini.Valerio tidak menjawab dan langsung merampas ponsel Rieta dan membantingnya ke tembok. Layar ponsel itu langsung retak dan rusak.Rieta tidak panik. "Hancurkan saja, toh aku punya cadangan dan sudah menyimpannya di email. Kalau kamu nggak datang di konferensi pers hari ini atau nggak menjawab pertanyaan sesuai dengan jawaban yang aku berikan, video itu akan sampai ke email berbagai media.""Apa untungnya tindakanmu ini untuk perusahaan? Bukannya malah merugikan perusahaan?" Valerio sudah muak dengan manipulasi Rieta yang luar biasa ini. "Berhenti menggunakan alasan yang kamu sebut sebagai alasan yang terbaik untuk Perusahaan Regulus. Kamu hanya ingin mendapatkan relasi yang nggak pantas. Rieta, jangan membuatku menguak sem
Davira menganggukkan kepalanya kuat-kuat, berusaha sekuat tenaga untuk mengimbangi setiap kata yang diperintahkan Rieta.Valerio yang memperhatikan ini pun merasa sangat kesal. Hatinya berkecamuk, tetapi sikap dan raut wajahnya masih terlihat tenang.Satu-satunya hal yang dia harapkan saat ini adalah pengertian dari Briella.Dia sangat berharap kalau Briella tidak akan melihat konferensi pers hari ini dan tidak akan pernah tahu apa yang terjadi semalam.*Efek obat penenang yang disuntikkan ke dalam tubuh Briella berangsur-angsur menghilang. Dia pun terbangun dan berbaring di ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Tidurnya dihantui mimpi buruk, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Perasaan takut terus menerus membayanginya.Briella sudah bangun dan melirik kalender. Dia menghitung hari dan ternyata hari ini adalah hari di mana Valerio akan melakukan konferensi pers.Dia masih ingat apa yang dikatakan Valerio waktu itu. Kalau Briella bersedia muncul di konferensi pers bers
Briella menutupi perutnya dan berjalan keluar dari kamar. Dia menuruni tangga dan keluar dari vila.Menoleh kembali ke sekeliling vila yang sudah menahannya selama dua hari ini, ternyata tempat ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan rimbun. Briella bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di luar sana. Namun, dia berharap semuanya akan segera berakhir.Briella melihat kunci mobil di tangannya yang ditinggalkan Klinton di atas meja ruang tamu. Seharusnya ini kunci mobil yang terparkir di halaman vila.Dia berjalan ke arah mobil sport keren itu dan menekan tombol kuncinya. Pintu perlahan-lahan terbuka secara otomatis dan Briella masuk ke dalam mobil dengan gembira.Sudah lama sejak terakhir kali dia menyetir, jadi butuh beberapa saat untuk membiasakan diri dengan mobil ini. Akhirnya dia menguasainya, menyalakan navigasi dan melesat pergi dengan mobil sport itu."Nak, kita akan segera berangkat. Kamu harus tetap tenang."Telapak tangan Briella mengusap perutnya dengan lembut, berbicara