Davira berlutut di depan Valerio, membuat orang yang menyaksikan ini pun mendekat dan mengerumuni mereka.Hati Klinton terasa seperti teriris ribuan pisau saat melihat sikap adiknya yang menghancurkan dirinya sendiri seperti ini.Di satu sisi dia tidak tega, di sisi lain dia membenci Davira karena tidak bisa bersikap tegar. Sebagai seorang kakak, dia merasa sangat tidak berguna karena tidak bisa melakukan apa pun.Valerio menunduk, menatap wanita yang berlutut di depannya dan mengerutkan kening."Davira, berdirilah!"Davira melingkarkan tangannya di kaki Valerio, menatap pria itu dengan wajah dingin dan mulai menangis."Rio, tolong jangan tinggalkan aku. Lakukan apa pun yang kamu mau, yang penting biarkan aku tetap di sisimu. Aku nggak akan menghalangimu untuk bertemu dengan Briella, aku nggak akan menghentikannya untuk melahirkan anakmu."Valerio tertegun. Bagaimanapun, wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya. Meskipun dia tidak punya perasaan apa pun pada Davira, tetapi utang budi m
"Nggak! Aku nggak mau!" Davira menutup telinganya dan berteriak keras, "Aku akan pergi ke mana pun kamu pergi. Aku mau ikut kamu."Valerio menunduk dan berkata dengan nada memerintah, "Nggak bisa.""Kamu nggak kasih izin aku tinggal di Galapagos karena Briella ada di sana, begitu? Hatimu sudah berubah! Dialah orang yang kamu cintai! Penantian pahitku selama beberapa tahun ini dan semua kerja kerasku nggak bisa membuatku mendapatkan kembali kasih sayangmu untukku."Valerio terdiam. Davira tertawa getir, lalu menjatuhkan pandangannya dengan melihat ke arah pemandangan yang berlalu dengan cepat di luar jendela.Apa gunanya Davira hidup kalau di dalam hati Valerio tidak ada dirinya?Davira membuka jendela dan menjulurkan kepalanya, membuat tubuh bagian atasnya keluar dari mobil. Rasanya sangat menyakitkan, jadi lebih baik mati saja.Valerio terkejut saat melihat sikapnya dan langsung menepi ke sisi jalan. "Davira! Sadarlah."Wajah Davira pucat dan dia kembali bersandar pada sandaran kursi.
"Pak Klinton, anakku sedang menungguku di rumah, jadi aku cuma punya waktu setengah jam saja.""Kalau begitu, aku akan langsung ke intinya." Klinton menatap Briella yang begitu menawan. Bahkan Klinton sampai melupakan peringatan yang sudah dia susun saat dalam perjalanan ke mari."Kamu sangat cantik." Klinton tidak lupa mengungkapkan pujiannya."Terima kasih."Briella tersenyum tipis sebagai balasan. Dia sudah terbiasa dengan pujian atas kecantikannya."Mirip sekali dengan adikku."Briella bisa memahami maksud lain dari perkataan Klinton. Selama lima tahun ini, dia menjadi pengganti Davira. Saat itu, Valerio memilihnya juga karena dia memiliki paras yang mirip dengan Davira.Klinton meminta bertemu dengannya hari ini, sepertinya karena ingin membujuk Briella agar tidak merusak kebahagiaan adiknya, bukan?Briella menggenggam kedua tangannya dengan erat dan sedikit bersandar ke belakang. Sikapnya ini memancarkan ketenangan dan rasa percaya diri yang kuat.Sambil mengaduk kopi di cangkirn
"Cuma kamu yang bisa melepaskan simpul di hati adikku.""Aku nggak punya kemampuan sehebat itu." Briella mengangkat bahunya. "Jangan bilang Pak Klinton ingin aku menyelesaikan semua masalah ini? Berapa banyak yang ingin kamu berikan untuk meyakinkanku?""Kamu benar-benar wanita mata duitan." Klinton mengeluarkan selembar cek senilai dua miliar dari saku jasnya, lalu meminta pulpen kepada pelayan untuk membubuhkan tanda tangannya.Bagi tuan muda kaya sepertinya, uang dua miliar bukanlah jumlah yang banyak, hanya satu tetes dari air di dalam ember.Briella melirik deretan angka nol di cek itu dan berkata dengan tenang. "Pak Klinton benar-benar sangat murah hati. Hanya saja, aku nggak akan menerima uang itu. Katakan saja, apa yang kamu ingin aku lakukan? Kamu ingin aku merusak reputasiku dan meninggalkan Kota Tamar sebagai wanita simpanan? Atau ingin aku mengakhiri hubunganku dengan Valerio dan menghilang sepenuhnya?""Kamu cukup pintar untuk tahu apa yang harus dilakukan.""Aku paham. Be
Menyembunyikan keberadaannya dari semua orang? Hati Briella tercekat. Bagaimana cara melakukannya? Dia masih harus menjaga ibu dan putranya. Bukankah sangat tidak bertanggung jawab kalau dia pergi begitu saja?"Bagaimana? Tertarik buat kerja sama?""Begini." Briella mengambil sikap seperti seorang bos. "Untuk masalah itu beda harga."Klinton tidak bisa menahan senyumnya. "Nona Briella, kamu memperlakukan percakapan kita seperti sebuah negosiasi. Bukankah kamu terlalu mendalami sandiwaramu?""Aku nggak pernah melakukan sandiwara dan memperlakukan semua orang dengan niat baik.""Lima tahun kebersamaanmu dengan Valerio, bukankah itu hanya sandiwara?"Briella bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Ya, lima tahun melakukan sandiwara dengan Valerio, lima tahun menyembunyikan masa lalunya bahkan masa sekarang, bukankah Briella melakukan itu hanya untuk mendapatkan uang."Aku nggak akan berhubungan lagi dengan Pak Valerio. Selain itu, aku sudah pindah dari rumahnya.""Baguslah kalau
"Nak, kamu nggak takut melihat tayangan seperti itu?" Briella berjalan mendekat dan mengambil remot untuk mengganti saluran televisi. "Mama carikan kartun yang cocok untukmu.""Jangan." Zayden merebut remot dari Briella. "Aku lebih suka menonton Animal World.""Kenapa?""Yang kuat akan bertahan. Itu hukum alam dan cocok dengan dunia manusia. Apa Mama nggak merasa kalau tayangan seperti menarik?"Briella melirik ke arah televisi yang menunjukkan gambar singa yang sedang membelah kijang menjadi beberapa bagian. Gambar itu membuat Briella mual dan menutup mulutnya. Dia bahkan pergi ke kamar mandi untuk muntah."Mama kenapa?"Melihat hal ini, Zayden langsung turun dari sofa dan mengikuti Briella ke kamar mandi.Zayden sedikit panik ketika melihat Briella berdiri di depan wastafel dan muntah-muntah."Mama, sudah mendingan? Mau aku telepon ambulans.""Nggak perlu." Briella menegakkan tubuhnya, lalu berkumur. Meskipun rasanya sangat tidak nyaman, tetapi dia akan berpura-pura tenang agar putra
Bagaimana Valerio bisa menemukan tempat mereka secepat ini.Zayden membuka pintu sedikit. Melalui celah sempit di pintu, dia melihat pria itu berdiri di ambang pintu dan terlihat sedikit cemas.Zayden berpikir kalau Mama pulang tanpa berpamitan dengan Om Valerio. Mungkin Om Valerio marah."Siapa?""Zayden, buka pintunya.""Nggak bisa. Mama bilang jangan buka pintu untuk orang asing.""Aku Valerio.""Om Valerio, Mama sakit. Apa kamu bisa membawanya ke rumah sakit?"Suara Valerio terdengar lebih dingin dibandingkan sebelumnya. "Buka pintunya."Zayden ragu sejenak. Namun, dia sudah menghubungi Om Nathan ....Terserah. Dia akan meminta tolong kepada siapa pun yang datang.Begitu Zayden membuka pintu, Valerio langsung melangkah masuk."Di mana Mamamu?"Zayden menunjuk ke arah kamar tidur. "Om Valerio, kamu harus menolong Mama. Dia demam."Valerio melangkah masuk ke kamar tidur. Setelah masuk, Briella demam dan kesadarannya sangat lemah. Dia melihat seorang pria di samping tempat tidurnya, t
"Selama ini kamu dan Zayden tinggal di sini?"Briella memegang gelas airnya dan melihat sekeliling ruangan. Ruangan ini memang cukup sederhana, tetapi nyaman dan bersih. Dia tidak merasa rendah diri karena tinggal di sini."Ya. Ini sudah termasuk lumayan. Aku bahkan pernah tinggal di kontrakan yang harus berbagi dengan orang lain, yang ada belasan orang di ranjang susun. Kalau ke kamar mandi pun harus antre. Yang ini masih lumayan dibandingkan rumah sewa waktu itu."Valerio tidak tahan lagi mendengar penuturan Briella. Dia memang tidak berguna karena tidak bisa melindungi wanitanya sendiri."Kamu pakai buat apa uang yang aku kasih selama ini?""Untuk sekolah Zayden dan biaya pengobatan ibuku.""Kenapa nggak bilang padaku?" Valerio menunjukkan wajah cemberut. "Seharusnya kamu bilang padaku."Tampaknya Briella menyembunyikan terlalu banyak hal dari Valerio, yang menunjukkan kalau dia tidak percaya kepada Valerio."Kalau aku bilang sama Pak Valerio, pasti Pak Valerio hanya akan membenciku
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu