RINDU YANG TERLUKA- Kejutan "Kamu serius dengan ucapanmu ini?" Pak Farhan terkejut dengan keputusan Daffa yang bilang ingin pindah ke Malang. Dia juga menceritakan pertemuannya dengan keluarga Abila tadi malam.Tidak hanya Pak Daffa, Ika yang di sana juga kaget. Tentu setelah pengkhianatan suami dan perusahaan yang sedang tidak baik-baik saja, keberadaan Daffa sangat diperlukan.Namun ia tidak punya kuasa untuk menahan adiknya. "Apa Rin nggak mempertimbangkan tawaran papa. Di sini karirnya bisa lebih cepat menanjak, dia juga bisa kembali ke kampus untuk mengambil spesialis yang dia minati. Coba kamu bicarakan ini dengan Rin, Fa. Papa rasa dia punya banyak kesempatan untuk mengambil spesialis yang diinginkan.""Jangan paksa, Pa," sela Bu Tiwi. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan menantunya. Dari cerita Daffa tadi, luka sang menantu sangat terasa hingga ke relung hati."Mama mengerti sekali dengan keputusan Rin yang nggak ingin kembali ke Surabaya. Tentu nggak gampang menoleransi
Rinjani tersenyum samar. Capek banget malah. Sejak kemarin memang sudah tidak enak badan. Mereka berdua bergabung dengan rekan-rekannya. Satu jam kemudian Daffa datang menjemput. Rinjani menyalami dan pamitan hendak pulang lebih dulu."Kita jemput Noval dulu di rumah mama.""Ya."Daffa menyentuh kening istrinya. Tidak panas lagi tapi wajah Rinjani masih pucat. "Kamu tadi minum obat?""Hu um." Rinjani memejam. Tak sabar ingin segera sampai Malang dan melabuhkan raganya di pembaringan. Semenjak peristiwa tadi malam, rasanya tidak sabar ingin meninggalkan kota ini. Padahal dia juga belum bertemu dengan om dan tantenya. Hanya sempat menelepon saja.Mobil berhenti di depan rumah sang mertua. Noval yang sudah menunggu di teras girang melihat mamanya datang. Ia pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan teman-temannya di Malang."Rin, kamu sakit?" Bu Tiwi memperhatikan sang menantu yang mencium tangannya. Kemudian mengajak duduk di ruang keluarga."Hanya kecapekan, Ma," jawab Rinjani sambi
Saat dalam lamunan, wanita itu terkesiap ketika Daffa mengagetkan dengan mencium bibirnya. "Maafkan mas," ucapnya seraya menatap lembut.Tubuh Rinjani menghangat dan rasa aneh menjalar di setiap aliran darah dikala tatapan menuntut dan s*ntuhan Daffa membuainya. Tidak mungkin dia akan kembali menolak. Daffa memang bersalah, tapi sudah berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan maafnya."Maafkan mas. Mas tahu kamu butuh istirahat, Rin. Tapi mas kangen." Daffa menatap lekat manik bening yang membalas tatapannya. "I love you." Ucapan itu dibalas Rinjani dengan tetesan embun bening di sudut mata. Perasaannya sangat sensitif beberapa hari ini.Tatapan matanya mungkin menolak, tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Lengannya memeluk punggung kokoh itu ketika badai yang manis itu menghantamnya berkali-kali.***L***Senin pagi Daffa tergesa menemui Teddy di ruangannya. Tak sabar ingin tahu siapa orang yang membantu Abila mengakses kamarnya."Sorry, kemarin aku nganterin Rin dan Noval ke Malang, B
RINDU YANG TERLUKA - Kehamilan Daffa mengusap lembut perut Rinjani dan merasakan ada gundukan kecil. Dada Daffa berdebar hebat. Bersama Rinjani beberapa tahun, dia yakin kalau istrinya sedang hamil. Pinggang Rinjani ramping, perutnya rata. Kalau sekarang ada bukit kecil itu, jelas saja istrinya sedang berbadan dua.Bahagia tapi juga kecewa. Kenapa dirinya tidak diberitahu. Dipandanginya lekat Rinjani yang diam dan tenang. "Sudah berapa bulan?""Dua belas minggu." Rinjani menaruh tas kerjanya di atas meja. Kemudian duduk di kursi ruang tamu diikuti oleh Daffa."MasyaAllah, Rin. Sudah tiga bulan dan kamu nggak ngasih tahu suamimu?" "Sebenarnya aku mau ngasih tahu waktu datang ke Surabaya. Ingat nggak saat aku menyusul mas ke kantor sore itu dan bertemu Abila di sana. Aku mau ngajak makan malam sekalian ngasih kejutan, tapi justru aku yang dapat kejutan."Daffa menelan saliva. Tidak hanya Rinjani, tapi kejadian sore itu memang sangat mengejutkan baginya. "Setelah itu kamu nggak ada ni
"Belum tahu, Mas. Dua minggu lagi jadwal periksa. Semoga sudah bisa dilihat dia cewek apa cowok.""Tunggu mas pulang dulu baru periksa."Rinjani mengangguk. Daffa duduk di lantai, tepat di depan perut istrinya. Mengusap lembut permukaan perut itu. Harapannya terkabul. Setelah ini tidak ada alasan untuk Rinjani kabur darinya. Mereka akan membesarkan anak-anak bersama.Kebahagiaannya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Pantas saja semingguan ini rasanya tidak tahan untuk segera pulang bertemu Rin dan Noval. Jengkel kalau telepon atau pesannya tidak segera dibalas oleh Rinjani. Beberapa kali video call, dia sempat heran dengan wajah Rinjani yang terlihat berisi. Dia kira gemuk biasa, ternyata ada benihnya yang tumbuh di rahim perempuannya."Papa dan mama pasti bahagia mendengar kabar ini, Rin."Rinjani tersenyum."Noval tahu kalau mau punya adik."Rinjani menggeleng. Dahi Daffa mengernyit. "Noval pun nggak kamu kasih tahu?" "Bukan nggak mau ngasih tahu. Tapi belum kukasih tahu. Lastri
Yansa akhirnya masuk penjara juga. Sekalipun sang papa telah menempuh berbagai cara untuk membebaskannya, tapi gagal. Semua bukti atas kasus korupsinya terkuak. Rumah tangganya kacau karena ketahuan selingkuh."Setelah perceraiannya beres, Mbak Ika mau ngajak anak-anak mengunjungi kalian di Pujon.""Monggo," jawab Rinjani sambil menyesap jus mangga."Pasti mama mau ikut ke sini lagi kalau mas kasih tahu kamu sedang hamil. Apa mama nggak curiga saat menginap sama papa di Pujon sebulan yang lalu?""Mama merhatiin, sih. Terus bilang aku agak berisi. Mungkin dalam hati beliau sempat menduga aku hamil, cuman beliau nggak ngomong apa-apa."Daffa mengajak pulang jam sembilan malam. Noval langsung masuk kamar dan tidur. Begitu juga dengan Daffa dan Rinjani. Suhu malam itu mencapai 15°C. Namun Rinjani memakai daster mini di atas lutut tanpa lengan. Semenjak hamil ini bawaannya selalu gerah."Kamu ngidam apa tiga bulan ini?" tanya Daffa setelah mereka di atas tempat tidur."Nggak ada, Mas. Sama
RINDU YANG TERLUKA - SesalSeorang wanita usia sekitar dua puluh lima tahun membuka pintu setelah Pak Farhan mengetuknya dua kali. "Siapa, Anda?" tanyanya heran karena belum pernah melihat Pak Farhan."Saya Pak Farhan dan ini istri saya."Wanita itu terdiam sejenak memperhatikan Pak Farhan dan Bu Tiwi bergantian."Oh, mari silakan masuk!"Pak Farhan dan Bu Tiwi masuk ruang perawatan. Duduk di sofa mepet dinding yang berseberangan dengan brankar.Dalam kamar itu hanya ada wanita muda tadi dan seorang wanita dengan rambut memutih, terbaring lemah di atas tempat tidur. Kondisi yang sangat memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus dan terlihat renta.Bu Tiwi prihatin dengan kondisi perempuan yang pernah memporak-porandakan rumah tangganya tiga puluh tahun yang lalu. Sekarang terkapar tak berdaya di hadapannya. Tubuh cantik molek dulu, kini hanya terbalut kulit dan tulang."Nama saya Bu Tiwi. Mbak, siapanya Bu Dira?" tanya Bu Tiwi setelah beberapa saat hening. Jujur saja gadis yang sangat mir
Di tengah perbincangan, pintu ruangan terkuak. Masuk seorang wanita seumuran Bu Tiwi. Segera disalaminya Pak Farhan dan istrinya. "Pak Farhan, baru ketemu lagi setelah puluhan tahun," ujarnya sambil tersenyum ramah."Apa kabar, Bu Dipta?""Kabar baik. Senang bertemu Anda, Bu Tiwi." Bu Dipta memandang Bu Tiwi. Dijawab anggukan kepala oleh wanita itu."Terima kasih sudah sudi datang menjenguk. Keadaan Dek Dira sudah seperti ini, jangan sampai dia pergi tanpa minta maaf pada Bu Tiwi terutama. Sejak kemarin Dek Dira ingin bertemu Bu Tiwi. Makanya saya suruh suami menghubungi Pak Farhan." Bu Dipta menjelaskan.Pak Farhan permisi keluar untuk menerima telepon dari Daffa. Zaskia juga permisi hendak ke kantin. Tinggal bertiga di dalam kamar."Beginilah keadaannya dalam waktu berbulan-bulan ini." Bu Dipta beranjak menghampiri brankar dan disentuhnya lengan sang adik ipar. Bu Tiwi juga menghampiri. "Maafkan ipar saya, Bu. Pernah menjadi duri dalam pernikahan Bu Tiwi dan Pak Farhan. Dulu saya s
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k