Pak Farhan menatap arakan mega di langit sore yang redup. Pulang dari kantor langsung mandi dan duduk di kursi belakang rumah. Sabtu biasanya libur, tapi hari ini ada meeting hampir seharian. Tentu saja membahas tentang Bobby. Sebelum persoalan ini selesai, keluarganya memang harus siap mental berhadapan dengan keluarga besar. Juga harus bersiap-siap kalau mereka menginginkan keluarga Pak Farhan juga diperiksa."Om Farhan, Daffa, Ika, Irene, dan Radit juga harus diperiksa. Siapa tahu mereka bersekongkol." Ini ucapan salah satu keponakannya yang tidak sengaja di dengar oleh Pak Farhan. Namun lelaki itu memilih diam. Biar waktu yang membuktikan.Peristiwa dua hari yang lalu masih mengusik pikirannya. Bukan hanya tentang kecurangan di perusahaan yang akhirnya terungkap setelah penggerebekan Bobby. Tapi yang membuatnya sangat cemas sekarang tentang seseorang yang ternyata ada dibalik kekacauan rumah tangga putrinya.Lelaki yang sudah lama tidak bertemu setelah ia memutuskan untuk menyuda
Sore tadi Daffa sudah menelepon ketika perjalanan ke Malang. Tapi dia juga bilang kalau ingin menemui Bre lebih dulu.Seharusnya malam ini mereka staycation seperti perencanaan sebelumnya. Tapi harus ditunda dan Rinjani tidak keberatan. Karena ia pun sangat lelah."Aku bikinin teh, ya." Rinjani meletakkan buket bunga di atas meja, lantas merenggangkan lengan Daffa yang melingkar di pinggangnya."Kopi saja.""Kopi?" Rinjani memandang ke arah jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam, suaminya minta dibuatkan kopi."Kenapa?" Daffa membalas tatapan istrinya."Mas, nanti nggak bisa tidur. Ingat nggak, kalau Mas minum kopi jam segini, jam empat pagi baru bisa tidur karena kafeinnya baru hilang.""Kan mas memang nggak pengen tidur.""Ish, aku tahulah apa maumu." Rinjani memberikan cubitan di perut sang suami yang membuat Daffa kaget. "Memangnya kamu nggak kangen?"Rinjani memutar bola mata yang membuatnya dihadiahi kecupan oleh Daffa. Sebenarnya dia sangat lelah. Sejak pagi banyak pasien. Sian
RINDU YANG TERLUKA - Setelah 30 Tahun Pak Farhan gelisah malam itu. Kamar terasa gerah meski pendingin ruangan menyala sempurna. Pesan tadi membuat dirinya resah tak terkira. Setelah berpuluh tahun tenang, kini kembali was-was.Selepas berhasil menghancurkan hidup putrinya, apa yang direncanakan oleh Pak Dipta untuknya. Membalas dendam sampai ke akar-akarnya?"Pa, kenapa belum tidur?" Bu Tiwi yang terjaga memandang heran pada sang suami. Pak Farhan jarang sekali begadang kecuali ada sesuatu yang membebani pikirannya. Setelah melewati pernikahan berpuluh tahun, dia sangat hafal kebiasaan sang suami."Papa, mikirin sidangnya Ika?""Ya." Pak Farhan mengangguk. Tidak mungkin akan memberitahu sang istri tentang sisa masa lalu yang kembali mengusik. Mengingat pengorbanan istrinya sehebat itu, tidak tega rasanya kembali menyeret pada pusaran masa lalu yang kelam. Pak Farhan memeluk Bu Tiwi. Wanita hebat yang masih bertahan disisinya dalam kondisi apapun. Mengantarkan anak-anak mereka menj
Sambil bersandar di jok mobil, ia menarik napas dalam-dalam. Perselingkuhan mewarnai kehidupan dunia sekarang ini. Termasuk dia sebagai pelakunya. Daffa teringat Abila yang sempat mengacaukan kehidupannya beberapa waktu lalu. Apa yang tengah direncanakan oleh perempuan ini?Daffa tidak ingin rumah tangganya kembali terusik jika gadis itu datang lagi. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain diam dan waspada.Beberapa menit kemudian, Daffa meluncur kembali ke kantor. Baru saja membuka pintu mobil, Yansa datang dan parkir tepat disampingnya. "Dari mana, Mas?" "Ketemuan sama klien," jawab Yansa sambil lalu. Daffa pun melangkah di belakangnya dan mereka sama-sama masuk kantor tanpa bicara apapun.Baru duduk di kursinya, ponsel di saku celana berdering. Ada panggilan masuk dari Rinjani. Padahal Daffa mengirimkan pesan sudah sejam yang lalu, saat dirinya tengah makan siang bersama team kerjanya."Hallo, Rin.""Maaf, aku tadi sibuk banget, Mas. Baru sempat buka ponsel.""Tidak apa-apa. Ka
"Ketemuan sama relasi lama papa. Kebetulan dia ada di Surabaya sekarang ini. Mumpung di sini, makanya ngajak ketemuan.""Kenapa nggak di undang ke rumah kita saja, Pa?""Dianya yang sungkan. Papa hanya menemuinya sebentar. Setelah itu langsung pulang."Bu Tiwi mengangguk. Pak Farhan bangkit dan masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Sedangkan Bu Tiwi kembali ke ruang kerja untuk mengambil ponselnya.Lima menit kemudian Pak Farhan pamitan sambil meraih kunci mobil. "Papa, nyetir sendiri?" Bu Tiwi kaget. Sebab sudah beberapa tahun ini Pak Farhan jarang nyetir sendiri malam hari. Kalau siang masih sering."Iya, Ma. Pak Wono belum kembali nganterin Zahra dan Alitha les.""Papa tunggu saja sebentar lagi. Atau di telepon biar lekas kembali.""Nggak usah, Ma. Lagian papa cuman sebentar.""Ketemuan di mana sih, Pa?" Bu Tiwi penasaran sekaligus merasa heran. "Di kafe. Nggak jauh dari rumah. Papa pergi dulu." Pak Farhan tergesa keluar rumah. Bertahun-tahun menjadi suami istri, Bu Tiwi mer
RINDU YANG TERLUKA- Wanita Hebat Bu Tiwi duduk di sebelah suaminya, sedangkan Daffa duduk dan pesan minuman di meja lain. Degup jantung Pak Farhan berdetak hebat. Kekhawatiran membuatnya sesak nafas. Bagaimana bisa sang istri menyusulnya ke kafe itu. Padahal dia tidak cerita apapun padanya.Tidak hanya Pak Farhan yang terkejut dengan kehadiran Bu Tiwi dan Daffa, tapi juga Pak Dipta. Tiga puluh tahun yang lalu mereka pernah bertemu. Wanita yang tanpa gentar menghadapinya. Dengan tegas berani membantah ucapannya sambil menggendong anak lelaki kecil umur dua tahun."Apa hak kalian menyuruhku pergi dari kehidupan suamiku. Tidak tahu malu kalian ini. Sudah kuberi pilihan yang terbaik, malah minta hal yang sangat nggak tahu diri. Aku istri sahnya, lalu kamu siapa? Hanya selingkuhan bukan. Perempuan murahan yang nggak tahu malu. Sekaya apapun kalian, sama sekali nggak ada harganya di hadapanku. Kalian jauh lebih terhormat perempuan miskin yang bisa menjaga harga diri dan kehormatannya. Ngg
"Kamu ingin tahu apa yang terjadi pada adik saya setelah ditinggalkan dan kehilangan anaknya?" Pak Farhan mengarahkan ponselnya pada Bu Tiwi."Saya sudah tahu semuanya. Tidak perlu Anda tunjukkan video itu pada saya. Karena pada dasarnya saya tidak wajib bertanggungjawab dengan apa yang sudah terjadi. Bukankah dulu saya mengizinkan suami saya menikahi adik Anda, Pak Dipta."Saya bersedia dimadu agar bayinya juga memiliki ayah. Saya memang tidak mau memberikan tanda tangan untuk pernikahan resmi di KUA. Kalau saya tidak mau menandatangani surat persetujuan, itu hak saya, kan? Hak seorang istri yang sudah dikhianati sebelumnya."Tapi Anda dan Dira justru meminta hal yang paling tidak tahu diri. Kalian pikir kekayaan dan kekuasaan kalian bisa menyingkirkan saya? Walaupun begitu, saya juga tetap memberikan pilihan pada Pak Farhan untuk membuat keputusan. Silakan tinggalkan saya dan anak-anak jika Dira menentukan syarat harus menceraikan saya agar bisa menikahinya."Kalau pada akhirnya Pak
Mereka sampai rumah hampir bersamaan. Di halaman sudah ada mobil Ika dan Irene. Dua anak perempuan itu duduk menunggu di ruang televisi.Keduanya tampak heran saat Bu Tiwi datang dengan wajah muram. Kemudian papa mereka menyusul di belakang dengan wajah cemasnya."Ada apa, Ma?" tanya Ika sambil mencium tangan sang mama. Ia menatap bergantian antara papa dan mamanya. Sedangkan Daffa sudah duduk di salah satu sofa.Sejenak hening menjeda. Bu Tiwi langsung melangkah masuk dalam kamar."Ada yang ingin papa bicarakan." Pak Farhan akhirnya yang bicara. Lelaki itu duduk tak jauh dari putranya.Setelah menarik napas panjang dan menata hatinya, Pak Farhan mulai bercerita. Tentang kisah kelam yang berimbas pada balas dendam dan menghancurkan pernikahan Ika. Meminta maaf pada anak-anaknya untuk pengkhianatannya berpuluh tahun lalu. Tidak perlu lagi menutupi rahasia itu. Biarkan anak-anak tahu.Pak Farhan tidak bisa menahan air mata. Menyesali apa yang terjadi dan menyakiti mama mereka. Menjelask
Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k