"Ketemuan sama relasi lama papa. Kebetulan dia ada di Surabaya sekarang ini. Mumpung di sini, makanya ngajak ketemuan.""Kenapa nggak di undang ke rumah kita saja, Pa?""Dianya yang sungkan. Papa hanya menemuinya sebentar. Setelah itu langsung pulang."Bu Tiwi mengangguk. Pak Farhan bangkit dan masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Sedangkan Bu Tiwi kembali ke ruang kerja untuk mengambil ponselnya.Lima menit kemudian Pak Farhan pamitan sambil meraih kunci mobil. "Papa, nyetir sendiri?" Bu Tiwi kaget. Sebab sudah beberapa tahun ini Pak Farhan jarang nyetir sendiri malam hari. Kalau siang masih sering."Iya, Ma. Pak Wono belum kembali nganterin Zahra dan Alitha les.""Papa tunggu saja sebentar lagi. Atau di telepon biar lekas kembali.""Nggak usah, Ma. Lagian papa cuman sebentar.""Ketemuan di mana sih, Pa?" Bu Tiwi penasaran sekaligus merasa heran. "Di kafe. Nggak jauh dari rumah. Papa pergi dulu." Pak Farhan tergesa keluar rumah. Bertahun-tahun menjadi suami istri, Bu Tiwi mer
RINDU YANG TERLUKA- Wanita Hebat Bu Tiwi duduk di sebelah suaminya, sedangkan Daffa duduk dan pesan minuman di meja lain. Degup jantung Pak Farhan berdetak hebat. Kekhawatiran membuatnya sesak nafas. Bagaimana bisa sang istri menyusulnya ke kafe itu. Padahal dia tidak cerita apapun padanya.Tidak hanya Pak Farhan yang terkejut dengan kehadiran Bu Tiwi dan Daffa, tapi juga Pak Dipta. Tiga puluh tahun yang lalu mereka pernah bertemu. Wanita yang tanpa gentar menghadapinya. Dengan tegas berani membantah ucapannya sambil menggendong anak lelaki kecil umur dua tahun."Apa hak kalian menyuruhku pergi dari kehidupan suamiku. Tidak tahu malu kalian ini. Sudah kuberi pilihan yang terbaik, malah minta hal yang sangat nggak tahu diri. Aku istri sahnya, lalu kamu siapa? Hanya selingkuhan bukan. Perempuan murahan yang nggak tahu malu. Sekaya apapun kalian, sama sekali nggak ada harganya di hadapanku. Kalian jauh lebih terhormat perempuan miskin yang bisa menjaga harga diri dan kehormatannya. Ngg
"Kamu ingin tahu apa yang terjadi pada adik saya setelah ditinggalkan dan kehilangan anaknya?" Pak Farhan mengarahkan ponselnya pada Bu Tiwi."Saya sudah tahu semuanya. Tidak perlu Anda tunjukkan video itu pada saya. Karena pada dasarnya saya tidak wajib bertanggungjawab dengan apa yang sudah terjadi. Bukankah dulu saya mengizinkan suami saya menikahi adik Anda, Pak Dipta."Saya bersedia dimadu agar bayinya juga memiliki ayah. Saya memang tidak mau memberikan tanda tangan untuk pernikahan resmi di KUA. Kalau saya tidak mau menandatangani surat persetujuan, itu hak saya, kan? Hak seorang istri yang sudah dikhianati sebelumnya."Tapi Anda dan Dira justru meminta hal yang paling tidak tahu diri. Kalian pikir kekayaan dan kekuasaan kalian bisa menyingkirkan saya? Walaupun begitu, saya juga tetap memberikan pilihan pada Pak Farhan untuk membuat keputusan. Silakan tinggalkan saya dan anak-anak jika Dira menentukan syarat harus menceraikan saya agar bisa menikahinya."Kalau pada akhirnya Pak
Mereka sampai rumah hampir bersamaan. Di halaman sudah ada mobil Ika dan Irene. Dua anak perempuan itu duduk menunggu di ruang televisi.Keduanya tampak heran saat Bu Tiwi datang dengan wajah muram. Kemudian papa mereka menyusul di belakang dengan wajah cemasnya."Ada apa, Ma?" tanya Ika sambil mencium tangan sang mama. Ia menatap bergantian antara papa dan mamanya. Sedangkan Daffa sudah duduk di salah satu sofa.Sejenak hening menjeda. Bu Tiwi langsung melangkah masuk dalam kamar."Ada yang ingin papa bicarakan." Pak Farhan akhirnya yang bicara. Lelaki itu duduk tak jauh dari putranya.Setelah menarik napas panjang dan menata hatinya, Pak Farhan mulai bercerita. Tentang kisah kelam yang berimbas pada balas dendam dan menghancurkan pernikahan Ika. Meminta maaf pada anak-anaknya untuk pengkhianatannya berpuluh tahun lalu. Tidak perlu lagi menutupi rahasia itu. Biarkan anak-anak tahu.Pak Farhan tidak bisa menahan air mata. Menyesali apa yang terjadi dan menyakiti mama mereka. Menjelask
RINDU YANG TERLUKA- Tak Pernah SembuhDada Pak Farhan terasa sesak dan pengap. Kesedihan luar biasa mendera dan menyiksa. Diimpit rasa bersalah demikian dalamnya. Timbul ketakutan bahwa ia bisa kehilangan Bu Tiwi dalam waktu yang tidak disangka.Wanita di sampingnya duduk tenang dengan tatapan tanpa beralih dari luar kamar. Lewat jendela kaca ia melihat siluet tanaman bunga kesayangannya bergoyang diembus angin malam. Sudah hampir sebulan ini tidak turun hujan. Musim kemarau dengan hawa bediding yang dingin di tengah malam telah tiba."Maafkan papa, Ma." Pak Farhan berucap lirih sambil memandang Bu Tiwi. Bingung hendak bicara apa. Tidak ada kata yang bisa diucapkan untuk menunjukkan penyesalannya."Sudah lama aku memaafkanmu, Pa. Setelah aku tahu semuanya aku tetap memaafkan. Dan tidak selangkah pun aku meninggalkan rumah ini."Dada Pak Farhan kian sesak. Nafas seolah hanya tertinggal di tenggorokan saja. Dia benar-benar malu berhadapan dengan wanita yang begitu tenang dan tegar di
Bagi orang lain, mungkin keputusan Bu Tiwi begitu bodoh. Kenapa bertahan dan tidak pergi saja meninggalkan suami yang sudah tega berbagi raga dan rasa pada wanita lain. Sekarang untuk kedua kalinya ia mengizinkan sang suami menemui wanita yang sudah membuatnya terluka. "Papa nggak akan pergi ke manapun, Ma. Kalau ini dosa besar, biarlah papa yang menanggungnya. Papa akan tetap di sini bersama kalian." Pak Farhan bicara sambil menunduk. Tak sanggup lagi bertentang mata dengan istrinya."Bertaubat, Pa. Masih ada kesempatan untuk kita menebus dosa pada Allah. Allah maha pemaaf, tapi kesalahan pada manusia, hanya akan diampuni jika orang yang kita sakiti juga memaafkan. Temui mereka dan minta maaflah!"Pak Farhan terhenyak. Terbuat dari apakah hari istrinya. Setelah disakiti sedemikian rupa, masih juga sudi mengingatkan dan membimbingnya.Untuk beberapa lama keduanya saling diam dan malam kian larut.Bu Tiwi masih menatap ke arah yang sama. Langkahnya sudah sejauh ini. Bertahan dalam luk
Turun dari mobil, Rinjani diam sejenak untuk menghirup udara di halaman rumah yang sudah berbulan-bulan ditinggalkan. Mereka disambut suka cita oleh Mak Sum. Lastri menangis bisa memeluk perempuan tua yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Mak Sum juga mengendong Noval sebentar. Rinjani memberikan oleh-oleh khas Malang pada wanita yang sudah lama mengabdi pada keluarganya.Noval masuk ke kamarnya bersama Lastri. Bocah itu kangen dengan mainannya di sana."Kenapa nggak naik bis patas?" tanya Daffa setelah Rinjani selesai mandi dan salat zhuhur."Kami ketinggalan beberapa menit tadi. Sebab sampai terminal Arjosari sudah siang. Kalau nunggu bis patas berikutnya, kelamaan. Makanya naik yang ada saja. Lumayan tiga orang cuman bayar 60 ribu.""Astaga. Bikin mas cemas saja. Di telepon nggak ada yang ngangkat.""Ponselnya Lastri ketinggalan di rumah, Mas. Kalau ponselku memang ada di tas. Tapi aku silent. Mas, bilang tadi pagi ada meeting, kan? Kupikir nggak bisa jemput. Mas, juga ngasi
RINDU YANG TERLUKA - Cerita yang Sesungguhnya Cantik. Luka di pipi sudah lenyap berganti dengan pipi mulus tanpa cacat. Jemarinya lentik, kutek warna soft pink dengan hiasan manik-manik kecil yang berkilau saat jemarinya bergerak.Jadi ini alasan Abila menghilang beberapa minggu ini. Daffa bangkit dari duduknya. "Kita keluar." "Ke mana, Mas?"Tanpa mendengarkan pertanyaan gadis itu, Daffa terus melangkah melewati lorong untuk menuju lift. Bahaya sekali kalau mereka berbincang di ruangannya. Sesuatu yang tidak diduga bisa saja terjadi, bahkan mengancam rumah tangganya yang sudah tenang. Apalagi Rinjani ada di Surabaya sekarang. Daffa cemas.Beberapa staf diam-diam memperhatikan dengan ujung mata dari balik papan penyekat meja kerja mereka.Siapa yang tidak kenal Abila dan hubungan yang sempat membuat kantor heboh beberapa bulan yang lalu. Semua karyawan tahu kisah bos mereka dengan gadis cantik bertubuh aduhai. Tinggi semampai, putih, dan menawan.Daffa duduk di ruang tamu kantor.