"Aku sangat puas dengan kamu, bagaimana kalau extend satu minggu lagi?" ucap seorang lelaki sambil memegang tangan perempuan di hadapannya.
"Makasih, tapi seminggu ke depan jadwal aku full. Kamu bisa tanya agency ya kapan free time nya aku..." "Pasti, aku pasti akan menghubungi kamu lagi!" "Iya, kutunggu. Terima kasih Reno sudah pakai jasa sewa pacar di Faux Love. Nanti kasih aku bintang lima ya di aplikasi. See you..." Perempuan itu mengecup pipi laki-laki yang duduk di depannya. Mereka baru selesai makan siang bersama, tapi harus berpisah karena jam rental sudah habis. Kisah kasih antara talent dan klien yang disatukan oleh Faux Love Agency sedang menjadi topik hot di sosial media. Muda-mudi kesepian yang ingin merasakan sensasi berpacaran bisa menyewa pacar di agensi tersebut. Tidak hanya pacar, tapi ada juga sewa teman curhat online. Hanya menginstal sebuah aplikasi, masalah sepi hati mudah teratasi. Adalah Jazz, salah satu pilihan talent terbaik yang sering dipilih sebagai pacar sewaan. Penilaian ratingnya sempurna bintang lima, bahkan sudah memiliki daftar waiting list klien sampai akhir tahun. "Dia baik, senyumnya manis dan suaranya bagus." "Mirip personil girlband korea!" "Suaranya manja, bikin kangen. Dia juga baik membantu mengerjakan skripsi aku." "Sudah empat kali repeat sewa, aku rasa aku memang jatuh cinta dengannya..." Begitulah beberapa testimoni klien untuk talent Jazz yang sekarang berada pada level superstar. Semua ramai memperbincangkannya, berebut ingin menjadikannya sebagai pacar walau hanya sewa. Ada beberapa pilihan paket kencan yang bisa dipilih. Standar, premium, dan VIP. Untuk paket standar mulai dari dua ratus ribu sampai satu juta rupiah per delapan jam. Premium berkisar dua sampai lima juta per dua belas jam. Paket VIP mulai sepuluh sampai dua puluh juta per dua puluh empat jam. Beda level paket, beda juga kualitas talent nya. Jazz menjadi talent untuk paket standard dan premium, dia menolak masuk VIP karena klien level itu kebanyakan om-om binal haus belaian. Dia lebih suka bicara dan bergaul dengan klien sebaya atau beberapa tahun lebih tua saja. Paket kencan standar, biaya sewa lima ratus ribu per hari. Boleh juga, lebih hemat setengah harga dari biaya sewa dirinya. Talent dengan range harga segitu biasanya kategori rising star, masih baru bergabung alias minim pengalaman tapi punya potensi jadi superstar lebih cepat. Tahukah, alasan Jazz bersedia menjadi talent karena dia bosan dalam hubungan resmi. Dia tidak suka rutinitas pacaran yang monoton. Semakin lama waktu pacaran pun cenderung menurunkan indeks kepuasan dan kualitas hubungan. Skala getaran dag-dig-dug hilang, lama-lama jadi mati rasa. Itu kesimpulan yang ditarik berdasarkan pengalaman empat kali pacaran. Ada kalanya ia merasa kebutuhan hati perlu terpenuhi. Hampir tiap hari jalan dengan berbeda laki-laki, tapi klien tetaplah klien, profesional kerja dilarang melibatkan perasaan. Laki-laki tampan dan kaya itu sudah biasa, tapi sudah satu tahun bekerja masih belum ada talent yang mencubit hatinya. "Gue nggak tahu apa yang bahkan gue mau," ujar Jazz dengan kepala tertunduk di meja. Dia bilang kepalanya berat karena semalaman harus menemani curhat online klien yang susah move on dari mantan. "Kenapa lo nggak sewa pacar aja di Faux Love?" sahut Sena, teman kampusnya yang tidak tahu kalau perempuan dihadapannya itu seorang talent rental pacar. "Sewa pacar ya? Hmm..." Jazz itu hanya nick saat ia menjadi talent, nama aslinya Zara. Dia memesan pacar sewa di Faux Love menggunakan nama Zara. Dibalik popularitas nama Jazz, seorang Zara hanyalah perempuan biasa berusia dua puluh satu tahun, yang sedang kuliah semester akhir ilmu komunikasi. Bukan sparkling and shining girl yang dikagumi banyak orang, benar-benar sederhana dan anti sosial. Sekarang dia sedang berpikir, mempertimbangkan untuk menyewa pacar dari agensi yang sama tempat ia bekerja. Ada beberapa agensi rental pacar yang sudah beroperasi, tapi Faux Love lah pioneer yang sejauh ini kredibilitasnya terbaik. Kualitas talent nya sudah tersertifikasi dari fisik, otak, dan attitude. Sudah teruji layak untuk menjadi pasangan. "Faux love, tolong carikan saya talent yang punya senyum manis dan ramah..." ucap Jazz pada personal assistant Ai di aplikasi Faux Love. Tidak perlu memakai keyword ganteng atau tampan, itu sudah jadi standar mutlak agensi. Kurang dari satu menit, mesin pencari pun memunculkan database talent-talent sesuai kriteria calon klien. Perempuan itu memakai kacamata minusnya, memperbesar foto mereka, lalu mengangguk-angguk. Dia sudah menemukan talent yang siap disewa sebagai pacar. "Alright, i pick you, Baron!" Jazz ingin segera bertemu dengan pacar sewanya. Hari ini jam sebelas di salah satu restaurant pizza mereka membuat janji bertemu. Entah mengapa rasanya sangat gugup, lebih dag-dig-dug daripada pertama kali bertemu klien. Apa mungkin semua kliennya merasakan kegugupan ini juga ya? "Hai," sapa seseorang yang berdiri di samping meja tempat aku sedang menikmati lasagna sendirian. Perempuan itu mengamatinya. Laki-laki, tinggi seratus delapan puluh sentimeter, kulit kuning langsat, dan ada piercing di telinganya. "Baron?" "Iya, aku Baron. Kamu Zara kan?" "Panggil aja Zaza, silakan duduk." Kegugupannya semakin menjadi. Baron rupanya melebihi ekspektasi, laki-laki ini terlalu tampan untuk kencan delapan jam dengan tarif lima ratus ribu. Auranya bagai idol, jari tangan Jazz pun bergetar tanpa sadar karena terlalu gugup. "Kamu kenapa, sayang? Dingin ya?" tanpa diduga Baron memegang cepat tangan Jazz, menyelimuti tangan perempuan itu dengan kedua tangannya. "Kamu duduk sebelah sini aja, disini lebih hangat nggak terlalu kena AC... " Hah, sayang? That 'sayang' word sounded weird for her, tapi manis juga jika diucap oleh Baron. Wajahnya jadi bersemu merah."Aku duduk sini aja. Kamu mau pesan apa? Tadi aku pesan lasagna, kamu mau juga?" "Boleh, kamu suapin aku ya?" sahut Baron manja, mulutnya terbuka seperti balita minta makan. Salah paham, maksudnya Jazz menawari untuk pesan seporsi lasagna lagi, bukan mengajak berbagi makanan. But this guy is too cute, dia pun menyuapi Baron memakai sendok yang sama. Baru tiga puluh menit kencan tapi sudah berulang kali perempuan itu melamun terpana memandangi Baron yang sedang menikmati pizza. Dia sama sekali tak paham kenapa manusia dalam keindahan sempurna seperti Baron terjun ke dunia fiksi ini. Aura mahal personality nya begitu kuat, desakan faktor ekonomi sepertinya bukan alasan yang membuatnya mau jadi pacar sewaan. "Jadi sekarang pacaran kemana lagi kita, sayang?" "Hei, bisakah jangan bersikap terlalu manis? Aku jadi meleleh..." "Haha, chill. Aku bisa kurangi manisnya. Nggak mau kamu meleleh kayak es krim di bawah sinar matahari." ucap lelaki itu, jarinya mengelus merapikan poni
"Sayang, nanti order aku lagi ya." Sebuah kata penutup menjelang berakhirnya masa sewa. Damn, skill penggoda yang dimiliki laki-laki itu bisa membuat lutut jadi lemas. Jazz mengakui kekalahannya. Kalau bisa memberikan rating lebih dari lima pasti dia akan melakukannya. Baron terlalu menarik, membuatnya jadi berpikir sudah berapa banyak perempuan yang jatuh hati untuk memiliki secara utuh. Sebuah pesan notifikasi masuk dari Ai personal assistant Faux Love. Hai, Jazz! Jangan lupa hari ini ada jadwal kencan paket standar dengan klien bernama Gema, di depan kampus UPH, jam satu siang. Ini sudah hari senin lagi, saatnya bekerja mengumpulkan pundi-pundi kekayaan demi membeli sebuah ferrari. Ah, tapi Jazz tidak impulsif seperti itu, dia lebih suka menyimpan uangnya di bank lalu menjalani hidup biasa saja. Tapi kali ini dia punya ketertarikan baru, menghabiskan uang untuk sewa pacar lagi. Lebih lima belas menit dari jam yang disepakati, Jazz sudah berdiri dekat ATM centre, di sebuah k
Fuck you, i'm done with your shit. I deserve better. Dia masih ingat kata-kata terakhir yang diucapkan saat putus dengan mantan, satu tahun yang lalu. Kalau bisa kembali ke masa lalu, Jazz tidak ingin bertemu dengan laki-laki bernama Samael. Tidak mau, najis. Trauma perlakuan buruk selama pacaran yang membuatnya kini tidak percaya cinta, juga menjadi alasan yang membuat Jazz terjun ke dunia rental pacar.Mereka bertemu dari aplikasi dating online, saat itu Jazz masih high school sementara Sam sudah kuliah. Awal hubungan biasa aja seperti pasangan lain, tapi satu tahun kemudian Sam memperlihatkan perangai buruknya yaitu abusive. Dia juga beberapa kali ketahuan memesan perempuan untuk teman tidur, dari sebuah aplikasi. Alasannya tidak ingin merusak Jazz, jadi dia memilih melampiaskan nafsunya dengan 'jajan'. Tololnya, saat itu Jazz malah terharu dan kasihan dengan Sam, karena dirinya tidak pernah memberikan pelayanan nafsu pada pacarnya ituBe careful. Manipulation can feel like love.
Jazz tidak merasa memesan makanan atau apapun, seharusnya tidak akan ada kurir yang datang mengantarkan paket. Begitu pintu dibuka, betapa terkejutnya ia saat melihat ada sosok familiar berdiri di hadapannya."Baron?" tanyanya terbata, masih tidak yakin kalau laki-laki berkaos abu itu dia."Loh, Zara?"Tentu dia sama terkejutnya dengan Jazz, dia tak menyangka kalau orang yang membuat kegaduhan di sebelah apartemennya adalah klien rental pacar kemarin."Sedang apa kamu disini?""Aku yang seharusnya tanya, kamu sedang apa sampai begitu berisik?""Ini apartemenku,""Oh ya? Itu juga apartemenku, aku tinggal disini," ucap Baron menunjuk ke pintu tepat di belakang ia berdiri.Keduanya tertawa. Jazz membuka pintu lebih lebar membiarkan laki-laki itu masuk, menyambut tetangga barunya.Sudah tiga bulan room depan apartemennya kosong setelah pemilik sebelumnya pindah. Kemarin memang terdengar suara gesekan barang seperti layaknya pindahan. Dia tak mengira kalau tetangga barunya kini adalah Baro
"Hai, aku Baron. Boleh aku panggil kamu 'baby'?" Klien Baron hari ini bernama Alita, gadis yang masih high school namun depresi karena baru saja cintanya ditolak. Tinggi seratus lima puluh lima sentimeter, kacamata tebal, banyak komedo di hidung, muka kusam, dan mudah gugup. Melihat sekilas saja ia langsung tahu alasan kenapa gadis itu mengalami penolakan. "Hai, Kak. Maaf ya, aku nangis..." Alita duduk di bangku taman kota, menatap tanah dengan mata yang merah bengkak. Melihat kesedihan di wajahnya, Baron mengeluarkan tissu lalu menyapu air mata yang menetes di pipi kliennya. "Apa yang sudah membuat baby ku sedih?" Alita menatap Baron dengan mata yang berair. Genangan air mata terbentuk di sudut matanya. "Aku ditolak oleh Adi, seniorku," katanya dengan suara yang lembut. "Aku menyukainya sejak setahun yang lalu, tapi dia bilang aku tidak cantik dan berdada rata." Gadis itu menunduk, malu. Baron mengangkat dagu Alita dan memandangnya dengan mata yang hangat. "Kamu tidak perlu
Hai, Baron! Jangan lupa hari ini ada jadwal kencan paket standar dengan klien bernama Zara, di apartemen Cendana Hill, jam sepuluh pagi. Suara notifikasi pengingat jadwal milik Faux Love sangat berisik. Sudah seharusnya agency mengganti jenis suara personal assistant Ai dengan suara perempuan yang lebih dewasa, feminim, dan lembut. Bukan suara khas loli anime yang nyaring memekik telinga seperti sekarang. Baron membaca layar berulang-ulang, memastikan kalau kliennya hari ini benar-benar the girl next door. Ada apa lagi dengan perempuan itu? Bekas gigitan yang lalu belum memudar, apa mau ditambah lagi? Ia menghela nafas panjang, menarik selimut, melanjutkan lagi tidur setelah melihat jam masih menunjukkan pukul delapan. Seperti masih berada di alam tengah-tengah mimpi, antara sadar dan tidak sadar, Baron merasa jempol tangan kirinya basah lalu menyentuh sesuatu yang lembut dan hangat. Sentuhan lembut dengan ritme hisap berulang. Krawk "AGGHH..." Tiba-tiba jempolnya digigit. Ba
"Sepanjang acara, kita harus bergandeng tangan. Awas, jangan menghilang dari pandanganku!" ucap Jazz pada Baron, dengan wajah serius. Festival Musik ini sebuah event tahunan yang melibatkan seluruh civitas akademika kampus. Penampilan band mahasiswa, dance competition, bazzar, guess star band indie, dan kemeriahan lainnya. Acara ini hanya seru bagi mereka yang populer dan keren. Jazz sebagai Zara, hanya mahasiswa biasa tanpa prestasi dan bakat, tentu keberadaannya hanya dianggap bagai hembusan kentut yang berlalu. Baron tidak pernah terlihat tidak keren. Dia memakai kaos hitam sleeveless bertuliskan Nirvana, jogger pants green army, sneakers, dan kacamata hitam. Berjalan di sampingnya membuat Jazz minder, aura seleb lelaki itu terlalu kuat, sepanjang langkah sudah banyak mata mengaguminya. Sementara dirinya hanya memakai kaos gambar sablon Sailor Moon dan jeans biasa. "Zara!" Seorang perempuan berambut bob melambai, berlari ke arah Jazz. Nafasnya ngos-ngosan, dia memandang b
Satu hari, setiap bulan, Faux Love agency mengadakan meeting bagi seluruh talent. Ada pembahasan tentang informasi terupdate, sharing dan diskusi, perkenalan talent baru, dan juga pengumuman Best Talent of the Month. Jazz sudah berada di kantor agency satu jam sebelum acara, dia sengaja berangkat lebih awal agar tidak terpergok Baron yang pasti akan datang kesini juga. Dihadiri sekitar lima puluh talent, Jazz harus bersiap dengan makeup dan penampilan terbaik karena dia yakin akan menjadi pusat perhatian mereka. Penghargaan Best Talent of the Month akan diraihnya, seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya. "Kamu sudah dengar tentang Karina dan cowok barunya?" tanya Melisa pada Jazz saat keduanya sedang merapikan make up di toilet. Melisa salah satu talent agency yang cukup dekat dengan Jazz. Ratu Gosip. Melisa selalu jadi pembuka gosip dan hal-hal terupdate di dalam Faux Love. Matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. Suaranya pelan, tapi penuh dengan rasa penasaran."Loh, Karina
Lelucon apalagi ini? Jazz tidak menyangka kalau kliennya hari ini akan membuatnya bertemu dengan Baron. Lelaki itu benar-benar duduk di depannya, memandangnya lekat, entah karena terpesona atau ada yang aneh di wajahnya. Sangat tidak nyaman. Ia jadi lebih sering menunduk dan menghindari kontak mata dengan membuat aktivitas kecil seperti memutar-mutar sendok, memainkan bibir, dan menatap luar kaca jendela. Jazz seorang talent yang percaya diri dan selalu mengutamakan kontak mata dalam komunikasi, tapi kali ini ia seperti gadis yang baru pertama kali kencan, gugup akut. Berada cukup lama dan berjarak dekat dengan Baron, membuatnya takut jika identitasnya akan terbongkar. Ia belum siap kalau Baron tahu perempuan yang dilihatnya dengan mata berbinar itu adalah Zara, perempuan biasa saja yang tinggal di depan apartemennya. Mereka baru mulai membuka kata saat selesai dari pekerjaan, setelah akhirnya Anya dan Adit kembali bersama. Jazz dan Baron keluar dari restoran. Keduanya tersenyum,
Mengapa tentang mantan, selalu sulit dilupakan? Ini hanya pertanyaan yang muncul dari persepsi Baron, atas banyaknya klien yang memakai jasanya untuk memanasi mantan. Dalam satu minggu ini ia sudah kencan dengan tiga perempuan yang ingin menunjukkan pada mantan, kalau hidupnya lebih baik setelah putus. Tidak bisakah membiarkan berlalu, lalu fokus memulai lembaran hidup baru? Namanya Anya, usia dua puluh empat tahun, mengajak Baron menjadi pacar pura-pura untuk datang ke restoran tempat mantannya biasa makan siang. "Kenapa kamu sebenci itu dengan mantan?" tanya Baron, memandang perempuan yang sedang sibuk make up. Mereka berdua sudah duduk di restoran, menunggu target datang. Anya menghela nafas, menutup cushion nya. "Dia memutuskan aku demi membela perempuan lain, sahabatnya sendiri." "Jadi dia ada affair dengan sahabatnya sendiri?" "Entah," Anya mengangkat pundak. Ia membuka cermin kecil lalu memasang soft lens di matanya. "Aku tidak suka siapapun perempuan dekat dengan Adi
Kairi. Semua talent mempunyai nick palsu, alasan ia memberikan nama Baron karena teringat nama peliharaannya yang sudah mati. Seekor anjing Siberian bernama Baron. Baron, nama yang lebih keren dan maskulin dibandingkan Kairi. Kairi artinya laut yang dalam, diberikan oleh mamanya yang berdarah Jepang. Matanya monolid dengan lipatan epikantik, jika pergi ke Jepang maka ia selalu terlihat sebagai warga lokal asli. Menyesap rokok, lalu mengepulkan asapnya ke atas. Baron duduk di kursi bar ditemani sebotol beer. Beberapa kali melirik ke jam tangan. Sudah sejak tiga puluh menit lalu ia duduk disitu, menunggu seseorang.Satu sosok datang mendekat, Baron menoleh ke samping dan melihat seorang lelaki menarik kursi, lalu duduk di sampingnya. Lelaki itu mengambil gelas whiskey di depan Baron, lalu menenggaknya. "Mind if I join you?" lelaki itu bertanya dengan suara yang dalam.Baron menggelengkan kepala, merebut lagi gelasnya. Ia menenggak minuman dari sisi yang sama, bekas lelaki itu minum.
"Aku kecewa." Seseorang menghadang Jazz masuk ke dalam kamarnya. Baron sudah berdiri di depan pintu, dengan tangan terlipat diatas dada. Laki-laki itu memandangnya dingin. Jazz terkejut dan bingung. "Kecewa, kenapa?" "Kamu tidak tertarik lagi menyewaku sebagai pacar," ucapnya memasang raut sedih. "Tadi aku melihatmu dengan talent lain, berciuman." Sepertinya Baron melihat saat Josh menciumnya. Tapi itu hanya ciuman pipi biasa sebagai ungkapan terima kasih. Kenapa reaksinya begitu berlebihan? Bukankah Baron juga memperlakukan kliennya seperti itu? "Maaf, aku pikir kamu sibuk." "Aku sengaja mengosongkan jadwal minggu demi kencan denganmu. Setiap minggu, untuk kamu." Ah, hati Jazz meleleh dengan ucapan lembut itu. Menyesal telah ingkar, ia pun mendekat pada Baron lalu memegang pipinya. "Sekali lagi, maafkan aku." "Maaf saja tidak cukup," jawab Baron ketus, tapi tetap cute di mata Jazz. "Cara apa yang bisa membuatmu memaafkanku?" Baron melepaskan tangan Jazz dari pipinya, men
"Jadi bagaimana hubungan dengan Baron?" tanya Sena, penuh rasa ingin tahu. Jazz memutar-mutar pulpen diantara selipan jarinya. Pertanyaan yang dilontarkan Sena sama dengan keraguan di hatinya. Beberapa hari ini hubungan keduanya berjarak, lebih tepatnya Jazz sengaja tidak membuka komunikasi dengan Baron setelah tahu hubungan lelaki itu dengan boss nya. "Kan sebatas hubungan satu hari, pacar rental. Ya nggak ada apa-apa." "Iya sih, Baron mana mungkin tertarik dengan perempuan biasa aja seperti kita. Dia terlalu seleb nggak sih?" Jarinya kini sibuk scrolling sosial media, penasaran dengan sosok Kairi. Benar, influencer dengan pengikut lima juta ini sosok yang sama dengan Baron. Dia baru benar-benar sadar kalau dunia mereka berbeda, Baron dalam versi nyata seorang selebritis, sementara dirinya hanya perempuan biasa yang tidak menarik. Jangankan untuk cinta, berteman biasa pun Baron pasti akan berpikir ulang, tidak ada benefit yang bisa didapatkan dari Jazz. Sebetulnya ia ingin m
Satu hari, setiap bulan, Faux Love agency mengadakan meeting bagi seluruh talent. Ada pembahasan tentang informasi terupdate, sharing dan diskusi, perkenalan talent baru, dan juga pengumuman Best Talent of the Month. Jazz sudah berada di kantor agency satu jam sebelum acara, dia sengaja berangkat lebih awal agar tidak terpergok Baron yang pasti akan datang kesini juga. Dihadiri sekitar lima puluh talent, Jazz harus bersiap dengan makeup dan penampilan terbaik karena dia yakin akan menjadi pusat perhatian mereka. Penghargaan Best Talent of the Month akan diraihnya, seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya. "Kamu sudah dengar tentang Karina dan cowok barunya?" tanya Melisa pada Jazz saat keduanya sedang merapikan make up di toilet. Melisa salah satu talent agency yang cukup dekat dengan Jazz. Ratu Gosip. Melisa selalu jadi pembuka gosip dan hal-hal terupdate di dalam Faux Love. Matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. Suaranya pelan, tapi penuh dengan rasa penasaran."Loh, Karina
"Sepanjang acara, kita harus bergandeng tangan. Awas, jangan menghilang dari pandanganku!" ucap Jazz pada Baron, dengan wajah serius. Festival Musik ini sebuah event tahunan yang melibatkan seluruh civitas akademika kampus. Penampilan band mahasiswa, dance competition, bazzar, guess star band indie, dan kemeriahan lainnya. Acara ini hanya seru bagi mereka yang populer dan keren. Jazz sebagai Zara, hanya mahasiswa biasa tanpa prestasi dan bakat, tentu keberadaannya hanya dianggap bagai hembusan kentut yang berlalu. Baron tidak pernah terlihat tidak keren. Dia memakai kaos hitam sleeveless bertuliskan Nirvana, jogger pants green army, sneakers, dan kacamata hitam. Berjalan di sampingnya membuat Jazz minder, aura seleb lelaki itu terlalu kuat, sepanjang langkah sudah banyak mata mengaguminya. Sementara dirinya hanya memakai kaos gambar sablon Sailor Moon dan jeans biasa. "Zara!" Seorang perempuan berambut bob melambai, berlari ke arah Jazz. Nafasnya ngos-ngosan, dia memandang b
Hai, Baron! Jangan lupa hari ini ada jadwal kencan paket standar dengan klien bernama Zara, di apartemen Cendana Hill, jam sepuluh pagi. Suara notifikasi pengingat jadwal milik Faux Love sangat berisik. Sudah seharusnya agency mengganti jenis suara personal assistant Ai dengan suara perempuan yang lebih dewasa, feminim, dan lembut. Bukan suara khas loli anime yang nyaring memekik telinga seperti sekarang. Baron membaca layar berulang-ulang, memastikan kalau kliennya hari ini benar-benar the girl next door. Ada apa lagi dengan perempuan itu? Bekas gigitan yang lalu belum memudar, apa mau ditambah lagi? Ia menghela nafas panjang, menarik selimut, melanjutkan lagi tidur setelah melihat jam masih menunjukkan pukul delapan. Seperti masih berada di alam tengah-tengah mimpi, antara sadar dan tidak sadar, Baron merasa jempol tangan kirinya basah lalu menyentuh sesuatu yang lembut dan hangat. Sentuhan lembut dengan ritme hisap berulang. Krawk "AGGHH..." Tiba-tiba jempolnya digigit. Ba
"Hai, aku Baron. Boleh aku panggil kamu 'baby'?" Klien Baron hari ini bernama Alita, gadis yang masih high school namun depresi karena baru saja cintanya ditolak. Tinggi seratus lima puluh lima sentimeter, kacamata tebal, banyak komedo di hidung, muka kusam, dan mudah gugup. Melihat sekilas saja ia langsung tahu alasan kenapa gadis itu mengalami penolakan. "Hai, Kak. Maaf ya, aku nangis..." Alita duduk di bangku taman kota, menatap tanah dengan mata yang merah bengkak. Melihat kesedihan di wajahnya, Baron mengeluarkan tissu lalu menyapu air mata yang menetes di pipi kliennya. "Apa yang sudah membuat baby ku sedih?" Alita menatap Baron dengan mata yang berair. Genangan air mata terbentuk di sudut matanya. "Aku ditolak oleh Adi, seniorku," katanya dengan suara yang lembut. "Aku menyukainya sejak setahun yang lalu, tapi dia bilang aku tidak cantik dan berdada rata." Gadis itu menunduk, malu. Baron mengangkat dagu Alita dan memandangnya dengan mata yang hangat. "Kamu tidak perlu