Jazz tidak merasa memesan makanan atau apapun, seharusnya tidak akan ada kurir yang datang mengantarkan paket. Begitu pintu dibuka, betapa terkejutnya ia saat melihat ada sosok familiar berdiri di hadapannya.
"Baron?" tanyanya terbata, masih tidak yakin kalau laki-laki berkaos abu itu dia. "Loh, Zara?" Tentu dia sama terkejutnya dengan Jazz, dia tak menyangka kalau orang yang membuat kegaduhan di sebelah apartemennya adalah klien rental pacar kemarin. "Sedang apa kamu disini?" "Aku yang seharusnya tanya, kamu sedang apa sampai begitu berisik?" "Ini apartemenku," "Oh ya? Itu juga apartemenku, aku tinggal disini," ucap Baron menunjuk ke pintu tepat di belakang ia berdiri. Keduanya tertawa. Jazz membuka pintu lebih lebar membiarkan laki-laki itu masuk, menyambut tetangga barunya. Sudah tiga bulan room depan apartemennya kosong setelah pemilik sebelumnya pindah. Kemarin memang terdengar suara gesekan barang seperti layaknya pindahan. Dia tak mengira kalau tetangga barunya kini adalah Baron. Baron tercengang melihat isi apartemen yang berantakan. "Kenapa? Ada gempa?" "Lebih dari itu, baru saja terjadi badai." Laki-laki itu tergelak, dia mengamati puing-puing pecahan barang hasil amukan seseorang, lalu mengangkat sebuah foto robek. "Someone hurt you?" Jazz mendengus. Ia merebut apa yang laki-laki itu pegang, kemudian merobeknya menjadi kepingan lebih kecil. "I'm upset. Rasanya ingin makan orang!" "Then, eat me now," ucap Baron menggoda perempuan yang sedang di berada di puncak kekesalan. Ia mengangkat sebelah alisnya, melihat laki-laki yang sedang memandangnya dengan tatapan menantang. "You dare?" Satu hal buruk yang dimiliki Jazz, dia suka menggigit saat sedang tantrum. Pengendalian emosi yang buruk plus luapan amarah akan mengejutkan orang yang berada di dekatnya. Bagai anjing, dia akan menyerang dengan menggigit. Diluar dugaan, Jazz mengambil lengan kiri Baron lalu menggigiti bagai anjing menemukan sepotong tulang iga. Laki-laki itu terkejut tapi memilih diam, merasakan sensasi basah dan sedikit sakit yang dibuat perempuan itu. Denyut-denyut menggelikan tapi menyenangkan. "Gigit aku sesukamu." Jazz heran, ada yang aneh dari laki-laki ini. Seharusnya marah lalu merasa jijik, mengapa dia justru membuka diri dan menikmati? Ia menghentikan aksinya, menatap Baron heran dengan sedikit menganga. Baron merapatkan bibir Jazz lalu mengelap liur yang menempel berantakan di wajah perempuan itu, menggunakan sapuan telunjuknya. "Jadi begini caramu meluapkan emosi?" "Kamu tidak mengelak?" "Aku menyukainya, gemas." "Jadi, aku boleh menggigitmu lagi?" Baron menangkap puppy eye di hadapannya. Mata yang membesar lembut dalam wajah yang lugu. "Aku suka saat kamu menggigitku. Aku suka rasanya sakit dan manis bersamaan." Jazz tersenyum, matanya berbinar penuh hasrat. Dia merapatkan diri, duduk di pangkuan Baron. "Aku juga suka merasakan gigitan yang tenggelam di dalam kulitmu. Boleh aku menggigitmu di leher?" "Bite me. Make me feel the pain and pleasure at the same time..." Tanpa keraguan, Jazz membuka kemeja Baron lalu melucuti kancingnya. Ia siap untuk kembali menyerang. Membuat kecupan, menyesap lembut, kemudian giginya menggigit kulit leher lelaki dihadapannya dengan buas. "Argh..." Baron mengerang, tubuhnya sedikit melengkung ke belakang saat merasakan kesenangan yang intens. Lima belas menit berlalu, hasrat dan nafsu memburu saling membaur dalam desah dan nafas. Jazz menghentikan gigitannya, dia harus berhenti sebelum menjadi tak terkendali. "It's done," kata perempuan itu dengan nafas terengah. "Bahaya kalau lanjut." Baron kaget sekaligus tertawa, perempuan itu menghentikan aksinya secara mendadak saat ia sedang berada di puncak nyaman. Wajahnya sudah sangat merah. Tiba-tiba lehernya terasa perih, Baron tak sadar kalau Jazz membuat banyak bite mark di leher sampai ke dada atas. "Kamu nakal. How should i punish you?" ucapnya sambil melihat bekas-bekas gigitan berwarna merah dan ungu di cermin. Jazz tersenyum puas, memandangi bekas gigitannya di tubuh laki-laki itu. "Kamu tidak boleh menyalahkanku, kamu menikmatinya kan?" "Hmm... sepertinya aku punya odaxelagnia." "Odaxelagnia?" Jazz mengerutkan dahi. "Apa itu?" "Fetish terhadap gigitan, tertarik secara seksual saat digigit atau menggigit." "Dasar orang aneh," "Orang aneh?" Baron memicingkan mata, lalu mendengus. "Bukankah kamu juga fetish menggigit? "Eh, itu... bukan. Agresi impulsif, aku melakukannya secara spontan jika kesal atau marah saja. Sama seperti orang yang membanting barang jika emosi, akan puas jika sudah dilampiaskan." "Cih, tempramen yang buruk. I get it now, that's why you're still single," ucap Baron menoyor dahi Jazz. Cukup masuk akal juga, laki-laki normalnya pasti akan takut menghadapi kebiasaan menggigit. Dulu Sam sering marah bahkan menamparnya atas perilaku agresi impulsif itu. Maka untuk melampiaskannya Jazz akan menggigit es batu atau menggigit bantal. Jazz suka menggigit, Baron suka digigit. Combo unik yang membuat kisah keduanya jadi sangat menarik. ***"Hai, aku Baron. Boleh aku panggil kamu 'baby'?" Klien Baron hari ini bernama Alita, gadis yang masih high school namun depresi karena baru saja cintanya ditolak. Tinggi seratus lima puluh lima sentimeter, kacamata tebal, banyak komedo di hidung, muka kusam, dan mudah gugup. Melihat sekilas saja ia langsung tahu alasan kenapa gadis itu mengalami penolakan. "Hai, Kak. Maaf ya, aku nangis..." Alita duduk di bangku taman kota, menatap tanah dengan mata yang merah bengkak. Melihat kesedihan di wajahnya, Baron mengeluarkan tissu lalu menyapu air mata yang menetes di pipi kliennya. "Apa yang sudah membuat baby ku sedih?" Alita menatap Baron dengan mata yang berair. Genangan air mata terbentuk di sudut matanya. "Aku ditolak oleh Adi, seniorku," katanya dengan suara yang lembut. "Aku menyukainya sejak setahun yang lalu, tapi dia bilang aku tidak cantik dan berdada rata." Gadis itu menunduk, malu. Baron mengangkat dagu Alita dan memandangnya dengan mata yang hangat. "Kamu tidak perlu
Hai, Baron! Jangan lupa hari ini ada jadwal kencan paket standar dengan klien bernama Zara, di apartemen Cendana Hill, jam sepuluh pagi. Suara notifikasi pengingat jadwal milik Faux Love sangat berisik. Sudah seharusnya agency mengganti jenis suara personal assistant Ai dengan suara perempuan yang lebih dewasa, feminim, dan lembut. Bukan suara khas loli anime yang nyaring memekik telinga seperti sekarang. Baron membaca layar berulang-ulang, memastikan kalau kliennya hari ini benar-benar the girl next door. Ada apa lagi dengan perempuan itu? Bekas gigitan yang lalu belum memudar, apa mau ditambah lagi? Ia menghela nafas panjang, menarik selimut, melanjutkan lagi tidur setelah melihat jam masih menunjukkan pukul delapan. Seperti masih berada di alam tengah-tengah mimpi, antara sadar dan tidak sadar, Baron merasa jempol tangan kirinya basah lalu menyentuh sesuatu yang lembut dan hangat. Sentuhan lembut dengan ritme hisap berulang. Krawk "AGGHH..." Tiba-tiba jempolnya digigit. Ba
"Sepanjang acara, kita harus bergandeng tangan. Awas, jangan menghilang dari pandanganku!" ucap Jazz pada Baron, dengan wajah serius. Festival Musik ini sebuah event tahunan yang melibatkan seluruh civitas akademika kampus. Penampilan band mahasiswa, dance competition, bazzar, guess star band indie, dan kemeriahan lainnya. Acara ini hanya seru bagi mereka yang populer dan keren. Jazz sebagai Zara, hanya mahasiswa biasa tanpa prestasi dan bakat, tentu keberadaannya hanya dianggap bagai hembusan kentut yang berlalu. Baron tidak pernah terlihat tidak keren. Dia memakai kaos hitam sleeveless bertuliskan Nirvana, jogger pants green army, sneakers, dan kacamata hitam. Berjalan di sampingnya membuat Jazz minder, aura seleb lelaki itu terlalu kuat, sepanjang langkah sudah banyak mata mengaguminya. Sementara dirinya hanya memakai kaos gambar sablon Sailor Moon dan jeans biasa. "Zara!" Seorang perempuan berambut bob melambai, berlari ke arah Jazz. Nafasnya ngos-ngosan, dia memandang b
Satu hari, setiap bulan, Faux Love agency mengadakan meeting bagi seluruh talent. Ada pembahasan tentang informasi terupdate, sharing dan diskusi, perkenalan talent baru, dan juga pengumuman Best Talent of the Month. Jazz sudah berada di kantor agency satu jam sebelum acara, dia sengaja berangkat lebih awal agar tidak terpergok Baron yang pasti akan datang kesini juga. Dihadiri sekitar lima puluh talent, Jazz harus bersiap dengan makeup dan penampilan terbaik karena dia yakin akan menjadi pusat perhatian mereka. Penghargaan Best Talent of the Month akan diraihnya, seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya. "Kamu sudah dengar tentang Karina dan cowok barunya?" tanya Melisa pada Jazz saat keduanya sedang merapikan make up di toilet. Melisa salah satu talent agency yang cukup dekat dengan Jazz. Ratu Gosip. Melisa selalu jadi pembuka gosip dan hal-hal terupdate di dalam Faux Love. Matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. Suaranya pelan, tapi penuh dengan rasa penasaran. "Loh, Kar
"Jadi bagaimana hubungan dengan Baron?" tanya Sena, penuh rasa ingin tahu. Jazz memutar-mutar pulpen diantara selipan jarinya. Pertanyaan yang dilontarkan Sena sama dengan keraguan di hatinya. Beberapa hari ini hubungan keduanya berjarak, lebih tepatnya Jazz sengaja tidak membuka komunikasi dengan Baron setelah tahu hubungan lelaki itu dengan boss nya. "Kan sebatas hubungan satu hari, pacar rental. Ya nggak ada apa-apa." "Iya sih, Baron mana mungkin tertarik dengan perempuan biasa aja seperti kita. Dia terlalu seleb nggak sih?" Jarinya kini sibuk scrolling sosial media, penasaran dengan sosok Kairi. Benar, influencer dengan pengikut lima juta ini sosok yang sama dengan Baron. Dia baru benar-benar sadar kalau dunia mereka berbeda, Baron dalam versi nyata seorang selebritis, sementara dirinya hanya perempuan biasa yang tidak menarik. Jangankan untuk cinta, berteman biasa pun Baron pasti akan berpikir ulang, tidak ada benefit yang bisa didapatkan dari Jazz. Sebetulnya ia ingin m
"Aku kecewa." Seseorang menghadang Jazz masuk ke dalam kamarnya. Baron sudah berdiri di depan pintu, dengan tangan terlipat diatas dada. Laki-laki itu memandangnya dingin. Jazz terkejut dan bingung. "Kecewa, kenapa?" "Kamu tidak tertarik lagi menyewaku sebagai pacar," ucapnya memasang raut sedih. "Tadi aku melihatmu dengan talent lain, berciuman." Sepertinya Baron melihat saat Josh menciumnya. Tapi itu hanya ciuman pipi biasa sebagai ungkapan terima kasih. Kenapa reaksinya begitu berlebihan? Bukankah Baron juga memperlakukan kliennya seperti itu? "Maaf, aku pikir kamu sibuk." "Aku sengaja mengosongkan jadwal minggu demi kencan denganmu. Setiap minggu, untuk kamu." Ah, hati Jazz meleleh dengan ucapan lembut itu. Menyesal telah ingkar, ia pun mendekat pada Baron lalu memegang pipinya. "Sekali lagi, maafkan aku." "Maaf saja tidak cukup," jawab Baron ketus, tapi tetap cute di mata Jazz. "Cara apa yang bisa membuatmu memaafkanku?" Baron melepaskan tangan Jazz dari pipinya, men
Kairi. Semua talent mempunyai nick palsu, alasan ia memberikan nama Baron karena teringat nama peliharaannya yang sudah mati. Seekor anjing Siberian bernama Baron. Baron, nama yang lebih keren dan maskulin dibandingkan Kairi. Kairi artinya laut yang dalam, diberikan oleh mamanya yang berdarah Jepang. Matanya monolid dengan lipatan epikantik, jika pergi ke Jepang maka ia selalu terlihat sebagai warga lokal asli. Menyesap rokok, lalu mengepulkan asapnya ke atas. Baron duduk di kursi bar ditemani sebotol beer. Beberapa kali melirik ke jam tangan. Sudah sejak tiga puluh menit lalu ia duduk disitu, menunggu seseorang.Satu sosok datang mendekat, Baron menoleh ke samping dan melihat seorang lelaki menarik kursi, lalu duduk di sampingnya. Lelaki itu mengambil gelas whiskey di depan Baron, lalu menenggaknya. "Mind if I join you?" lelaki itu bertanya dengan suara yang dalam.Baron menggelengkan kepala, merebut lagi gelasnya. Ia menenggak minuman dari sisi yang sama, bekas lelaki itu minum.
Mengapa tentang mantan, selalu sulit dilupakan? Ini hanya pertanyaan yang muncul dari persepsi Baron, atas banyaknya klien yang memakai jasanya untuk memanasi mantan. Dalam satu minggu ini ia sudah kencan dengan tiga perempuan yang ingin menunjukkan pada mantan, kalau hidupnya lebih baik setelah putus. Tidak bisakah membiarkan berlalu, lalu fokus memulai lembaran hidup baru? Namanya Anya, usia dua puluh empat tahun, mengajak Baron menjadi pacar pura-pura untuk datang ke restoran tempat mantannya biasa makan siang. "Kenapa kamu sebenci itu dengan mantan?" tanya Baron, memandang perempuan yang sedang sibuk make up. Mereka berdua sudah duduk di restoran, menunggu target datang. Anya menghela nafas, menutup cushion nya. "Dia memutuskan aku demi membela perempuan lain, sahabatnya sendiri." "Jadi dia ada affair dengan sahabatnya sendiri?" "Entah," Anya mengangkat pundak. Ia membuka cermin kecil lalu memasang soft lens di matanya. "Aku tidak suka siapapun perempuan dekat dengan Adi
Jazz masih terbayang senyum misterius Oliver. Senyum yang menyimpan rahasia gelap, senyum yang membuatnya merasa tertarik dan takut. Dia memeluk boneka anak perempuan yang diberikan Oliver, tanpa ada perasaan aneh atau curiga. Mata boneka itu bercahaya, memancarkan sinar merah seperti lampu. Jazz terkejut, menjatuhkan boneka itu ke bawah, tepat di ujung sepatunya. Boneka itu bergetar, mengeluarkan suara mendesis.Tiba-tiba sebuah tangan meraih boneka itu, lalu melemparkannya ke taman. Dalam hitungan detik, ledakan dahsyat mengguncang rumah Oliver, api dan asap hitam membubung tinggi.Jazz terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Apa... apa itu?" tanyanya, suaranya bergetar."Bom," jawab Baron singkat, matanya menatap rumah Oliver dengan penuh kebencian. "Oliver... dia kakak Hans."Tubuh Jazz seketika bergetar. Ia tak menyangka kalau kedua pria itu memiliki relasi satu sama lain. Hans, pria psikopat itu... bekerjasama dengan Oliver untuk menjebaknya. Sepertinya
Flamboyan Residence, nomor tiga puluh sembilan. Jazz menatap alamat yang tertera di handphone nya, jantungnya berdebar kencang. Rumah mewah bergaya american klasik itu berdiri kokoh di hadapannya, dikelilingi taman yang luas dan terawat rapi. Beberapa mobil mewah terparkir di halaman, Porsche, Bentley, dan Range Rover.Dia tak mengira kalau Karina memberikan pekerjaan level VIP. Perempuan itu melakukannya tanpa izin, padahal Jazz selalu menolak menerima pekerjaan klien level tersebut. Ini kali pertamanya, dan Jazz merasa gugup. "Oliver," gumamnya, mencoba mengingat nama kliennya. "34 tahun, pengusaha sukses, dan... pelukis?"Karina telah memberinya arahan singkat: satu hari penuh kencan, paket VIP senilai 15 juta rupiah. Jazz menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi di dalam sana. Klien VIP bersedia membayar mahal bahkan tak pelit memberi bonus, tapi keinginan mereka pasti mendapatkan layanan kontak fisik plus plus. Dengan langkah ragu, Jazz menekan bel pintu. Pintu terbuk
Baron menatap kepergian Jazz dengan perasaan bersalah. Dia menoleh ke arah Karina, wajahnya berubah serius. "Apa yang kamu lakukan padanya?" Karina mengangkat bahunya. "Aku hanya memberikan surat peringatan. Dia tidak profesional. Dia tidak menjalankan tugasnya." "Kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu. Kamu seharusnya lebih peduli dengan keamanannya, bukan hanya keuntungan agensi." "Keamanan? Dia hanya trauma, Baron. Itu bukan alasan untuk tidak bekerja." "Trauma itu bukan hal yang sepele, Karina. Kamu tidak mengerti. Dia membutuhkan waktu untuk pulih." "Pulih? Dia sudah punya waktu dua minggu, Baron. Itu lebih dari cukup," balas Karina, suaranya meninggi. "Kita bukan panti rehabilitasi, kita agensi profesional. Kita punya klien yang harus dilayani." "Tapi, kita juga punya tanggung jawab terhadap talent. Kita tidak bisa memperlakukan mereka seperti robot. Mereka punya perasaan, mereka punya batasan." "Batasan? Jazz yang membuat batasannya sendiri, Baron. Dia yang me
Kotak masuk email Jazz berkedip, menampilkan pesan baru dari Karina. Jantungnya berdebar kencang, firasatnya berubah buruk. Surat peringatan. Dua minggu absen tanpa kabar. Dua minggu menolak setiap tawaran pekerjaan pacar rental. Karina tidak main-main. "Jazz, kau melanggar kontrak, kau tidak profesional. Kau mengecewakan agensi. Segera datang ke kantor, atau aku akan mengambil tindakan lebih lanjut." Jazz menghela nafas panjang, menatap layar laptopnya dengan nanar. Dia tahu, ini tidak bisa dihindari. Dia harus menghadapi Karina. Dia harus menjelaskan semuanya. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan ketakutannya? Bagaimana dia bisa menjelaskan trauma yang masih menghantuinya? Langkah Jazz terasa berat saat menyusuri lorong kantor Faux Love. Dinding-dinding putih yang biasanya tampak cerah, kini terasa dingin dan mengintimidasi. Setiap pasang mata yang menatapnya seolah menuduh, menghakimi. Jazz merasa seperti terdakwa yang akan segera dijatuhi hukuman. Padahal, dia sama sekali tida
"Gue menginap disini ya, Jazz!" Malam semakin larut, dan Sena memutuskan untuk menginap di apartemen Jazz. Mereka berbaring di tempat tidur, bersiap untuk tidur. Namun, Sena masih belum berhenti menceritakan perasaannya pada Joshua. Ia terus mengoceh tentang betapa sempurnanya Joshua, betapa romantisnya Joshua, dan betapa bahagianya ia saat bersama Joshua. Jazz mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar singkat. Namun, ia mulai merasa lelah dan ingin segera tidur. Akhirnya, ia menutup telinganya dengan bantal, berpura-pura sedang mendengarkan musik. Sena, yang tidak menyadari keengganan Jazz, terus bercerita dengan semangat. Ia mengeluarkan handphone miliknya dan membuka akun media sosial Joshua. "Lihat ini, Jazz!" serunya, menunjukkan layar ponselnya. "Dia keren kan?" Jazz hanya bergumam pelan, masih berpura-pura tidak mendengar. Sena melanjutkan, "Dan lihat ini, Jazz! Dadanya bidang, lekukan ototnya padat, bayangkan jika bisa memeluknya setiap hari. Kyaaaa.... "
Silau yang mengintip dari jendela kamar, membuat Jazz terbangun. Bingung, ia mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk. Ia terkejut mendapati dirinya tidur di antara Baron dan Simon. Ia tidur di lengan Simon, namun tangan Baron juga melingkar posesif di pinggangnya. Ia lupa sejenak bahwa semalam mereka bertiga tidur bersama. Saat ingatannya kembali, Jazz merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa aneh dan malu, namun ada sensasi geli yang tak bisa ia pungkiri. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka tanpa membangunkan keduanya. Namun, pergerakannya membangunkan Baron. Pria itu membuka matanya, menatap Jazz dengan senyum hangat. "Selamat pagi, sayang," bisiknya, lalu mencium bibir Jazz sekilas. Jazz tersentak, terkejut dengan ciuman tiba-tiba itu. Ia menatap Baron dengan bingung, lalu melirik ke arah Simon yang menggeliat, baru bangun tidur. Jazz tampak canggung dan salah tingkah. Baron, yang menyadari p
Semakin larut, Jazz mulai merasa kantuk menyerang. Ia menguap beberapa kali, dan matanya terasa berat. Ia melirik ke arah tempat tidur, satu-satunya tempat untuk beristirahat di kamar itu. Namun, ia merasa canggung untuk tidur di sana, mengingat ada Baron dan Simon. "Sini, Jazz," katanya, sambil menepuk sisi kosong ranjang. "Tidurlah di sampingku." Jazz berbaring di samping Simon, merasa nyaman dengan kehangatan tubuhnya. Simon memeluknya erat, menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Tidurlah, Jazz," bisik Simon, suaranya menenangkan. "Aku akan menjagamu." Jazz mengangguk, lalu memejamkan matanya. Tapi tiba-tiba Baron masuk ke kamar dengan handuk melingkari pinggangnya. Ia melihat Jazz dan Simon berpelukan, seketika wajahnya berubah tegang. "Jazz, kemarilah," kata Baron, suaranya terdengar memerintah. "Kamu tidur di sisi ini, di sebelahku." Jazz membuka matanya, merasa bingung dan sedikit kesal. Ia tidak mengerti mengapa Baron bersikap begitu posesif. Ia sudah merasa nyaman d
Adegan dewasa apa yang baru saja dilihatnya? Jazz membeku di depan pintu kamar hotel, jantungnya berdegup tak karuan. Meski remang-remang, ia tahu persis apa yang sedang dilakukan Baron dan Simon di balik selimut itu. Ini adalah pertama kalinya Jazz melihat adegan seperti itu, dilakukan sesama lelaki. Perasaan aneh bercampur aduk di dalam hatinya. Ada rasa penasaran yang tak bisa dipungkiri, tetapi juga rasa jijik dan tidak percaya. Yang lebih mengejutkan lagi, Simon juga ada di sana. Jadi dia, sosok yang membuat Baron meninggalkannya tadi? Jazz merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin masuk ke kamar, tetapi ia takut mengganggu sepasang kekasih itu. Ia melirik jam tangannya. Setelah tiga puluh menit berlalu, Jazz merasa cukup tenang untuk masuk ke kamar. Ia membuka pintu perlahan-lahan dan mengintip ke dalam. Ia lega karena tidak melihat Baron dan Simon di tempat tidur. Mungkin mereka sudah selesai dan sedang beristirahat di tempat lain. Jazz berjalan menuju
"Mau surfing? Cuacanya bagus hari ini," tanya Baron berdiri di depan jendela, memandang ke langit yang biru. Mentari pagi di Pantai Nusa Dua mulai merangkak naik, memancarkan kehangatan yang lembut. Baron, dengan papan selancarnya di bawah lengan, menoleh ke arah Jazz yang masih terpaku di bibir pantai. "Ayo, Jazz! Ombaknya sedang bagus-bagusnya." Jazz, yang mengenakan rash guard berwarna biru laut, mengangguk ragu. Ini adalah kali pertamanya mencoba surfing, dan rasa gugup bercampur antusiasme memenuhi benaknya. Baron, yang telah beberapa kali berselancar di pantai, tampak lebih percaya diri dan santai. Mereka berdua berjalan menuju tengah pantai, di mana ombak mulai pecah. Baron memberikan beberapa instruksi dasar kepada Jazz, tentang cara mendayung, berdiri di atas papan, dan menjaga keseimbangan. "Ingat, Jazz, jangan melawan ombak. Ikuti arusnya, dan nikmati sensasinya," kata Baron, matanya berbinar-binar. Jazz mencoba mengikuti arahan Baron, mendayung dengan sekuat tenaga s