Ciuman Semanis Permen

"Aku kecewa."

Seseorang menghadang Jazz masuk ke dalam kamarnya. Baron sudah berdiri di depan pintu, dengan tangan terlipat diatas dada. Laki-laki itu memandangnya dingin.

Jazz terkejut dan bingung. "Kecewa, kenapa?"

"Kamu tidak tertarik lagi menyewaku sebagai pacar," ucapnya memasang raut sedih. "Tadi aku melihatmu dengan talent lain, berciuman."

Sepertinya Baron melihat saat Josh menciumnya. Tapi itu hanya ciuman pipi biasa sebagai ungkapan terima kasih. Kenapa reaksinya begitu berlebihan? Bukankah Baron juga memperlakukan kliennya seperti itu?

"Maaf, aku pikir kamu sibuk."

"Aku sengaja mengosongkan jadwal minggu demi kencan denganmu. Setiap minggu, untuk kamu."

Ah, hati Jazz meleleh dengan ucapan lembut itu. Menyesal telah ingkar, ia pun mendekat pada Baron lalu memegang pipinya.

"Sekali lagi, maafkan aku."

"Maaf saja tidak cukup," jawab Baron ketus, tapi tetap cute di mata Jazz.

"Cara apa yang bisa membuatmu memaafkanku?"

Baron melepaskan tangan Jazz dari pipinya, menarik tubuh perempuan itu lebih rapat, lalu berbisik, "Let's cuddle up and watch a movie together tonight!"

***

Tidak bisa, ternyata sulit baginya untuk menjaga jarak dengan Baron. Kenyamanan hubungan ini sudah diluar batas profesional, meski sudah mencoba menghindar, Jazz kembali lagi pada laki-laki itu.

Sudah bukan lagi klien dan talent, keduanya saling membutuhkan sebagai pelengkap. Dan, ugh, dadanya adalah tempat ternyaman yang bisa merilekskan pikiran Jazz.

"Kemana kamu seharian ini?" tanya Baron sambil memeluk Jazz, matanya fokus pada layar N*****x.

"Hanya makan dan jalan,"

"Seru?"

"Lumayan," jawab Jazz dengan nada yang malas. "Apa yang kamu lakukan hari ini?"

"Menunggu seseorang. Karena tak ada kabar, aku membuat janji dengan teman."

Baron masih sebal, terdengar nada gerutu dari setiap perkataannya. Ada perasaan mengganjal di hatinya, lebih dari sekedar kecewa, saat melihat perempuan itu bersama laki-laki lain. Sama dengan apa yang dirasakan Jazz saat tahu kedekatan Baron dan Karina.

Meski sedang berpelukan, pikiran mereka mengganjal pada bayang kecemburuan.

"Aku tidak suka melihat kamu dengan laki-laki lain," Baron berkata lembut sambil membelai rambut Jazz.

Perempuan itu menelan ludah, terkejut karena Baron masih membahasnya.

"Hei," Jazz membalikkan tubuhnya, kini ia bisa menatap mata lelaki itu. "Sejak kapan talent diizinkan punya rasa khusus dengan kliennya?"

"Saat ini aku sedang tidak memandangmu sebagai klien, tapi seorang perempuan."

"Sudah berapa banyak perempuan yang kamu godai seperti ini?" tanya Jazz menggoda, dia mencubit gemas pipi Baron sampai laki-laki itu mengerang kesal.

Baron merengut, menarik balik hidung Jazz. "Apakah di matamu, aku se playboy itu ya?"

"Aku tidak pernah percaya dengan kata-kata talent pacar rental. Tidak akan pernah. Mereka itu pembual, mulutnya sangat manis, tapi palsu."

Dia sedang membicarakan dirinya sendiri.

Drama series selalu menarik untuk ditonton, apalagi filem dengan bumbu erotis di dalamnya. Mereka menonton Sex Education, melihat adegan seksi Otis dan Maeve di ranjang. Jazz mencoba biasa saja walau hasratnya tidak nyaman. Ia melirik Baron, sosok di sampingnya terlihat santai menonton sambil mengunyah permen gummy cacing. Dia suka permen, di kamarnya ada box berisi permen kenyal berbagai merek dan jenis.

"Aku mau!" Jazz menyambar plastik permen yang sedang dibuka Baron, tapi dengan cepat lelaki itu merampasnya lagi.

Baron menggigit ujung permen gummy itu, lalu mendekatkan wajahnya, "Ambil sini!"

Menggoda? Jazz langsung menyambar ujung terurai permen itu dalam sekali 'hap', bibirnya hampir menyentuh bibir Baron. Ia membuat satu 'hap' lagi, kini bibir keduanya sudah bersentuh rapat.

Dia ingin Baron bergerak, tapi lelaki itu hanya diam, menggantung hasrat perempuan itu. Sepertinya itu sebuah trik agar Jazz yang memulai permainan.

Maka tanpa aba-aba, perempuan itu mulai menggigit bibir bawah Baron. Satu, dua, tiga, butuh tiga hitungan sampai ciumannya berbalas. Kedua bibir itu sudah bertaut, saling melumat, bergantian.

Tiba-tiba Baron menghentikan ciuman lalu memegang pipi Jazz. "Hei, bisa kita lebih rileks? Aku tidak mau melakukannya dengan nafsu."

Ciuman tanpa nafsu? Memang bisa?

"Itu menyenangkan. Bayangkan seperti sedang makan permen. Melumat dan menggigit dengan santai, kosongkan pikiran, hanya fokus dengan tekstur bibir dan lidah lawan. Mau coba?"

Baron menarik tubuh perempuan itu duduk di pangkuannya. Menarik rambut terurainya, menggigit karet ikatan, jarinya lihai merapikan dan mengikat rambut Jazz. Baron mengambil permen mint cherry lalu meletakannya di lidah.

"Nikmati bibirku seperti bagaimana kamu menikmati permen ini," ucapnya lembut menggoda.

Mata Jazz berbinar penasaran, tertarik untuk melanjutkan ciuman dengan trik dan rasa yang berbeda. Mulutnya menyambar bibir Baron, bermain dengan sebutir permen di dalamnya yang memberikan sensasi manis dingin.

Kosongkan pikiran, lebih rileks. Fokus pada tekstur dan rasa, bukan pada nafsu yang memburu. Kini Jazz paham maksud laki-laki itu tentang ciuman yang menyenangkan.

Ini seperti sedang bermain 'temukan permen dalam mulutku atau mulutmu'. Ah, tetap saja intensitas ciuman yang lama bisa mendongkrak nafsu. Tujuh menit berciuman, posisinya tak lagi duduk di pangkuan melainkan berbaring diatas tubuh Baron. Bibir mereka kini jadi merah, lebih tebal. Keduanya tertawa melihat bibir masing-masing yang sedikit membengkak.

Jazz masuk lagi ke pelukan Baron. "Kamu suka alur yang pelan ya?"

"Aku manusia lembut," jawab Baron sambil mengecup dahi perempuan dalam pelukannya.

Bersama Baron, Jazz harus bisa mengendalikan hasrat agar tidak memburu nafsu. Ia harus mengikuti ritme lawannya. Mendayu seperti alunan musik Jazz yang slow, tenang, tapi menggoda.

Sepertinya Baron tidak mau tergesa untuk lanjut ke tahap yang lebih dalam. Lelaki itu sengaja menunda, menggantung rasa, memancing penasaran Jazz untuk menunggu kejutan waktu berikutnya.

***