"Temani aku USG ya?" Baron hari ini mendapatkan klien dengan permintaan unik, dia ingin menyewanya sebagai suami delapan jam. Namanya Mila, perempuan berusia dua puluh empat tahun yang sedang mengandung sembilan bulan. "Biarkan aku memanggilmu papa ya," ucap Mila pada Baron yang sedang mengelus perutnya. "Boleh, hari ini akupun akan memanggilmu mama. Jadi hari ini kita kemana ma?" sahut Baron yang sekarang mengelus rambut perempuan itu. "Antar ke USG ya, aku sudah ada janji dengan obgyn. Setelah itu aku ingin ditemani papa beli perlengkapan bayi, boleh?" Baron mengangguk. Hari ini pertama kalinya ia bermain peran sebagai suami orang. Mila mengandung tanpa suami, pacarnya yang berbuat enggan bertanggung jawab bahkan menyuruhnya untuk menggugurkan. Tapi bagi Mila anak itu berkah, ia memutuskan menjaganya walau akan menjadi single parent. Kandungannya sudah sembilan bulan lebih, perkiraan satu atau minggu lagi akan melahirkan. Sebelumnya dia tidak pernah ngidam seperti ibu hamil
Mila akan melahirkan? Baron menelan ludah. Kepanikannya bertambah melihat Mila terlihat sangat kesakitan, perempuan itu meremas kencang lengannya, meminta tolong. "Jadi istri saya sudah mau melahirkan ya?" tanya Baron pada dokter. "Iya, kami akan pantau sampai pembukaannya benar-benar sempurna. Sekarang bapak bisa mendaftarkan administrasi pasien terlebih dahulu, istrinya biar kami tangani." Mila sudah tidak bisa fokus apapun, ia mengaduh dan memekik kesakitan. Baron membawa tas perempuan itu, mengambil kartu identitas di dompetnya. Kegugupannya sama seperti seorang suami akan menemani istri melahirkan. Keringat menetes, dahi berkerut, dan debar jantung berpacu lebih cepat. Ini sangat diluar prediksi, dia tak menduga akan menemani kliennya hingga melahirkan. Handphone di tas Mila bergetar, Baron melihat ke layar dan membaca notifikasi pesan masuk. Dari seseorang bernama Dion. "Jangan hubungi aku, aku tidak peduli dengan dramamu. Rawat anak itu sendiri seperti maumu. "
"Aku ingin punya anak," Jazz bingung, tiba-tiba Baron memeluknya dari belakang lalu bersikap sangat manja. Dia sedang membuat teh, tidak sadar laki-laki itu sudah ada di apartemennya. "Ayo membuat anak, Jazz!" ucapnya lagi dengan nada manja, seperti anak kecil meminta dibelikan permen. Ada apa dengannya? Setelah satu hari menghilang, kini muncul seperti kucing. "Kamu kenapa sih?" "Kemarin aku menemani klien melahirkan. Bayinya sangat lucu, mungil, dan cantik. Ah, melihatnya membuat damai. Aku jadi ingin punya bayi," Jazz jadi membayangkan ekspresi laki-laki itu saat menggendong bayi. Wajahnya sama sekali belum ada gurat wibawa kebapaaan, tapi senyum dan suara lembut Baron akan membuat hangat hati siapapun yang kelak jadi istrinya. Istri? Baron? Ia segera menggelengkan kepala, membuyarkan lamunannya. Dengan orientasinya sekarang, Baron mana mungkin tertarik beristri. "Jazz..." kata Baron lagi, memeluk makin erat dan manja. "Apa sih? Kamu mau punya anak? Ayo, aku bantu!"
Selepas berciuman panas denganku, dia pasti bercumbu dengan pacarnya. Jazz masih terpikirkan tentang kejadian semalam, dengan ringannya laki-laki itu pergi tanpa menuntaskan proyek yang membuatnya mabuk kepayang. Kecolongan, lagi. Padahal dia sudah menetapkan hati untuk menjaga jarak dengan Baron, tapi selalu ada celah untuk mereka bermesraan lagi. Semenjak keduanya saling memberikan akses kunci apartemen, batasan itu semakin longgar. Beberapa kali Jazz tak sadar laki-laki itu tidur menemaninya sampai pagi, sebaliknya, pernah Jazz memergoki Baron sedang fapping sendiri. Mengganggu, tapi lama-lama terbiasa dengan karakter masing-masing pasangan. Pagi ini sudah ada keributan kecil di dapur Jazz, ada tikus lalu lalang dan gas mendadak habis saat sedang memasak nasi goreng. Inilah pentingnya hidup mengenal tetangga, jadi saat sulit bisa minta bantuan untuk menolong permasalahan kita. "Baron!" Ia mengetuk pintu tiga kali, tak ada jawaban. Memakai kunci salinan, Jazz pun masuk
Apa ini yang dimaksud poliamori? Apa benar Baron dan Simon menganggap Jazz sebagai pacar mereka? Relationship macam apa ini? Mungkin hanya candaan, begitulah Jazz menanggapi ucapan lelaki itu. Setelah memilih beberapa pakaian, mereka keluar mencari sesuatu yang manis. Simon membelikan ice cream cone sesuai permintaanku, rasa matcha, sementara dia memilih rasa dark chocolate. Simon mengajak Jazz duduk di taman belakang mall. Matahari sore menyelinap di antara dedaunan, menciptakan permainan cahaya dan bayangan yang hangat. Lelaki itu menggenggam tangan Jazz, jemarinya yang panjang dan kuat melingkar dengan lembut. "Es krimnya enak?" tanyanya, matanya menatap dengan senyum menggoda. Jazz mengangguk, lidahnya menjilat sisa es krim matcha yang menempel di bibir. "Enak. Kamu suka dark chocolate?" "Suka," jawabnya, matanya menatap bibir Jazz yang berlumuran es krim. "Kamu tahu tidak, ada yang lebih manis dari ini?" Perempuan di depannya tertawa kecil, tahu ke mana arah pembi
Simon duduk gelisah di sofa, sesekali melirik jam dinding. Aroma kopi yang baru diseduh dan sandwich yang sudah ditata rapi di meja makan, seolah tak mampu meredakan ketegangan yang mencengkeram hatinya. Ia sudah menunggu hampir satu jam. Setiap suara langkah di lorong apartemen membuatnya berharap, namun selalu berujung pada kekecewaan. Kejadian di mall tadi, masih terus membebani pikirannya. Ia tahu, keakrabannya dengan Jazz telah menimbulkan salah paham, dan ia harus meluruskan semuanya. Pintu apartemen akhirnya terbuka, Baron masuk dengan wajah lelah. Simon segera berdiri, menyambut kedatangan kekasihnya. "Sim?" suara Baron terdengar datar, tanpa ekspresi. "Kamu masih di sini?" "Aku ingin bicara, Kai," kata Simon, berusaha menahan getar dalam suaranya. "Tentang di mall tadi..." "Tidak perlu dijelaskan," potong Baron, melepaskan kaos dan meletakkannya di sandaran kursi. "Aku sudah melihatnya." Simon merasakan darahnya berdesir. Ia tahu, kata-katanya tidak akan mudah dit
Sebuah pesan notifikasi masuk dari Ai personal assistant Faux Love. Hai, Jazz! Jangan lupa hari ini ada jadwal kencan paket standar dengan klien bernama Hans, di depan minimarket Alimart, jam satu siang. Jazz berdiri gelisah di depan gerbang mall. Matanya menyapu kerumunan orang, mencari sosok yang dijanjikan. Lima menit berlalu, kemudian sepuluh. Tepat saat Jazz hendak mengirim pesan, sebuah suara lembut memanggil namanya. "Jazz?" Ia menoleh. Seorang lelaki, tinggi, memakai kaos biru, dengan senyum tipis berdiri di belakangnya. Matanya menatap perempuan itu dengan teduh. "Hans?" Jazz memastikan. "Ya. Maaf membuatmu menunggu." Hans tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Jadi, mau ke mana kita?" Hans mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Dibukanya, dan Jazz terkejut melihat sepasang borgol perak berkilauan. "Pakai ini," kata Hans, menyodorkan borgol itu. "Apa?" Jazz mundur selangkah. "Untuk apa?" "Agar kita tidak terpisah," jawab Hans, matanya menatap lu
Tidak mudah untuk dipercaya, lelaki berwajah manis ini, seorang psikopat. Jazz bukanlah kali pertama talent yang ia sewa sebagai pacar, sudah tiga kali ia melakukan, tetapi tidak pernah bersikap kurang ajar seperti ini. Hasrat ketertarikannya muncul saat pertama kali melihat Jazz di foto talent aplikasi Faux Love. Wajahnya cantik dan lugu, dia bisa menebak kalau perempuan itu seorang people pleasure. Hans memutuskan untuk memilih Jazz, menjadi boneka satu harinya. Hans membawa Jazz ke sebuah restoran jepang. Mereka duduk di pojok, jauh dari keramaian. Hans memesan berbagai sushi dan sashimi, sementara Jazz hanya menatap piringnya dengan tatapan kosong. "Kenapa tidak dimakan?" tanya Hans, suaranya lembut. Jazz menggeleng. "Aku tidak lapar." "Ayolah, sayang. Kau harus makan." Hans menyuapkan sebuah sushi penuh wasabi ke mulut Jazz. Perempuan itu menelan makanan itu dengan enggan, tiba-tiba ia ingin muntah merasakan sensasi lidah terbakar dan mati rasa. Lelaki itu tertawa m
Jazz masih terbayang senyum misterius Oliver. Senyum yang menyimpan rahasia gelap, senyum yang membuatnya merasa tertarik dan takut. Dia memeluk boneka anak perempuan yang diberikan Oliver, tanpa ada perasaan aneh atau curiga. Mata boneka itu bercahaya, memancarkan sinar merah seperti lampu. Jazz terkejut, menjatuhkan boneka itu ke bawah, tepat di ujung sepatunya. Boneka itu bergetar, mengeluarkan suara mendesis.Tiba-tiba sebuah tangan meraih boneka itu, lalu melemparkannya ke taman. Dalam hitungan detik, ledakan dahsyat mengguncang rumah Oliver, api dan asap hitam membubung tinggi.Jazz terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Apa... apa itu?" tanyanya, suaranya bergetar."Bom," jawab Baron singkat, matanya menatap rumah Oliver dengan penuh kebencian. "Oliver... dia kakak Hans."Tubuh Jazz seketika bergetar. Ia tak menyangka kalau kedua pria itu memiliki relasi satu sama lain. Hans, pria psikopat itu... bekerjasama dengan Oliver untuk menjebaknya. Sepertinya
Flamboyan Residence, nomor tiga puluh sembilan. Jazz menatap alamat yang tertera di handphone nya, jantungnya berdebar kencang. Rumah mewah bergaya american klasik itu berdiri kokoh di hadapannya, dikelilingi taman yang luas dan terawat rapi. Beberapa mobil mewah terparkir di halaman, Porsche, Bentley, dan Range Rover.Dia tak mengira kalau Karina memberikan pekerjaan level VIP. Perempuan itu melakukannya tanpa izin, padahal Jazz selalu menolak menerima pekerjaan klien level tersebut. Ini kali pertamanya, dan Jazz merasa gugup. "Oliver," gumamnya, mencoba mengingat nama kliennya. "34 tahun, pengusaha sukses, dan... pelukis?"Karina telah memberinya arahan singkat: satu hari penuh kencan, paket VIP senilai 15 juta rupiah. Jazz menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi di dalam sana. Klien VIP bersedia membayar mahal bahkan tak pelit memberi bonus, tapi keinginan mereka pasti mendapatkan layanan kontak fisik plus plus. Dengan langkah ragu, Jazz menekan bel pintu. Pintu terbuk
Baron menatap kepergian Jazz dengan perasaan bersalah. Dia menoleh ke arah Karina, wajahnya berubah serius. "Apa yang kamu lakukan padanya?" Karina mengangkat bahunya. "Aku hanya memberikan surat peringatan. Dia tidak profesional. Dia tidak menjalankan tugasnya." "Kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu. Kamu seharusnya lebih peduli dengan keamanannya, bukan hanya keuntungan agensi." "Keamanan? Dia hanya trauma, Baron. Itu bukan alasan untuk tidak bekerja." "Trauma itu bukan hal yang sepele, Karina. Kamu tidak mengerti. Dia membutuhkan waktu untuk pulih." "Pulih? Dia sudah punya waktu dua minggu, Baron. Itu lebih dari cukup," balas Karina, suaranya meninggi. "Kita bukan panti rehabilitasi, kita agensi profesional. Kita punya klien yang harus dilayani." "Tapi, kita juga punya tanggung jawab terhadap talent. Kita tidak bisa memperlakukan mereka seperti robot. Mereka punya perasaan, mereka punya batasan." "Batasan? Jazz yang membuat batasannya sendiri, Baron. Dia yang me
Kotak masuk email Jazz berkedip, menampilkan pesan baru dari Karina. Jantungnya berdebar kencang, firasatnya berubah buruk. Surat peringatan. Dua minggu absen tanpa kabar. Dua minggu menolak setiap tawaran pekerjaan pacar rental. Karina tidak main-main. "Jazz, kau melanggar kontrak, kau tidak profesional. Kau mengecewakan agensi. Segera datang ke kantor, atau aku akan mengambil tindakan lebih lanjut." Jazz menghela nafas panjang, menatap layar laptopnya dengan nanar. Dia tahu, ini tidak bisa dihindari. Dia harus menghadapi Karina. Dia harus menjelaskan semuanya. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan ketakutannya? Bagaimana dia bisa menjelaskan trauma yang masih menghantuinya? Langkah Jazz terasa berat saat menyusuri lorong kantor Faux Love. Dinding-dinding putih yang biasanya tampak cerah, kini terasa dingin dan mengintimidasi. Setiap pasang mata yang menatapnya seolah menuduh, menghakimi. Jazz merasa seperti terdakwa yang akan segera dijatuhi hukuman. Padahal, dia sama sekali tida
"Gue menginap disini ya, Jazz!" Malam semakin larut, dan Sena memutuskan untuk menginap di apartemen Jazz. Mereka berbaring di tempat tidur, bersiap untuk tidur. Namun, Sena masih belum berhenti menceritakan perasaannya pada Joshua. Ia terus mengoceh tentang betapa sempurnanya Joshua, betapa romantisnya Joshua, dan betapa bahagianya ia saat bersama Joshua. Jazz mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar singkat. Namun, ia mulai merasa lelah dan ingin segera tidur. Akhirnya, ia menutup telinganya dengan bantal, berpura-pura sedang mendengarkan musik. Sena, yang tidak menyadari keengganan Jazz, terus bercerita dengan semangat. Ia mengeluarkan handphone miliknya dan membuka akun media sosial Joshua. "Lihat ini, Jazz!" serunya, menunjukkan layar ponselnya. "Dia keren kan?" Jazz hanya bergumam pelan, masih berpura-pura tidak mendengar. Sena melanjutkan, "Dan lihat ini, Jazz! Dadanya bidang, lekukan ototnya padat, bayangkan jika bisa memeluknya setiap hari. Kyaaaa.... "
Silau yang mengintip dari jendela kamar, membuat Jazz terbangun. Bingung, ia mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk. Ia terkejut mendapati dirinya tidur di antara Baron dan Simon. Ia tidur di lengan Simon, namun tangan Baron juga melingkar posesif di pinggangnya. Ia lupa sejenak bahwa semalam mereka bertiga tidur bersama. Saat ingatannya kembali, Jazz merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa aneh dan malu, namun ada sensasi geli yang tak bisa ia pungkiri. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka tanpa membangunkan keduanya. Namun, pergerakannya membangunkan Baron. Pria itu membuka matanya, menatap Jazz dengan senyum hangat. "Selamat pagi, sayang," bisiknya, lalu mencium bibir Jazz sekilas. Jazz tersentak, terkejut dengan ciuman tiba-tiba itu. Ia menatap Baron dengan bingung, lalu melirik ke arah Simon yang menggeliat, baru bangun tidur. Jazz tampak canggung dan salah tingkah. Baron, yang menyadari p
Semakin larut, Jazz mulai merasa kantuk menyerang. Ia menguap beberapa kali, dan matanya terasa berat. Ia melirik ke arah tempat tidur, satu-satunya tempat untuk beristirahat di kamar itu. Namun, ia merasa canggung untuk tidur di sana, mengingat ada Baron dan Simon. "Sini, Jazz," katanya, sambil menepuk sisi kosong ranjang. "Tidurlah di sampingku." Jazz berbaring di samping Simon, merasa nyaman dengan kehangatan tubuhnya. Simon memeluknya erat, menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Tidurlah, Jazz," bisik Simon, suaranya menenangkan. "Aku akan menjagamu." Jazz mengangguk, lalu memejamkan matanya. Tapi tiba-tiba Baron masuk ke kamar dengan handuk melingkari pinggangnya. Ia melihat Jazz dan Simon berpelukan, seketika wajahnya berubah tegang. "Jazz, kemarilah," kata Baron, suaranya terdengar memerintah. "Kamu tidur di sisi ini, di sebelahku." Jazz membuka matanya, merasa bingung dan sedikit kesal. Ia tidak mengerti mengapa Baron bersikap begitu posesif. Ia sudah merasa nyaman d
Adegan dewasa apa yang baru saja dilihatnya? Jazz membeku di depan pintu kamar hotel, jantungnya berdegup tak karuan. Meski remang-remang, ia tahu persis apa yang sedang dilakukan Baron dan Simon di balik selimut itu. Ini adalah pertama kalinya Jazz melihat adegan seperti itu, dilakukan sesama lelaki. Perasaan aneh bercampur aduk di dalam hatinya. Ada rasa penasaran yang tak bisa dipungkiri, tetapi juga rasa jijik dan tidak percaya. Yang lebih mengejutkan lagi, Simon juga ada di sana. Jadi dia, sosok yang membuat Baron meninggalkannya tadi? Jazz merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin masuk ke kamar, tetapi ia takut mengganggu sepasang kekasih itu. Ia melirik jam tangannya. Setelah tiga puluh menit berlalu, Jazz merasa cukup tenang untuk masuk ke kamar. Ia membuka pintu perlahan-lahan dan mengintip ke dalam. Ia lega karena tidak melihat Baron dan Simon di tempat tidur. Mungkin mereka sudah selesai dan sedang beristirahat di tempat lain. Jazz berjalan menuju
"Mau surfing? Cuacanya bagus hari ini," tanya Baron berdiri di depan jendela, memandang ke langit yang biru. Mentari pagi di Pantai Nusa Dua mulai merangkak naik, memancarkan kehangatan yang lembut. Baron, dengan papan selancarnya di bawah lengan, menoleh ke arah Jazz yang masih terpaku di bibir pantai. "Ayo, Jazz! Ombaknya sedang bagus-bagusnya." Jazz, yang mengenakan rash guard berwarna biru laut, mengangguk ragu. Ini adalah kali pertamanya mencoba surfing, dan rasa gugup bercampur antusiasme memenuhi benaknya. Baron, yang telah beberapa kali berselancar di pantai, tampak lebih percaya diri dan santai. Mereka berdua berjalan menuju tengah pantai, di mana ombak mulai pecah. Baron memberikan beberapa instruksi dasar kepada Jazz, tentang cara mendayung, berdiri di atas papan, dan menjaga keseimbangan. "Ingat, Jazz, jangan melawan ombak. Ikuti arusnya, dan nikmati sensasinya," kata Baron, matanya berbinar-binar. Jazz mencoba mengikuti arahan Baron, mendayung dengan sekuat tenaga s