Share

[BAB 3] Lahir Kembali

(Tiga abad kemudian.)

Dingin, gelap, sunyi, nyeri bagai penyiksaan menjalar ke sekujur tubuh, dan otot-otot seakan terkunci kaku.

Zevana tidak mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Telinganya berdengung kuat mendapatkan tekanan dari kedua sisi. Tak ada bagian dari tubuhnya yang bisa digerakkan.

Hanya sakit. Sakit sekali—dan tak bisa dilawan meski otak Zevana sudah mengirim sinyal ke tubuhnya agar bergerak.

Tubuh Zevana bergerak melayang perlahan semakin ke atas. Tidak, bukan melayang, lebih tepatnya mengapung. Rasa nyeri dari tekanan pada sekujur tubuh membuatnya kebas, dingin menusuk kulit—bahkan rasanya berkali lipat menusuk ketimbang rasa panas luka bakar melepuhkan kulit.

Kedua matanya tidak bisa dibuka. Entah apa yang menggerakkan tubuhnya sekarang. Semakin mengapung naik, semakin dirinya merasakan tekanan. Dalam hening Zevana ingin menangis, tetapi otot wajahnya pun tidak bereaksi untuk membentuk ekspresi.

Tak ada suara yang didengar olehnya kecuali dengung menyakitkan.

Apakah ini kematian yang diceritakan dari dongeng-dongeng kitab kuno?

Kematian seorang penyihir putih berusia empat setengah abad dan ditakdirkan abadi?

"Keabadianmu tak akan hilang. Hiduplah dalam kesaksian kehancuran, hiduplah untuk menghidupkan kehancuran…"

Aneh sekali. Ada suara bergema dalam telinganya—bukan dari luar, tetapi dalam telinga! Kalimat macam apa itu? Siapa yang mengatakannya?

"Hiduplah dalam kesucian yang berada di ambang sekarat. Hiduplah menjadi kesucian itu… hiduplah menjadi kesucian itu!"

Suara bergema yang semula halus menjadi meninggi. Ia merasa terkejut, tetapi masih tidak bisa bereaksi. Dalam posisi terpejam dan tubuh seperti melayang ke atas secara teratur, Zevana berusaha keras melenturkan otot-otot tubuhnya.

"Hiduplah kau, hiduplah dari kematian…."

Bersamaan dengan kalimat bisikan itu, tiba-tiba saja Zevana terguncang hebat karena tubuhnya mencuat ke permukaan air. Kedua kelopak matanya terbuka. Mulutnya megap-megap setelah merasakan beban tubuh. Hampir saja tubuhnya tak bisa menjaga keseimbangan, tenggelam ke dalam air.

Zevana segera mengubah posisi tubuh untuk naik ke permukaan kembali. Kepalanya muncul dari bawah air, tetapi ia kesulitan menahan tubuh dari arus sungai.

"T-tolong!" Zevana berseru susah payah, menjulurkan kedua tangan ke permukaan air. Memberikan sinyal meminta tolong. "S-siapa… pun…"

Sekuat mungkin Zevana mencoba berenang menuju tepi sungai. Sialnya Zevana berada di sungai yang membentang lebar. Otaknya buntu untuk menemukan cara bagaimana bisa mencapai tepi sungai ini.

Namun saat Zevana sudah kelelahan mencoba melawan arus, Zevana mengingat kekuatan air yang akan lebih besar kalau dilawan.

Maka Zevana akhirnya melemaskan diri, membiarkan tubuhnya mengikuti aliran air. Tatapan matanya tertuju ke salah satu batu besar yang terdapat batang pohon terbengkalai terjulur memanjang ke tengah sungai.

Zevana mulai bersiap-siap. Dengan sekuat tenaga tubuhnya sedikit diarahkan agar bisa mencapai batang pohon terbengkalai itu. Semakin dekat, satu tangannya mulai terulur bersiap untuk meraih batang pohon itu.

"Satu… dua…" Zevana mengeluarkan tenaga untuk mendorong tubuh berenang ke depan. "Tiga, aku mendapatkanmu!"

HAP!

Zevana mengerang selama kedua tangannya mendekap batang pohon. Sementara arus sungai yang cukup deras membuatnya sempat hilang keseimbangan.

"Tahan, tahan, ayolah naik," gumam Zevana selama menarik tubuhnya dari arus air sungai. Tangannya kian kuat mendekap batang pohon. "Ayolah, naik!"

"Hei! Raih ini!"

Suara seseorang dari samping, tidak jauh, mencuri perhatian Zevana. Ada seorang lelaki sebaya yang sudah menjulurkan sebuah tali kepada Zevana. Di belakangnya seorang pria dewasa memasang raut wajah khawatir.

Karena hanya memikirkan keselamatan dirinya, Zevana meraih tali yang diulurkan ke batang pohon. Setelah Zevana melepaskan diri dari batang pohon dan mencengkeram tali itu, si lelaki muda dan pria dewasa langsung menarik tali.

"Cobalah dorong tubuhmu melawan arus!" Lelaki muda itu berseru di sela menarik tali.

"Aku mencoba!" balas Zevana.

Beruntung hanya dalam hitungan detik, tenaga kedua orang asing dan Zevana bisa mengangkat tubuh Zevana dari air. Susah payah Zevana naik ke tepi sungai.

"Kau baik-baik saja?" Pria dewasa mendekat, membantu Zevana.

Sekarang tubuh Zevana sudah berada di daratan. Zevana terbatuk-batuk selama beberapa saat, tiba-tiba merasa sesak seakan tubuhnya penuh air.

"Dasar wanita ceroboh." Lelaki muda asing berdiri di samping Zevana sambil menarik talinya dari sungai. "Kau gila ingin menenggelamkan diri?"

Zevana mengangkat kepala, menatap lelaki muda dengan rambut pirang dan sepasang mata tampak menjengkelkan.

"Kau pikir… aku ingin mati?" Zevana menjawab tak kalah ketus.

Lelaki muda asing itu hanya mengangkat kedua bahu tak acuh. Tali sudah selesai digulung, lalu si lelaki muda melangkah pergi ke tempat keberadaan tas.

Sementara pria dewasa di samping Zevana menghela napas. "Sikapnya memang seperti itu. Kau pasti kesal, 'kan?"

Tidak ada jawaban. Sekarang Zevana memikirkan tentang dirinya sendiri. Mengapa bisa berada di sungai? Sejak kapan dirinya di sana?

"Oh, siapa namamu? Apa kau tersesat?" Si pria dewasa bertanya.

Pertanyaan itu semakin membingungkan Zevana. Karena… dia tidak tahu siapa namanya! Tidak ada yang terlintas di otaknya sekalipun Zevana mencoba berpikir keras.

"Aku tidak tau," jawab Zevana. "Aku tidak tau namaku siapa."

***

Suara percikan api dari api unggun perapian di ruang tengah rumah pondok ini mengisi keheningan.

Di depan perapian, Zevana duduk bersama seorang pria dewasa dengan rambut beruban beberapa titik. Sementara terdengar suara gelak tawa anak-anak sedang bermain dari belakangnya.

Pandangan Zevana termangu pada percikan api sekian langkah di depannya. Ia masih memeluk diri sendiri yang terbalut kain. Namun Zevana tidak merasakan ketenangan dari hangatnya api. Zevana terbayang saat dirinya entah bagaimana bisa terapung di sungai.

Tiba-tiba dari samping terdengar suara gelas dari batang pohon diletakkan. Aroma asing yang aneh membuat hidung Zevana sempat berkedut. Seperti minuman ramuan.

"Hei, wanita tanpa nama, minumlah ini," Seseorang berkata dari samping.

Zevana hanya melirik sekilas ke gelas berbahan batang pohon di meja. Tidak menunjukkan minat sama sekali.

Melihat reaksi Zevana, yang bagi Arres—si pria lebih muda dan sebaya—tidak sopan, Arres berdecak. Dia menyodorkan gelas berisi minuman ramuan daun Eggmos lebih dekat kepada Zevana.

"Sudah kubuatkan. Minumlah."

"Aku tidak ingin apa pun."

Arres mengernyit, sedangkan si pria dewasa menghentikan pergerakannya. Bunyi tombak diasah langsung tiada.

"Hei, wanita aneh, kau tidak tau sopan santun. Kami tidak tau siapa kau, tapi kenapa sikapmu begini?"

"Ssst, Arres. Sudahlah," tegur si pria dewasa karena melihat kekesalan Arres.

Arres berakhir membuang napas berat bersamaan melemaskan kedua bahu. Membuang muka, ia menggeleng jengah, seperti enggan berurusan lagi dengan Zevana. Apalagi melihat segurat ketidakacuhan Zevana—yang, sungguh, menyebalkan.

Perhatian si pria dewasa dialihkan kepada Zevana.

"Sebenarnya kau siapa?" tanyanya kepada Zevana. Lebih tenang dibandingkan Arres.

Zevana belum menjawab.

Dari sorot mata Zevana, si pria dewasa menangkap ketakutan dan kelinglungan. Entah kenapa lama-kelamaan Arres yang juga menyadari sorot itu merasa iba.

"Kau sungguh tidak ingat namamu?"

Untuk pertanyaan itu, kepala Zevana mengangguk sebagai jawaban.

"Kau siapa?" Zevana bertanya lirih tanpa memandang si pria dewasa.

"John. Namaku John." John, si pria dewasa, kemudian meletakkan tombak ke keramik. "Aku menemukan bola kekuatanmu. Arres, berikan."

Arres, dengan malasnya, mengambil Agyss—bola kekuatan—warna krem. Bola itu diberikan kepada Zevana yang sudah memandang dengan tersedu.

"Menjengkelkan. Kenapa kau sedih menatap agyss-mu?" Arres bertanya dengan jengah.

Zevana menjulurkan tangan untuk menerima bola Agyss-nya. Namun saat kain Zevana tak sengaja tertarik ke atas, Arres melihat sebuah tanda pada tangan Zevana.

Simbol gelombang tertiup angin berukuran kecil terletak di dekat area siku.

"Tunggu." Arres menahan tangan Zevana, diperhatikan baik-baik simbol itu. Matanya sampai memicing. "Simbol apa ini?"

Mata Zevana mengikuti arah tatapan Arres, lalu memperhatikan simbol di tangannya sendiri.

"Apa?" tanya Zevana.

"John, ke sini," titah Arres tanpa mengalihkan tatapan. "Apa kau familier dengan simbol ini?"

Tertarik dengan pembicaraan Arres, John kemudian beranjak. Kedua kakinya mendekati keberadaan Zevana dan Arres.

"Ada apa…" Kalimat John menggantung seketika setelah membungkukkan badan.

Menyadari John hanya diam saja, Arres mengangkat kepala. Keningnya langsung berkerut melihat reaksi John. Sorot mata John berubah memancarkan keterkejutan melihat simbol tangan Zevana.

"Ada apa, John?" tanya Arres yang merasa ada sesuatu di balik reaksi John.

John masih bergeming. Secara perlahan menegakkan lagi tubuhnya. Namun mata John tidak lepas dari simbol tangan Zevana. Seperti tercengang setelah melihat sesuatu amat berharga.

"Tidak ada apa-apa," jawab John akhirnya, terdengar lirih.

Sayangnya Arres tidak percaya. Ia yakin sekali kalau John menyembunyikan sesuatu tentang simbol di tangan Zevana. Namun John terlihat enggan untuk mengatakan sesuatu.

"Kau ini apa-apaan!" Zevana tiba-tiba menyentakkan tangannya, melepaskan cengkeraman tangan Arres.

Arres terkejut dan sontak menoleh. Melihat Zevana yang memandangnya was-was sekaligus kesal.

"Aku mau tidur."

Zevana berdiri dari duduknya dan melenggang pergi begitu saja. Bahkan tidak menghiraukan minuman ramuan dari Arres. Seolah-olah menegaskan rasa tidak minatnya untuk meminum itu.

Arres langsung tertawa melengos. Ia menyeringai melihat sikap Zevana yang angkuh sekali.

"Kau! Kau seharusnya kubiarkan mati saja di sungai!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status