Seiring langkah sosok siluet itu menuju titik keberadaan enam penyihir, kabut-kabut ungu kehitaman membuat makhluk hidup di sekelilingnya layu. Mati hanya dalam hitungan detik. Hutan yang sudah hampir mati tak bernyawa, kini semakin menjadi hitam pekat.
Pepohonan seketika membengkok karena ranting-rantingnya tidak bernyawa. Akar-akarnya seakan kaku, makhluk-makhluk melolong kesakitan sebab jiwa mereka dicabut paksa. Tanda-tanda seperti ini… keenam penyihir sudah bisa mengetahui siapa yang datang. "Sang Bayang Hitam," lirih Narvi, memandang khawatir sosok siluet yang disembunyikan kabut pekat. Aslyn menggeram kesal. Dia menjulurkan Agyss merah miliknya ke arah sosok siluet itu. "Mavesto Ila—ah!" Aslyn langsung terlempar ke samping, menghantam batang pohon besar yang sudah mati. "Aslyn!" Narvi dan Maggni berseru serempak. Aslyn mengerang memegang dadanya. Serangan sihir kabut yang tiba-tiba melesat cepat seakan menusuk dadanya. Sekuat mungkin Aslyn mencengkeram bola kekuatan Agyss miliknya agar terlepas dari tangannya. Tersulut kekesalan, Maggni menggertakkan gigi-giginya kepada sosok siluet yang tersembunyi di antara kabut pekat. Dia baru ingin menjulurkan Agyss merah miliknya, tetapi sesuatu terasa menusuk punggung, lalu melilit pinggangnya amat kuat. "Arghhh!" Maggni mengerang dengan kedua mata terpejam erat, merasakan sakit bagai seribu jarum menusuk. "P-panggil… panggil Zevana!" "Kalian berpikir akan bisa mengalahkanku?" Albus terkejut melihat pemandangan kedua penyihir hendak menyerang Sang Bayang Hitam, tetapi serangan sihir kabut menghunjam. Gryffin miliknya mulai terbang tidak stabil. Albus tidak bisa mengendalikan hingga gryffin-nya semakin lama semakin terbang lemah.Tubuh Albus mendarat menggelinding ke tanah bersamaan gryffin-nya yang jatuh tertusuk runcing batang pohon. Rintihan sakit gryffin itu membekukan sekujur tubuh Albus. Kematian gryffin sama saja kematian sebagian hidupnya. "Tidak!" Albus berseru menjulurkan satu tangan dalam posisi terjerembab. "Tidak, Malvoy! Malvoy!" Sayang sekali, Malvoy—gryffin Albus—mati hitungan detik kemudian. Napas Albus tersengal-sengal karena emosinya tersulut. Manik matanya langsung berkilat marah. Albus mengalihkan pandangan kepada sosok siluet berkabut tak jauh darinya. Segera Albus menjulurkan Agyss biru. "Geviosa pellene!" Akar-akar mati pepohonan hampir saja ingin timbul dari tanah. Namun kabut ungu pekat yang melaju secepat kilat berubah menjadi akar lebih tebal, menahan pergerakan akar-akar dari sihir Albus. Sekuat mungkin Albus mempertahankan sihirnya meskipun akar-akar mati itu dililit habis oleh akar sihir Sang Bayang Hitam. Erangan Albus keluar selama mempertahankan sihirnya, tetapi lengan Albus langsung tersentak ke atas. Agyss miliknya terlempar. "Argh!" Albus berseru ketika sesuatu mulai melilit dari kaki hingga ke pinggang. "Umero Povetta!"Berulang kali Albus berupaya mengeluarkan sihir dari telapak tangan. Sihir memutus akar sihir terkutuk yang melilit tubuhnya sekarang. Namun kekuatannya seakan hilang. "Dinding pelindungku tidak kuat bertahan lama!" Seruan Malvosa terdengar saat menjaga dinding pelindung beku. Agyss biru miliknya berkelap-kelip pertanda tingkat kekuatan menurun. Situasi menjadi genting. Albus, Maggni, dan Aslyn sudah terperangkap sihir kabut hitam. Dinding pelindung beku Malvosa tak lama kemudian pecah dan sihir kabut langsung menghunjam. Malvosa serta Narvi terlilit akar mati yang mencekik pernapasan mereka. Sementara Iluvia yang menunggangi gryffin langsung terjatuh ke tanah dan merintih. Agyss miliknya terlepas dari tangan. "KALIAN TIDAK BISA MENGHANCURKANKU!""GEVARUS MARVETTO!" Kabut sihir terkutuk yang bergerak seperti gelombang langsung menguap setelah gelombang sihir muncul tiba-tiba. Keenam penyihir sontak terperangah, lalu serempak mengalihkan pandangan ketika mendengar lolongan serigala. "Zevana?" Aslyn memanggil dengan lirih, menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum nanar. "Dia datang, akhirnya dia datang!"Berlainan dengan Aslyn, ketiga penyihir lelaki—Narvi, Albus, dan Maggni—bersikap was-was melihat serigala abu-abu yang menjadi kendaraan Zevana. Mereka bertanya-tanya dalam diam: sejak kapan Zevana, seorang penyihir, berteman dengan seorang werewolf? Serigala abu-abu melesat cepat dari belakang, menembus barikade sihir buatan Zevana. Di hadapan kabut ungu pekat yang mematikan nyawa makhluk-makhluk dan kehidupan sekeliling, serigala abu-abu berhenti atas kemauan Zevana. "Nuvesalus mollis, suviante solum, ingerdian lousia!"Setelah tiga mantra diucapkan, satu per satu makhluk-makhluk yang sudah mati perlahan bangkit. Erangan dari tiga makhluk sejenis raksasa terdengar menggema. Bersamaan dengan itu empat kilatan petir menggelegar, Zevana menghadapkan empat petir itu untuk menyerang pasukan makhluk sihir terkutuk. Lalu satu tangan Zevana bergerak seperti mengayunkan sesuatu ke depan. Lengkingan kesakitan melolong dari balik kabut akibat terkena petir yang menyambar. Ranting-ranting berubah menjadi tombak api dan melesat menuju sesuatu di balik kabut. Hanya suara gema seseorang mengerang—Zevana menduga itu karena serangan tombak apinya. "Zevana… kau datang…"Zevana berdiri tegap seakan menantang kabut di depannya. Manik mata abu-abu yang tajam itu mengawasi sekeliling. Sejujurnya Zevana merasa sangat penasaran dengan wujud Sang Bayang Hitam. "Tentu saja. Kau pikir aku akan melarikan diri?!" Zevana balas berseru. "Ha-ha-ha!" Tawa menggelegar yang berat menggema. Jelas saja itu adalah ejekan. "Aku pikir kau sudah menjadi pecundang, Zevana!"Kedua tangan Zevana mengepal kuat. Matanya sudah menyala putih pertanda kekuatan dalam dirinya semakin menggebu-gebu."Kalian semua penyihir-penyihir angkuh! Mengapa kalian tidak mempercayai ramalan kitab itu? Terlalu mudah bagiku menghancurkan kalian."Zevana masih terdiam dengan tatapan mengawasi sekeliling. Semakin Zevana mencoba mengatur emosi, semakin emosi itu meletup lebih kuat. "Tunjukkan dirimu, Sang Bayang Hitam. Kau yang pengecut karena tidak berani keluar dari pelindung kabutmu!" Dari arah samping kanan depan Zevana, serangan kabut sihir hampir saja menghujam tubuhnya. Beruntung Zevana bisa menghindari serangan kabut sihir dari Sang Bayang Hitam. "Aku tidak akan membiarkanmu menguasai Negeri Amaphera!" Suara Zevana bertepatan dengan jatuhnya tombak petir di titik keberadaan Sang Bayang Hitam. Frans sudah berubah kembali menjadi manusia, memandang takjub Zevana dengan kekuatan hebatnya menyerang menggunakan tiga sihir langka. Api, membangkitkan kematian makhluk, dan kuasa petir. Diam-diam ia menunggu suatu reaksi akan muncul dari diri Zevana. "Claster—"Pelafalan mantra Zevana langsung terhenti ketika merasakan rasa panas menusuk pada salah satu kakinya. Rasa panas yang seakan menembus kulit, daging, membakar kaki Zevana. "Argh…" Zevana melihat luka bakarnya bergerak menjalar dengan percikan api ke seluruh kulit kaki. "Apa ini?" Hanya dalam hitungan tiga detik, rasa panas itu semakin melebar dan mengebaskan sekujur kaki. Zevana tidak bisa memindahkan kakinya untuk mundur. "Andraca luves…" Zevana menggumamkan mantra penyembuh luka. "Argh! Apa ini?!"Sayangnya, mantra penyembuh luka Agyss-nya tidak berpengaruh. Zevana tersentak mengangkat kepala saat dadanya seakan dihujam jarum-jarum kecil. Rasa sakit dari kaki mengalir di antara sel-sel darah menuju dada, meninggalkan tekanan kram luar biasa pada perut, dan menusuk ulu hatinya. "Zevana!" Seruan dari enam penyihir lain terdengar. Napas Zevana tercekat. Kini seluruh tubuhnya sungguh-sungguh tidak bisa bergerak. Zevana hanya bisa berdiri kaku, menatap sosok siluet di balik kabut dengan tajam."Inilah… inilah masa kejayaanku! Negeri Amaphera akan tunduk di bawah kuasaku!"Zevana menggeram kesal. Ia tidak bisa berbuat apa pun. "Serahkan Agyss-nya ke padaku!"Tangan Zevana masih mencengkeram erat Agyss miliknya. "Maafkan aku, Zevana." Mata Zevana melirik ke samping, melihat Frans mengambil paksa Agyss dari tangannya. Zevana merasa terkejut dan memandang Frans tak percaya. "Kau mengatakan kalau kau menyelamatkanku," ujar Zevana penuh penekanan marah. "Obat itu adalah jebakan?"Frans sudah memegang Agyss milik Zevana. "Aku menyelamatkan Negeri Amaphera. Dia mengincar Agyss milikmu. Negeri Amaphera akan semakin hancur kalau benda ini tidak diberikan."Zevana tidak bisa melawan saat bola kekuatan Agyss miliknya melayang bersama kabut hitam pekat. Warna putih Agyss itu perlahan berubah menjadi hitam seiring kabut sihir terkutuk menyelimuti. Tanah tiba-tiba berguncang. Tak lama kemudian tampak sebuah cahaya hitam penuh kabut menjulang ke langit. Dinding pelindung Zevana pecah, membuat sihir hitam langsung melesat menghunus enam penyihir yang saat itu terkulai lemas. Zevana sesak mendengar jeritan kesakitan keenam penyihir lain. Kabut ungu pekat mencabut inti jiwa mereka tanpa iba. Tak ada apa pun yang bisa dilakukan Zevana. Rasa panas menusuk tiba di tenggorokan—kematian benar-benar menunggu depan mata! Kedua mata Zevana terpejam erat, merapalkan mantra dalam hati. Namun semua mantra tak berfungsi. Seiring Agyss miliknya telah berubah, maka kekuatan diri Zevana akan hancur. "Selamat tinggal, Zevana."Hanya itu kalimat terakhir yang didengar Zevana sebelum ia merasakan penyiksaan lebih besar. Jeritan sakit panjang Zevana melolong ketika sesuatu dalam tubuhnya ditarik paksa. Zevana baru terjatuh lemas setelah inti jantungnya dicabut paksa oleh Sang Bayang Hitam.(Tiga abad kemudian.)Dingin, gelap, sunyi, nyeri bagai penyiksaan menjalar ke sekujur tubuh, dan otot-otot seakan terkunci kaku. Zevana tidak mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Telinganya berdengung kuat mendapatkan tekanan dari kedua sisi. Tak ada bagian dari tubuhnya yang bisa digerakkan. Hanya sakit. Sakit sekali—dan tak bisa dilawan meski otak Zevana sudah mengirim sinyal ke tubuhnya agar bergerak.Tubuh Zevana bergerak melayang perlahan semakin ke atas. Tidak, bukan melayang, lebih tepatnya mengapung. Rasa nyeri dari tekanan pada sekujur tubuh membuatnya kebas, dingin menusuk kulit—bahkan rasanya berkali lipat menusuk ketimbang rasa panas luka bakar melepuhkan kulit. Kedua matanya tidak bisa dibuka. Entah apa yang menggerakkan tubuhnya sekarang. Semakin mengapung naik, semakin dirinya merasakan tekanan. Dalam hening Zevana ingin menangis, tetapi otot wajahnya pun tidak bereaksi untuk membentuk ekspresi. Tak ada suara yang didengar olehnya kecuali dengung menyakitkan.
Kegelapan yang mencekam menyambut kedua mata Zevana begitu kelopak mata itu terbuka. Entah bagaimana bisa Zevana secara tiba-tiba terbangun di tengah hutan. Udara dingin jatuh menusuk pori-pori seiring Zevana bangkit posisi menjadi duduk. Butuh waktu beberapa detik bagi Zevana untuk memperhatikan sekeliling. Siluet pepohonan menjulang tinggi, siluet dedaunan yang tumbuh lebat menutup akses cahaya bulan, dan suara-suara hewan hutan sahut-bersahutan. Tunggu, ini pasti masih mimpi, elaknya dalam hati ketika agak kesulitan berdiri dari duduk. Tubuhnya bergerak sempoyongan sambil menjulurkan tangan, meraba-raba sekitar. Ini mengerikan. Tidak ada cahaya membuat pergerakan Zevana sungguh kesulitan. Zevana merasakan seluruu bulu kuduknya seketika meremang mendengar nada-nada siul burung hantu. Masalahnya, Zevana tidak bisa melihat wujud burung hantu itu. Netra Zevana hanya menangkap siluet-siluet sekitar."Cahaya, di mana ca—" kalimat Zevana seketika terhenti setelah sepasang matanya mene
Sial. Zevana sama sekali tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Mimpi buruk yang mendatanginya saat beberapa waktu lalu masih terngiang-ngiang. Katakanlah Zevana terlalu berlebihan karena, alih-alih menganggap angin lalu mimpi itu, justru memikirkannya amat keras. Persetan. Bayang-bayang wanita di antara kabut yang menyelimuti sekujur tubuh membuat Zevana tidak nyaman. Entah kenapa Zevana merasa seperti familiar dengan wanita itu. Ini semacam perasaan ketika dirinya bertemu seseorang, lalu bertemu lagi kesekian kalinya. Namun Zevana tidak bisa mengingat. Sejak kapan dirinya mengenal atau bertemu wanita menyeramkan itu?"Argggh!" Zevana mengusap kepala bagian kanannya, frustasi. "Kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun? Dan ... siapa nama yang disebut wanita itu?"Benar. Ada nama yang disebut sosok wanita berkabut dalam mimpinya: Zevana. Apakah itu nama dirinya? Sebenarnya Zevana sendiri tidak yakin. Meskipun di sisi lain, jika diingat-ingat ulang, Zevana tidak menemukan siapa
"AISH…."Langit semakin pekat. Hanya ada suara burung hantu yang tidak ada wujudnya bercampur deru napas tersengal-sengal. Tidak ada lagi kejaran para pasukan sialan yang entah dari mana datangnya. Di sinilah Zevanna dan Arres terjebak. Karena hanya fokus melarikan diri dari para pasukan sialan, keduanya tidak sadar telah memasuki bagian hutan lebih dalam. Mereka memang berhasil melarikan diri. Sayang sekali, mereka tidak tahu di mana keberadaan mereka sekarang. "Kau mengajakku berlari tanpa berpikir kita akan terjebak!" Arres menghardik Zevanna. Tentu saja Zevanna tidak terima. Tubuh Zevanna langsung menegak—setelah sedari tadi membungkuk memegang kedua lutut. Zevanna memandang Arres dengan rasa tidak terima. "Hei. Aku menyelamatkanmu dari kejaran mereka," ujar Zevanna yang membela dirinya. "Kenapa sikapmu menyebalkan begitu?" Siapa yang sudi disalahkan? Lagipula Arres ini menyebalkan. Sudah beruntung tadi Zevanna sempat menarik tangannya supaya mereka bisa melarikan diri bers
"Jadi, kau pikir aku tidak mungkin menjadi penyihir kerajaan yang pandai karena menurutmu aku bodoh?"Zevana bertanya, membalas perkataan Arres beberapa saat lalu. Sebenarnya bisa saja Zevana langsung membalas pada saat Arres mengatakan dirinya bodoh, tidak bisa apa-apa, dan ceroboh. Namun Zevana lebih memilih mencoba menenangkan diri, mengikuti Arres sampai mereka sudah memasuki hutan lebih dalam.Kejengkelan Zevana akan berisiko membuatnya ingin meninju Arres. Kalau saja bukan karena Arres yang mengobatinya tadi, Zevana tidak akan segan melayangkan tinju. Masalahnya, selain karena Arres sudah mengobatinya tadi, tenaganya tidak sekuat itu untuk meninju. "Memang," jawab Arres yang berada dua langkah di depan Zevana. "Apa kau tidak sadar?" Zevana mendecak. Lantas tertawa miring bernada sinis. "Bisa-bisanya kau mengatakan aku seperti itu. Padahal aku yang menyelamatkanmu dari kejaran para pasukan sialan.""Itu hanya keberuntungan. Kalau tidak beruntung, kita tidak akan selamat.""Ke
Bagaimana bisa Zevana meninggalkan Arres dalam keadaan tenang? Zevana melambankan laju larinya ketika tiba di tanjakan menuju bukit tebing Zelf. Nafasnya terengah-engah setelah sejak tadi berlari dengan rasa ketakutan kalau akan ada serigala yang mengikutinya dari belakang menghantui. Sepanjang berlari menuju tebing Zelf, Zevana tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang bagaimana kondisi Arres. Ia mengingat bentuk dua serigala yang menyerang mereka berdua tadi: bertubuh besar, gagah, tinggi hampir mencapai dua meter, berbulu lebat sampai menutupi seluruh tubuh. Zevana merinding mengingat bentuk tubuh dua serigala yang sempat memblokade jarak dirinya dan Arres. Kenapa Arres sangat bodoh untuk menyerahkan diri mengalihkan perhatian dua serigala besar itu? Memangnya ada jaminan Arres akan menang dan selamat? 'Sial! Sekarang aku justru tidak tenang karena memikirkan keadaan Arres!'Zevana meletakkan kedua tangannya pada pinggang. Dalam keheningan, ia mengatur napas sembari memperhatik
Kegelapan paling terkutuk datang. Kegelapan terkutuk yang akan mengendalikan jiwa, mengundang kehancuran, mengancam negeri dan tanah suci.Empat ratus tahun lalu, ramalan itu ditemukan tercatat dalam kitab penyihir Negeri Amaphera—sebuah kitab yang mencatat kesaktian, kekuatan, penyiksaan, dan segala hal yang terjadi pada penyihir setiap zaman. Namun kitab kuno itu telah ditinggalkan dan tidak dipercaya siapa pun. Kerajaan-kerajaan seluruh klan di Negeri Amaphera mengalami perkembangan zaman. Mereka meninggalkan kepercayaan kepada kitab kuno itu, menganggap kekuatan gelap tidak mungkin kembali, berganti menaruh kepercayaan kepada naluri tujuh penyihir terkuat Negeri Amaphera dan bola kekuatan Agyss. Tujuh penyihir yang dipilih langsung oleh para dewa-dewi, dan bola kekuatan Agyss tingkat tertinggi mereka yang diturunkan secara turun-temurun telah menghancurkan kekuatan gelap lima ratus tahun lalu. Sayangnya, ramalan itu terjadi. "Maviolus peviatto!" Lolongan kesakitan terdengar d
Bagaimana bisa Zevana meninggalkan Arres dalam keadaan tenang? Zevana melambankan laju larinya ketika tiba di tanjakan menuju bukit tebing Zelf. Nafasnya terengah-engah setelah sejak tadi berlari dengan rasa ketakutan kalau akan ada serigala yang mengikutinya dari belakang menghantui. Sepanjang berlari menuju tebing Zelf, Zevana tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang bagaimana kondisi Arres. Ia mengingat bentuk dua serigala yang menyerang mereka berdua tadi: bertubuh besar, gagah, tinggi hampir mencapai dua meter, berbulu lebat sampai menutupi seluruh tubuh. Zevana merinding mengingat bentuk tubuh dua serigala yang sempat memblokade jarak dirinya dan Arres. Kenapa Arres sangat bodoh untuk menyerahkan diri mengalihkan perhatian dua serigala besar itu? Memangnya ada jaminan Arres akan menang dan selamat? 'Sial! Sekarang aku justru tidak tenang karena memikirkan keadaan Arres!'Zevana meletakkan kedua tangannya pada pinggang. Dalam keheningan, ia mengatur napas sembari memperhatik
"Jadi, kau pikir aku tidak mungkin menjadi penyihir kerajaan yang pandai karena menurutmu aku bodoh?"Zevana bertanya, membalas perkataan Arres beberapa saat lalu. Sebenarnya bisa saja Zevana langsung membalas pada saat Arres mengatakan dirinya bodoh, tidak bisa apa-apa, dan ceroboh. Namun Zevana lebih memilih mencoba menenangkan diri, mengikuti Arres sampai mereka sudah memasuki hutan lebih dalam.Kejengkelan Zevana akan berisiko membuatnya ingin meninju Arres. Kalau saja bukan karena Arres yang mengobatinya tadi, Zevana tidak akan segan melayangkan tinju. Masalahnya, selain karena Arres sudah mengobatinya tadi, tenaganya tidak sekuat itu untuk meninju. "Memang," jawab Arres yang berada dua langkah di depan Zevana. "Apa kau tidak sadar?" Zevana mendecak. Lantas tertawa miring bernada sinis. "Bisa-bisanya kau mengatakan aku seperti itu. Padahal aku yang menyelamatkanmu dari kejaran para pasukan sialan.""Itu hanya keberuntungan. Kalau tidak beruntung, kita tidak akan selamat.""Ke
"AISH…."Langit semakin pekat. Hanya ada suara burung hantu yang tidak ada wujudnya bercampur deru napas tersengal-sengal. Tidak ada lagi kejaran para pasukan sialan yang entah dari mana datangnya. Di sinilah Zevanna dan Arres terjebak. Karena hanya fokus melarikan diri dari para pasukan sialan, keduanya tidak sadar telah memasuki bagian hutan lebih dalam. Mereka memang berhasil melarikan diri. Sayang sekali, mereka tidak tahu di mana keberadaan mereka sekarang. "Kau mengajakku berlari tanpa berpikir kita akan terjebak!" Arres menghardik Zevanna. Tentu saja Zevanna tidak terima. Tubuh Zevanna langsung menegak—setelah sedari tadi membungkuk memegang kedua lutut. Zevanna memandang Arres dengan rasa tidak terima. "Hei. Aku menyelamatkanmu dari kejaran mereka," ujar Zevanna yang membela dirinya. "Kenapa sikapmu menyebalkan begitu?" Siapa yang sudi disalahkan? Lagipula Arres ini menyebalkan. Sudah beruntung tadi Zevanna sempat menarik tangannya supaya mereka bisa melarikan diri bers
Sial. Zevana sama sekali tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Mimpi buruk yang mendatanginya saat beberapa waktu lalu masih terngiang-ngiang. Katakanlah Zevana terlalu berlebihan karena, alih-alih menganggap angin lalu mimpi itu, justru memikirkannya amat keras. Persetan. Bayang-bayang wanita di antara kabut yang menyelimuti sekujur tubuh membuat Zevana tidak nyaman. Entah kenapa Zevana merasa seperti familiar dengan wanita itu. Ini semacam perasaan ketika dirinya bertemu seseorang, lalu bertemu lagi kesekian kalinya. Namun Zevana tidak bisa mengingat. Sejak kapan dirinya mengenal atau bertemu wanita menyeramkan itu?"Argggh!" Zevana mengusap kepala bagian kanannya, frustasi. "Kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun? Dan ... siapa nama yang disebut wanita itu?"Benar. Ada nama yang disebut sosok wanita berkabut dalam mimpinya: Zevana. Apakah itu nama dirinya? Sebenarnya Zevana sendiri tidak yakin. Meskipun di sisi lain, jika diingat-ingat ulang, Zevana tidak menemukan siapa
Kegelapan yang mencekam menyambut kedua mata Zevana begitu kelopak mata itu terbuka. Entah bagaimana bisa Zevana secara tiba-tiba terbangun di tengah hutan. Udara dingin jatuh menusuk pori-pori seiring Zevana bangkit posisi menjadi duduk. Butuh waktu beberapa detik bagi Zevana untuk memperhatikan sekeliling. Siluet pepohonan menjulang tinggi, siluet dedaunan yang tumbuh lebat menutup akses cahaya bulan, dan suara-suara hewan hutan sahut-bersahutan. Tunggu, ini pasti masih mimpi, elaknya dalam hati ketika agak kesulitan berdiri dari duduk. Tubuhnya bergerak sempoyongan sambil menjulurkan tangan, meraba-raba sekitar. Ini mengerikan. Tidak ada cahaya membuat pergerakan Zevana sungguh kesulitan. Zevana merasakan seluruu bulu kuduknya seketika meremang mendengar nada-nada siul burung hantu. Masalahnya, Zevana tidak bisa melihat wujud burung hantu itu. Netra Zevana hanya menangkap siluet-siluet sekitar."Cahaya, di mana ca—" kalimat Zevana seketika terhenti setelah sepasang matanya mene
(Tiga abad kemudian.)Dingin, gelap, sunyi, nyeri bagai penyiksaan menjalar ke sekujur tubuh, dan otot-otot seakan terkunci kaku. Zevana tidak mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Telinganya berdengung kuat mendapatkan tekanan dari kedua sisi. Tak ada bagian dari tubuhnya yang bisa digerakkan. Hanya sakit. Sakit sekali—dan tak bisa dilawan meski otak Zevana sudah mengirim sinyal ke tubuhnya agar bergerak.Tubuh Zevana bergerak melayang perlahan semakin ke atas. Tidak, bukan melayang, lebih tepatnya mengapung. Rasa nyeri dari tekanan pada sekujur tubuh membuatnya kebas, dingin menusuk kulit—bahkan rasanya berkali lipat menusuk ketimbang rasa panas luka bakar melepuhkan kulit. Kedua matanya tidak bisa dibuka. Entah apa yang menggerakkan tubuhnya sekarang. Semakin mengapung naik, semakin dirinya merasakan tekanan. Dalam hening Zevana ingin menangis, tetapi otot wajahnya pun tidak bereaksi untuk membentuk ekspresi. Tak ada suara yang didengar olehnya kecuali dengung menyakitkan.
Seiring langkah sosok siluet itu menuju titik keberadaan enam penyihir, kabut-kabut ungu kehitaman membuat makhluk hidup di sekelilingnya layu. Mati hanya dalam hitungan detik. Hutan yang sudah hampir mati tak bernyawa, kini semakin menjadi hitam pekat. Pepohonan seketika membengkok karena ranting-rantingnya tidak bernyawa. Akar-akarnya seakan kaku, makhluk-makhluk melolong kesakitan sebab jiwa mereka dicabut paksa. Tanda-tanda seperti ini… keenam penyihir sudah bisa mengetahui siapa yang datang. "Sang Bayang Hitam," lirih Narvi, memandang khawatir sosok siluet yang disembunyikan kabut pekat. Aslyn menggeram kesal. Dia menjulurkan Agyss merah miliknya ke arah sosok siluet itu. "Mavesto Ila—ah!" Aslyn langsung terlempar ke samping, menghantam batang pohon besar yang sudah mati. "Aslyn!" Narvi dan Maggni berseru serempak. Aslyn mengerang memegang dadanya. Serangan sihir kabut yang tiba-tiba melesat cepat seakan menusuk dadanya. Sekuat mungkin Aslyn mencengkeram bola kekuatan Agys
Kegelapan paling terkutuk datang. Kegelapan terkutuk yang akan mengendalikan jiwa, mengundang kehancuran, mengancam negeri dan tanah suci.Empat ratus tahun lalu, ramalan itu ditemukan tercatat dalam kitab penyihir Negeri Amaphera—sebuah kitab yang mencatat kesaktian, kekuatan, penyiksaan, dan segala hal yang terjadi pada penyihir setiap zaman. Namun kitab kuno itu telah ditinggalkan dan tidak dipercaya siapa pun. Kerajaan-kerajaan seluruh klan di Negeri Amaphera mengalami perkembangan zaman. Mereka meninggalkan kepercayaan kepada kitab kuno itu, menganggap kekuatan gelap tidak mungkin kembali, berganti menaruh kepercayaan kepada naluri tujuh penyihir terkuat Negeri Amaphera dan bola kekuatan Agyss. Tujuh penyihir yang dipilih langsung oleh para dewa-dewi, dan bola kekuatan Agyss tingkat tertinggi mereka yang diturunkan secara turun-temurun telah menghancurkan kekuatan gelap lima ratus tahun lalu. Sayangnya, ramalan itu terjadi. "Maviolus peviatto!" Lolongan kesakitan terdengar d