Sial. Zevana sama sekali tidak bisa memejamkan mata dengan tenang.
Mimpi buruk yang mendatanginya saat beberapa waktu lalu masih terngiang-ngiang. Katakanlah Zevana terlalu berlebihan karena, alih-alih menganggap angin lalu mimpi itu, justru memikirkannya amat keras. Persetan. Bayang-bayang wanita di antara kabut yang menyelimuti sekujur tubuh membuat Zevana tidak nyaman. Entah kenapa Zevana merasa seperti familiar dengan wanita itu. Ini semacam perasaan ketika dirinya bertemu seseorang, lalu bertemu lagi kesekian kalinya. Namun Zevana tidak bisa mengingat. Sejak kapan dirinya mengenal atau bertemu wanita menyeramkan itu?"Argggh!" Zevana mengusap kepala bagian kanannya, frustasi. "Kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun? Dan ... siapa nama yang disebut wanita itu?"Benar. Ada nama yang disebut sosok wanita berkabut dalam mimpinya: Zevana.Apakah itu nama dirinya?Sebenarnya Zevana sendiri tidak yakin. Meskipun di sisi lain, jika diingat-ingat ulang, Zevana tidak menemukan siapa pun kecuali dirinya yang berhadapan dengan wanita berkabut dalam mimpinya."Apakah aku dan wanita itu benar-benar pernah bertemu? Tapi, aku hanya ingat saat diriku tenggelam di sungai," gumam Zevana lagi yang diakhiri helaan napas pasrah.Sungguh Zevana tidak bisa mengingat apa pun—dan itu membuatnya membenci diri sendiri. Kenapa yang tersisa dalam memori kepalanya justru saat-saat dirinya nyaris bertemu kematian?Sudah muak memikirkan sesuatu yang tak menemukan jawaban, Zevana ingin beranjak duduk. Namun tiba-tiba ada rasa perih begitu menyengat pada tulang selangka bagian kiri. Mengejutkan Zevana sehingga tangan sebelah kiri yang menumpu tubuh untuk beranjak seketika terjatuh kembali.Zevana langsung mengerang. "Argh... apa ini? Kenapa sakit sekali?"Rasa perih menyengat itu bagai api yang ditempelkan ke kulit. Sensasi panas menjalar dengan tak menyenangkan. Zevana memaksakan diri untuk duduk bersandar."Sial," rutuk Zevana setelah menyandarkan punggung ke sandaran ranjang rotan. "Apa yang terjadi?"Tangan Zevana menyibak sedikit kerah baju lusuhnya. Di sela wajah yang meringis, matanya melebar tak menyangka.Sebuah luka yang memar merah pekat membentuk lingkaran berada di bawah tulang selangka kiri. Pada luka memar merah pekat itu terdapat garis-garis kecil samar tak beraturan. Persis menyerupai urat-urat namun warnanya hitam pendar.Di tengah lingkaran luka memar, segaris robekan kulit tampak masih baru, tapi tidak ada darah keluar. Anehnya garis robekan kulit Zevana itu menyambung ke garis-garis samar yang menyerupai sekumpulan urat. Membentuk lambang tongkat dengan pucuk bulan sabit."Apa ini?!" Zevana berjengit terkejut. Mulutnya menganga tak percaya. "Mengapa ... mengapa ... aishh, rasanya perih sekali!"Tuk! Tuk!"Kupikir aku salah mendengar kebisingan dalam kamarmu. Kau belum tidur, Nona Tidak Sopan?"Suara dari arah jendela menyentakkan Zevana. Pandangannya sudah was-was sekaligus menutup kembali kerah bajunya. Sempat terpikirkan akan ada pemburu hutan menyelinap ke jendelanya, tapi ternyata ..."Arres?"Dari jendela yang kini pintu berbahan rotan sudah terbuka setengah, Arres meloncat ke dalam kamar. Zevana mengerutkan kening antara bingung dan tidak percaya."Bagaimana caranya kau bisa masuk? Bukankah kamarku ada di lantai dua?" tanya Zevana, menodongkan kecurigaan.Arres sudah tiba di samping Zevana. Membungkukkan badan sedikit, mengulurkan satu tangan ke arah luka Zevana."Kau menyembunyikan sesuatu di sana?" tanya Arres dengan mata memicing.Zevana mengernyit mengantisipasi, mencengkeram kerah baju lebih erat."Hei! Kau lancang sekali!" tandas Zevana. Sorot matanya masih memancarkan kewaspadaan.Namun karena melihat Arres begitu serius, kewaspadaan Zevana berangsur-angsur mereda."Kau ... mendengar keluhanku tadi?""Uh-hum," jawab Arres sambil menganggukkan kepala singkat. "Kalau kau izinkan, biar aku lihat lukamu.""Hanya sebatas lihat lukanya saja," ancam Zevana, memberikan mata nyalang.Kedua sudut bibir Arres menyunggingkan senyuman miring. "Kalau kau izinkan, aku bisa melihat yang lain." Namun setelah Zevana melotot tajam, ia tertawa sinis singkat. "Yang lain, maksudku, kalung yang tersembunyi di balik kerah bajumu."Sungguh Zevana tidak tahu kalau nyatanya Arres memperhatikan hal-hal kecil seperti itu.Masa bodoh. Zevana tidak mau tahu tentang itu. Karena merasa penasaran dengan lukanya, Zevana perlahan membuka kerah bajunya. Menunjukkan bagaimana rupa luka memar merah pekat yang baru saja ditemukannya.Tubuh Arres kembali membungkuk. Matanya memicing untuk memperhatikan detail."Tunggu, ini luka robekan?"Zevana mengangguk. "Iya. Anehnya, luka ini masih terasa sakit seperti baru muncul. Tapi tidak ada darah mengalir.""Tidak ada bekas kering darah juga," suara Arres menyiratkan keheranan. "Kapan kau mendapatkan luka ini?""Entahlah. Aku baru sadar saat bangun tidur tadi."Menegakkan tubuhnya lagi, Arres mengatakan, "Jangan bohong. Kau tidak tidur."Dua alis tebal Zevana terangkat. "Bagaimana kau lagi-lagi tau?"Alih-alih menjawab, Arres justru membuang napas kasar melalui mulut. Tangannya diletakkan di pinggang."Ikut aku. Kita cari ramuan untuk menyembuhkan lukamu."Belum sempat Zevana menjawab, Arres sudah melenggang pergi dari ranjang. Berjalan menuju jendela kamar, lalu berhenti dengan satu tangan memegang pintu jendela rotan setengah tertutup.Arres menolehkan wajah melihat Zevana. "Kalau kau tetap diam seperti orang bodoh di sana, lukamu akan semakin perih, Nona Tidak Sopan!"***Zevana seperti mengalami Deja vù ketika menyusuri suasana hutan.Sayup-sayup suara burung hantu bersahutan menyapa telinganya. Sama sekali tidak ada secercah cahaya, bahkan sinar bulan, sebab terhalang rimbun daun dari pepohonan menjulang.Mata Zevana berulang kali mengerjap dan memicing hanya agar bisa melihat jelas. Meskipun nihil, pekat hutan ini nyaris membuatnya tersandung akar pohon yang timbul di sepanjang jalan setapak."Sebenarnya kau ingin mengajakku ke mana?" tanya Zevana kepada Arres yang berjalan di depan.Arres masih sibuk menyibakkan rerumputan setinggi hampir mencapai siku kaki. Sementara satu tangan Arres menggenggam bola kekuatan Agyss warna krem.Sial. Zevana lupa membawa Agyss miliknya."Mencari bahan ramuan untuk lukamu," jawab Arres tanpa menengok.Zevana mendesis. Semilir angin menjatuhi sensasi dingin pada kulit Zevana. Ada atmosfer tegang sehingga detak jantungnya berdetak tak karuan."Bagaimana lukamu?" Arres kembali bertanya.Bahkan Zevana sampai melupakan sensasi perih luka di tulang selangkanya."Masih perih," balas Zevana seadanya. "Apakah jaraknya jauh?""Kalau kau mengeluh terus-menerus, jaraknya akan jauh."Zevana menghela napas berat. Jujur saja bukan permasalahan jauh atau tidaknya. Namun netra Zevana seakan harus berusaha ekstra untuk melihat sekeliling. Kegelapan kental hutan ini sungguh membuatnya tidak nyaman.Suasana yang dirasakan sekarang memancing ingatan Zevana tentang mimpi buruknya.Sunyi-senyap, tanpa cahaya, dingin, segalanya menggambarkan begitu jelas. Zevana belum melupakan aliran darah berdesir tak nyaman yang dirasakannya dalam mimpi—sekarang, Zevana merasakan itu juga!"Arres, kau tau kita sudah berjalan menyusuri hutan sangat dalam?"Arres berhenti menyibakkan rerumputan yang menghalangi. Sejenak bergeming, dan membuat Zevana turut menghentikan langkah."Memangnya kenapa? Kau takut?" Suara Arres terdengar ketus sekaligus kesal."Tidak. Hanya ... kenapa firasatku tidak enak? Kau tidak—""Hei, Nona Tidak Sopan," pangkas Arres sebelum membalikkan badan. "Bisakah kau diam? Aku sungguh jengkel sekali denganmu."Zevana tidak peduli tatapan kesal Arres. Masalahnya, kini telinga Zevana mendengar samar-samar kebisingan dari kejauhan.Mulanya Zevana pikir itu adalah suara hewan-hewan hutan. Namun lama-kelamaan suara keramaian itu menjadi suara sekumpulan prajurit bersorak. Lalu disusul suara pacuan ketukan kaki kuda."Arres, kau tidak mendengar ada sesuatu aneh?" Zevana bertanya di sela serius mendengarkan."Jangan melantur. Tidak ada ....""HEI, INI AROMA PENYIHIR! TANGKAP MEREKA!"Zevana dan Arres tidak bereaksi selama sepersekian detik. Namun siluet sekumpulan kuda kian lama kian bergerak mendekat menuju ke arah mereka berdua.Barulah Zevana mengerti. Mereka berdua adalah target sekumpulan kuda di sana.Tanpa basa-basi, Zevana menarik pergelangan tangan Arres untuk segera melarikan diri. Arres yang masih gamang mengikuti ke mana Zevana membawanya pergi.Di tengah pelarian, Arres dan Zevana saling melempar pandangan. Segurat kepanikan dan kebingungan terbentuk amat jelas pada wajah masing-masing."Siapa yang mereka maksud penyihir!?"Zevana tidak bisa menjawab. Namun entah kenapa, saat dirinya mulai kelelahan menjauhi sekumpulan pasukan itu, sekelebat bisikan terdengar.'Emfanto Similura, emfanto similura, emfanto similura.'Lalu netra Zevana menangkap cahaya bola Agyss di tangan Arres berpendar-pendar. Ada gejolak dorongan dalam batinnya untuk mengambil bola Agyss itu. Gejolak yang begitu kuat, menekan dada, hingga Zevana menyambar bola Agyss tanpa aba-aba.Mendengar instruksi bisikan secara berkala dalam kepala, Zevana membalikkan badan. Berhenti berlari dan mengacungkan bola Agyss ke arah sekumpulan pasukan."Emfanto Similura!" Sebuah mantra terucap begitu saja seperti mesin otomatis.Sedetik setelah itu, tanah yang akan dilalui para pasukan tiba-tiba berguncang. Menyembur serupa letusan gunung berapi.Zevana tercengang. Begitu pula Arres. Saat itu, Arres bahkan sempat tak bisa berkutik. Sepasang matanya memperhatikan Zevana terperangah."Kau ... kenapa kau bisa menggunakan mantra itu?"Zevana menganga. Melihat kedua telapak tangannya yang masih diletakkan bola Agyss di atasnya.Ini mustahil. Bagaimana bisa Zevana melakukan penyerangan mantra tadi?!"AISH…."Langit semakin pekat. Hanya ada suara burung hantu yang tidak ada wujudnya bercampur deru napas tersengal-sengal. Tidak ada lagi kejaran para pasukan sialan yang entah dari mana datangnya. Di sinilah Zevanna dan Arres terjebak. Karena hanya fokus melarikan diri dari para pasukan sialan, keduanya tidak sadar telah memasuki bagian hutan lebih dalam. Mereka memang berhasil melarikan diri. Sayang sekali, mereka tidak tahu di mana keberadaan mereka sekarang. "Kau mengajakku berlari tanpa berpikir kita akan terjebak!" Arres menghardik Zevanna. Tentu saja Zevanna tidak terima. Tubuh Zevanna langsung menegak—setelah sedari tadi membungkuk memegang kedua lutut. Zevanna memandang Arres dengan rasa tidak terima. "Hei. Aku menyelamatkanmu dari kejaran mereka," ujar Zevanna yang membela dirinya. "Kenapa sikapmu menyebalkan begitu?" Siapa yang sudi disalahkan? Lagipula Arres ini menyebalkan. Sudah beruntung tadi Zevanna sempat menarik tangannya supaya mereka bisa melarikan diri bers
"Jadi, kau pikir aku tidak mungkin menjadi penyihir kerajaan yang pandai karena menurutmu aku bodoh?"Zevana bertanya, membalas perkataan Arres beberapa saat lalu. Sebenarnya bisa saja Zevana langsung membalas pada saat Arres mengatakan dirinya bodoh, tidak bisa apa-apa, dan ceroboh. Namun Zevana lebih memilih mencoba menenangkan diri, mengikuti Arres sampai mereka sudah memasuki hutan lebih dalam.Kejengkelan Zevana akan berisiko membuatnya ingin meninju Arres. Kalau saja bukan karena Arres yang mengobatinya tadi, Zevana tidak akan segan melayangkan tinju. Masalahnya, selain karena Arres sudah mengobatinya tadi, tenaganya tidak sekuat itu untuk meninju. "Memang," jawab Arres yang berada dua langkah di depan Zevana. "Apa kau tidak sadar?" Zevana mendecak. Lantas tertawa miring bernada sinis. "Bisa-bisanya kau mengatakan aku seperti itu. Padahal aku yang menyelamatkanmu dari kejaran para pasukan sialan.""Itu hanya keberuntungan. Kalau tidak beruntung, kita tidak akan selamat.""Ke
Bagaimana bisa Zevana meninggalkan Arres dalam keadaan tenang? Zevana melambankan laju larinya ketika tiba di tanjakan menuju bukit tebing Zelf. Nafasnya terengah-engah setelah sejak tadi berlari dengan rasa ketakutan kalau akan ada serigala yang mengikutinya dari belakang menghantui. Sepanjang berlari menuju tebing Zelf, Zevana tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang bagaimana kondisi Arres. Ia mengingat bentuk dua serigala yang menyerang mereka berdua tadi: bertubuh besar, gagah, tinggi hampir mencapai dua meter, berbulu lebat sampai menutupi seluruh tubuh. Zevana merinding mengingat bentuk tubuh dua serigala yang sempat memblokade jarak dirinya dan Arres. Kenapa Arres sangat bodoh untuk menyerahkan diri mengalihkan perhatian dua serigala besar itu? Memangnya ada jaminan Arres akan menang dan selamat? 'Sial! Sekarang aku justru tidak tenang karena memikirkan keadaan Arres!'Zevana meletakkan kedua tangannya pada pinggang. Dalam keheningan, ia mengatur napas sembari memperhatik
Kegelapan paling terkutuk datang. Kegelapan terkutuk yang akan mengendalikan jiwa, mengundang kehancuran, mengancam negeri dan tanah suci.Empat ratus tahun lalu, ramalan itu ditemukan tercatat dalam kitab penyihir Negeri Amaphera—sebuah kitab yang mencatat kesaktian, kekuatan, penyiksaan, dan segala hal yang terjadi pada penyihir setiap zaman. Namun kitab kuno itu telah ditinggalkan dan tidak dipercaya siapa pun. Kerajaan-kerajaan seluruh klan di Negeri Amaphera mengalami perkembangan zaman. Mereka meninggalkan kepercayaan kepada kitab kuno itu, menganggap kekuatan gelap tidak mungkin kembali, berganti menaruh kepercayaan kepada naluri tujuh penyihir terkuat Negeri Amaphera dan bola kekuatan Agyss. Tujuh penyihir yang dipilih langsung oleh para dewa-dewi, dan bola kekuatan Agyss tingkat tertinggi mereka yang diturunkan secara turun-temurun telah menghancurkan kekuatan gelap lima ratus tahun lalu. Sayangnya, ramalan itu terjadi. "Maviolus peviatto!" Lolongan kesakitan terdengar d
Seiring langkah sosok siluet itu menuju titik keberadaan enam penyihir, kabut-kabut ungu kehitaman membuat makhluk hidup di sekelilingnya layu. Mati hanya dalam hitungan detik. Hutan yang sudah hampir mati tak bernyawa, kini semakin menjadi hitam pekat. Pepohonan seketika membengkok karena ranting-rantingnya tidak bernyawa. Akar-akarnya seakan kaku, makhluk-makhluk melolong kesakitan sebab jiwa mereka dicabut paksa. Tanda-tanda seperti ini… keenam penyihir sudah bisa mengetahui siapa yang datang. "Sang Bayang Hitam," lirih Narvi, memandang khawatir sosok siluet yang disembunyikan kabut pekat. Aslyn menggeram kesal. Dia menjulurkan Agyss merah miliknya ke arah sosok siluet itu. "Mavesto Ila—ah!" Aslyn langsung terlempar ke samping, menghantam batang pohon besar yang sudah mati. "Aslyn!" Narvi dan Maggni berseru serempak. Aslyn mengerang memegang dadanya. Serangan sihir kabut yang tiba-tiba melesat cepat seakan menusuk dadanya. Sekuat mungkin Aslyn mencengkeram bola kekuatan Agys
(Tiga abad kemudian.)Dingin, gelap, sunyi, nyeri bagai penyiksaan menjalar ke sekujur tubuh, dan otot-otot seakan terkunci kaku. Zevana tidak mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Telinganya berdengung kuat mendapatkan tekanan dari kedua sisi. Tak ada bagian dari tubuhnya yang bisa digerakkan. Hanya sakit. Sakit sekali—dan tak bisa dilawan meski otak Zevana sudah mengirim sinyal ke tubuhnya agar bergerak.Tubuh Zevana bergerak melayang perlahan semakin ke atas. Tidak, bukan melayang, lebih tepatnya mengapung. Rasa nyeri dari tekanan pada sekujur tubuh membuatnya kebas, dingin menusuk kulit—bahkan rasanya berkali lipat menusuk ketimbang rasa panas luka bakar melepuhkan kulit. Kedua matanya tidak bisa dibuka. Entah apa yang menggerakkan tubuhnya sekarang. Semakin mengapung naik, semakin dirinya merasakan tekanan. Dalam hening Zevana ingin menangis, tetapi otot wajahnya pun tidak bereaksi untuk membentuk ekspresi. Tak ada suara yang didengar olehnya kecuali dengung menyakitkan.
Kegelapan yang mencekam menyambut kedua mata Zevana begitu kelopak mata itu terbuka. Entah bagaimana bisa Zevana secara tiba-tiba terbangun di tengah hutan. Udara dingin jatuh menusuk pori-pori seiring Zevana bangkit posisi menjadi duduk. Butuh waktu beberapa detik bagi Zevana untuk memperhatikan sekeliling. Siluet pepohonan menjulang tinggi, siluet dedaunan yang tumbuh lebat menutup akses cahaya bulan, dan suara-suara hewan hutan sahut-bersahutan. Tunggu, ini pasti masih mimpi, elaknya dalam hati ketika agak kesulitan berdiri dari duduk. Tubuhnya bergerak sempoyongan sambil menjulurkan tangan, meraba-raba sekitar. Ini mengerikan. Tidak ada cahaya membuat pergerakan Zevana sungguh kesulitan. Zevana merasakan seluruu bulu kuduknya seketika meremang mendengar nada-nada siul burung hantu. Masalahnya, Zevana tidak bisa melihat wujud burung hantu itu. Netra Zevana hanya menangkap siluet-siluet sekitar."Cahaya, di mana ca—" kalimat Zevana seketika terhenti setelah sepasang matanya mene