"Kyran, are you okay?"Arcy menghentikan langkahnya di depan tangga setelah mendengar suara Ayers di kamarnya. Ia kemudian mendekati pintu kamar yang terbuka—mengintip ke dalam. Di sana Ayers tengah berdiri menghadap dinding. Mulutnya terus melontarkan begitu banyak pertanyaan dengan nada khawatir, sesekali nama Kyran terdengar.Arcy membuka lebih lebar pintu kamar tersebut. "Ayers, kau sedang apa?"Ayers menoleh. "Bicara pada Kyran."Arcy mengerutkan kening. "Melalui dinding?""Ya, aku selalu melakukan ini setiap malam," jawab Ayers lugas. Arcy menghela napas berat. "Kau mau apa?" tanya pria itu."Makan malam sudah siap."Ayers bejalan mendekat, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Kau masak?""Ya.""Sejak kapan?" tanya Ayers seraya mendahului Arcy turun.Arcy tersenyum miring. "Kau memang tidak pernah mengenalku."Sampai di bawah, Ayers langsung duduk di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring spaghetti dan sebotol wine. "Kau yang masak spaghetti ini?""Apa kau melihat o
Paginya Ayers sibuk mengamati dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada sedikit pun yang kurang dari penampilannya. Selanjutnya ia memutar tubuh ke arah Arcy yang sejak tadi menyandar di depan pintu kamarnya."Bagaimana? Apa aku sudah kelihatan sempurna?" tanyanya pada pria itu.Arcy tidak langsung menjawab, menghela napas pelan sebelum menegakkan tubuh. "Ayers ... sebagus apa pun penampilanmu, Kyran tidak akan bisa melihatnya."Ucapan sang Kakak membuat Ayers terdiam seketika. "Ya ... kau benar," gumamnya begitu pelan. Ada rasa perih di dada saat mengingat jika orang yang ia cintai tidak bisa melihatnya."Sayang sekali, padahal aku sangat tampan, tapi Kyran tidak mengetahuinya," lanjut Ayers, terkekeh miris.Arcy mengulum bibir, tidak berniat ikut tertawa atas candaan Adiknya. "Pakai saja apa yang membuatmu nyaman, tidak usah berlebihan."Ayers menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Kalau begitu aku pergi dulu.""Hari ini aku akan pulang." Kalimat Arcy menghentikan la
Sepi.Tidak ada lagi suara keramaian yang pendengaran Kyran tangkap seperti beberapa saat yang lalu. Genggaman tangannya di lengan Ayers pun perlahan mengendur."Ah, suasana pedesaan yang tenang memang yang terbaik," celetuk Ayers. "Bukan begitu, Kyran?"Kyran hanya mengangguk. Tak tahu di mana mereka sekarang berada. Yang bisa Kyran rasakan, udara di sini lebih sejuk, panas terik matahari seakan membakar kulitnya, namun ada semilir angin dingin yang meredakan. Entahlah, Kyran belum pernah merasakan suasana seperti ini sebelumnya.Ayers berhenti, otomatis Kyran pun mengikut. "Ayers ... seperti apa pemandangan di sekitar kita?" tanya Kyran penasaran."Baiklah." Ayers melepaskan tangan Kyran, lalu memutar tubuh gadis itu menghadap ke kiri. "Di belakangmu ada ladang anggur yang sangat luas. Sementara di depanmu ada wilayah pegunungan, dan tepat di atasnya matahari terik sekali. Di kaki gunung tersebut ada pepohonan yang rimbun, namun beberapa meter ke sini, hanya ada rerumputan, keduanya
Mittelbergheim, France—11:40 PMCekrek!"Perfect." Ayers Matthieu tersenyum puas melihat hasil jepretannya, pria berusia dua puluh tiga tahun itu lalu mengangkat kepala, menatap sebuah rumah khas Eropa kuno yang baru saja ia potret. Sebelum kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang akan ditempatinya selama liburan musim panas. Suasana klasik terasa sangat kental di rumah ini, seakan dirinya ditarik kembali ke abad pertengahan.Sembari menelisik sekitar, Ayers memotret bagian-bagian rumah yang menurutnya cocok dijadikan objek foto. Setelah puas, pria itu naik ke lantai dua menuju kamarnya. "Wow ... tidak salah lagi, Mittelbergheim memang pilihan yang tepat untuk berlibur." Ayers melihat sekeliling kamarnya. Ruangan kecil ini dilengkapi dengan single bed, lemari dua pintu, meja serta kursi, yang semuanya terbuat dari kayu.Ayers melepaskan tas ranselnya. Pria itu lalu memasukkan pakaiannya dengan asal ke dalam lemari. Niatnya ingin cepat-cepat beristirahat setelah menempuh perjalanan
Sinar matahari langsung menyorot Ayers ketika ia baru saja membuka pintu rumah, membuat matanya menyipit. Sejenak pria itu mengamati penduduk desa yang sedang beraktivitas.Tak lama berselang pintu di sebelah rumahnya terbuka. Seorang gadis muncul setelahnya. Pakaiannya rapi dan rambutnya disanggul asal, namun tetap cantik. Gadis itu tersenyum pada Ayers saat melewatinya, yang tanpa sungkan Ayers pun membalasnya.Namun, itu bukan gadis yang ia lihat tadi malam. Ayers ingat betul jika rambut gadis itu hitam dan lurus—meski hanya terlihat sepintas. Tapi yang ini memiliki warna rambut kecokelatan.Ayers tersenyum kecil. "Kalau bisa dapat dua, kenapa harus satu." Melirik ke arah jendela kamar gadis bersuara merdu itu, sebelum akhirnya melangkah untuk berkeliling desa. Tak lupa dengan kamera yang selalu menggantung di lehernya.Sesekali Ayers berhenti ketika menemukan pusat menarik untuk fotonya. Kemudian melanjutkan perjalanannya hingga tiba di sebuah jalan di mana kanan kirinya ditumbuhi
"Who is that girl I see ... staring straight back at me ....""Why is my reflection someone I don't know ....""Must I pretend that I am ... someone else for all time ....""When will my reflection show ... who I am inside ...."Tanpa diduga ternyata gadis itu bernyanyi lagi. Ayers yang masih mengeringkan rambutnya menggunakan handuk seusai mandi, berlari cepat menuju jendela saat mendengar suara khas bernyanyi dari gadis di sebelah rumah. Ayers ingin menyapanya. Namun, ketika membuka jendela yang terlihat hanya sedikit dari sosok gadis itu. Pun rasanya tidak sopan jika menyapa melalui jendela seperti ini.Alhasil, Ayers melempar handuknya ke sembarang tempat dan buru-buru keluar. Sampai di luar, Ayers berdiri tepat di depan jendela kamar gadis itu. Kepalanya mendongak. Senyumnya mengembang saat dirinya berhasil melihat wajah dari gadis itu sepenuhnya. Ayers terpesona memandangnya. Gadis itu benar-benar sangat cantik, matanya terpejam saat bernyanyi, rambut hitam lurusnya beterbangan
Paginya Ayers sudah bersiap untuk bertamu di rumah tetangganya, yang mana tujuannya hanyalah menemui gadis pemilik suara merdu yang berhasil membuatnya penasaran dengan sosok misteriusnya. Ayers ingin tahu, gadis itu memang ingin mengabaikannya atau sengaja bersikap demikian agar bisa menarik perhatiannya.Dengan pakaian santai dan sekeranjang buah di tangan, Ayers melangkahkan kaki ke rumah sederhana yang berdiri kokoh di samping rumahnya.Tiba di depan rumah tersebut, Ayers langsung mengetuk pintu beberapa kali. Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul setelahnya—yang kemungkinan adalah Ibu dari Isabelle dan gadis yang belum Ayers ketahui namanya."Kau siapa?" tanya wanita itu, matanya bergerak mengamati Ayers dari atas hingga ke bawah.Ayers tersenyum manis. "Bonjour, Bibi. Perkenalkan nama saya Ayers, orang yang menyewa rumah Bibi Marthe. Saya ke sini untuk memberikan ini sebagai salam perkenalan," ujar Ayers basa-basi seraya menyodorkan keranjang buah yang dibawanya.Wanit
Setelah makan malam, Ayers memutuskan duduk di depan laptop untuk memeriksa semua hasil jepretannya. Di samping itu, pikirannya justru melayang ke mana-mana. Tidak biasanya ia tidak fokus pada apa yang dikerjakannya.Jam dinding berbunyi, tanda sudah tengah malam. Ayers pun meregangkan otot-ototnya, kemudian menutup laptop. Pria berambut hitam itu berdiri, berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana."Who is that girl I see ...."Mata Ayers membulat. Langsung ia bangkit dan bergegas keluar rumah. Terlihat sosok gadis misterius itu ketika Ayers sudah berdiri di depan jendela kamarnya. Seperti sebelum-sebelumnya, mata gadis itu akan terpejam saat bernyanyi.Ayers terus memerhatikan gadis itu. Dari penampilannya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Ia tampak seperti manusia pada umumnya. Namun, gaun tidur berwarna putih yang selalu ia pakai dan rambut panjang terurai begitu saja dengan kulitnya yang pucat, sukses membuat bulu kuduk Ayers berdiri.Pria itu menelan ludah