Paginya Ayers sudah bersiap untuk bertamu di rumah tetangganya, yang mana tujuannya hanyalah menemui gadis pemilik suara merdu yang berhasil membuatnya penasaran dengan sosok misteriusnya. Ayers ingin tahu, gadis itu memang ingin mengabaikannya atau sengaja bersikap demikian agar bisa menarik perhatiannya.
Dengan pakaian santai dan sekeranjang buah di tangan, Ayers melangkahkan kaki ke rumah sederhana yang berdiri kokoh di samping rumahnya.
Tiba di depan rumah tersebut, Ayers langsung mengetuk pintu beberapa kali. Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul setelahnya—yang kemungkinan adalah Ibu dari Isabelle dan gadis yang belum Ayers ketahui namanya.
"Kau siapa?" tanya wanita itu, matanya bergerak mengamati Ayers dari atas hingga ke bawah.
Ayers tersenyum manis. "Bonjour, Bibi. Perkenalkan nama saya Ayers, orang yang menyewa rumah Bibi Marthe. Saya ke sini untuk memberikan ini sebagai salam perkenalan," ujar Ayers basa-basi seraya menyodorkan keranjang buah yang dibawanya.
Wanita itu tersenyum semringah, lalu menerima keranjang berisi buah-buahan dari Ayers. "Oh, jadi kau yang bernama Ayers. Isabelle bercerita banyak tentangmu. Ayo, masuklah." Ia membuka lebar pintunya, lalu mempersilakan Ayers masuk.
Ayers yang sedari tadi mencuri-curi pandang ke dalam rumah, berujar mencari keberadaan gadis pemilik suara indah itu, dengan sangat senang hati melangkah masuk.
"Omong-omong, Ayers. Kau bisa memanggilku Jane. Aku Ibunya Isabelle," katanya memperkenalkan diri. Ayers hanya tersenyum sebagai respons atas ucapan Jane. "Duduk dulu, aku akan memanggil Isabelle, kebetulan hari ini dia tidak bekerja," ujar Jane antusias, kemudian berjalan menaiki tangga kecil yang terbuat dari kayu.
Ayers mencebikkan bibir, ia ke sini untuk bertemu anak perempuan Jane yang satunya, bukan Isabelle.
"Ayers."
Ayers menoleh ke arah tangga, tersenyum kala melihat Isabelle tengah berjalan ke arahnya. "Hai ...." balas Ayers disertai senyum lebar.
"Apa yang membawamu kemari, Ayers?" tanya Isabelle setelah mendudukkan dirinya di hadapan Ayers.
"Hanya ingin berkunjung ke sini," jawab Ayers, Isabelle mengangguk. "Kau tinggal bersama orang tuamu di sini?" Ayers bertanya, matanya meliar, seperti sedang mencari sesuatu.
"Ya, aku hanya tinggal bersama Ayah dan Ibuku."
Ayers terdiam sejenak, tiba-tiba kepalanya dipenuhi banyak sekali pertanyaan setelah mendengar perkataan Isabelle. "Bagaimana dengan Adik atau Kakakmu yang di kamar atas itu?"
Alis Isabelle berkerut bingung. "Maksudmu?"
"Yang setiap malam bernyanyi itu." Ucapan Ayers semakin membuat Isabelle bingung. Ayers menegapkan tubuh, menatap Isabelle dengan serius. "Aku selalu mendengarnya bernyanyi di kamar atas yang letaknya tepat berada di sebelah kamarku. Aku sangat menyukai suaranya, namun saat aku mencoba menyapa, dia malah mengabaikanku. Dia Kakakmu atau Adikmu, karena sungguh aku—"
"Ayers!" sela Isabelle, raut tak terbaca sangat kentara di wajahnya. "Siapa yang kau bicarakan? Tidak ada gadis lain selain aku di rumah ini, dan ... kamar di atas sana tidak ada yang menempati."
Suasana berubah menjadi senyap. Ayers merasakan tubuhnya membeku, sementara otaknya berusaha memahami apa yang baru saja Isabelle katakan. "Jangan menakutiku ...." lirih Ayers, menelan ludah dengan susah payah.
"Justru kau yang membuatku takut. Siapa yang kau lihat itu?"
Ini benar-benar tidak masuk akal. Jelas sekali Ayers melihat perempuan di sana. Suaranya pun terdengar nyata di telinga Ayers. Tapi, kenapa Isabelle mengatakan jika kamar itu kosong dan dia tidak memiliki Kakak ataupun Adik? Lalu siapa yang Ayers lihat selama ini?
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Ayers keluar dari rumah Isabelle, pun gadis itu tidak mencegah. Ayers butuh waktu untuk mencerna semua ini. Tepat di bawah jendela kamar kosong itu. Ayers berhenti dan melihat ke atas. "Aneh," gumamnya, kemudian masuk ke dalam rumah.
***
"Aku perhatikan sedari tadi kau terus melamun, apa yang sedang kau pikirkan?" Marthe menyusun bahan makanan ke dalam kulkas, sesekali melirik pada Ayers yang sedang duduk melamun di meja makan. Meski rumahnya disewa oleh Ayers, tapi urusan dapur dan kebersihan rumah ia yang mengerjakan. Ayers sudah membayarnya mahal jadi tidak mungkin dia tidak membalasnya.
Ayers masih diam dalam kebingungan, hal itu semakin mengundang rasa penasaran Marthe. "Kau bisa cerita padaku jika memiliki masalah, aku tidak keberatan untuk mendengarkan."
"Bibi ...." Akhirnya Ayers membuka mulut, diam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. "Apa ... Bibi Jane memiliki anak perempuan?"
Marthe mengerutkan kening. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
Ayers tidak langsung menjawab. "Aku hanya ingin tahu ...."
"Ya, dia punya anak perempuan, namanya Isabelle."
"Bukan, maksudku selain Isabelle."
"Tidak, Jane hanya memiliki Isabelle," jawab Marthe.
Jantung Ayers berdegup kencang setelahnya. 'Benarkah yang kulihat itu hantu?' Pikir Ayers.
Ayers menggeleng keras. Ia yakin gadis itu bukan hantu seperti yang ada di pikirannya. Tidak ada hantu di dunia ini. Tapi, tidak mungkin juga Ayers berhalusinasi. Ia masih waras untuk tidak menciptakan bayang-bayang gadis cantik sementara di sekitarnya banyak yang nyata.
Ayers benar-benar pusing. Entah misteri apa yang sedang ia alami sekarang. Semuanya tampak nyata, namun tak seorang pun yang menyadari keberadaan gadis itu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi sekarang? Siapa gadis itu? Siapa yang ia ajak bicara setiap malam? Siapa yang selalu ia dengar nyanyiannya?
"Bibi, selama tinggal di sini, apa kau pernah mendengar suara seorang gadis bernyanyi di malam hari?"
Marthe berpikir sejenak. Wanita itu duduk di meja makan depan Ayers setelah selesai mengerjakan tugasnya. "Tidak pernah."
Ayers bungkam.
"Pertanyaanmu ini aneh sekali. Mana ada orang yang bernyanyi di malam hari." Marthe terkekeh, "kecuali ...." Dengan sangat serius Ayers menatap wajah Marthe. "Hantu," lanjut wanita itu diiringi dengan gelak tawa.
Setelah makan malam, Ayers memutuskan duduk di depan laptop untuk memeriksa semua hasil jepretannya. Di samping itu, pikirannya justru melayang ke mana-mana. Tidak biasanya ia tidak fokus pada apa yang dikerjakannya.Jam dinding berbunyi, tanda sudah tengah malam. Ayers pun meregangkan otot-ototnya, kemudian menutup laptop. Pria berambut hitam itu berdiri, berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana."Who is that girl I see ...."Mata Ayers membulat. Langsung ia bangkit dan bergegas keluar rumah. Terlihat sosok gadis misterius itu ketika Ayers sudah berdiri di depan jendela kamarnya. Seperti sebelum-sebelumnya, mata gadis itu akan terpejam saat bernyanyi.Ayers terus memerhatikan gadis itu. Dari penampilannya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Ia tampak seperti manusia pada umumnya. Namun, gaun tidur berwarna putih yang selalu ia pakai dan rambut panjang terurai begitu saja dengan kulitnya yang pucat, sukses membuat bulu kuduk Ayers berdiri.Pria itu menelan ludah
Ayers berdiri di depan jendela kamarnya. Sesekali dirinya menoleh ke kamar sebelah. Ingin rasanya ia lompat ke seberang dan masuk ke dalam kamar tersebut untuk memastikan sendiri makhluk apa yang ada di dalam sana. Karena sebenarnya Ayers masih memiliki keyakinan besar jika gadis itu bukan hantu.Sorot mata Ayers bergerak ke bawah saat seorang pria paruh baya mengetuk pintu rumah Isabelle. Sepertinya itu adalah Ayah Isabelle. Dan ternyata benar, pria itu masuk dengan disambut oleh Jane. Tiba-tiba terlintas di benak Ayers untuk bertanya langsung pada pria itu, mungkin saja ia mengetahui sesuatu karena sudah lama tinggal di rumah tersebut.Ayers segera bersiap-siap, ia sudah tidak tahan hidup dengan rasa penasaran. Teka-teki ini harus segera diselesaikan. Ia tidak ingin liburan yang harusnya membawa kesenangan malah justru membawa beban pikiran untuknya.Dengan cepat ia pergi ke rumah Isabelle untuk mencari kebenaran yang lebih jelas. Beberapa kali Ayers mengetuk pintu, namun masih tida
"Kyran ...." panggil Ayers untuk yang kesekian kalinya.Hening.Ayers duduk di lantai dengan posisi menyandar di tembok pembatas kamarnya dan kamar Kyran. Semenjak kedatangannya ke rumah Isabelle tiga hari lalu, Kyran tidak pernah lagi muncul untuk bernyanyi.Kepala Ayers bergerak ke samping kanan, memandang langit melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Kau tahu, malam ini langit sangat cerah. Bulan dan ribuan bintang di atas sana bersinar terang. Lihatlah, mereka begitu indah. Apa kau tidak berniat keluar dan menghibur mereka dengan nyanyianmu? Mereka merindukanmu ... sama sepertiku."Ayers menelan kuat salivanya, bibirnya melengkung tipis. "Benar, aku merindukanmu. Aku merindukan suara indahmu dan juga merindukan sosok cantikmu ... aku selalu menunggumu, tapi kau tak kunjung keluar.""Apa kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir, aku takut mereka melakukan sesuatu padamu." Ayers menunduk sedih. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah menyerah untuk bisa bicara denganmu, meski aku ta
Ayers kembali ke rumahnya, duduk di meja makan dengan tangan menggenggam segelas air. Bingung—haruskah ia menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan? Tapi, Ayers tidak yakin mereka mau membantu. Apalagi ini masalah wanita. Orang tuanya tahu benar bagaimana hubungan Ayers dan para wanita yang dikencaninya.Menghela napas, Ayers menenggak habis air minumnya. Pusing menyerang kepala. Jika di pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Pun Ayers merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Ragu, namun ia tetap menghubungi Ayahnya, karena hanya sang Ayah yang setidaknya bisa sedikit diajak bicara. Beberapa menit menunggu, akhirnya Aaron menerima panggilannya."Ayah ....""Ada apa?" Suara datar Aaron di seberang sana menyambut Ayers.Ayers diam senjenak. "Begini ... aku ingin ....""Katakan saja. Kau ingin apa?""Aku ingin ...." Ayers menelan kuat salivanya. "Aku ingin menikah."Lama tak terdengar respons dari Aaron. "Kenapa tiba-tiba? Siapa yang ingin kau nikahi? Wanita mana lagi yang
Ayers menceritakan pada Arcy awal dari pertemuan pertamanya dengan Kyran, tanpa ada yang terlewat. Pun Arcy menyimak dengan seksama, sambil sesekali menyesap winenya. Arcy merasakan hal yang sama seperti Ayers—bertanya-tanya mengapa Kyran harus disembunyikan, memanganya apa yang terjadi padanya?Tanpa menunggu lagi, Ayers segera mengajak Arcy ke rumah Kyran. "Apa Ayah dan Ibu tidak marah kau datang ke sini?" tanya Ayers ketika mereka baru saja keluar dari rumah."Apa mereka pernah marah padaku?""Ya, kau benar. Kau anak kesayangan mereka, tidak mungkin mereka memarahimu," pungkas Ayers, berjalan mendahului Arcy.Sampai di depan pintu rumah Jane, Ayers langsung mengetuk pintunya. Menoleh sejenak pada Arcy yang sudah berdiri di sampinya saat tak ada respons dari si pemilik rumah.Hingga akhirnya pintu dibuka oleh Jane. Wanita itu menatap bingung Arcy dan Ayers secara bergantian. "Ada apa?""Bonjour, Bibi. Saya Arcy, Kakaknya Ayers," ucap Arcy, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong
Ayers bersimpuh di depan Kyran, menggenggam tangan gadis yang saat ini sedang duduk di tempat tidurnya. "Jangan menangis lagi, kau sudah aman sekarang."Ayers memeriksa tangan dan kaki Kyran, tidak ada luka serius, kecuali di pergelangan tangan dan kakinya yang memang bekas rantai dan pasung. "Kyran, sejak kapan mereka melakukan ini padamu?" Kyran tidak menjawab, hingga Ayers menaikkan pandangannya. "Katakan saja, tidak perlu takut.""Ayers, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu." Arcy yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyela. "Aku menunggumu di bawah, ada hal yang harus kita bicarakan." Setelahnya Arcy berjalan keluar.Ayers berdiri, lalu mencium puncak kepala Kyran. "Istirahatlah.""Ayers ...."Ayers mendudukkan dirinya di samping gadisnya, menyunggingkan senyum meski tahu gadis itu tidak dapat melihatnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?""Kenapa kau membawaku ke rumahmu? Paman dan Bibi pasti akan sangat marah.""Mereka tidak akan bisa marah selama aku bersamamu."Kyran menela
"Kyran, are you okay?"Arcy menghentikan langkahnya di depan tangga setelah mendengar suara Ayers di kamarnya. Ia kemudian mendekati pintu kamar yang terbuka—mengintip ke dalam. Di sana Ayers tengah berdiri menghadap dinding. Mulutnya terus melontarkan begitu banyak pertanyaan dengan nada khawatir, sesekali nama Kyran terdengar.Arcy membuka lebih lebar pintu kamar tersebut. "Ayers, kau sedang apa?"Ayers menoleh. "Bicara pada Kyran."Arcy mengerutkan kening. "Melalui dinding?""Ya, aku selalu melakukan ini setiap malam," jawab Ayers lugas. Arcy menghela napas berat. "Kau mau apa?" tanya pria itu."Makan malam sudah siap."Ayers bejalan mendekat, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Kau masak?""Ya.""Sejak kapan?" tanya Ayers seraya mendahului Arcy turun.Arcy tersenyum miring. "Kau memang tidak pernah mengenalku."Sampai di bawah, Ayers langsung duduk di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring spaghetti dan sebotol wine. "Kau yang masak spaghetti ini?""Apa kau melihat o
Paginya Ayers sibuk mengamati dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada sedikit pun yang kurang dari penampilannya. Selanjutnya ia memutar tubuh ke arah Arcy yang sejak tadi menyandar di depan pintu kamarnya."Bagaimana? Apa aku sudah kelihatan sempurna?" tanyanya pada pria itu.Arcy tidak langsung menjawab, menghela napas pelan sebelum menegakkan tubuh. "Ayers ... sebagus apa pun penampilanmu, Kyran tidak akan bisa melihatnya."Ucapan sang Kakak membuat Ayers terdiam seketika. "Ya ... kau benar," gumamnya begitu pelan. Ada rasa perih di dada saat mengingat jika orang yang ia cintai tidak bisa melihatnya."Sayang sekali, padahal aku sangat tampan, tapi Kyran tidak mengetahuinya," lanjut Ayers, terkekeh miris.Arcy mengulum bibir, tidak berniat ikut tertawa atas candaan Adiknya. "Pakai saja apa yang membuatmu nyaman, tidak usah berlebihan."Ayers menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Kalau begitu aku pergi dulu.""Hari ini aku akan pulang." Kalimat Arcy menghentikan la