Setelah makan malam, Ayers memutuskan duduk di depan laptop untuk memeriksa semua hasil jepretannya. Di samping itu, pikirannya justru melayang ke mana-mana. Tidak biasanya ia tidak fokus pada apa yang dikerjakannya.
Jam dinding berbunyi, tanda sudah tengah malam. Ayers pun meregangkan otot-ototnya, kemudian menutup laptop. Pria berambut hitam itu berdiri, berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana.
"Who is that girl I see ...."
Mata Ayers membulat. Langsung ia bangkit dan bergegas keluar rumah. Terlihat sosok gadis misterius itu ketika Ayers sudah berdiri di depan jendela kamarnya. Seperti sebelum-sebelumnya, mata gadis itu akan terpejam saat bernyanyi.
Ayers terus memerhatikan gadis itu. Dari penampilannya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Ia tampak seperti manusia pada umumnya. Namun, gaun tidur berwarna putih yang selalu ia pakai dan rambut panjang terurai begitu saja dengan kulitnya yang pucat, sukses membuat bulu kuduk Ayers berdiri.
Pria itu menelan ludah dengan susah payah. Dirinya bertanya-tanya makhluk apa yang ada di depannya ini. Vampir? Manusia serigala? Atau makhluk jadi-jadian lainnya?
Sampai gadis itu selesai bernyanyi, Ayers masih pada posisinya. Gadis itu membuka matanya perlahan. Tatapan kosongnya mengarah lurus ke depan, kemudian tangannya bergerak untuk menutup jendela.
Ayers segera mencegah. "Tunggu!"
Gadis itu menghentikan gerakan tangannya. Tatapannya mengarah ke bawah. Diam dan tidak bicara.
"Si-siapa kau?!" Pertanyaan pertama yang terlintas di kepala Ayers. Jujur saja ia sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur jika memang gadis itu hantu ataupun makhluk mengerikan lainnya yang bisa menyerangnya kapan saja.
Tidak ada jawaban dari si gadis. Sekali lagi Ayers bertanya padanya. "Kau ... siapa?! Jawab aku!" desak Ayers sedikit meninggikan intonasinya.
Brak!
"AAA!!" Ayers spontan berteriak ketika pot bunga di pinggir pintu rumahnya tiba-tiba terjatuh entah karena apa. Jantungnya berdegup tidak karuan. Padahal angin tidak bertiup kencang malam ini. Memilih mengabaikan, Ayers pun mengatur napasnya sebelum kembali fokus pada gadis itu.
Tapi, saat Ayers mengalihkan pandangannya, gadis itu sudah tidak ada. Jendela kamarnya juga sudah tertutup rapat. Demi Tuhan belum ada satu menit Ayers berpaling dari gadis itu, tapi sekarang wujudnya sudah tidak lagi terlihat. Secepat itu dia menghilang? Bahkan pergerakannya tidak Ayers sadari sama sekali.
Suasan di sekitar Ayers mendadak menjadi horor. Buru-buru ia kembali masuk ke rumah, tidak lupa mengunci pintu, kemudian naik ke atas. Setibanya di kamar, pria itu langsung bersembunyi di balik selimut. Ini merupakan pengalaman paling mengerikan yang pernah Ayers alami seumur hidupnya.
***
Tok! Tok! Tok!
Ayers beranjak dari meja makan, berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Di depan pintu berdiri Isabelle dengan semangkuk sup di tangannya sembari tersenyum lebar.
"Isabelle?" Senyum Isabelle memudar kala melihat penampilan kacau Ayers, kantung mata pria itu menghitam seperti orang yang kurang tidur, dan wajahnya lesu. "Ada apa?" tanya Ayers.
Isabelle mengerjap. "Ini, aku buatkan sup untukmu sarapan."
Ayers menerima sup tersebut, bibirnya menyunggingkan senyum lebar. "Terima kasih."
"Sama-sama ... em, Ayers."
"Hm?"
"Kau baik-baik saja? Kau seperti orang yang sedang sakit."
Ayers tertawa kecil. "Aku baik. Hanya saja aku kurang tidur semalam. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Jadi, ya ... aku harus bergadang," dusta pria itu. Antara tidak ingin membuat Isabelle khawatir, atau gengsi mengakui bahwa ia seperti ini karena takut pada sosok tidak jelas di rumah Isabelle.
"Syukurlah." Isabelle tersenyum.
"Kau mau masuk? Kebetulan aku sedang sarapan. Ayo, kita sarapan bersama," ajak Ayers, Isabelle menggigit bibir bawahnya, sekilas ia melirik jam dinding di rumah Ayers. "Oh, aku lupa kalau kau harus pergi bekerja," sambung Ayers yang paham dengan gerak-gerik Isabelle.
"Tidak masalah," tukas Isabelle cepat, "ini hari Sabtu dan restoran tempatku bekerja buka pukul sepuluh, jadi masih ada sisa waktu untuk sarapan denganmu."
"Baguslah kalau begitu, ayo masuk."
Isabelle tersenyum semringah, pun ia mengikuti Ayers berjalan menuju ruang makan. Ayers kembali duduk di kursinya, sementara Isabelle duduk di samping pria itu. Keduanya sarapan bersama.
"Hmm, ini sangat enak," puji Ayers pada sup buatan Isabelle. Ayers tidak bohong, sup ini memang sangat enak.
"Benarkah?" tanya Isabelle, memastikan apa yang barusan didengarnya. Ayers mengangguk mantap. "Aku sempat berpikir kalau kau tidak akan menyukainya. Karena aku baru-baru ini belajar masak setelah bekerja di restoran," ujar Isabelle.
"Tapi sungguh, sup ini sangat lezat untuk pemula," ucap Ayers, tangannya terangkat guna mengacak pelan rambut Isabelle.
Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perut Isabelle saat mendapat pujian dari Ayers. Bibirnya juga tidak bisa berhenti tersenyum melihat Ayers dengan lahap memakan sup buatannya.
Ayers adalah satu-satunya pria yang sedari awal sudah membuat Isabelle kagum. Hanya dengan melihat senyum mematikan milik pria itu, Isabelle sudah langsung terpikat. Dan lagi, Ayers merupakan tipe Isabelle. Pria itu sangat tampan, ramah, periang dan baik hati. Siapa pun tidak akan bosan jika seharian bersamanya. Isabelle yakin itu.
"Aku tahu aku tampan." Ayers tertawa seraya mengerlingkan mata. Isabelle menjadi salah tingkah, gadis itu tersenyum kikuk. "Kemari, buka mulutmu." Ayers mengarahkan sendoknya pada Isabelle, berujar menyuapi gadis cantik itu. "Kalau tidak begini kau tidak akan menghabiskan sarapanmu."
Isabelle membuka mulutnya, dan Ayers langsung menyuapinya. Setelah itu Ayers mengusap sudut bibir Isabelle yang terdapat sedikit sisa makanan. Isabelle menunduk sambil mengunyah makanannya. Jantungnya berdetak tak karuan, ia yakin jika saat ini wajahnya sudah semerah tomat.
Ayers berdiri di depan jendela kamarnya. Sesekali dirinya menoleh ke kamar sebelah. Ingin rasanya ia lompat ke seberang dan masuk ke dalam kamar tersebut untuk memastikan sendiri makhluk apa yang ada di dalam sana. Karena sebenarnya Ayers masih memiliki keyakinan besar jika gadis itu bukan hantu.Sorot mata Ayers bergerak ke bawah saat seorang pria paruh baya mengetuk pintu rumah Isabelle. Sepertinya itu adalah Ayah Isabelle. Dan ternyata benar, pria itu masuk dengan disambut oleh Jane. Tiba-tiba terlintas di benak Ayers untuk bertanya langsung pada pria itu, mungkin saja ia mengetahui sesuatu karena sudah lama tinggal di rumah tersebut.Ayers segera bersiap-siap, ia sudah tidak tahan hidup dengan rasa penasaran. Teka-teki ini harus segera diselesaikan. Ia tidak ingin liburan yang harusnya membawa kesenangan malah justru membawa beban pikiran untuknya.Dengan cepat ia pergi ke rumah Isabelle untuk mencari kebenaran yang lebih jelas. Beberapa kali Ayers mengetuk pintu, namun masih tida
"Kyran ...." panggil Ayers untuk yang kesekian kalinya.Hening.Ayers duduk di lantai dengan posisi menyandar di tembok pembatas kamarnya dan kamar Kyran. Semenjak kedatangannya ke rumah Isabelle tiga hari lalu, Kyran tidak pernah lagi muncul untuk bernyanyi.Kepala Ayers bergerak ke samping kanan, memandang langit melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Kau tahu, malam ini langit sangat cerah. Bulan dan ribuan bintang di atas sana bersinar terang. Lihatlah, mereka begitu indah. Apa kau tidak berniat keluar dan menghibur mereka dengan nyanyianmu? Mereka merindukanmu ... sama sepertiku."Ayers menelan kuat salivanya, bibirnya melengkung tipis. "Benar, aku merindukanmu. Aku merindukan suara indahmu dan juga merindukan sosok cantikmu ... aku selalu menunggumu, tapi kau tak kunjung keluar.""Apa kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir, aku takut mereka melakukan sesuatu padamu." Ayers menunduk sedih. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah menyerah untuk bisa bicara denganmu, meski aku ta
Ayers kembali ke rumahnya, duduk di meja makan dengan tangan menggenggam segelas air. Bingung—haruskah ia menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan? Tapi, Ayers tidak yakin mereka mau membantu. Apalagi ini masalah wanita. Orang tuanya tahu benar bagaimana hubungan Ayers dan para wanita yang dikencaninya.Menghela napas, Ayers menenggak habis air minumnya. Pusing menyerang kepala. Jika di pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Pun Ayers merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Ragu, namun ia tetap menghubungi Ayahnya, karena hanya sang Ayah yang setidaknya bisa sedikit diajak bicara. Beberapa menit menunggu, akhirnya Aaron menerima panggilannya."Ayah ....""Ada apa?" Suara datar Aaron di seberang sana menyambut Ayers.Ayers diam senjenak. "Begini ... aku ingin ....""Katakan saja. Kau ingin apa?""Aku ingin ...." Ayers menelan kuat salivanya. "Aku ingin menikah."Lama tak terdengar respons dari Aaron. "Kenapa tiba-tiba? Siapa yang ingin kau nikahi? Wanita mana lagi yang
Ayers menceritakan pada Arcy awal dari pertemuan pertamanya dengan Kyran, tanpa ada yang terlewat. Pun Arcy menyimak dengan seksama, sambil sesekali menyesap winenya. Arcy merasakan hal yang sama seperti Ayers—bertanya-tanya mengapa Kyran harus disembunyikan, memanganya apa yang terjadi padanya?Tanpa menunggu lagi, Ayers segera mengajak Arcy ke rumah Kyran. "Apa Ayah dan Ibu tidak marah kau datang ke sini?" tanya Ayers ketika mereka baru saja keluar dari rumah."Apa mereka pernah marah padaku?""Ya, kau benar. Kau anak kesayangan mereka, tidak mungkin mereka memarahimu," pungkas Ayers, berjalan mendahului Arcy.Sampai di depan pintu rumah Jane, Ayers langsung mengetuk pintunya. Menoleh sejenak pada Arcy yang sudah berdiri di sampinya saat tak ada respons dari si pemilik rumah.Hingga akhirnya pintu dibuka oleh Jane. Wanita itu menatap bingung Arcy dan Ayers secara bergantian. "Ada apa?""Bonjour, Bibi. Saya Arcy, Kakaknya Ayers," ucap Arcy, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong
Ayers bersimpuh di depan Kyran, menggenggam tangan gadis yang saat ini sedang duduk di tempat tidurnya. "Jangan menangis lagi, kau sudah aman sekarang."Ayers memeriksa tangan dan kaki Kyran, tidak ada luka serius, kecuali di pergelangan tangan dan kakinya yang memang bekas rantai dan pasung. "Kyran, sejak kapan mereka melakukan ini padamu?" Kyran tidak menjawab, hingga Ayers menaikkan pandangannya. "Katakan saja, tidak perlu takut.""Ayers, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu." Arcy yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyela. "Aku menunggumu di bawah, ada hal yang harus kita bicarakan." Setelahnya Arcy berjalan keluar.Ayers berdiri, lalu mencium puncak kepala Kyran. "Istirahatlah.""Ayers ...."Ayers mendudukkan dirinya di samping gadisnya, menyunggingkan senyum meski tahu gadis itu tidak dapat melihatnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?""Kenapa kau membawaku ke rumahmu? Paman dan Bibi pasti akan sangat marah.""Mereka tidak akan bisa marah selama aku bersamamu."Kyran menela
"Kyran, are you okay?"Arcy menghentikan langkahnya di depan tangga setelah mendengar suara Ayers di kamarnya. Ia kemudian mendekati pintu kamar yang terbuka—mengintip ke dalam. Di sana Ayers tengah berdiri menghadap dinding. Mulutnya terus melontarkan begitu banyak pertanyaan dengan nada khawatir, sesekali nama Kyran terdengar.Arcy membuka lebih lebar pintu kamar tersebut. "Ayers, kau sedang apa?"Ayers menoleh. "Bicara pada Kyran."Arcy mengerutkan kening. "Melalui dinding?""Ya, aku selalu melakukan ini setiap malam," jawab Ayers lugas. Arcy menghela napas berat. "Kau mau apa?" tanya pria itu."Makan malam sudah siap."Ayers bejalan mendekat, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Kau masak?""Ya.""Sejak kapan?" tanya Ayers seraya mendahului Arcy turun.Arcy tersenyum miring. "Kau memang tidak pernah mengenalku."Sampai di bawah, Ayers langsung duduk di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring spaghetti dan sebotol wine. "Kau yang masak spaghetti ini?""Apa kau melihat o
Paginya Ayers sibuk mengamati dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada sedikit pun yang kurang dari penampilannya. Selanjutnya ia memutar tubuh ke arah Arcy yang sejak tadi menyandar di depan pintu kamarnya."Bagaimana? Apa aku sudah kelihatan sempurna?" tanyanya pada pria itu.Arcy tidak langsung menjawab, menghela napas pelan sebelum menegakkan tubuh. "Ayers ... sebagus apa pun penampilanmu, Kyran tidak akan bisa melihatnya."Ucapan sang Kakak membuat Ayers terdiam seketika. "Ya ... kau benar," gumamnya begitu pelan. Ada rasa perih di dada saat mengingat jika orang yang ia cintai tidak bisa melihatnya."Sayang sekali, padahal aku sangat tampan, tapi Kyran tidak mengetahuinya," lanjut Ayers, terkekeh miris.Arcy mengulum bibir, tidak berniat ikut tertawa atas candaan Adiknya. "Pakai saja apa yang membuatmu nyaman, tidak usah berlebihan."Ayers menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Kalau begitu aku pergi dulu.""Hari ini aku akan pulang." Kalimat Arcy menghentikan la
Sepi.Tidak ada lagi suara keramaian yang pendengaran Kyran tangkap seperti beberapa saat yang lalu. Genggaman tangannya di lengan Ayers pun perlahan mengendur."Ah, suasana pedesaan yang tenang memang yang terbaik," celetuk Ayers. "Bukan begitu, Kyran?"Kyran hanya mengangguk. Tak tahu di mana mereka sekarang berada. Yang bisa Kyran rasakan, udara di sini lebih sejuk, panas terik matahari seakan membakar kulitnya, namun ada semilir angin dingin yang meredakan. Entahlah, Kyran belum pernah merasakan suasana seperti ini sebelumnya.Ayers berhenti, otomatis Kyran pun mengikut. "Ayers ... seperti apa pemandangan di sekitar kita?" tanya Kyran penasaran."Baiklah." Ayers melepaskan tangan Kyran, lalu memutar tubuh gadis itu menghadap ke kiri. "Di belakangmu ada ladang anggur yang sangat luas. Sementara di depanmu ada wilayah pegunungan, dan tepat di atasnya matahari terik sekali. Di kaki gunung tersebut ada pepohonan yang rimbun, namun beberapa meter ke sini, hanya ada rerumputan, keduanya