"Kyran ...." panggil Ayers untuk yang kesekian kalinya.
Hening.
Ayers duduk di lantai dengan posisi menyandar di tembok pembatas kamarnya dan kamar Kyran. Semenjak kedatangannya ke rumah Isabelle tiga hari lalu, Kyran tidak pernah lagi muncul untuk bernyanyi.
Kepala Ayers bergerak ke samping kanan, memandang langit melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Kau tahu, malam ini langit sangat cerah. Bulan dan ribuan bintang di atas sana bersinar terang. Lihatlah, mereka begitu indah. Apa kau tidak berniat keluar dan menghibur mereka dengan nyanyianmu? Mereka merindukanmu ... sama sepertiku."
Ayers menelan kuat salivanya, bibirnya melengkung tipis. "Benar, aku merindukanmu. Aku merindukan suara indahmu dan juga merindukan sosok cantikmu ... aku selalu menunggumu, tapi kau tak kunjung keluar."
"Apa kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir, aku takut mereka melakukan sesuatu padamu." Ayers menunduk sedih. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah menyerah untuk bisa bicara denganmu, meski aku tahu kecil kemungkinan kau akan membalasnya ... itu karena aku sudah jatuh cinta padamu."
Ayers terkekeh. "Ini memang tidak masuk akal. Aku mencintai seorang gadis yang belum pernah aku ajak bicara sekalipun, dan bahkan belum pernah aku tatap langsung matanya. Mau bagaimana lagi, aku sendiri juga tidak bisa mengatur harus dengan siapa aku jatuh cinta ...."
"Tapi jujur saja kalau ini adalah jatuh cinta yang paling menyakitkan bagiku, aku selalu merasa tersiksa setiap kali aku memikirkanmu. Aku seolah-olah merasakan apa yang kau rasakan di dalam sana. Kau kesepian, begitupun diriku. Kau membutuhkan seseorang, begitu juga denganku yang membutuhkanmu."
Jantung Ayers berdetak nyeri—membayangkan banyak kemungkinan buruk yang terjadi pada gadis yang dicintainya.
"Aku ingin selalu bersamamu, supaya kau tidak sendirian lagi. Menggenggam tanganmu untuk memberikanmu kekuatan dan perlindungan. Aku ingin melakukan semua itu, karena aku benar-benar sangat mencintaimu."
Terdengar suara tangisan dari kamar Kyran. Suara yang dulu mengalun merdu, kini berubah menjadi isakan pilu. Ayers memejamkan mata, ia tahu Kyran pasti mendengarnya, gadis itu ingin bicara padanya, tapi sesuatu menghalangi.
"Menangislah, Kyran. Menangislah sekeras mungkin. Lampiaskan semua yang mengganjal di hatimu."
Tangisan Kyran semakin menyayat hati. Sakit. Ayers juga merasakannya. Gadisnya menderita—sangat.
Ayers jadi teringat dengan wajah orang tua dan Kakaknya. Dirinya memang tidak mendapat kasih sayang seperti yang didapat sang Kakak. Namun, kebebasan dan fasilitas yang diterimanya sebanding dengan yang Arcy punya. Harusnya ia bersyukur. Sementara Kyran ... Ayers sendiri mungkin tidak akan sanggup jika harus berada di posisi gadis itu.
Prangg!!!
Ayers tersentak mendengar suara pecahan kaca yang berasal dari kamar Kyran. Setelah itu semuanya hening, tidak ada lagi suara tangisan Kyran.
"Kyran! Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"
Ayers beranjak dari duduknya. Rasa takut dan khawatir mulai menyelimuti. "Kyran!!" panggilnya sedikit keras.
Pria itu diam selama beberapa saat, sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari rumah. Ia berjalan cepat ke rumah Isabelle. Mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Tak lama dari itu seorang wanita muncul dari dalam. Wajahnya terlihat garang—seperti tak menyukai kedatangan Ayers.
"Mau apa lagi kau?" tanya Jane ketus.
"Bibi, aku mendengar suara keributan di kamar Kyran—"
"Lalu apa urusannya denganmu?" potong Jane.
"Aku hanya ingin memastikan Kyran baik-baik saja."
"Dia baik, kau boleh pergi sekarang." Cepat Ayers menahan pintu saat Jane hendak menutupnya. Wanita itu sontak melotot. "Beraninya kau!"
"Bibi, izinkan aku melihatnya sekali saja, aku tidak akan bisa tenang jika tidak melihatnya langsung," pinta Ayers penuh permohonan. Ia masih berusaha bersikap sopan pada orang yang lebih tua. Walaupun sekarang ini dirinya ingin sekali memukul wajah menyebalkan Jane.
"Tidak bisa!!"
"Bibi ...." Ayers semakin mengeluarkan tenaganya untuk menahan pintu.
"Ibu!" Isabelle datang. "Ibu, biar aku yang bicara pada Ayers."
Jane menatap tajam Isabelle dan Ayers secara bergantian. "Ya, bicaralah pada pemuda keras kepala ini! Beritahu dia untuk tidak mengurusi Kyran lagi!" Setelahnya wanita itu melenggang pergi.
Isabelle keluar, menutup pintu rumahnya agar orang tuanya tidak mendengar percakapan mereka.
"Isabelle, kau juga mendengar ada suara keributan di kamar Kyran, kan?" Ayers masih dengan raut khawatirnya bertanya.
"Ayers, aku tidak mendengar apa pun."
"Tapi, aku mendengarnya dengan sangat jelas." Ayers menjeda. "Pasti terjadi sesuatu padanya, aku mohon biarkan aku melihat Kyran."
"Ayers, berhenti mengganggunya. Biarkan hidupnya tenang seperti dulu."
Ayers diam.
"Aku dengar setiap malam kau mencoba bicara padanya. Asal kau tahu saja, Ayers. Apa yang kau lakukan itu membuatnya tidak nyaman."
"Memangnya kau tahu dari mana?" sergah Ayers. "Kau tahu dari mana jika dia tidak merasa nyaman? Apa kau pernah bicara padanya? Apa kau pernah peduli padanya?"
"Aku selalu bicara padanya, aku dan keluargaku peduli dengannya."
"Jika memang benar, dia tidak akan menangis sekeras itu tadi! Seakan beban penderitaannya begitu banyak! Sebenarnya apa yang kalian lakukan padanya?!" seru Ayers, menatap geram gadis di depannya.
Isabelle menautkan alis. "Apa yang kau bicarakan? Kami selalu memperlakukannya dengan baik."
"Kalau begitu tunjukkan padaku," tantang Ayers. Isabelle bungkam. "Tidak berani?" Ayers tertawa sinis.
Isabelle menunduk, lalu mengangkat kepalanya kembali. Matanya menatap lekat Ayers. "Ayers ... berhentilah mencampuri urusan keluarga kami. Kau tidak memiliki hak untuk tahu tentang Kyran."
Mendengar hal itu, tangan Ayers langsung mengepal kuat. "Aku bersumpah akan mengambilnya dari kalian. Ingat itu!" Pria itu lalu pergi meninggalkan Isabelle yang mematung di tempat.
Ayers kembali ke rumahnya, duduk di meja makan dengan tangan menggenggam segelas air. Bingung—haruskah ia menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan? Tapi, Ayers tidak yakin mereka mau membantu. Apalagi ini masalah wanita. Orang tuanya tahu benar bagaimana hubungan Ayers dan para wanita yang dikencaninya.Menghela napas, Ayers menenggak habis air minumnya. Pusing menyerang kepala. Jika di pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Pun Ayers merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Ragu, namun ia tetap menghubungi Ayahnya, karena hanya sang Ayah yang setidaknya bisa sedikit diajak bicara. Beberapa menit menunggu, akhirnya Aaron menerima panggilannya."Ayah ....""Ada apa?" Suara datar Aaron di seberang sana menyambut Ayers.Ayers diam senjenak. "Begini ... aku ingin ....""Katakan saja. Kau ingin apa?""Aku ingin ...." Ayers menelan kuat salivanya. "Aku ingin menikah."Lama tak terdengar respons dari Aaron. "Kenapa tiba-tiba? Siapa yang ingin kau nikahi? Wanita mana lagi yang
Ayers menceritakan pada Arcy awal dari pertemuan pertamanya dengan Kyran, tanpa ada yang terlewat. Pun Arcy menyimak dengan seksama, sambil sesekali menyesap winenya. Arcy merasakan hal yang sama seperti Ayers—bertanya-tanya mengapa Kyran harus disembunyikan, memanganya apa yang terjadi padanya?Tanpa menunggu lagi, Ayers segera mengajak Arcy ke rumah Kyran. "Apa Ayah dan Ibu tidak marah kau datang ke sini?" tanya Ayers ketika mereka baru saja keluar dari rumah."Apa mereka pernah marah padaku?""Ya, kau benar. Kau anak kesayangan mereka, tidak mungkin mereka memarahimu," pungkas Ayers, berjalan mendahului Arcy.Sampai di depan pintu rumah Jane, Ayers langsung mengetuk pintunya. Menoleh sejenak pada Arcy yang sudah berdiri di sampinya saat tak ada respons dari si pemilik rumah.Hingga akhirnya pintu dibuka oleh Jane. Wanita itu menatap bingung Arcy dan Ayers secara bergantian. "Ada apa?""Bonjour, Bibi. Saya Arcy, Kakaknya Ayers," ucap Arcy, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong
Ayers bersimpuh di depan Kyran, menggenggam tangan gadis yang saat ini sedang duduk di tempat tidurnya. "Jangan menangis lagi, kau sudah aman sekarang."Ayers memeriksa tangan dan kaki Kyran, tidak ada luka serius, kecuali di pergelangan tangan dan kakinya yang memang bekas rantai dan pasung. "Kyran, sejak kapan mereka melakukan ini padamu?" Kyran tidak menjawab, hingga Ayers menaikkan pandangannya. "Katakan saja, tidak perlu takut.""Ayers, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu." Arcy yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyela. "Aku menunggumu di bawah, ada hal yang harus kita bicarakan." Setelahnya Arcy berjalan keluar.Ayers berdiri, lalu mencium puncak kepala Kyran. "Istirahatlah.""Ayers ...."Ayers mendudukkan dirinya di samping gadisnya, menyunggingkan senyum meski tahu gadis itu tidak dapat melihatnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?""Kenapa kau membawaku ke rumahmu? Paman dan Bibi pasti akan sangat marah.""Mereka tidak akan bisa marah selama aku bersamamu."Kyran menela
"Kyran, are you okay?"Arcy menghentikan langkahnya di depan tangga setelah mendengar suara Ayers di kamarnya. Ia kemudian mendekati pintu kamar yang terbuka—mengintip ke dalam. Di sana Ayers tengah berdiri menghadap dinding. Mulutnya terus melontarkan begitu banyak pertanyaan dengan nada khawatir, sesekali nama Kyran terdengar.Arcy membuka lebih lebar pintu kamar tersebut. "Ayers, kau sedang apa?"Ayers menoleh. "Bicara pada Kyran."Arcy mengerutkan kening. "Melalui dinding?""Ya, aku selalu melakukan ini setiap malam," jawab Ayers lugas. Arcy menghela napas berat. "Kau mau apa?" tanya pria itu."Makan malam sudah siap."Ayers bejalan mendekat, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Kau masak?""Ya.""Sejak kapan?" tanya Ayers seraya mendahului Arcy turun.Arcy tersenyum miring. "Kau memang tidak pernah mengenalku."Sampai di bawah, Ayers langsung duduk di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring spaghetti dan sebotol wine. "Kau yang masak spaghetti ini?""Apa kau melihat o
Paginya Ayers sibuk mengamati dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada sedikit pun yang kurang dari penampilannya. Selanjutnya ia memutar tubuh ke arah Arcy yang sejak tadi menyandar di depan pintu kamarnya."Bagaimana? Apa aku sudah kelihatan sempurna?" tanyanya pada pria itu.Arcy tidak langsung menjawab, menghela napas pelan sebelum menegakkan tubuh. "Ayers ... sebagus apa pun penampilanmu, Kyran tidak akan bisa melihatnya."Ucapan sang Kakak membuat Ayers terdiam seketika. "Ya ... kau benar," gumamnya begitu pelan. Ada rasa perih di dada saat mengingat jika orang yang ia cintai tidak bisa melihatnya."Sayang sekali, padahal aku sangat tampan, tapi Kyran tidak mengetahuinya," lanjut Ayers, terkekeh miris.Arcy mengulum bibir, tidak berniat ikut tertawa atas candaan Adiknya. "Pakai saja apa yang membuatmu nyaman, tidak usah berlebihan."Ayers menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Kalau begitu aku pergi dulu.""Hari ini aku akan pulang." Kalimat Arcy menghentikan la
Sepi.Tidak ada lagi suara keramaian yang pendengaran Kyran tangkap seperti beberapa saat yang lalu. Genggaman tangannya di lengan Ayers pun perlahan mengendur."Ah, suasana pedesaan yang tenang memang yang terbaik," celetuk Ayers. "Bukan begitu, Kyran?"Kyran hanya mengangguk. Tak tahu di mana mereka sekarang berada. Yang bisa Kyran rasakan, udara di sini lebih sejuk, panas terik matahari seakan membakar kulitnya, namun ada semilir angin dingin yang meredakan. Entahlah, Kyran belum pernah merasakan suasana seperti ini sebelumnya.Ayers berhenti, otomatis Kyran pun mengikut. "Ayers ... seperti apa pemandangan di sekitar kita?" tanya Kyran penasaran."Baiklah." Ayers melepaskan tangan Kyran, lalu memutar tubuh gadis itu menghadap ke kiri. "Di belakangmu ada ladang anggur yang sangat luas. Sementara di depanmu ada wilayah pegunungan, dan tepat di atasnya matahari terik sekali. Di kaki gunung tersebut ada pepohonan yang rimbun, namun beberapa meter ke sini, hanya ada rerumputan, keduanya
Mittelbergheim, France—11:40 PMCekrek!"Perfect." Ayers Matthieu tersenyum puas melihat hasil jepretannya, pria berusia dua puluh tiga tahun itu lalu mengangkat kepala, menatap sebuah rumah khas Eropa kuno yang baru saja ia potret. Sebelum kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang akan ditempatinya selama liburan musim panas. Suasana klasik terasa sangat kental di rumah ini, seakan dirinya ditarik kembali ke abad pertengahan.Sembari menelisik sekitar, Ayers memotret bagian-bagian rumah yang menurutnya cocok dijadikan objek foto. Setelah puas, pria itu naik ke lantai dua menuju kamarnya. "Wow ... tidak salah lagi, Mittelbergheim memang pilihan yang tepat untuk berlibur." Ayers melihat sekeliling kamarnya. Ruangan kecil ini dilengkapi dengan single bed, lemari dua pintu, meja serta kursi, yang semuanya terbuat dari kayu.Ayers melepaskan tas ranselnya. Pria itu lalu memasukkan pakaiannya dengan asal ke dalam lemari. Niatnya ingin cepat-cepat beristirahat setelah menempuh perjalanan
Sinar matahari langsung menyorot Ayers ketika ia baru saja membuka pintu rumah, membuat matanya menyipit. Sejenak pria itu mengamati penduduk desa yang sedang beraktivitas.Tak lama berselang pintu di sebelah rumahnya terbuka. Seorang gadis muncul setelahnya. Pakaiannya rapi dan rambutnya disanggul asal, namun tetap cantik. Gadis itu tersenyum pada Ayers saat melewatinya, yang tanpa sungkan Ayers pun membalasnya.Namun, itu bukan gadis yang ia lihat tadi malam. Ayers ingat betul jika rambut gadis itu hitam dan lurus—meski hanya terlihat sepintas. Tapi yang ini memiliki warna rambut kecokelatan.Ayers tersenyum kecil. "Kalau bisa dapat dua, kenapa harus satu." Melirik ke arah jendela kamar gadis bersuara merdu itu, sebelum akhirnya melangkah untuk berkeliling desa. Tak lupa dengan kamera yang selalu menggantung di lehernya.Sesekali Ayers berhenti ketika menemukan pusat menarik untuk fotonya. Kemudian melanjutkan perjalanannya hingga tiba di sebuah jalan di mana kanan kirinya ditumbuhi