Ayers berdiri di depan jendela kamarnya. Sesekali dirinya menoleh ke kamar sebelah. Ingin rasanya ia lompat ke seberang dan masuk ke dalam kamar tersebut untuk memastikan sendiri makhluk apa yang ada di dalam sana. Karena sebenarnya Ayers masih memiliki keyakinan besar jika gadis itu bukan hantu.
Sorot mata Ayers bergerak ke bawah saat seorang pria paruh baya mengetuk pintu rumah Isabelle. Sepertinya itu adalah Ayah Isabelle. Dan ternyata benar, pria itu masuk dengan disambut oleh Jane. Tiba-tiba terlintas di benak Ayers untuk bertanya langsung pada pria itu, mungkin saja ia mengetahui sesuatu karena sudah lama tinggal di rumah tersebut.
Ayers segera bersiap-siap, ia sudah tidak tahan hidup dengan rasa penasaran. Teka-teki ini harus segera diselesaikan. Ia tidak ingin liburan yang harusnya membawa kesenangan malah justru membawa beban pikiran untuknya.
Dengan cepat ia pergi ke rumah Isabelle untuk mencari kebenaran yang lebih jelas. Beberapa kali Ayers mengetuk pintu, namun masih tidak ada respons. Sampai pada detik selanjutnya pintu dibuka oleh Isabelle.
"Ayers?" Gadis itu memandang Ayers bingung. "Ada apa?"
"Apa orang tuamu ada waktu? Aku ingin bicara dengan mereka sebentar," kata Ayers tanpa basa-basi.
Isabelle bingung, namun tak urung tetap membukakan pintu untuk Ayers. "Mereka di dalam, masuklah." Gadis itu meminta Ayers menunggu di ruang tamu, sementara ia memanggil orang tuanya.
Sekitar lima menit kemudian, Isabelle kembali bersama Ayah dan Ibunya. Sama seperti Isabelle, mereka menatap Ayers bingung.
"Ayers?" panggil Jane.
Ayers tersenyum tipis. "Malam, Bibi, Paman. Maaf mengganggu kalian malam-malam begini."
Isabelle beserta Jane dan Ben, duduk di hadapan Ayers. "Siapa pemuda ini?" Ben yang memang belum tahu siapa Ayers pun bertanya.
"Dia yang menyewa rumah Marthe untuknya selama liburan di sini." Jane menjawab. "Ayers dan Isabelle, mereka cukup akrab, benarkan sayang?" Isabelle mengangguk malu-malu.
Ayers hanya menyunggingkan senyum tipis. Dirinya ke sini bukan untuk basa-basi sebenarnya.
"Omong-omong, Ayers. Ada perlu apa kau datang ke sini?" tanya Jane kemudian.
"Begini, Bibi. Aku ingin bertanya sesuatu ... apa kalian tidak menyadari jika ada orang asing di rumah kalian?" Untuk beberapa saat semuanya terdiam. Ayers pun melanjutkan kalimatnya. "Karena setiap malam aku selalu melihat seorang perempuan sedang bernyanyi di jendela kamar kalian. Aku sudah pernah menanyakan hal ini pada Isabelle, tapi dia mengatakan kalau kamar itu kosong dan dia tidak memiliki saudara perempuan. Lalu, siapa yang aku lihat itu? Ini semua membuatku bingung."
Ben melirik tajam ke arah Isabelle yang sedang menunduk takut sembari memainkan ujung pakaiannya. "Sejak kapan kau melihatnya?" tanya Ben dingin.
"Saat pertama kali aku datang ke sini, itu sekitar empat hari yang lalu."
"Maaf ... aku pastikan setelah ini kau tidak akan mendengarnya bernyanyi lagi," ucap Jane, raut wajahnya tidak seramah tadi.
Ayers sedikit membuka mulutnya. Dari kata-kata Jane membuktikan bahwa gadis itu memang bukan hantu. Gadis itu juga manusia, sama sepertinya. "Bibi, jadi dia benar-benar ada? Siapa sebenarnya dia?" Ayers menatap wajah-wajah di depannya secara bergantian.
"Pergilah! Kami tidak menerima tamu yang datang hanya untuk menanyakan tentang gadis itu!" seru Ben.
"Tapi, kenapa? Aku hanya ingin tahu siapa dia."
"Pintu keluarnya di sana." Ben menunjuk ke arah pintu. "Kau ingin keluar sendiri atau aku yang harus bertindak?"
Ayers masih bergeming. Isabelle yang melihat itu langsung menarik Ayers keluar sebelum orang tuanya mengamuk pada pria itu. "Isabelle, ada apa ini? Apa kesalahanku? Aku hanya bertanya siapa gadis itu," cecar Ayers tidak mengerti dengan perubahan sikap orang tua Isabelle.
"Ayers, aku mohon pergilah dari sini. Orang tuaku sangat sensitif jika membahas dirinya." Isabelle mendorong Ayers pelan agar pergi. Namun, bukan Ayers namanya jika ia menyerah begitu saja.
"Isabelle, please. Beritahu aku, siapa dia ...."
"Ayers—"
"Isabelle ... aku mohon." Isabelle memejamkan mata, tidak sanggup melihat tatapan penuh permohonan dari Ayers. "Please ...." ucap Ayers.
Gadis itu menghela napas berat. "Baiklah, namanya Kyran, dia sepupuku. Kau puas? Sekarang pergilah!"
Ayers menahan pintu saat Isabelle akan menutupnya. "Lalu, apa yang terjadi padanya?"
"Ayers, cukup! Orang tuaku akan marah padaku kalau aku memberitahumu. Aku mohon, Ayers, sudahi rasa penasaranmu. Pulanglah, aku akan mengurus Kyran. Setelah ini kau tidak akan terganggu lagi dengan suaranya." Isabelle menutup rapat pintu rumahnya.
"Tapi—Isabelle!"
Ayers menyugar rambutnya—merasa dongkol. Bukannya jawaban pasti yang ia dapat, tapi justru sebuah teka-teki baru lagi. Sebenarnya apa yang mereka sembunyikan? Apa yang terjadi pada Kyran sampai mereka begitu menutupi identitasnya? Orang-orang di sini bahkan tidak tahu kalau gadis itu ada di sekitar mereka.
"Kyran ...." Ayers bergumam, matanya mengarah ke jendela kamar gadis itu.
Dengan langkah gontai Ayers kembali ke kamarnya. Ia berdiri menghadap tembok pemisah antara kamarnya dan kamar Kyran. Kini, bukan hanya rasa penasaran yang menyelimuti Ayers, tapi juga rasa khawatir. "Kyran ...." panggil Ayers, "akhirnya aku tahu namamu."
Tidak ada jawaban.
"Apa kau bertanya-tanya bagaimana bisa aku mengetahuinya?" Ayers menjeda. "Ya, aku baru saja datang ke rumahmu. Kau pasti bisa mendengar suara keributan di bawah saat Ayahnya Isabelle mengusirku, kan?"
Pria itu terkekeh pelan, berusaha mencairkan suasana hatinya. "Aku tidak tahu apa yang salah dengan pertanyaan sederhanaku. Aku hanya ingin tahu siapa gadis bersuara merdu yang selama ini sudah membuatku penasaran, itu saja. Tapi, mereka malah marah dan mengusirku."
Hening. Jika ada yang melihatnya saat ini pasti sudah mengira kalau Ayers gila. "Kau kenapa, Kyran? Apa yang terjadi sampai mereka begitu menutup rapat semua tentangmu?"
Ayers menelan kuat salivanya saat menyadari sesuatu. Jika selama ini Kyran bukannya bersikap sombong padanya. Namun, karena mereka menyuruhnya untuk tetap bungkam. Ayers tidak habis pikir, kenapa mereka melakukan hal seperti ini. Apa alasannya?
"Kyran, jika kau mendengarku tolong katakan sesuatu." Ayers menunggu sebentar, namun sia-sia, tidak ada balasan dari gadis itu. "Dia dengar atau tidak, ya? Ck ... ya sudah kalau kau belum mau bicara padaku. Maaf sudah mengganggumu ... oh, ya. Aku Ayers. Senang bisa mengenalmu. Aku harap kita bisa bertemu secara langsung."
"Kyran ...." panggil Ayers untuk yang kesekian kalinya.Hening.Ayers duduk di lantai dengan posisi menyandar di tembok pembatas kamarnya dan kamar Kyran. Semenjak kedatangannya ke rumah Isabelle tiga hari lalu, Kyran tidak pernah lagi muncul untuk bernyanyi.Kepala Ayers bergerak ke samping kanan, memandang langit melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Kau tahu, malam ini langit sangat cerah. Bulan dan ribuan bintang di atas sana bersinar terang. Lihatlah, mereka begitu indah. Apa kau tidak berniat keluar dan menghibur mereka dengan nyanyianmu? Mereka merindukanmu ... sama sepertiku."Ayers menelan kuat salivanya, bibirnya melengkung tipis. "Benar, aku merindukanmu. Aku merindukan suara indahmu dan juga merindukan sosok cantikmu ... aku selalu menunggumu, tapi kau tak kunjung keluar.""Apa kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir, aku takut mereka melakukan sesuatu padamu." Ayers menunduk sedih. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah menyerah untuk bisa bicara denganmu, meski aku ta
Ayers kembali ke rumahnya, duduk di meja makan dengan tangan menggenggam segelas air. Bingung—haruskah ia menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan? Tapi, Ayers tidak yakin mereka mau membantu. Apalagi ini masalah wanita. Orang tuanya tahu benar bagaimana hubungan Ayers dan para wanita yang dikencaninya.Menghela napas, Ayers menenggak habis air minumnya. Pusing menyerang kepala. Jika di pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Pun Ayers merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Ragu, namun ia tetap menghubungi Ayahnya, karena hanya sang Ayah yang setidaknya bisa sedikit diajak bicara. Beberapa menit menunggu, akhirnya Aaron menerima panggilannya."Ayah ....""Ada apa?" Suara datar Aaron di seberang sana menyambut Ayers.Ayers diam senjenak. "Begini ... aku ingin ....""Katakan saja. Kau ingin apa?""Aku ingin ...." Ayers menelan kuat salivanya. "Aku ingin menikah."Lama tak terdengar respons dari Aaron. "Kenapa tiba-tiba? Siapa yang ingin kau nikahi? Wanita mana lagi yang
Ayers menceritakan pada Arcy awal dari pertemuan pertamanya dengan Kyran, tanpa ada yang terlewat. Pun Arcy menyimak dengan seksama, sambil sesekali menyesap winenya. Arcy merasakan hal yang sama seperti Ayers—bertanya-tanya mengapa Kyran harus disembunyikan, memanganya apa yang terjadi padanya?Tanpa menunggu lagi, Ayers segera mengajak Arcy ke rumah Kyran. "Apa Ayah dan Ibu tidak marah kau datang ke sini?" tanya Ayers ketika mereka baru saja keluar dari rumah."Apa mereka pernah marah padaku?""Ya, kau benar. Kau anak kesayangan mereka, tidak mungkin mereka memarahimu," pungkas Ayers, berjalan mendahului Arcy.Sampai di depan pintu rumah Jane, Ayers langsung mengetuk pintunya. Menoleh sejenak pada Arcy yang sudah berdiri di sampinya saat tak ada respons dari si pemilik rumah.Hingga akhirnya pintu dibuka oleh Jane. Wanita itu menatap bingung Arcy dan Ayers secara bergantian. "Ada apa?""Bonjour, Bibi. Saya Arcy, Kakaknya Ayers," ucap Arcy, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong
Ayers bersimpuh di depan Kyran, menggenggam tangan gadis yang saat ini sedang duduk di tempat tidurnya. "Jangan menangis lagi, kau sudah aman sekarang."Ayers memeriksa tangan dan kaki Kyran, tidak ada luka serius, kecuali di pergelangan tangan dan kakinya yang memang bekas rantai dan pasung. "Kyran, sejak kapan mereka melakukan ini padamu?" Kyran tidak menjawab, hingga Ayers menaikkan pandangannya. "Katakan saja, tidak perlu takut.""Ayers, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu." Arcy yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyela. "Aku menunggumu di bawah, ada hal yang harus kita bicarakan." Setelahnya Arcy berjalan keluar.Ayers berdiri, lalu mencium puncak kepala Kyran. "Istirahatlah.""Ayers ...."Ayers mendudukkan dirinya di samping gadisnya, menyunggingkan senyum meski tahu gadis itu tidak dapat melihatnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?""Kenapa kau membawaku ke rumahmu? Paman dan Bibi pasti akan sangat marah.""Mereka tidak akan bisa marah selama aku bersamamu."Kyran menela
"Kyran, are you okay?"Arcy menghentikan langkahnya di depan tangga setelah mendengar suara Ayers di kamarnya. Ia kemudian mendekati pintu kamar yang terbuka—mengintip ke dalam. Di sana Ayers tengah berdiri menghadap dinding. Mulutnya terus melontarkan begitu banyak pertanyaan dengan nada khawatir, sesekali nama Kyran terdengar.Arcy membuka lebih lebar pintu kamar tersebut. "Ayers, kau sedang apa?"Ayers menoleh. "Bicara pada Kyran."Arcy mengerutkan kening. "Melalui dinding?""Ya, aku selalu melakukan ini setiap malam," jawab Ayers lugas. Arcy menghela napas berat. "Kau mau apa?" tanya pria itu."Makan malam sudah siap."Ayers bejalan mendekat, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Kau masak?""Ya.""Sejak kapan?" tanya Ayers seraya mendahului Arcy turun.Arcy tersenyum miring. "Kau memang tidak pernah mengenalku."Sampai di bawah, Ayers langsung duduk di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring spaghetti dan sebotol wine. "Kau yang masak spaghetti ini?""Apa kau melihat o
Paginya Ayers sibuk mengamati dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada sedikit pun yang kurang dari penampilannya. Selanjutnya ia memutar tubuh ke arah Arcy yang sejak tadi menyandar di depan pintu kamarnya."Bagaimana? Apa aku sudah kelihatan sempurna?" tanyanya pada pria itu.Arcy tidak langsung menjawab, menghela napas pelan sebelum menegakkan tubuh. "Ayers ... sebagus apa pun penampilanmu, Kyran tidak akan bisa melihatnya."Ucapan sang Kakak membuat Ayers terdiam seketika. "Ya ... kau benar," gumamnya begitu pelan. Ada rasa perih di dada saat mengingat jika orang yang ia cintai tidak bisa melihatnya."Sayang sekali, padahal aku sangat tampan, tapi Kyran tidak mengetahuinya," lanjut Ayers, terkekeh miris.Arcy mengulum bibir, tidak berniat ikut tertawa atas candaan Adiknya. "Pakai saja apa yang membuatmu nyaman, tidak usah berlebihan."Ayers menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Kalau begitu aku pergi dulu.""Hari ini aku akan pulang." Kalimat Arcy menghentikan la
Sepi.Tidak ada lagi suara keramaian yang pendengaran Kyran tangkap seperti beberapa saat yang lalu. Genggaman tangannya di lengan Ayers pun perlahan mengendur."Ah, suasana pedesaan yang tenang memang yang terbaik," celetuk Ayers. "Bukan begitu, Kyran?"Kyran hanya mengangguk. Tak tahu di mana mereka sekarang berada. Yang bisa Kyran rasakan, udara di sini lebih sejuk, panas terik matahari seakan membakar kulitnya, namun ada semilir angin dingin yang meredakan. Entahlah, Kyran belum pernah merasakan suasana seperti ini sebelumnya.Ayers berhenti, otomatis Kyran pun mengikut. "Ayers ... seperti apa pemandangan di sekitar kita?" tanya Kyran penasaran."Baiklah." Ayers melepaskan tangan Kyran, lalu memutar tubuh gadis itu menghadap ke kiri. "Di belakangmu ada ladang anggur yang sangat luas. Sementara di depanmu ada wilayah pegunungan, dan tepat di atasnya matahari terik sekali. Di kaki gunung tersebut ada pepohonan yang rimbun, namun beberapa meter ke sini, hanya ada rerumputan, keduanya
Mittelbergheim, France—11:40 PMCekrek!"Perfect." Ayers Matthieu tersenyum puas melihat hasil jepretannya, pria berusia dua puluh tiga tahun itu lalu mengangkat kepala, menatap sebuah rumah khas Eropa kuno yang baru saja ia potret. Sebelum kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang akan ditempatinya selama liburan musim panas. Suasana klasik terasa sangat kental di rumah ini, seakan dirinya ditarik kembali ke abad pertengahan.Sembari menelisik sekitar, Ayers memotret bagian-bagian rumah yang menurutnya cocok dijadikan objek foto. Setelah puas, pria itu naik ke lantai dua menuju kamarnya. "Wow ... tidak salah lagi, Mittelbergheim memang pilihan yang tepat untuk berlibur." Ayers melihat sekeliling kamarnya. Ruangan kecil ini dilengkapi dengan single bed, lemari dua pintu, meja serta kursi, yang semuanya terbuat dari kayu.Ayers melepaskan tas ranselnya. Pria itu lalu memasukkan pakaiannya dengan asal ke dalam lemari. Niatnya ingin cepat-cepat beristirahat setelah menempuh perjalanan