Sinar matahari langsung menyorot Ayers ketika ia baru saja membuka pintu rumah, membuat matanya menyipit. Sejenak pria itu mengamati penduduk desa yang sedang beraktivitas.
Tak lama berselang pintu di sebelah rumahnya terbuka. Seorang gadis muncul setelahnya. Pakaiannya rapi dan rambutnya disanggul asal, namun tetap cantik. Gadis itu tersenyum pada Ayers saat melewatinya, yang tanpa sungkan Ayers pun membalasnya.
Namun, itu bukan gadis yang ia lihat tadi malam. Ayers ingat betul jika rambut gadis itu hitam dan lurus—meski hanya terlihat sepintas. Tapi yang ini memiliki warna rambut kecokelatan.
Ayers tersenyum kecil. "Kalau bisa dapat dua, kenapa harus satu." Melirik ke arah jendela kamar gadis bersuara merdu itu, sebelum akhirnya melangkah untuk berkeliling desa. Tak lupa dengan kamera yang selalu menggantung di lehernya.
Sesekali Ayers berhenti ketika menemukan pusat menarik untuk fotonya. Kemudian melanjutkan perjalanannya hingga tiba di sebuah jalan di mana kanan kirinya ditumbuhi banyak pohon anggur. Pria itu melihat seorang wanita paruh baya yang dikenalnya sedang memetik anggur, segera Ayers menghampirinya.
"Bibi Marthe!"
Wanita yang dipanggil Marthe itu menoleh. "Ayers? Sedang apa di sini?"
"Hanya jalan-jalan," jawab Ayers seadanya. "Jadi kau bekerja di sini?"
"Ya, kau bisa lihat sendiri." Wanita yang memakai topi bundar itu kembali memetik anggur. Sementara Ayers sibuk mengamati sekitar. "Oh ya, Ayers. Bagaimana rumahnya? Apa kau merasa nyaman? Maaf, kau sudah membayarku lebih tapi aku hanya bisa menyediakan yang seperti itu."
"Apa yang Bibi katakan. Rumahmu sudah lebih dari cukup untuk membuatku nyaman." Ayers tersenyum cerah. 'Apalagi bisa punya tetangga seperti gadis-gadis cantik itu.' Lanjutnya membatin.
"Syukurlah kalau begitu. Omong-omong, kau mau mencicipi anggur ini?"
"Mau." Ayers mengangguk antusias.
Marthe memetik satu tangkai yang dipenuhi beberapa anggur. "Ini, cepat sembunyikan sebelum penjaga di sini tahu dan kita akan dimarahi."
Ayers menyambut anggur tersebut dengan senang hati, lalu menyembunyikannya di kantong jaket. "Terima kasih, Bibi. Kalau begitu aku pergi dulu."
Sebelum pergi Ayers menyempatkan diri untuk memotret Marthe. Wanita itu terlihat malu dan langsung mendorong Ayers pelan agar segera pergi. "Dah," pamit Ayers.
"Jangan lupa mencucinya lebih dulu sebelum kau makan!"
"Oke."
Ayers berlari pelan keluar dari kebun. Mengabaikan perkataan Marthe, Ayers mencomoti anggur di dalam kantongnya sembari berjalan. Anggur di sini memang memiliki cita rasa yang berbeda. Lebih manis dan sedikit rasa asam. Tidak heran kalau anggur dari Mittelbergheim adalah yang terbaik.
Tidak terasa matahari sudah berada tepat di atas kepala. Pun Ayers memutuskan untuk mencari restoran sebab sedari tadi ia sudah kelaparan.
"Excuse me," sapa Ayers ramah pada sekumpulan gadis yang baru saja melewatinya. Ketiga gadis itu menoleh.
"Ya?" sahut gadis yang memiliki rambut curly. Sangat menggemaskan.
"Aku baru tiba di Mittelbergheim kemarin, bisa kalian rekomendasikan restoran mana yang menyajikan makanan enak di sini?" Ayers tersenyum memandangi satu per satu dari mereka. Sejujurnya ia tahu restoran mana yang paling populer di sini dengan banyak menyajikan makanan lezat. Tapi, bukan Ayers namanya jika tidak selalu modus dalam setiap kesempatan.
"Kau seorang turis?" Gadis paling pendek di antara mereka bertanya.
"Ya, aku datang dari Lyon."
"Astaga, bukankah itu kota besar?" pekik gadis satunya.
Ayers tersenyum lebar sebagai respons. Sesaat mereka semua diam, sibuk dengan pemikirannya masing-masing.
"Jadi?" Ayers menaikkan alisnya.
"Mh, kau bisa datang ke restoran Viande & Passion, jaraknya hanya beberapa mil dari sini," ujar si curly, "para turis yang datang ke sini biasanya makan di tempat itu. Beef Steak Blackpaper adalah menu andalan mereka. Kau harus mencobanya."
"Tentu. Terima kasih untuk rekomendasinya. Aku permisi." Ayers menampilkan senyum terbaiknya sebelum berlalu dari gadis-gadis tersebut.
Dan tak jauh dari sekumpulan para gadis tadi, Ayers bisa menemukan restoran yang dimaksud. Tanpa basa-basi ia langsung masuk. Pria itu duduk di salah satu meja. Kemudian, datang seorang wanita berseragam pelayan.
"Silakan, Sir," katanya sembari memberikan buku menu.
Ayers menaikkan pandangannya untuk melihat si pelayan. "Kau? Kalau tidak salah tadi pagi kita sempat bertemu."
Gadis itu tersenyum canggung. "Ya ... kau orang yang menyewa rumah Bibi Marthe, kan?"
"Dan kau yang tinggal di sebelah rumahnya?" balas Ayers. Gadis itu mengangguk. Ayers semakin melebarkan senyumnya, lalu mengulurkan tangan. "Perkenalkan, aku Ayers."
Sang gadis menyambut tangan Ayers. "Isabelle."
"Nama yang indah," puji Ayers memulai aksi playersnya.
Isabelle tertawa kecil. "Kau ingin pesan apa?"
"Apa yang menurutmu paling enak di sini?"
"Beef Steak Blackpaper?" Isabelle menjawab ragu. "Entahlah, kebanyakan orang memesan itu saat datang kemari."
"Aku pesan dua kalau begitu. Dan sebotol anggur dengan dua gelas."
Alis Isabelle berkerut samar. Heran mengapa Ayers memesan dua. Namun, tak urung gadis cantik itu mengiyakan. "Baiklah, tunggu sebentar."
Ayers memandangi Isabelle yang semakin menjauh, seulas senyum tipis tercetak di bibir pria itu. Menurutnya Isabelle adalah gadis yang ideal. Tubuhnya tinggi semampai, wajah cantiknya sangat menggoda. Dan jangan lupakan mata serta bibirnya yang seksi. Ah, Ayers suka bagian yang itu.
Tiba-tiba ponsel Ayers bergetar. Satu pesan dari Noela masuk.
Noela :
[Aku merindukanmu, honey.]Ayers membalas pesan tersebut, sampai percakapan mereka berlanjut dengan ungkapan-ungkapan cinta Ayers yang hanya omong kosong belaka. Wajahnya berubah memasang eskpresi jijik saat Noela membalas pesannya menggunakan emoji cium.
"Memuakkan. Permainan ranjangnya juga sudah tidak menyenangkan. Setelah menidurinya sekali lagi aku akan mencampakkannya." Memilih mengabaikan, Ayers lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam kantong celana.
Beberapa menit berselang, Isabelle datang bersama pesanan Ayers. "Ini pesananmu."
Mata Ayers bersinar melihat makanan yang sudah tersusun di atas meja. "Woah, kelihatannya sangat lezat. Aku jadi tidak sabar ingin mencobanya."
Isabelle tertawa pelan. "Selamat menikmati."
"Isabelle," panggil Ayers.
Gadis yang semula akan pergi itu jadi mengurungkan niatnya. "Ya?"
"Apa kau pikir aku bisa menghabiskan makanan ini sendirian? Ayo, temani aku makan." Tidak ada jawaban dari Isabelle. "Tidak perlu sungkan. Aku yang akan bicara pada bosmu jika dia marah," lanjut Ayers seakan mengerti apa yang dipikirkan gadis itu. "C'mon, hanya sebentar," bujuknya terus, hingga akhirnya Isabelle mengangguk setuju.
"Who is that girl I see ... staring straight back at me ....""Why is my reflection someone I don't know ....""Must I pretend that I am ... someone else for all time ....""When will my reflection show ... who I am inside ...."Tanpa diduga ternyata gadis itu bernyanyi lagi. Ayers yang masih mengeringkan rambutnya menggunakan handuk seusai mandi, berlari cepat menuju jendela saat mendengar suara khas bernyanyi dari gadis di sebelah rumah. Ayers ingin menyapanya. Namun, ketika membuka jendela yang terlihat hanya sedikit dari sosok gadis itu. Pun rasanya tidak sopan jika menyapa melalui jendela seperti ini.Alhasil, Ayers melempar handuknya ke sembarang tempat dan buru-buru keluar. Sampai di luar, Ayers berdiri tepat di depan jendela kamar gadis itu. Kepalanya mendongak. Senyumnya mengembang saat dirinya berhasil melihat wajah dari gadis itu sepenuhnya. Ayers terpesona memandangnya. Gadis itu benar-benar sangat cantik, matanya terpejam saat bernyanyi, rambut hitam lurusnya beterbangan
Paginya Ayers sudah bersiap untuk bertamu di rumah tetangganya, yang mana tujuannya hanyalah menemui gadis pemilik suara merdu yang berhasil membuatnya penasaran dengan sosok misteriusnya. Ayers ingin tahu, gadis itu memang ingin mengabaikannya atau sengaja bersikap demikian agar bisa menarik perhatiannya.Dengan pakaian santai dan sekeranjang buah di tangan, Ayers melangkahkan kaki ke rumah sederhana yang berdiri kokoh di samping rumahnya.Tiba di depan rumah tersebut, Ayers langsung mengetuk pintu beberapa kali. Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul setelahnya—yang kemungkinan adalah Ibu dari Isabelle dan gadis yang belum Ayers ketahui namanya."Kau siapa?" tanya wanita itu, matanya bergerak mengamati Ayers dari atas hingga ke bawah.Ayers tersenyum manis. "Bonjour, Bibi. Perkenalkan nama saya Ayers, orang yang menyewa rumah Bibi Marthe. Saya ke sini untuk memberikan ini sebagai salam perkenalan," ujar Ayers basa-basi seraya menyodorkan keranjang buah yang dibawanya.Wanit
Setelah makan malam, Ayers memutuskan duduk di depan laptop untuk memeriksa semua hasil jepretannya. Di samping itu, pikirannya justru melayang ke mana-mana. Tidak biasanya ia tidak fokus pada apa yang dikerjakannya.Jam dinding berbunyi, tanda sudah tengah malam. Ayers pun meregangkan otot-ototnya, kemudian menutup laptop. Pria berambut hitam itu berdiri, berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana."Who is that girl I see ...."Mata Ayers membulat. Langsung ia bangkit dan bergegas keluar rumah. Terlihat sosok gadis misterius itu ketika Ayers sudah berdiri di depan jendela kamarnya. Seperti sebelum-sebelumnya, mata gadis itu akan terpejam saat bernyanyi.Ayers terus memerhatikan gadis itu. Dari penampilannya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Ia tampak seperti manusia pada umumnya. Namun, gaun tidur berwarna putih yang selalu ia pakai dan rambut panjang terurai begitu saja dengan kulitnya yang pucat, sukses membuat bulu kuduk Ayers berdiri.Pria itu menelan ludah
Ayers berdiri di depan jendela kamarnya. Sesekali dirinya menoleh ke kamar sebelah. Ingin rasanya ia lompat ke seberang dan masuk ke dalam kamar tersebut untuk memastikan sendiri makhluk apa yang ada di dalam sana. Karena sebenarnya Ayers masih memiliki keyakinan besar jika gadis itu bukan hantu.Sorot mata Ayers bergerak ke bawah saat seorang pria paruh baya mengetuk pintu rumah Isabelle. Sepertinya itu adalah Ayah Isabelle. Dan ternyata benar, pria itu masuk dengan disambut oleh Jane. Tiba-tiba terlintas di benak Ayers untuk bertanya langsung pada pria itu, mungkin saja ia mengetahui sesuatu karena sudah lama tinggal di rumah tersebut.Ayers segera bersiap-siap, ia sudah tidak tahan hidup dengan rasa penasaran. Teka-teki ini harus segera diselesaikan. Ia tidak ingin liburan yang harusnya membawa kesenangan malah justru membawa beban pikiran untuknya.Dengan cepat ia pergi ke rumah Isabelle untuk mencari kebenaran yang lebih jelas. Beberapa kali Ayers mengetuk pintu, namun masih tida
"Kyran ...." panggil Ayers untuk yang kesekian kalinya.Hening.Ayers duduk di lantai dengan posisi menyandar di tembok pembatas kamarnya dan kamar Kyran. Semenjak kedatangannya ke rumah Isabelle tiga hari lalu, Kyran tidak pernah lagi muncul untuk bernyanyi.Kepala Ayers bergerak ke samping kanan, memandang langit melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Kau tahu, malam ini langit sangat cerah. Bulan dan ribuan bintang di atas sana bersinar terang. Lihatlah, mereka begitu indah. Apa kau tidak berniat keluar dan menghibur mereka dengan nyanyianmu? Mereka merindukanmu ... sama sepertiku."Ayers menelan kuat salivanya, bibirnya melengkung tipis. "Benar, aku merindukanmu. Aku merindukan suara indahmu dan juga merindukan sosok cantikmu ... aku selalu menunggumu, tapi kau tak kunjung keluar.""Apa kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir, aku takut mereka melakukan sesuatu padamu." Ayers menunduk sedih. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah menyerah untuk bisa bicara denganmu, meski aku ta
Ayers kembali ke rumahnya, duduk di meja makan dengan tangan menggenggam segelas air. Bingung—haruskah ia menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan? Tapi, Ayers tidak yakin mereka mau membantu. Apalagi ini masalah wanita. Orang tuanya tahu benar bagaimana hubungan Ayers dan para wanita yang dikencaninya.Menghela napas, Ayers menenggak habis air minumnya. Pusing menyerang kepala. Jika di pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Pun Ayers merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Ragu, namun ia tetap menghubungi Ayahnya, karena hanya sang Ayah yang setidaknya bisa sedikit diajak bicara. Beberapa menit menunggu, akhirnya Aaron menerima panggilannya."Ayah ....""Ada apa?" Suara datar Aaron di seberang sana menyambut Ayers.Ayers diam senjenak. "Begini ... aku ingin ....""Katakan saja. Kau ingin apa?""Aku ingin ...." Ayers menelan kuat salivanya. "Aku ingin menikah."Lama tak terdengar respons dari Aaron. "Kenapa tiba-tiba? Siapa yang ingin kau nikahi? Wanita mana lagi yang
Ayers menceritakan pada Arcy awal dari pertemuan pertamanya dengan Kyran, tanpa ada yang terlewat. Pun Arcy menyimak dengan seksama, sambil sesekali menyesap winenya. Arcy merasakan hal yang sama seperti Ayers—bertanya-tanya mengapa Kyran harus disembunyikan, memanganya apa yang terjadi padanya?Tanpa menunggu lagi, Ayers segera mengajak Arcy ke rumah Kyran. "Apa Ayah dan Ibu tidak marah kau datang ke sini?" tanya Ayers ketika mereka baru saja keluar dari rumah."Apa mereka pernah marah padaku?""Ya, kau benar. Kau anak kesayangan mereka, tidak mungkin mereka memarahimu," pungkas Ayers, berjalan mendahului Arcy.Sampai di depan pintu rumah Jane, Ayers langsung mengetuk pintunya. Menoleh sejenak pada Arcy yang sudah berdiri di sampinya saat tak ada respons dari si pemilik rumah.Hingga akhirnya pintu dibuka oleh Jane. Wanita itu menatap bingung Arcy dan Ayers secara bergantian. "Ada apa?""Bonjour, Bibi. Saya Arcy, Kakaknya Ayers," ucap Arcy, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong
Ayers bersimpuh di depan Kyran, menggenggam tangan gadis yang saat ini sedang duduk di tempat tidurnya. "Jangan menangis lagi, kau sudah aman sekarang."Ayers memeriksa tangan dan kaki Kyran, tidak ada luka serius, kecuali di pergelangan tangan dan kakinya yang memang bekas rantai dan pasung. "Kyran, sejak kapan mereka melakukan ini padamu?" Kyran tidak menjawab, hingga Ayers menaikkan pandangannya. "Katakan saja, tidak perlu takut.""Ayers, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu." Arcy yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyela. "Aku menunggumu di bawah, ada hal yang harus kita bicarakan." Setelahnya Arcy berjalan keluar.Ayers berdiri, lalu mencium puncak kepala Kyran. "Istirahatlah.""Ayers ...."Ayers mendudukkan dirinya di samping gadisnya, menyunggingkan senyum meski tahu gadis itu tidak dapat melihatnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?""Kenapa kau membawaku ke rumahmu? Paman dan Bibi pasti akan sangat marah.""Mereka tidak akan bisa marah selama aku bersamamu."Kyran menela