"Who is that girl I see ... staring straight back at me ...."
"Why is my reflection someone I don't know ...."
"Must I pretend that I am ... someone else for all time ...."
"When will my reflection show ... who I am inside ...."
Tanpa diduga ternyata gadis itu bernyanyi lagi. Ayers yang masih mengeringkan rambutnya menggunakan handuk seusai mandi, berlari cepat menuju jendela saat mendengar suara khas bernyanyi dari gadis di sebelah rumah. Ayers ingin menyapanya. Namun, ketika membuka jendela yang terlihat hanya sedikit dari sosok gadis itu. Pun rasanya tidak sopan jika menyapa melalui jendela seperti ini.
Alhasil, Ayers melempar handuknya ke sembarang tempat dan buru-buru keluar. Sampai di luar, Ayers berdiri tepat di depan jendela kamar gadis itu. Kepalanya mendongak. Senyumnya mengembang saat dirinya berhasil melihat wajah dari gadis itu sepenuhnya. Ayers terpesona memandangnya. Gadis itu benar-benar sangat cantik, matanya terpejam saat bernyanyi, rambut hitam lurusnya beterbangan karena tiupan angin.
"When will my reflection show ... who I am inside ...."
Nyanyiannya selesai. Ayers bertepuk tangan dengan penuh semangat sampai membuat gadis itu terkejut.
"Bonjour ...." Ayers tersenyum lebar setelahnya, tangan kanannya melambai pada sang gadis.
Namun, sekali lagi Ayers diabaikan. Jangankan membalas sapaan ramah Ayers, melihatnya saja pun gadis itu enggan. Seolah menganggap bahwa Ayers tidak ada. Hal tersebut tentu membuat pria itu kesal. Senyumnya hilang seketika. "Kau ini sebenarnya kenapa? Apa sesulit itu untukmu membalas sapaanku?"
Hening.
Gadis itu menunduk. Rambutnya yang tergerai berjatuhan ke bawah—cukup menyeramkan. Dan di detik berikutnya gadis itu menutup jendela kamarnya tanpa mengatakan apa pun.
Mata dan bibir Ayers kompak melebar. "Seriously?!"
"Ayers?" Perhatian Ayers beralih pada pintu rumah Isabelle yang terbuka. Isabelle berdiri di ambangnya sembari mengerutkan dahi. "Kau sedang apa di situ?"
Senyum lebar Ayers kembali merekah begitu bertemu pandang dengan Isabelle. "Mm ... aku hanya ingin menikmati suasana pedesaan di malam hari ...." dalih Ayers, terkekeh canggung. "Kau sendiri sedang apa malam-malam begini keluar?" tanyanya kemudian.
"Aku mau mengambil pesanan di toko roti."
"Kebetulan aku juga ingin beli roti. Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Tanpa ragu ajakan Ayers langsung disetujui Isabelle. "Ya sudah, aku akan mengambil jaket sebentar. Kau tunggu di sini, ya. Tidak sampai lima menit. Mengerti?" Ayers bergegas masuk ke rumahnya begitu Isabelle memberikan anggukan.
***
Setelah selesai mengambil pesanan roti Isabelle dan beli beberapa roti untuk Ayers. Keduanya pun langsung pulang. Berjalan beriringan sembari Isabelle bercerita tentang desanya.
Ayers menawari Isabelle singgah ke restoran untuk makan, namun gadis cantik itu menolak dengan alasan Ayah dan Ibunya melarangnya pulang terlalu larut—gadis di desa memang sangat berbeda.
Ayers mengakui jika Isabelle begitu cantik untuk ukuran gadis desa. Isabelle layaknya gambaran seorang Putri Bangsawan. Kulitnya putih dan mulus, rambut cokelatnya bergelombang. Serta sopan dan anggun.
Tapi anehnya, ia lebih tertarik pada gadis pucat bersuara merdu itu—yang kemungkinan Adik atau Kakak dari Isabelle. Seperti ada perasaan tersendiri untuknya. Kalau saja wajahnya tidak sepucat mayat, Ayers yakin kecantikannya akan mengalahkan Isabelle.
"Ayers, terima kasih sudah mau menemaniku," ucap Isabelle ketika mereka baru saja tiba di rumah gadis itu.
"No prob. Kau bisa memanggilku kalau butuh ditemani lagi ...." Ayers tersenyum lebar, hingga menampilkan deretan gigi putihnya. Kemudian pria itu menghela napas panjang bersama lengkungan di bibirnya yang berangsur menghilang. "Sudah sampai saja. Padahal aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi." Ayers menipiskan bibir, tampak kecewa.
Dasar perayu.
Isabelle menunduk guna menyembunyikan rona wajahnya. "Kau mau mampir dulu?"
Ayers menggeleng. "Sudah malam, aku langsung pulang saja."
"Ya sudah."
"Sana masuk." Ayers menepuk pelan lengan Isabelle. Gadis itu mengangguk sebelum masuk ke dalam. Ayers mundur perlahan, lalu melarikan matanya pada jendela kamar di sebelah rumahnya. Menghela napas kemudian masuk ke rumah.
Setelah menyimpan semua rotinya di dapur, Ayers masuk ke kamar. Ia menatap tembok pemisah antara kamarnya dan kamar gadis bersuara merdu itu. Tangannya melipat di dada, keningnya mengernyit samar—memikirkan apa yang sedang gadis itu lakukan saat ini.
Ayers mendekat ke tembok. "Halo, Nona. Kau bisa mendengarku?" Ia menempelkan telingannya ke tembok, bersiap menerima sahutan dari si gadis—jika memang mendengarnya. Tapi hanya ada keheningan.
Pria itu menjauh dari sana. "Dia dengar tidak ya?" Ayers mengetuk tembok batu itu. Memperkirakan apakah suaranya bisa menembus sampai ke seberang. Menghela napas, Ayers memilih membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Yang membuat Ayers bingung, kenapa gadis itu selalu menghindarinya. Awalnya Ayers mengira kalau gadis itu malu. Namun, setelah melihat reaksinya tadi, Ayers jadi yakin jika gadis itu memang tidak ingin berinteraksi dengannya. Tapi kenapa?
Kalaupun merasa terganggu harusnya gadis itu memakinya, atau paling tidak menatapnya sinis. Bukan malah menganggap seolah dirinya tidak ada. Apalagi wajah datarnya yang tidak bisa ditebak. Membuat Ayers semakin dilanda penasaran.
"Dia bukan robot, kan?" Ayers mendecih tawa, "konyol. Ini Mittelbergheim, bukan Jepang atau China." Sebelum kemudian mencari posisi nyaman untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Paginya Ayers sudah bersiap untuk bertamu di rumah tetangganya, yang mana tujuannya hanyalah menemui gadis pemilik suara merdu yang berhasil membuatnya penasaran dengan sosok misteriusnya. Ayers ingin tahu, gadis itu memang ingin mengabaikannya atau sengaja bersikap demikian agar bisa menarik perhatiannya.Dengan pakaian santai dan sekeranjang buah di tangan, Ayers melangkahkan kaki ke rumah sederhana yang berdiri kokoh di samping rumahnya.Tiba di depan rumah tersebut, Ayers langsung mengetuk pintu beberapa kali. Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul setelahnya—yang kemungkinan adalah Ibu dari Isabelle dan gadis yang belum Ayers ketahui namanya."Kau siapa?" tanya wanita itu, matanya bergerak mengamati Ayers dari atas hingga ke bawah.Ayers tersenyum manis. "Bonjour, Bibi. Perkenalkan nama saya Ayers, orang yang menyewa rumah Bibi Marthe. Saya ke sini untuk memberikan ini sebagai salam perkenalan," ujar Ayers basa-basi seraya menyodorkan keranjang buah yang dibawanya.Wanit
Setelah makan malam, Ayers memutuskan duduk di depan laptop untuk memeriksa semua hasil jepretannya. Di samping itu, pikirannya justru melayang ke mana-mana. Tidak biasanya ia tidak fokus pada apa yang dikerjakannya.Jam dinding berbunyi, tanda sudah tengah malam. Ayers pun meregangkan otot-ototnya, kemudian menutup laptop. Pria berambut hitam itu berdiri, berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana."Who is that girl I see ...."Mata Ayers membulat. Langsung ia bangkit dan bergegas keluar rumah. Terlihat sosok gadis misterius itu ketika Ayers sudah berdiri di depan jendela kamarnya. Seperti sebelum-sebelumnya, mata gadis itu akan terpejam saat bernyanyi.Ayers terus memerhatikan gadis itu. Dari penampilannya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Ia tampak seperti manusia pada umumnya. Namun, gaun tidur berwarna putih yang selalu ia pakai dan rambut panjang terurai begitu saja dengan kulitnya yang pucat, sukses membuat bulu kuduk Ayers berdiri.Pria itu menelan ludah
Ayers berdiri di depan jendela kamarnya. Sesekali dirinya menoleh ke kamar sebelah. Ingin rasanya ia lompat ke seberang dan masuk ke dalam kamar tersebut untuk memastikan sendiri makhluk apa yang ada di dalam sana. Karena sebenarnya Ayers masih memiliki keyakinan besar jika gadis itu bukan hantu.Sorot mata Ayers bergerak ke bawah saat seorang pria paruh baya mengetuk pintu rumah Isabelle. Sepertinya itu adalah Ayah Isabelle. Dan ternyata benar, pria itu masuk dengan disambut oleh Jane. Tiba-tiba terlintas di benak Ayers untuk bertanya langsung pada pria itu, mungkin saja ia mengetahui sesuatu karena sudah lama tinggal di rumah tersebut.Ayers segera bersiap-siap, ia sudah tidak tahan hidup dengan rasa penasaran. Teka-teki ini harus segera diselesaikan. Ia tidak ingin liburan yang harusnya membawa kesenangan malah justru membawa beban pikiran untuknya.Dengan cepat ia pergi ke rumah Isabelle untuk mencari kebenaran yang lebih jelas. Beberapa kali Ayers mengetuk pintu, namun masih tida
"Kyran ...." panggil Ayers untuk yang kesekian kalinya.Hening.Ayers duduk di lantai dengan posisi menyandar di tembok pembatas kamarnya dan kamar Kyran. Semenjak kedatangannya ke rumah Isabelle tiga hari lalu, Kyran tidak pernah lagi muncul untuk bernyanyi.Kepala Ayers bergerak ke samping kanan, memandang langit melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Kau tahu, malam ini langit sangat cerah. Bulan dan ribuan bintang di atas sana bersinar terang. Lihatlah, mereka begitu indah. Apa kau tidak berniat keluar dan menghibur mereka dengan nyanyianmu? Mereka merindukanmu ... sama sepertiku."Ayers menelan kuat salivanya, bibirnya melengkung tipis. "Benar, aku merindukanmu. Aku merindukan suara indahmu dan juga merindukan sosok cantikmu ... aku selalu menunggumu, tapi kau tak kunjung keluar.""Apa kau baik-baik saja? Aku sangat khawatir, aku takut mereka melakukan sesuatu padamu." Ayers menunduk sedih. "Kau tahu kenapa aku tidak pernah menyerah untuk bisa bicara denganmu, meski aku ta
Ayers kembali ke rumahnya, duduk di meja makan dengan tangan menggenggam segelas air. Bingung—haruskah ia menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan? Tapi, Ayers tidak yakin mereka mau membantu. Apalagi ini masalah wanita. Orang tuanya tahu benar bagaimana hubungan Ayers dan para wanita yang dikencaninya.Menghela napas, Ayers menenggak habis air minumnya. Pusing menyerang kepala. Jika di pikir-pikir tidak ada salahnya mencoba. Pun Ayers merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Ragu, namun ia tetap menghubungi Ayahnya, karena hanya sang Ayah yang setidaknya bisa sedikit diajak bicara. Beberapa menit menunggu, akhirnya Aaron menerima panggilannya."Ayah ....""Ada apa?" Suara datar Aaron di seberang sana menyambut Ayers.Ayers diam senjenak. "Begini ... aku ingin ....""Katakan saja. Kau ingin apa?""Aku ingin ...." Ayers menelan kuat salivanya. "Aku ingin menikah."Lama tak terdengar respons dari Aaron. "Kenapa tiba-tiba? Siapa yang ingin kau nikahi? Wanita mana lagi yang
Ayers menceritakan pada Arcy awal dari pertemuan pertamanya dengan Kyran, tanpa ada yang terlewat. Pun Arcy menyimak dengan seksama, sambil sesekali menyesap winenya. Arcy merasakan hal yang sama seperti Ayers—bertanya-tanya mengapa Kyran harus disembunyikan, memanganya apa yang terjadi padanya?Tanpa menunggu lagi, Ayers segera mengajak Arcy ke rumah Kyran. "Apa Ayah dan Ibu tidak marah kau datang ke sini?" tanya Ayers ketika mereka baru saja keluar dari rumah."Apa mereka pernah marah padaku?""Ya, kau benar. Kau anak kesayangan mereka, tidak mungkin mereka memarahimu," pungkas Ayers, berjalan mendahului Arcy.Sampai di depan pintu rumah Jane, Ayers langsung mengetuk pintunya. Menoleh sejenak pada Arcy yang sudah berdiri di sampinya saat tak ada respons dari si pemilik rumah.Hingga akhirnya pintu dibuka oleh Jane. Wanita itu menatap bingung Arcy dan Ayers secara bergantian. "Ada apa?""Bonjour, Bibi. Saya Arcy, Kakaknya Ayers," ucap Arcy, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong
Ayers bersimpuh di depan Kyran, menggenggam tangan gadis yang saat ini sedang duduk di tempat tidurnya. "Jangan menangis lagi, kau sudah aman sekarang."Ayers memeriksa tangan dan kaki Kyran, tidak ada luka serius, kecuali di pergelangan tangan dan kakinya yang memang bekas rantai dan pasung. "Kyran, sejak kapan mereka melakukan ini padamu?" Kyran tidak menjawab, hingga Ayers menaikkan pandangannya. "Katakan saja, tidak perlu takut.""Ayers, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu." Arcy yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyela. "Aku menunggumu di bawah, ada hal yang harus kita bicarakan." Setelahnya Arcy berjalan keluar.Ayers berdiri, lalu mencium puncak kepala Kyran. "Istirahatlah.""Ayers ...."Ayers mendudukkan dirinya di samping gadisnya, menyunggingkan senyum meski tahu gadis itu tidak dapat melihatnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?""Kenapa kau membawaku ke rumahmu? Paman dan Bibi pasti akan sangat marah.""Mereka tidak akan bisa marah selama aku bersamamu."Kyran menela
"Kyran, are you okay?"Arcy menghentikan langkahnya di depan tangga setelah mendengar suara Ayers di kamarnya. Ia kemudian mendekati pintu kamar yang terbuka—mengintip ke dalam. Di sana Ayers tengah berdiri menghadap dinding. Mulutnya terus melontarkan begitu banyak pertanyaan dengan nada khawatir, sesekali nama Kyran terdengar.Arcy membuka lebih lebar pintu kamar tersebut. "Ayers, kau sedang apa?"Ayers menoleh. "Bicara pada Kyran."Arcy mengerutkan kening. "Melalui dinding?""Ya, aku selalu melakukan ini setiap malam," jawab Ayers lugas. Arcy menghela napas berat. "Kau mau apa?" tanya pria itu."Makan malam sudah siap."Ayers bejalan mendekat, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Kau masak?""Ya.""Sejak kapan?" tanya Ayers seraya mendahului Arcy turun.Arcy tersenyum miring. "Kau memang tidak pernah mengenalku."Sampai di bawah, Ayers langsung duduk di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring spaghetti dan sebotol wine. "Kau yang masak spaghetti ini?""Apa kau melihat o