Tahun ajaran baru 2023 musim kemarau. Dengan menggunakan seragam sekolah, kemeja berwarna putih dan ditutupi oleh jas berwarna biru. Aku pergi menuju papan pengumuman yang terpampang di depan halaman sekolah untuk melihat namaku akan tertulis di mana.
Ini adalah langkah pertama kalian saat baru saja memasuki sekolah. Selain untuk memastikan apakah kita benar-benar diterima di sekolah tersebut juga untuk mengetahui di kelas mana kita akan tinggal. Walaupun tidak pernah ada kasus di mana seseorang tidak menjadi murid di suatu sekolah sesudah memasuki acara penerimaan murid baru.
Ah... Ketemu, kataku dalam hati. Papan pengumuman yang memperlihatkan seluruh nama murid beserta kelas yang akan mereka tempati. Di papan tersebut juga pihak sekolah langsung memperlihatkan meja mana yang akan murid tempati. Sangat jarang melihat yang seperti ini, biasanya mereka akan menempelkan itu di jendela kelas ataupun memilihnya langsung saat wali kelas datang.
Aku lalu membuka bukuku kembali dan melanjutkan cerita yang terhenti semenjak memasuki lingkungan sekolah, lalu mengambil langkah kembali secara perlahan ke kelas 1-B. Kelas yang akan menjadi tempatku belajar selama 3 tahun.
Mungkin cerita ini akan terhenti sejenak kembali karena aku tidak mengetahui kelas 1-B berada di bagian sekolah mana.
“Diberitahukan kepada seluruh siswa untuk segera memasuki aula karena upacara penerimaan siswa baru akan segera dimulai. Sekali lagi, diberitahu—"
Buku kututup kembali karena saat ini jantungku sedikit meningkatkan aktivitasnya akibat dari pengumuman tersebut.
“Maaf, Kak,” Kataku yang baru menyadari ada seorang anggota OSIS di depanku, “Kelas 1-B ada di mana, ya?”
“Ah, kamu bisa lurus mengikuti jalan saja. Setelah memasuki lorong itu akan ada banyak tanda di sana.”
“Baik. Terima kasih banyak, Kak.”
“Tidak perlu berterima kasih, yang lebih penting itu adalah jangan lupa untuk menghadiri upacaranya.”
“Baik. Kalau begitu permisi.”
Setelah berada lumayan jauh darinya, aku membuka kembali bukuku. Kali ini aku tambahkan lagi energiku untuk berjalan lebih cepat.
Setelah sampai, aku langsung menaruh tas di mejaku yang berada di pojok kanan kelas. Tanpa memikirkan apa pun, aku langsung berjalan lebih cepat lagi. Karena untuk sampai di aula akan memakan waktu yang lumayan jika hanya berjalan santai saja.
Begitu aula sudah mulai terlihat, aku mengembalikan ritme jalanku seperti semula dan tentunya mengatur nafas. Meskipun tidak berlari, jantung akan tetap memompakan darahnya ketika tubuh mulai meningkatkan aktivitasnya. Dan itu mempengaruhi sistem pernapasan kita.
Setelah semua sudah tenang, aku langsung berjalan menuju pintu aula yang tidak terlalu jauh dari posisiku saat ini dan langsung membukanya.
Sudah banyak yang terisi rupanya. Aku harap aku masih mendapatkan kursi.
Seharusnya sih begitu karena aku yakin jumlah murid sudah dihitung sebelumnya. Tapi ternyata aku tidak perlu khawatir, kursi-kursinya sudah diberi nama.
Waktunya mencari lagi.
Tak lama, aku menemukannya
Berada di tengah kerumunan, yah. Meskipun tidak protes, dengan sedikit nafas kebahagiaan yang aku buang tadi, mau tidak mau aku harus tetap duduk atau akan dimarahi oleh angkatanku yang lain.
“Upacara penerimaan siswa baru akan dimulai. Dimohon untuk para siswa baru untuk menempati kursi yang telah disediakan. Terima kasih.“
Tidak upacara bendera, tidak upacara penerimaan, rasa malas tetap saja akan hadir saat harus memasuki hari 'sibuk'. Terlebih jika hari sebelumnya adalah hari libur yang sangat panjang.
Namun untuk kali ini aku sangat senang karena tidak harus membacakan pidato sebagai perwakilan dari siswa baru. Hanya karena nilai ujian bagus, bukan berarti orang tersebut mahir dalam segala bidang, bukan?
“Pertama-tama, sambutan dari Kepala Sekolah SMA Fortuna Negara. Waktu dan tempat dipersilakan.”
Para murid memberikan tepuk tangan mereka dengan meriah, tapi itu adalah sesuatu yang harus dilakukan di kehidupan sosial. Jika disebutkan itu adalah langkah awal kamu akan dihargai seseorang.
“Ekhm... selamat pagi semuanya, perkenalkan saya adalah kepala sekolah dari SMA Fortuna Negara. Di saat langit yang cerah memberikan semangat baru untuk kalian melangkahkan kaki—“
Tetapi tetap saja membosankan mendengarkan orang berbicara panjang lebar dengan bahasa yang baku, terlebih jika hal itu dilakukan dalam waktu lebih dari 7 menit. Yah, ujungnya ada pada bagaimana sifat manusia itu sendiri.
“Selanjutnya, sambutan dari ketua OSIS SMA Fortuna Negara. Waktu dan tempat dipersilakan.”
Ketika ketua OSIS tersebut sudah berdiri di atas panggung, mataku tidak dapat teralihkan kemanapun selain berfokus pada dirinya. Meskipun dia tidak tersenyum, anehnya tidak ada yang aneh dari hal itu.
Wajahnya yang terlihat dewasa dengan rambut panjang hitamnya membuat dia terlihat mempunyai kepribadian yang kuat.
Hal itu juga diperkuat dengan bentuk badannya yang terlihat sangat bernuansa kakak kelas.
Dilihat dari mana pun, firasatku mengatakan dia adalah orang yang benar-benar luar biasa. Mungkin bisa dibilang aku sangat kagum atau seperti itu.
“—sebagai ketua OSIS, saya ucapkan selamat datang. Juga, jangan lupa untuk menikmati masa SMA kalian di sekolah ini. Terima kasih.”
Terdengar suara tepuk tangan masuk ke telingaku.
-Ah, aku pun menepuk tanganku, mungkin aku sedikit telat untuk melakukannya.
Upacara penerimaan telah selesai dilaksanakan. Sekarang aku hanya menatap langit biru dari balik jendela kelas ditemani oleh angin-angin yang meniup pelan ke dalam kelas.
Jika diperhatikan suasananya saat ini, mungkin aku adalah salah satu orang yang akan mendapatkan bagian pertemanan paling akhir. Dilihat dari bagaimana mereka berinteraksi ataupun cara mereka menyapa, sudah bisa dipastikan mereka pernah satu sekolah sebelumnya.
Ataupun bukan, berarti di ruangan ini terdapat banyak sekali orang yang kemampuan komunikasinya sangat baik.
Apapun itu, sebenarnya itu bukanlah yang aku khawatirkan. Karena saat ini aku sedang bosan. Cerita yang sempat tertunda tadi tidak dapat aku lanjutkan karena aku lupa memberi tanda di mana cerita itu terhenti.
Kutarik napas dalam-dalam dan berniat untuk mengeluarkannya dengan pelan, tapi itu terhenti oleh orang yang berada di depanku-
“Yo.”
Yang hanya bisa kulakukan saat ini adalah aku harus menatap wajahnya yang sedang tersenyum dari indahnya langit biru.
“Fachri. Fachri Fadillah.” Sambil menjulurkan tangannya padaku.
“A-ah ... Raihan. Raihan Sadyatamadiningrat.” sambil membalas uluran tangannya untuk bersalaman.
Bukan ekspresi perkenalan yang biasa aku sering lihat, dia malah menunjukkan wajah bingungnya.
“Apa ada masalah?” tanyaku.
“Aaa~ tidak. Namamu ... Keren.”
“Benarkah?”
“Apakah mungkin kau seorang anak kaya raya?!”
“Biasa saja, keluargaku hannyalah sesuatu yang kita bilang cukup.”
“Ah, begitukah. Maaf. Baru kali ini aku mendapatkan teman dengan marga di dalamnya.”
“Apakah selangka itu? Aku tidak mengetahui hal itu. Mohon kerja samanya untuk beberapa tahun ke depan.”
“Benar juga, selama tiga tahun di sini kita tidak akan mengganti kelas ki-“
“Baik duduk semuanya, kelas akan dimulai sebentar lagi.”
Terdengar suara wanita dewasa yang berasal dari pintu depan kelas. Akupun sekali lagi memindahkan pandangku ke arah pintu depan kelas.
Jika dilihat dari penampilannya, wanita itu memakai pakaian kantoran dengan kemeja berwarna putih dan jas berwarna hitam yang rapi dan elegan.
Tidak salah lagi bahwa wanita itu adalah guru di sini.
Berarti apakah mungkin dia akan menjadi wali kelas di sini?
“Nama ibu adalah Annisa Trihapsari, panggil saja sesuka kalian. Tapi jangan lupa sopan dan santun kalian harus kalian jaga. Ibu adalah guru matematika di sekolah ini, dan tahun pertama kalian ibu yang akan pegang, jadi jika ada pertanyaan, tanyakan saja kepada ibu. Jadi, ibu harap kalian bisa merasakan masa SMA di sekolah ini.”
Guru matematika... Sepertinya nilai matematikaku akan terus menjadi sempurna kembali. Tapi keadaan saat ini menunjukkan kalau seluruh penghuni kelas di sini langsung mengeluarkan keluhannya.
Jika aku boleh menebak, budaya kata matematika itu menyeramkan masih melekat pada diri mereka. Seharusnya mereka bersyukur dan merasa bahagia bahwa wali kelas mereka adalah seorang guru matematika yang bisa kalian dekati, bukan begitu?
Karena dalam studi yang aku buat sendiri, banyak orang yang tidak menyukai matematika akibat ulah mereka sendiri yang memberi tanda buruk di matematika.
Tapi menikmati masa SMA, yah. Entah kenapa sepertinya aku sering melihat ataupun mendengar kalimat itu sejak beberapa hari yang lalu.
Di dalam TV ataupun poster sekolah ini, dari Bu Anisa, bahkan ketua OSIS juga. Sudah berapa kali sebenarnya?
Sekarang aku berpikir-pikir, apakah aku memang bisa mendapatkannya?
“Hei Raihan, bukankah itu menyeramkan mempunyai wali kelas matematika?”
Tidak aku sangka, aku terkejut ada yang mengatakan itu langsung tanpa pikir panjang. Ternyata memang dugaanku benar, masih banyak orang yang terlalu takut dengan matematika.
“Aku tidak tahu fondasi pemikiran itu muncul dari mana, terlebih untuk murid dari sekolah seperti ini. Seharusnya matematika bukan masalah yang besar, bukan?”
“Kau benar juga, sih. Tapi permasalahan tentang kesukaan dan pribadi itu adalah masalah yang berbeda. Bayangkan jika kita mempunyai guru dengan julukan “killer” yang dulu beredar. Bukankah itu akan buruk?!”
“Yah, aku juga setuju tentang itu. Terlebih itu akan jauh lebih buruk jika kau tidak meminta maaf sekarang.” Kataku sambil menundukkan kepala ke arah depan.
Padahal Bu Annisa tidak menunjukkan reaksi apa pun, tapi setelah mendengar 'ejekan' yang dikeluarkan oleh Fachri tadi ia langsung bereaksi.
Yang lebih penting, bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia bingung atau ketakutan sekarang? Kasihan sekali.
“Kau yang berambut coklat, siapa namamu?”
“E-ehm... F-fachri, Bu.”
“Dan kau pria berkacamata di belakangnya?”
Aku kembali membenarkan posisiku, “Nama saya Raihan, Bu.”
“Kalian tidak keberatan bukan datang ke ruangan guru setelah kelas ini selesai?”
Kami berdua mengatakan ya dengan berat hati.
Setelah kelas sudah sepenuhnya terbentuk- seperti ketua kelas, wali kelas, dan juga staf organisasi kelas lainnya-, aku dan Fachri langsung menghadap Bu Annisa untuk memenuhi panggilannya.
Tapi sang pembuat kejahatan dibebaskan terlebih dahulu dan dengan santainya berjalan meninggalkanku sambil tersenyum. Bahkan dia dengan sempatnya melambaikan tangannya kepadaku.
Tidak ingin berlama-lama di sini, aku langsung menunjukkan protesku dengan sopan setelah sang pembuat kejahatan menutup pintu ruang guru.
“Jadi, Bu. Apa ada yang bisa saya lakukan?”
“Hm? Ah benar juga. Ketua OSIS menyuruhmu untuk datang ke ruang OSIS.”
“Ruang OSIS? Kalau boleh saya tahu, alasannya apa ya, Bu?”
“Mungkin ini akan menentukan nasibmu di sekolah ini.”
“Eh?”
Apa itu? Apa maksudnya?
“Tenang saja, mereka tidak akan menggigitmu dengan anjing atau semacamnya.”
“Tunggu, Bu. Bukankah itu sangat berbahaya jika saya benar-benar akan digigit anjing di sana?”
“Tenang sana, ibu bilang itu akan baik-baik saja. Ibu beri jaminan. Itu akan mudah.”
“Apakah saya benar-benar harus datang ke sana?”
“Hmmm. Ya. Lebih baik kau ke sana sekarang.”
“Baik.”
Aku pun menutup pintu ruang guru dan dengan segera pergi dari tempat itu untuk menuju ke ruang OSIS yang jaraknya tidak jauh dari ruang guru yang berada di lantai yang sama.
Aku kembali berpikir tentang kata-kata yang dikatakan oleh Bu Annisa tadi, nasibku di sekolah ini.
Ingin dibuat apa aku oleh OSIS?
Apakah rumorku akan disebarluaskan?Ah tidak, aku tidak pernah ingat aku melakukan kejahatan.
Apakah aku akan dikeluarkan oleh sekolah? Tapi aku baru saja masuk.
Jika benar, apa yang telah aku perbuat?
Apa aku berbuat jahat pada salah satu anggotanya? Tapi hanya satu anggota saja yang aku ajak bicara.
Aku pun menghentikan langkahku sejenak dan melihat sekeliling. Aku melihat ke atas lalu dengan perlahan melihat ke sebelah kananku.
Tidak disangka aku menghentikan langkahku di depan ruangan yang mengancam nasibku di sekolah ini.
Tunggu Raihan, di saat seperti ini seharusnya kau harus tetap tenang dan berpikir jernih. Otakmu sudah dilatih untuk menjawab segala pertanyaan.
Bu Annisa, aku pegang kata-katamu bahwa ini akan mudah.
Dengan begitu, aku langsung mengetuk pintu yang tepat berada di hadapanku ini.
“Silakan.”
Entah mengapa suara itu membuatku sedikit tersenyum dan sangat mengundangku untuk masuk.
Dan dengan kata tersebut juga, aku membuka pintu ruangan itu dengan perlahan sambil memberi petunjuk bahwa aku datang untuk memenuhi panggilan. Lagi.
“Permisi, saya Raihan datang untuk memenuhi panggilan.”
Pemandangan yang terasa mengerikan langsung terlihat begitu pintu sudah terbuka lebar saat aku selesai mengatakan itu.
Terlihat langsung di depan mataku meja dengan tanda nama ketua OSIS beserta sang ketua dengan rambut hitam panjangnya yang sedang duduk mengambil beberapa kertas yang sedang dipegang oleh seorang gadis di sebelahnya.
Terdapat tiga orang gadis di ruangan ini yang langsung menatap ke arahku.
Rasa tegangku mulai naik ke permukaan. Tidak pernah dalam hidupku ditatap langsung oleh tiga gadis sekaligus.
“Oh, maaf. Aku adalah ketua OSIS di SMA ini. Aku yakin kamu sudah mengetahuiku, bukan? Tapi biarkan aku memperkenalkan diriku kembali. Namaku adalah Clarissa Putri Inara, kelas 2-A.”
“A-ah. Nama saya Raihan Sadyatamadiningrat, kelas 1-B.”
Dia tersenyum.
“Di sebelahku adalah Vania Keisha, kelas 2-C. Dia menjabat sebagai bendahara di sini. Lalu di sebelah kananmu adalah sekretaris di sini. Namanya adalah Nirmala Salsabila, kelas 2-C.”
Setelah diperkenalkan oleh ketua, mereka berdua tersenyum. Yang kulihat saat upacara penerimaan murid baru hanyalah ketua OSIS saja, tapi ternyata bendahara dan juga sekretarisnya sangat menarik perhatian.
Tidak ingin rasa tegangku bertahan terlalu lama, aku langsung kembali tahu tujuan awalku datang ke ruangan ini.
“Jadi, Kak. Apa yang harus saya lakukan di sini?”
Seketika senyum mereka menghilang. Mereka tidak membuat wajah yang menyeramkan tapi lebih terlihat kembali sebagai “mode serius”.
Di sini sepertinya aku menginjak ranjauku sendiri.
Tidak, itu salah. Aku berani bertaruh bahwa ranjauku sudah diinjak saat aku datang ke ruangan ini.
“Baiklah, kita mulai. Untuk sekarang, apakah kau benar orang yang bernama Raihan Sadyatamadiningrat?”
“Y-yah. Itu benar.”
“Kalian berdua, ambil itu.”
“Baik.”
Ambil? Apa yang ingin diambil. Tidak mungkin bahwa aku akan digigit oleh anjing, bukan?!
Sang bendahara juga sang sekretaris kembali dengan membawa sebuah meja dan kursi lalu menempatkannya tepat di depanku.
“Bisakah kau duduk di sana?”
Aku masih tidak tahu apa yang akan menimpaku saat ini. Aku harus memastikan apa yang akan terjadi padaku.
“Ketua, bisa tolong jelaskan mengapa aku harus duduk di kursi tersebut?”
“Apa wali kelasmu tidak memberitahu alasanmu dipanggil ke sini?”
Aku mengangguk.
“Ya, dia tidak akan memberitahu apa pun.”
Dia membuang nafasnya lalu mengambil selembar kertas yang berada di atas mejanya.
“Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Semua itu adalah mata pelajaran yang masuk dalam tes untuk masuk kelas IPA ke sekolah ini, dan kau meraih skor sempurna di semua mata pelajaran tersebut. Bukankah itu aneh?”
Rasa tegangku menurun karena hatiku tersentil oleh kata-katanya yang menganggap nilai sempurna aneh untukku.
“Aku tidak tahu apa maksud-“
“Jangan salah sangka di sini, aku tidak bermaksud untuk menjatuhkanmu di sini. Tapi ujian masuk sekolah ini merupakan ujian masuk yang tersulit di negara ini.”
“Jadi apa yang harus aku lakukan sebenarnya?”
“Kau masih belum tahu? Duduk di sana dan kita akan tes ulang di tempat ini sekarang juga.”
Hatiku kali ini membara. Aku membenarkan kacamataku.
“Aku menolaknya.”
Kali ini mereka bertiga menurunkan alisnya dan membuat wajah mereka lebih serius dari yang sebelumnya. Tujuan mereka jelas untuk menekanku, tapi aku tidak akan terpengaruh akan hal itu.
“Apa kau sadar apa yang kau katakan tadi?” ucap sang sekretaris.
“Tentu. Izinkan aku menjelaskan penolakanku. Pertama, aku tidak pernah berbuat curang dalam ujian tersebut.
Kedua, aku tidak mengerti mengapa orang yang memiliki nilai bagus malah dicurigai.
Ketiga, mengapa harus OSIS untuk mengurus ujian ulang ini? Di mana para guru atau staf sekolah yang lain? Kredibilitas OSIS sangat dipertanyakan saat ini.”
Sepertinya aku berlebihan tadi. Terlihat wajah mereka mulai marah saat ini.
“Aku akan jawab itu semua. Pertama, kata-katamu itu sering diucapkan oleh sang pelaku kejahatan yang tidak ingin mengakui perbuatannya.
Kedua, kau juga menyadari bahwa sekolah ini merupakan salah satu yang terbaik. Mempunyai nilai yang bagus tentu akan menguntungkan sekolah ini, tetapi jika seluruh nilai tes keseluruhan sempurna bukankan itu menjadi pertanyaan?
Ketiga, kita, yang berarti OSIS sendirilah yang ditunjuk langsung untuk melakukan tugas ini. Kau paham sekarang?”
Aku terdiam sekarang. Pendapat ketiga ketua OSIS tadi sebenarnya masih bisa aku perdebatkan dan aku tetap tidak ingin melakukan ujian ulang ini.
Sepertinya terpaksa aku harus memancing mereka.
“Aku tetap menolak untuk melakukan ujian ulang ini. Terlebih aku yakin kalian tidak lebih baik dariku yang meraih hasil sempurna, bukan?”
“Apa katamu!?” tiba-tiba saja sang bendahara memukul meja sang ketua, “kau sepertinya tidak tahu apa-apa tentang ketua OSIS di sini.”
Apa maksudnya itu?
“Apakah hal yang wajar seorang murid baru mengetahui seluruh kemampuan dari setiap murid di sekolah ini?”
Dugaanku berkata alasan mengapa mereka marah adalah karena reputasi sang ketua yang dijatuhkan. Aku tidak ingin kalah dari perdebatan ini, sepertinya aku harus menyerang langsung.
“Lalu bagaimana dengan kalian? Kalian hanya menyebut ketua dan ketua saja, berarti hanyalah ketua yang hebat di sini. Tapi kalian marah karena posisi sang ketua yang selalu berada di posisi teratas kini telah direbut olehku, bukan begitu, ketua OSIS?”
Terlihat alis dari ketua OSIS berkedut dan tidak ada balasan lagi dari mereka. Sepertinya aku berhasil membuktikan dugaanku. Waktunya aku untuk pergi.
“Oh~, kata-katamu menarik juga. Bagaimana kalau kita membuat sebuah kesepakatan?” Katanya sembari berjalan ke arah depan mejanya. “Jika kau benar-benar bisa mengerjakan soal ujian ulang ini, aku akan memberikan penawaran khusus untukmu.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudnya adalah itu, kau tahu bahwa OSIS merupakan organisasi yang menampung aspirasi para siswa. Jadi aku yakin pasti kau akan menyukainya.”
Aku makin tidak mengerti, itu terlihat sangat abu-abu. Terlebih menawarkan penawaran khusus itu terlalu aneh.
Apa dia mencoba bertaruh dengan menggunakan kata-kata aspirasi siswa itu dan apakah aku harus percaya dengan itu? Karena aku belum pernah melihat OSIS melakukan hal itu. Mereka lebih sering menyita barang teman seangkatannya.
Apa yang harus ku pilih?
“Bagaimana?”
Bagaimana?... Seharusnya aku lebih diuntungkan di sini. Baiklah, jangan sampai kalian menyesal, ok?
“Baiklah, itu tidak buruk.”
Mereka langsung bertindak dengan cepat. Tumpukan kertas yang di bawa oleh bendahara tadi ternyata adalah kertas untuk tes ulang ini. Peraturannya sama saat seperti ujian di awal, masing-masing pelajaran diberikan waktu maksimal 90 menit dengan 50 butir soal terkecuali untuk pelajaran IPA, 120 menit untuk 40 soal.
Kelas sudah berakhir pada jam 1 siang tadi karena ini adalah hari pertama masuk sekolah. Soal yang diberikan berbeda, namun materi yang di ujikan tetaplah sama. Jika menggunakan waktu maksimal ujian, sudah pasti aku akan pulang di malam hari.
Tapi seperti yang sudah aku katakan, karena materinya sama kemungkinan besar ujian ini selesai pada jam 4 sore.
Mereka langsung memeriksa jawabanku setelah aku selesai mengerjakan soal yang diberikan dan aku langsung meminta soal yang lain. Tidak perlu ada istirahat, itu hanya akan membuang waktuku. Dan sekarang pelajaran terakhir yaitu Bahasa Inggris dan kini sudah kujawab sepenuhnya. Tidak ada yang terlewat, selesai tepat pada pukul 16.00.
Sekarang aku hanya harus menunggu hasilnya.
Sudah 8 menit berlalu ketika mereka mulai memeriksa jawaban tes bahasa Inggrisku. Seharusnya mereka sudah selesai memeriksanya, bukan?
“Hmmm... Bagus sekali.”
Setelah mengatakan itu, ketua osis berdiri dari kursinya dan berjalan menujuku. Dia tersenyum dengan wajah dewasanya itu.
“Semua jawabannya benar. Tidak ada yang terlewat. Selamat, Raihan!”
Akhirnya aku dapat bernapas tanpa beban kembali. Akhirnya mereka menghilangkan tekanan yang diberikan sedari tadi.
“Jadi apa yang kalian para kakak OSIS lakukan saat ini?”
“Benar juga. Untuk penawaran khususnya.”
Ini dia, akhirnya, penawaran khusus apa yang dia berikan. Entah mengapa detak jantungku meningkat. Keringat akibat menjawab soal kembari turun ke samping wajahku.
Aku hanya dapat berpikir: apa yang akan dia katakan berulang kali. Wajahnya terlihat sangat serius dan perlahan dia membuka mulutnya. Aku mulai menelan ludahku, ayo cepat katakanlah!
“Jadilah wakil ketua untukku!”
Sudah 3 minggu berlalu semenjak tes ulang ujian masuk dari pihak OSIS. Aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan di sekolah. Fachri, sang pelaku kejahatan yang pergi dengan lambaian tangannya dekat denganku. Tentunya bukan hanya denganku, dengan kepribadian dan wajahnya dengan mudah ia mendapat perhatian dari seluruh kelas terutama para wanita. Wali kelas yang menangani mata pelajaran matematika juga dekat denganku. Alasannya sudah jelas, karena nilaiku yang selalu bagus di mata pelajarannya membuat aku ‘disayang’. Sifat Bu Annisa yang sebenarnya mudah bergaul dengan para murid juga menjadikan ia guru yang dikagumi, bukan ditakuti. Itu terbukti dari bagaimana kedekatan dia dengan para murid kelasnya. Tentu saja dengan sifat yang seperti itu semakin memudahkanku untuk belajar matematika dengannya. Lalu untuk ketua OSIS itu... “Jadilah wakil ketua untukku!” “Ha?” “Apakah kau tidak menangkap apa yang aku ucapkan ta
Pagi hari tepat pukul 7. Aku menyantap sarapan yang telah aku buat sendiri dengan keadaan mata masih berat untuk dibuka lebar-lebar. Karena tidak terlalu suka memakan makanan yang berat saat baru saja bangun tidur, aku hanya membuat sebuah sandwich ala barat dengan segelas jus jeruk yang aku simpan di kulkas dari minimarket terdekat beberapa hari yang lalu. “Ngantuk.” Aku memutuskan untuk hidup sendiri saat sudah masuk SMA. Itu juga merupakan bagian dari perjanjianku dengan kedua orang tuaku. Aku yang menginginkan bagaimana rasanya hidup sendiri sebelum masuk kuliah ditentang oleh ibu. Dan bisa ditebak, ayahlah yang selalu menjadi orang yang sangat bijaksana di keadaan anaknya sedang mengalami masa pubertas. Ayah membuat sebuah syarat agar aku bisa hidup mandiri, syarat yang dia berikan adalah masuk ke salah satu SMA terbaik, tidak peduli itu negeri maupun swasta. Bisa dibilang itu adalah syarat yang sangat mudah bagiku. Yah,
Apa yang aku dengar tadi tidak salah, bukan? Aku tidak salah mendengar itu, bukan? Tidak tunggu! Ini bukan waktunya untuk pikiranku saling bertengkar, jika Bu Annisa memang mengatakan hal itu seharusnya benar seperti itu, bukan? Mengapa aku menjadi ragu kembali?! Jika kau memang ragu seharusnya kau pastikan itu sendiri Raihan! “A-apakah itu benar, Bu Annisa?” kataku dengan suara tidak percaya diri. Bu Annisa masih mengetik laptopnya, namun Bu Annisa menjawab pertanyaanku. “Hmm? Apanya?” “Apakah benar Ibu adalah pembimbing OSIS untuk tahun ini?” “Jika iya memangnya kenapa?” Mendengar itu dari Bu Annisa hatiku sedikit menjadi tenang, namun perasaan yang menggangguku selama ini masih belum hilang. “K-kalau begitu, apakah saya boleh menanyakan sesuatu?” Dengan cepat Bu Annisa menjawab “Maaf Raihan, sekarang tidak bisa. Aku masih harus mengurus ini. Lagi pula untuk apa? Kau tidak ada sangkut pautnya dengan OSIS, buka
Seperti yang sudah dikatakan oleh Bu Annisa kemarin, saat ini aku sedang menunggu Bu Annisa di tempat parkir sekolah yang letaknya berada di bawah sekolah. Mungkin lebih tepatnya lantai 1 sekolah ini adalah tempat parkir. Ada apa denganku sebenarnya sehingga bisa meninggikan suara kepada seorang guru? Padahal dari dulu kau tidak banyak berbicara. Aku mengistirahatkan punggungku di sebuah tembok penahan bangunan dan menutup mataku, berharap semua akan baik-baik saja. Tak lama, smartphone yang aku simpan di saku celanaku bergetar. Aku lalu memeriksa layar smartphone milikku. Ada notifikasi pesan dari Bu Annisa. “Apakah kau sudah berada di sana? Jika iya tunggu ibu di sana. Ibu sedang turun dari tangga.” Tidak ingin dimarahi lebih lanjut, aku segera membalas pesan dari Bu Annisa. “Iya, Bu. Berhati-hatilah.” Aku mengatakan Bu Annisa untuk berhati-hati agar dia tidak jatuh dari tangga saat memegang smartphonenya. Setelah mem
Pagi ini sejak bangun dari tidur tubuhku terasa berat. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi yang pasti ranjangku menjadi black hole yang menarik kuat tubuhku agar tidak bangun.Yang membuat bisa aku bangun kali ini sudah pasti kewajibanku untuk pergi ke sekolah. Akan sangat disayangkan jika bisa pergi ke sekolah yang begitu bagus namun tidak dijalankan dengan sepenuh hati. Terlebih belajar itu sangat menyenangkan bagiku.Aku tidak tahu mengapa seseorang bisa dengan mudahnya membolos pelajaran bahkan sekolah itu sendiri. Sebagian besar mereka mengucapkan kalau mereka tidak ingin, tidak suka, ataupun tidak bisa dengan hal tersebut. Bukankah itu membuktikan kalau mereka tidak mampu dan hanya bisa melarikan diri?Yah, bagaimanapun setiap orang dilahirkan berbeda dan membuktikan kalau diferensiasi sosial akan terus ada.Aku bisa mengembalikan energi tubuhku saat sedang mandi. Berkat bantuan dari Tuan Air Hangat yang mengalir ke tubuhku. Itu membuat keada
Aku meyakini bahwa aku menjalani hidup dengan baik. Tentu saja itu adalah buah pemikiran dan hatiku.Mungkin sebagian besar orang akan menganggap aku terlalu percaya diri. Dan tentu saja aku tidak bisa menolak pendapat seperti itu. Karena saat ini aku hannyalah sebuah tunas dan mungkin tidak akan bisa tumbuh nanti.Aku juga sangat meyakini bahwa kehidupan ketika sudah keluar dari dunia pendidikan itu akan sangat jauh berbeda. Jika menginginkan sebuah contoh adalah mencari pekerjaan. Ilmu yang telah kau peroleh bisa saja tidak akan berguna.Dengan syarat bahwa kau tidak mempunyai sebuah mimpi atau hasrat untuk menggapai sesuatu dari dirimu, kau menghilangkan salah satu faktor alasan untuk bekerja keras. Sehingga yang terjadi kau akan merasakan rasa puas dengan hanya bekerja sebagai buruh.Fakta tentang dunia yang berbeda setelah meninggalkan pendidikan berasal dari beberapa orang terdekatku. Mereka mengatakannya langsung dengan lisan mereka. Sedangkan hila
Sudah lewat 3 hari aku menjalani kehidupan sekolahku menjadi wakil ketua untuk OSIS, hanya untuk sementara.Itu juga berarti satu bulan sudah aku menjadi siswa di SMA ini. Bagiku dapat bersekolah di tempat yang bergengsi adalah capaian terbesarku, yang artinya kerja kerasku tidaklah sia-sia. Aku pun mendapatkan seseorang yang bisa disebut dengan teman dengan cepat, Fachri teman sekelasku.Bulan ini adalah bulan Agustus. Sudah saatnya bulan yang sangat sibuk bagi OSIS, karena bulan ini adalah bulan di mana seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaannya.OSIS tentu sudah sadar akan hal ini, namun karena waktu dan keadaan yang tidak mendukung, OSIS belum pulih sepenuhnya dan tidak dapat bekerja secara maksimal.“Baiklah sebelum kalian pergi untuk istirahat ibu akan memberi kalian kertas ini, lalu bagikan kertasnya ke teman kalian yang ada di belakang. Pastikan semuanya dapat, ok?”Tidak lama menunggu, aku mendapatkan kertas milikku dari
Sudah beberapa hari berlalu. Seperti biasanya, di pagi hari aku harus berangkat untuk sekolah. Tidak ada yang spesial, bahkan ide tentang Agustusan pun sudah sedikit pudar di dalam kepalaku.Mungkin aku merasakan perbedaan di pagi ini. Tidak tahu mengapa, jalan yang selalu aku lalui untuk ke sekolah terasa tidak memberatkan. Aku selalu menikmati jalan menuju sekolah, hanya pagi ini terasa berbeda.Buku yang aku baca terus menerus bergerak karena angin selalu datang, menyejukkan memang, namun menghambatku untuk membacanya.“Pagi, Raihan.”“Pagi juga, Shinta.”Eh?Aku melihat ke samping kananku.“Ah, Shinta. Bukankah aku sudah memintamu untuk berhenti melakukan hal itu?”“Aku menolak, reaksimu sangat unik.”“Aku bukanlah mainan.”“Tapi kau merasa senang dijahili oleh Kak Clarrisa.”“Kau salah sangka. Itu tidak benar?”&