Sudah 3 minggu berlalu semenjak tes ulang ujian masuk dari pihak OSIS. Aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan di sekolah. Fachri, sang pelaku kejahatan yang pergi dengan lambaian tangannya dekat denganku.
Tentunya bukan hanya denganku, dengan kepribadian dan wajahnya dengan mudah ia mendapat perhatian dari seluruh kelas terutama para wanita.
Wali kelas yang menangani mata pelajaran matematika juga dekat denganku. Alasannya sudah jelas, karena nilaiku yang selalu bagus di mata pelajarannya membuat aku ‘disayang’.
Sifat Bu Annisa yang sebenarnya mudah bergaul dengan para murid juga menjadikan ia guru yang dikagumi, bukan ditakuti.
Itu terbukti dari bagaimana kedekatan dia dengan para murid kelasnya. Tentu saja dengan sifat yang seperti itu semakin memudahkanku untuk belajar matematika dengannya.
Lalu untuk ketua OSIS itu...
“Jadilah wakil ketua untukku!”
“Ha?”
“Apakah kau tidak menangkap apa yang aku ucapkan tadi?”
“...”
“Jadi intinya kau akan menjadi wakil ketua OSIS, dengan aku sebagai ketuanya selama beberapa bulan ke depan.”
“Yah, tentu aku tahu apa maksudnya. Tapi, he, ha, kenapa?”
“Tentu saja untuk membantu pekerjaanku di OSIS.”
“Tunggu sebentar, di mana wakil ketua kakak?”
“Tidak ada.”
“Eh, ya... Apa maksudnya itu?”
“Tidak ada wakil ketua untukku.”
“Ha?”
“Jadi, apa jawabanmu?”
Apa jawabanku? Tentu saja itu adalah hal yang pasti.
“Aku tolak.”
Dengan begitu aku langsung meninggalkan ruangan tersebut lalu pergi mengambil tas yang ada di kelas dan bergegas pulang.
Semoga aku tidak terlibat dalam hal itu lagi.
Tapi sama halnya seperti harapanku di saat SMP, doa tidak selalu terkabulkan. Selama 3 minggu tersebut, ketua OSIS selalu mendekati diriku.
Istirahat pelajaran, pelajaran olah raga, bahkan jam makan siang, dia selalu menghampiri diriku dan menanyakan hal yang sama setiap harinya.
Dan sekarang jam sekolah sudah berakhir, dan aku berada di cafe untuk melepas lelah dengan posisi tempat duduk di sebelah jendela dengan pemandangan luar cafe, berdua dengan ketua OSIS, terjebak di keadaan yang tidak aku inginkan.
“Pendapat yang kau ucapkan kepadaku sangat tidak masuk akal, Tuan Telmi.”
“Apa maksudmu?”
“Kau sangat tidak paham ya, Tuan Telmi? Sudah berapa kali aku harus kembali mengatakan hal yang sama dua kali? Apa kau tidak kasihan kepadaku?”
“Sudah kubilang bukan seperti itu. Dan juga tolong berhenti bercanda seperti itu, aku juga punya nama, Kak Clarissa.”
“Kalau begitu, jadilah wakil ketua untukku.”
“Aku tolak.”
“Jadi begitu, Tuan Telmi... Apakah aku harus terus menerus mengeluarkan itu dari mulutku hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun? hiks.”
“Yang kau maksud adalah tawaran itu, ya kan ya!”
“Pesankan aku kopi.”
“O-oh, sudah mulai haus? Uhm, rekor baru, 15 menit sudah terlewat semenjak kita datang ke sini dan kakak belum memesan apapun. Permisi, kopi latte-nya satu tolong!”
“Baik! Kopi latte satu.” Balas sang waitress dari kejauhan.
“Apa kau baik-baik saja kak, membaringkan kepalamu di meja.”
“Hm?... Ya. Itu akan baik-baik saja saat kau menerima tawaranku.”
“Tidak akan terjadi.”
Sungguh, aku tidak tahu kenapa dia sangat menginginkanku sebagai wakil ketuanya.
Aku tidak ingin berpikir buruk tentang apa yang terjadi kepada semua yang pernah menjadi wakil ketua untuknya.
Maksudku, bukan itu sangat aneh?
Sudah 3 minggu sejak tahun ajaran baru dimulai namun saat aku menanyakan di mana wakil ketuanya, dia selalu menjawab tidak ada dan selalu menghindari hal itu.
“Hey, Kak. Aku masih penasaran, sebenarnya di mana wakil ketua Kakak?”
“Ah~? Kau masih menanyakan hal itu? Apa kau tidak pernah menyimak lawan bicaramu, Tuan Telmi?” dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang malas dan tidak membangunkan wajahnya dari meja.
“Aku sungguh tidak paham mengapa kau bersikeras ingin aku menjadi wakilmu? Bukankah itu aneh? Kita baru saja bertemu dan aku tidak pernah melihatmu sebelum aku memasuki SMA ini dan aku yakin Kakak juga sama seperti itu, kan?
Lalu ke mana wakil ketua Kakak? Bukankah seharusnya syarat menjadi ketua adalah mempunyai wakil? Aku sungguh tidak bisa memahaminya, Kak.”
“...”
Dia hanya terdiam dan tidak menjawab, dan kini dia menutupi wajahnya ke meja.
“Maaf telah menunggu, kopi latte pesanan anda-“
“AH SAKIT!”
“Hiii?!”
“Apa yang kau lakukan mendadak menendang kakiku?!”
“Jangan berisik, Raihan. Kita saat ini sedang berada di tempat umum, bukan kamarmu.”
“Jangan memperburuk reputasiku, Kak!”
Aku kembali duduk dan Kak Clarissa memperlihatkan wajahnya kembali.
“Ekhm, jadi apa jawabanmu?”
“Aku harus menjawab yang mana dulu?”
“Ah- Emmm... Kenapa kau sangat bersikeras menjadikanku wakil ketua?”
“Tidak tahu.”
“Ha?”
“Hanya, aku mempunyai firasat kau bisa diandalkan itu saja.”
“Lalu, ada apa dengan wakil ketua yang sebelumnya.”
Kak Clarissa membuang nafasnya lalu meminum kopi yang dipesannya.
“Entahlah, kau bisa mencarinya sendiri.”
“Apakah benar telah terjadi sesuatu?”
“Akan membosankan jika kau mengetahui jawabannya langsung. Aku pulang dulu, masih banyak tugas OSIS dan PR yang harus aku kerjakan. Sebaiknya kau pulang juga, sampai jumpa besok di sekolah.”
Kak Clarissa langsung meninggalkanku sendirian tanpa menengok kembali ke arahku sedikit pun. Lagi.
***
Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Aku menatap ke arah jendela dengan warna biru yang menyelimuti langit siangnya.
Menyilaukan.
Firasat kau bisa diandalkan, ya. Apakah memang sesederhana itu? Maksudku bagi seorang ketua OSIS terlebih dia yang hanya mengandalkan firasat terasa aneh bagiku.
Bagaimana cara mencarinya, ya...
“Raihan, kau membawa bekal makan siangmu?”
“Tidak, aku tidak membawanya.”
“Apa telah terjadi sesuatu? Keningmu tidak terlihat seperti biasanya, lho.”
Apakah aku memang terlihat seperti itu?... Ah, benar juga! Mungkin Fachri mengetahui sesuatu.
“Hey, Fachri. Seberapa jauh kau mengetahui sekolah ini?”
“Biasa saja, sepertinya sama seperti murid kebanyakan. Reputasinya, ekstrakurikuler yang diunggulkan, rumor tentang sifat guru-guru yang ada, juga bagaimana suasana ujian di sekolah ini. Kira-kira seperti itu.”
“Apa kau mengetahui sesuatu tentang OSIS?”
“Hmm? Kenapa tiba-tiba?”
“Bisa dibilang aku sedang penasaran terhadap sesuatu.”
“Penasaran dengan OSIS?... Oh, benar juga! Kalau tidak salah kau ini dekat sekali dengan ketua OSIS. Sepertinya dia yang selalu menghampiri dirimu terlebih dahulu, ingin menjadi wakil ketuanya atau semacam itu. Apa telah terjadi sesuatu?”
Apakah itu normal?
“Iya, seperti yang kau katakan. Aku selalu dimintai untuk menjadi wakilnya, maka dari itu apa kau tahu sesuatu?”
“Sayangnya tidak, aku tidak terlalu tertarik dengan OSIS. Terlebih mereka terlihat membosankan bagiku.”
Tidak dapat petunjuk juga, yah.
“Bagaimana kita tanya saja ketua kelas kita?” Tiba-tiba Fachri memberikan saran.
“Kenapa begitu?”
“Mungkin saja dia tahu sesuatu.”
Ketua kelas, yah... Mungkin saja dia bisa membantu, tapi apakah dia ingin membantuku? Setahuku dia adalah orang yang sibuk, meskipun itu adalah risiko menjabat sebagai ketua kelas.
Sejujurnya aku jarang sekali berinteraksi dengan ketua kelas. Alasannya karena aku tidak pernah memperhatikan kelas seutuhnya, hanya tetangga yang di dekatku saja yang aku perhatikan.
Terlebih saat pelajaran dimulai wajahnya selalu tertutup oleh rambut panjang hitamnya yang lurus karena dia selalu duduk di bagian tengah di samping jajaranku.
Titik sempurna ketika kau membenci seseorang dan kau tidak ingin dia melihat wajahmu.
Tapi aku tahu ketua kelas merupakan orang yang baik. Jika tidak, mana mungkin dia dengan senang hati menawarkan diri menjadi ketua kelas.
“Baiklah.”
Aku dan Fachri berjalan menuju tempat duduk dari ketua kelas.
Di tengah perjalanan terlihat dari pandanganku dia seperti sedang membereskan sesuatu, apakah dia ada urusan?
“Halo, Ketua Kelas! Apakah kau ada waktu sekarang?”
“Halo, Ketua Kelas.” Ucapku telat.
“Halo juga Fachri? Dan juga Raihan.”
Suaranya lebih halus dari yang aku kira saat berbicara langsung dengannya.
“Apakah kau ada waktu saat ini?”
“Ada apa? Apakah kalian membutuhkan sesuatu dariku?”
“Kita ingin menanyakan sesuatu, apakah bisa?”
“Tentu, tapi maaf. Saat ini aku harus pergi ke ruang guru, Bu Annisa memanggilku sebelumnya. Tapi jika kalian mau, bisakah kalian untuk menungguku?”
“Ok, dimengerti. Kalau begitu kita tunggu di kantin.”
“Un, kalau begitu sampai jumpa lagi di kantin.”
Kita pun berpisah, dan waktu berlalu. Sementara ketua kelas sedang menyelesaikan urusan jabatannya, aku dan Fachri sedang menunggunya setelah kita berdua mendapatkan makanan siang yang kita inginkan dan duduk bersebelahan.
Aku memesan ayam goreng dengan beberapa sayuran sebagai pelengkap, sedangkan Fachri memesan sup ayam dengan tambahan nasi porsi kecil juga beberapa sayuran.
Meskipun terlihat mahal namun makanan di kantin sebenarnya murah tanpa mengurangi kualitas rasanya.
“Apa kau dekat dengan ketua kelas, Fachri?”
“Tidak juga.”
“Lalu bagaimana kau dapat berbicara dengannya dengan santai?”
“Aku tidak tahu, mungkin sifat alami?”
“Heeh...”
Apakah semua manusia mempunyai sifat alami seperti itu? Apakah itu juga merupakan definisi manusia normal, huh? Aku harap aku juga mempunyai hal itu.
Kami berdua diam dan menikmati makanan masing-masing.
Ini benar-benar canggung.
“Ah! Ketua, kami di sini!”
Tiba-tiba Fachri berteriak sambil melambaikan tangannya, dan setelah melihat kita berdua ketua kelas langsung jalan menuju meja tempat kami makan.
“Maaf telah membuat kalian menunggu, itu tadi sangat lama, bukan?”
“Tidak usah dipikirkan, lagi pula kamilah yang meminta bantuanmu. Oh, jika kau ingin memesan makanan silakan saja.”
“Tidak perlu, aku membawa bekal untuk makan siang, kok.”
Sambil mengatakan itu, ketua kelas memperlihatkan kotak bekalnya kepada kita.
“Ah, maaf karena kita makan terlebih dahulu tanpa menunggumu.”
“Tidak apa-apa, Raihan. Lagi pula makanan yang hangat lebih enak untuk dimakan, bukan? Apakah aku boleh duduk?”
“Ah, ya tentu.”
Setelah mendapat persetujuan dariku, ketua kelas duduk di hadapan kita berdua dan meletakkan kotak bekalnya dengan sepasang sumpit di atas meja lalu menyantapnya.
“Apakah itu bento?”
“Kau tahu itu, Raihan?”
“Aku mengetahuinya saat membaca buku. Apakah kau membuat itu juga sendiri?”
“Iya, aku membuat ini sendiri. Karena aku memiliki kemampuan untuk masak aku pikir kenapa tidak menggunakan kemampuanku dan mencobanya. Meskipun ini sepertinya terlihat sangat mencolok.”
“Kenapa tidak? Aku pikir itu lebih baik daripada menyia-nyiakan bakat, bukan?”
Mendengar itu dariku, ketua kelas tersenyum kecil.
“Terima kasih, Raihan. Lalu bantuan apa yang kalian inginkan?” dia mengganti tatapannya ke arah Fachri.
“O-oh. Sebenarnya bukan aku, tapi itu Raihan. Dia ingin mengetahui tentang OSIS.”
Sekali lagi dia mengganti tatapannya ke arahku.
“OSIS? Apakah kau ingin menjadi anggota OSIS, Raihan?”
“Ah, tidak. Masalahnya jauh dari itu.”
“Masalah?”
“Ya, sebenarnya ini tentang ketua OSIS.”
“Tapi sebagai ketua kelas bukan tugasku untuk menguntit seseorang, kau tahu?”
“Bukan itu!”
Ketua kelas tertawa kecil, “Tenanglah, aku hanya bercanda. Jadi, ada apa dengan ketua OSIS?”
“Sebelum itu, apakah kau tahu bahwa ketua OSIS kita tidak mempunyai wakil saat ini?”
“Ya, tentu. Aku pikir seluruh siswa di sekolah ini tahu. Ada apa?”
“Sebenarnya dia menginginkanku- lebih tepatnya memaksaku sebagai wakilnya. Tentu saja aku tolak.”
“Hmm~ Aku baru mengetahui hal itu.”
“Yah, dia melakukan itu saat ada sedikit orang saja. Namun saat aku menanyakan alasan kenapa harus aku dia selalu menjawab itu dengan asal. Lalu saat aku menanyakan di mana wakil ketuanya dia selalu diam ataupun mengganti topiknya.”
“Jadi begitu. Masalahmu adalah ketua OSIS yang memaksamu menjadi wakil ketuanya... Tapi bukankah aku sudah bilang sejak awal, Raihan? Tugasku bukanlah untuk menguntit seseorang.”
“Yang kuminta adalah informasi kenapa dia tidak mempunyai wakil sampai saat ini? Bukankah itu sangat aneh?”
Dia menatapku dengan diam tanpa ada jawaban selama beberapa detik. Ada apa?
“Itu tidaklah aneh, Raihan. Kita bisa saja berasumsi bahwa ketua OSIS membuat dirinya seperti itu. Tapi jika memang seperti itu, pertanyaanya adalah mengapa ketua OSIS melakukannya.”
“Maka dari itu, aku ingin bertanya padamu. Apakah kau mempunyai informasi tentang hal ini, meskipun hanya sedikit?”
“Meskipun hanya sedikit, ya... Mungkin aku mengetahui sesuatu.”
“Mengetahui sesuatu?”
“Tidak tepat juga, mungkin lebih tepatnya adalah rumor.”
Rumor? Entah mengapa perasaanku tidak menyenangkan mendengar kata itu. Aku yang selalu berada di puncak papan peringkat kelas maupun sekolah juga mendapat hal seperti itu.
Sesuatu seperti “Apakah dia benar seperti itu?”, “Dia orangnya?”, “Bagaimana bisa?” selalu menghampiri diriku.
Itu tidak mengganggu sebenarnya untukku, tapi bagi orang lain itu mungkin bisa saja berbeda terlebih bagi seorang gadis meskipun terdengar menggeneralisasi.
“Apakah itu baik?”
Ketua kelas merespons dengan menggelengkan kepalanya.
“Aku juga tidak tahu sebenarnya ini adalah rumor yang baik atau buruk. Namun isi dari rumor itu adalah “Ketua OSIS digantikan dengan paksa”. Seperti itu kalau aku tidak salah mengingatnya.”
“Oh! Aku juga mendengar rumor itu.”
Fachri yang tadi hanya mendengarkan kini dengan suaranya yang sedikit meninggi masuk ke dalam percakapan.
“Kalau tidak salah aku juga mendengar kalau itu terjadi dengan sangat tiba-tiba. Bahkan itu berpengaruh di dalam struktur inti OSIS, seperti semua yang menjabat di sana diturunkan.”
“Yang benar?”
Fachri mengangguk.
Aku lalu melihat ke arah ketua kelas. Dia menutup matanya sambil mengunyah makanan terakhir bekal siangnya. Dia terlihat menikmatinya.
Meskipun ketua kelas menjawabnya dengan “Aku tidak tahu ini rumor yang buruk atau bukan”, dilihat dari sisi mana pun itu adalah sebuah rumor yang buruk. Tapi tentang “100% rumor belum tentu benar” aku sangat mempercayainya. Jika aku ingin mengetahui kebenaran di balik rumor itu tentu aku harus menemukan sesuatu yang tentunya bisa diterima oleh akal sehat.
Ah ini sangat membingungkan.
“Apakah ada sesuatu lagi, Raihan?”
Aku mendapatkan kembali kesadaranku. Mata ketua kelas sudah terbuka. Astaga, sudah berapa lama dia membuka matanya.
“A-ah tidak. Maaf. Aku hanya memikirkan tentang rumor yang baru saja dibicarakan. Itu sedikit menganggu pikiranku.”
Ketua kelas menutup kotak bento-nya “kau tidak perlu memikirkan hal itu. Terlebih itu adalah pilihanmu sendiri, pilihan menurut yang paling bisa kau yakini. Menjadi wakil atau menolaknya. Juga, Rumor hannyalah sebuah rumor dan itu belum 100% benar. Jika kau terlalu terpaku dengan hal itu kau tidak dapat melajukan langkahmu lagi.”
Dia berdiri dan mengambil kotak bento-nya lalu tersenyum ke arah kita berdua, “sebentat lagi kelas akan dimulai, bagaimana jika kita bergegas lalu kembali ke kelas?”
Setelah dia mengatakan hal itu, bel telah berbunyi dan menandakan kita harus ke kelas secepatnya...
Makananku belum habis.
Pagi hari tepat pukul 7. Aku menyantap sarapan yang telah aku buat sendiri dengan keadaan mata masih berat untuk dibuka lebar-lebar. Karena tidak terlalu suka memakan makanan yang berat saat baru saja bangun tidur, aku hanya membuat sebuah sandwich ala barat dengan segelas jus jeruk yang aku simpan di kulkas dari minimarket terdekat beberapa hari yang lalu. “Ngantuk.” Aku memutuskan untuk hidup sendiri saat sudah masuk SMA. Itu juga merupakan bagian dari perjanjianku dengan kedua orang tuaku. Aku yang menginginkan bagaimana rasanya hidup sendiri sebelum masuk kuliah ditentang oleh ibu. Dan bisa ditebak, ayahlah yang selalu menjadi orang yang sangat bijaksana di keadaan anaknya sedang mengalami masa pubertas. Ayah membuat sebuah syarat agar aku bisa hidup mandiri, syarat yang dia berikan adalah masuk ke salah satu SMA terbaik, tidak peduli itu negeri maupun swasta. Bisa dibilang itu adalah syarat yang sangat mudah bagiku. Yah,
Apa yang aku dengar tadi tidak salah, bukan? Aku tidak salah mendengar itu, bukan? Tidak tunggu! Ini bukan waktunya untuk pikiranku saling bertengkar, jika Bu Annisa memang mengatakan hal itu seharusnya benar seperti itu, bukan? Mengapa aku menjadi ragu kembali?! Jika kau memang ragu seharusnya kau pastikan itu sendiri Raihan! “A-apakah itu benar, Bu Annisa?” kataku dengan suara tidak percaya diri. Bu Annisa masih mengetik laptopnya, namun Bu Annisa menjawab pertanyaanku. “Hmm? Apanya?” “Apakah benar Ibu adalah pembimbing OSIS untuk tahun ini?” “Jika iya memangnya kenapa?” Mendengar itu dari Bu Annisa hatiku sedikit menjadi tenang, namun perasaan yang menggangguku selama ini masih belum hilang. “K-kalau begitu, apakah saya boleh menanyakan sesuatu?” Dengan cepat Bu Annisa menjawab “Maaf Raihan, sekarang tidak bisa. Aku masih harus mengurus ini. Lagi pula untuk apa? Kau tidak ada sangkut pautnya dengan OSIS, buka
Seperti yang sudah dikatakan oleh Bu Annisa kemarin, saat ini aku sedang menunggu Bu Annisa di tempat parkir sekolah yang letaknya berada di bawah sekolah. Mungkin lebih tepatnya lantai 1 sekolah ini adalah tempat parkir. Ada apa denganku sebenarnya sehingga bisa meninggikan suara kepada seorang guru? Padahal dari dulu kau tidak banyak berbicara. Aku mengistirahatkan punggungku di sebuah tembok penahan bangunan dan menutup mataku, berharap semua akan baik-baik saja. Tak lama, smartphone yang aku simpan di saku celanaku bergetar. Aku lalu memeriksa layar smartphone milikku. Ada notifikasi pesan dari Bu Annisa. “Apakah kau sudah berada di sana? Jika iya tunggu ibu di sana. Ibu sedang turun dari tangga.” Tidak ingin dimarahi lebih lanjut, aku segera membalas pesan dari Bu Annisa. “Iya, Bu. Berhati-hatilah.” Aku mengatakan Bu Annisa untuk berhati-hati agar dia tidak jatuh dari tangga saat memegang smartphonenya. Setelah mem
Pagi ini sejak bangun dari tidur tubuhku terasa berat. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi yang pasti ranjangku menjadi black hole yang menarik kuat tubuhku agar tidak bangun.Yang membuat bisa aku bangun kali ini sudah pasti kewajibanku untuk pergi ke sekolah. Akan sangat disayangkan jika bisa pergi ke sekolah yang begitu bagus namun tidak dijalankan dengan sepenuh hati. Terlebih belajar itu sangat menyenangkan bagiku.Aku tidak tahu mengapa seseorang bisa dengan mudahnya membolos pelajaran bahkan sekolah itu sendiri. Sebagian besar mereka mengucapkan kalau mereka tidak ingin, tidak suka, ataupun tidak bisa dengan hal tersebut. Bukankah itu membuktikan kalau mereka tidak mampu dan hanya bisa melarikan diri?Yah, bagaimanapun setiap orang dilahirkan berbeda dan membuktikan kalau diferensiasi sosial akan terus ada.Aku bisa mengembalikan energi tubuhku saat sedang mandi. Berkat bantuan dari Tuan Air Hangat yang mengalir ke tubuhku. Itu membuat keada
Aku meyakini bahwa aku menjalani hidup dengan baik. Tentu saja itu adalah buah pemikiran dan hatiku.Mungkin sebagian besar orang akan menganggap aku terlalu percaya diri. Dan tentu saja aku tidak bisa menolak pendapat seperti itu. Karena saat ini aku hannyalah sebuah tunas dan mungkin tidak akan bisa tumbuh nanti.Aku juga sangat meyakini bahwa kehidupan ketika sudah keluar dari dunia pendidikan itu akan sangat jauh berbeda. Jika menginginkan sebuah contoh adalah mencari pekerjaan. Ilmu yang telah kau peroleh bisa saja tidak akan berguna.Dengan syarat bahwa kau tidak mempunyai sebuah mimpi atau hasrat untuk menggapai sesuatu dari dirimu, kau menghilangkan salah satu faktor alasan untuk bekerja keras. Sehingga yang terjadi kau akan merasakan rasa puas dengan hanya bekerja sebagai buruh.Fakta tentang dunia yang berbeda setelah meninggalkan pendidikan berasal dari beberapa orang terdekatku. Mereka mengatakannya langsung dengan lisan mereka. Sedangkan hila
Sudah lewat 3 hari aku menjalani kehidupan sekolahku menjadi wakil ketua untuk OSIS, hanya untuk sementara.Itu juga berarti satu bulan sudah aku menjadi siswa di SMA ini. Bagiku dapat bersekolah di tempat yang bergengsi adalah capaian terbesarku, yang artinya kerja kerasku tidaklah sia-sia. Aku pun mendapatkan seseorang yang bisa disebut dengan teman dengan cepat, Fachri teman sekelasku.Bulan ini adalah bulan Agustus. Sudah saatnya bulan yang sangat sibuk bagi OSIS, karena bulan ini adalah bulan di mana seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaannya.OSIS tentu sudah sadar akan hal ini, namun karena waktu dan keadaan yang tidak mendukung, OSIS belum pulih sepenuhnya dan tidak dapat bekerja secara maksimal.“Baiklah sebelum kalian pergi untuk istirahat ibu akan memberi kalian kertas ini, lalu bagikan kertasnya ke teman kalian yang ada di belakang. Pastikan semuanya dapat, ok?”Tidak lama menunggu, aku mendapatkan kertas milikku dari
Sudah beberapa hari berlalu. Seperti biasanya, di pagi hari aku harus berangkat untuk sekolah. Tidak ada yang spesial, bahkan ide tentang Agustusan pun sudah sedikit pudar di dalam kepalaku.Mungkin aku merasakan perbedaan di pagi ini. Tidak tahu mengapa, jalan yang selalu aku lalui untuk ke sekolah terasa tidak memberatkan. Aku selalu menikmati jalan menuju sekolah, hanya pagi ini terasa berbeda.Buku yang aku baca terus menerus bergerak karena angin selalu datang, menyejukkan memang, namun menghambatku untuk membacanya.“Pagi, Raihan.”“Pagi juga, Shinta.”Eh?Aku melihat ke samping kananku.“Ah, Shinta. Bukankah aku sudah memintamu untuk berhenti melakukan hal itu?”“Aku menolak, reaksimu sangat unik.”“Aku bukanlah mainan.”“Tapi kau merasa senang dijahili oleh Kak Clarrisa.”“Kau salah sangka. Itu tidak benar?”&
Seperti yang sudah dijanjikan, saat ini aku berada di Taman Bambu menunggu kedatangan Kak Clarrisa. Aku tidak tahu kenapa dia memilih tempat yang jauh dari tempat seharusnya, tapi aku tidak dapat menolaknya. Alasannya dia tetap ingin untuk bertemu di sini.Waktu menunjukkan jam 10.50, hanya tinggal 10 menit lagi waktu yang dijanjikan datang, tapi aku sama sekali belum melihat tanda-tanda kedatangan dari Kak Clarrisa. Bahkan pesan yang aku kirimkan tidak ia baca, kuharap dia tidak bercanda menungguku di sini.“Selamat pagi, Raihan.”“Selamat pagi juga, Kak Clarrisa.”Aku terkejut saat melihat Kak Clarrisa. Penampilannya benar-benar berbeda.Dia menggunakan Knee Length Dress berwarna hitam dengan pola garis putih yang mengelilingi roknya. Dari sudut pandangku itu menambahkan aura kedewasaannya.Unntung saja aku memilih pakaianku dengan benar, biasanya aku hanya akan menggunakan kaos polos dengan celana jeans pe