Pagi ini sejak bangun dari tidur tubuhku terasa berat. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi yang pasti ranjangku menjadi black hole yang menarik kuat tubuhku agar tidak bangun.
Yang membuat bisa aku bangun kali ini sudah pasti kewajibanku untuk pergi ke sekolah. Akan sangat disayangkan jika bisa pergi ke sekolah yang begitu bagus namun tidak dijalankan dengan sepenuh hati. Terlebih belajar itu sangat menyenangkan bagiku.
Aku tidak tahu mengapa seseorang bisa dengan mudahnya membolos pelajaran bahkan sekolah itu sendiri. Sebagian besar mereka mengucapkan kalau mereka tidak ingin, tidak suka, ataupun tidak bisa dengan hal tersebut. Bukankah itu membuktikan kalau mereka tidak mampu dan hanya bisa melarikan diri?
Yah, bagaimanapun setiap orang dilahirkan berbeda dan membuktikan kalau diferensiasi sosial akan terus ada.
Aku bisa mengembalikan energi tubuhku saat sedang mandi. Berkat bantuan dari Tuan Air Hangat yang mengalir ke tubuhku. Itu membuat keadaan mataku juga lebih baik.
Tapi itu belum cukup untuk mengembalikan energi tubuhku seperti biasa. Itu terasa saat aku sedang sarapan. Rasanya berbeda dari kemarin.
Padahal, aku membuat porsi yang lebih besar dan memasukkan beberapa penyedap rasa, tapi aku sama sekali tidak merasa kenyang dan menikmati sarapanku sendiri.
Apakah itu disebabkan aktivitasku kemarin bersama Bu Annisa? Atau mungkin karena ini adalah hari Jum’at? Hari di mana aku harus bertemu dengan Kak Clarrisa.
Dan sekarang, aku sedang berada di atap sekolah. Tempat di mana aku dan Kak Clarrisa berjanji untuk bertemu.
Meskipun memiliki perlindungan dari teriknya sinar matahari di siang hari, tempat duduk yang aku duduki saat ini membuat energiku habis. Karena saat ini, aku sedang duduk bersebelahan dengan Kak Clarrisa.
“Jwadwi apwakwah kwu swdah—“
“Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, jadi bisakah kau habiskan dulu makananmu, Kak?!”
Yang dimakan oleh Kak Clarrisa adalah roti isi daging. Itu adalah Set A yang Kak Clarrisa minta padaku kemarin lusa. Isinya adalah memilih satu roti isi berisi apa pun dengan satu botol teh.
Keadaan pada jam istirahat kedua di atap sekolah saat ini benar-benar sepi. Dan meskipun banyak angin yang berembus, itu sama sekali tidak memperbaiki suasana, yang ada adalah kebalikannya. Itu membuat keadaan di sini menjadi canggung.
“Jadi, apakah kau sudah memutuskan pilihanmu, Raihan?”
Hari ini adalah hari di mana aku harus memberikan jawabanku untuk menerima tawarannya atau tidak. Karena aku mendapatkan beberapa informasi, aku ingin menanyakan beberapa hal padanya terlebih dahulu.
Dan jawabanku adalah tergantung dari bagaimana ia menjawab beberapa pertanyaanku.
“Tentu, Kak. Tapi sebelum itu, bisakah aku menanyakan beberapa hal kepadamu?”
“Tentu, tanyakan apa saja yang kau butuhkan, Raihan.”
Aku tidak tahu mengapa, tapi aku menelan ludahku sendiri. “Kalau begitu, untuk yang pertama. Kenapa Kakak bersikeras untuk menginginkanku sebagai wakil?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa maksudnya?”
“Maksudnya adalah itu, Raihan. Mungkin saja itu adalah sebuah kebetulan; kebetulan kita bertemu, kebetulan aku menganggapmu cocok. Itu saja.”
Itu adalah jawaban yang aku tidak tahu bagaimana meresponsnya. Ya, itu lebih baik daripada menerima sebuah jawaban klise seperti, “B-bukannya aku menginginkanmu untuk menjadi w-wakilmu, ya! J-jangan salah paham, dasar bodoh! Hmmph!”.
Jawaban seperti itu akan membuat energiku semakin habis.
“Kalau bisa kujelaskan, yah, mungkin aku dan kau 'satu frekuensi', Raihan. Saat pertama kali bertemu, aku merasa kau cocok dan benar saja. Dan itu adalah sebuah kebetulan kita bisa bertemu dan berbicara sampai saat ini.”
“Hanya itu saja?”
“Ya, kurasa begitu.”
Aku tidak tahu harus meresponsnya bagaimana, tapi aku dapat menerima hal itu. Dia juga tak terlihat seperti menutupi itu.
Akhirnya aku hanya mengangguk saja.
“Kalau begitu selanjutnya. Mengapa kau menerima posisi sebagai ketua OSIS ini? Aku mendengar dari Bu Annisa dan yang lainnya bahwa sebenarnya kau tidak menginginkan itu.”
Kak Clarrisa diam sebentar. “Begitu.” lalu berdiri menuju pagar pembatas yang jaraknya tak begitu jauh dari kursi yang kita berdua duduki.
“Dari mana aku harus memulainya, ya?... Mungkin dari akar permasalahannya. Kau tahu bahwa ketua OSIS sebelumnya bermasalah bukan? Semenjak itu aku selalu saja 'dipaksa' oleh pihak sekolah untuk mengisi kekosongan posisi tersebut. Tentunya saja aku sudah menolak itu, tapi itu datang terus menerus dan membuatku lelah.”
“Jadi karena kau sudah merasa pihak sekolah tidak akan menyerah kau menerima posisi tersebut?”
“Tidak benar juga tidak salah, Raihan. “
Aku mengangguk agar Kak Clarrisa dapat melanjutkannya.
“Memang benar aku sudah tidak tahan dan pasrah dengan pihak sekolah, namun yang membuat aku menerima posisi ketua OSIS adalah karena Bu Annisa.”
“Bu Annisa? Ada apa dengan Bu Annisa?”
“Dari yang aku dengar dari berbagai mulut di sekolah ini, setelah ketua OSIS sebelumnya diberi hukuman, pihak sekolah langsung mengadakan rapat akan hal itu. Dan karena mereka tak ingin membuang waktu di sana serta menjaga nama baik sekolah, mereka memutuskan untuk memilih 'yang terbaik' untuk dijadikan sebagai ketua.
Itu adalah permulaan bagaimana mereka terus ‘memaksaku'.
Pada awalnya mereka hanya berbicara dengan lembut, meminta bantuan, dan semacamnya. Tapi semakin banyak aku menolak mereka, cara yang mereka gunakan semakin mengganggu aktivitasku sehari-hari.”
“Dan apa itu?”
“Pihak sekolah menggunakan cara yang lebih untuk membuatku menjadi ketua. Mereka menggunakan kekuasaan mereka sebagai alasan bertindak. Membuat sebuah alasan yang tidak masuk akal untuk memaksaku.
Dimulai dari menemuiku saat jam istirahat hingga memberikan ancaman nilai yang kurang kepadaku nanti di rapor. Aku tahu itu tidak akan mungkin terjadi, terlebih aku juga tidak begitu peduli jika memang nilaiku lebih rendah dari yang lain.
Kau bertanya kenapa? Karena mereka tidak mungkin akan menurunkan nilaiku sangat jauh karena akan menyusahkan mereka sendiri.
Tapi untung saja di saat-saat seperti itu tidak ada yang berani menyentuhku. Aku berterima kasih apa yang sudah dilakukan oleh menteri pendidikan pada akhir tahun 2021 lalu.”
“Kau membuat pihak sekolah terdengar buruk.”
“Kau salah, Raihan. Mereka sudah buruk karena memaksaku untuk menjadi ketua. Yah, itu semua tidak akan terjadi dan aku tidak akan berkomentar negatif jika mereka membuat keputusan yang lain. Itu akan membuat banyak waktu pada mereka juga.”
Yang dikatakan oleh Kak Clarrisa itu benar. Apa yang mereka harapkan dengan keputusan yang mereka buat berbanding terbalik 180°. Andai saja mereka menyerah dengan Kak Clarrisa, pihak MPK mungkin saja bisa membantu mereka.
“Lalu, bagaimana dengan Bu Annisa?”
“Setelah semua itu terjadi, Bu Annisa membuka suaranya di depan semua guru. Karena ia bersuara dan menentang perbuatan pihak sekolah yang sudah terlalu jauh, akhirnya Bu Annisa harus menggantikan posisi pembina OSIS sebelumnya.
Tentu dia menginginkanku menjadi ketua, tapi caranya membujukku adalah yang paling membuatku tenang.”
“Tunggu, Kakak mendapatkan info itu dari mana? Kau terlihat sangat yakin mengatakan itu.”
“Kebetulan saat itu terjadi, aku sedang melewati ruang guru dan sebuah kebetulan juga, pintu dari ruang guru itu sedikit terbuka. Karena hal itu aku dapat mengetahuinya.”
Sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa.
“Aku mengerti. Alasan mengapa Kak Clarrisa menerima posisi sebagai ketua adalah karena Bu Annisa. Lalu bagaimana dengan wakil Kakak sebelumnya? Apa yang terjadi pada wakil Kakak sebelumnya dan mengapa Kakak sampai sekarang masih belum mendapatkan wakil Kakak?”
“Aku belum menemukan yang cocok.”
“...”
“...”
“Eh, itu saja?”
“Itu saja.”
“Apa yang kau harapkan, Raihan? Mereka yang direkomendasikan maupun mengajukan diri mereka akan mengundurkan diri setelah 3 hari aku memberikan mereka pekerjaan.
Terutama dari yang mengajukan diri mereka, mereka mempunyai motif tersendiri untuk menjadi wakil ketua.”
“Motif tersendiri?”
“Kau tahu, senior dari sebuah klub basket yang menjadi bintang dan disukai oleh sekolah terutama para wanita—“
“Aku mengerti aku mengerti jadi tolong hentikan penggambaran karakter menjijikan itu, Kak.”
Kak Clarrisa melirik kepadaku, “Apa ada yang ingin kau tanyakan lagi, Raihan?”
“Ah, ya. Ada. Mungkin ini terlalu berlebihan untukku mengatakannya. Tapi apakah Kakak sangat perlunya membuat sebuah ruang tersendiri hingga memberi efek yang buruk kepada sekitar?”
“Kau membuatku terlihat buruk, Raihan. Kau seharusnya mengatakan “sebuah percobaan sosial antara individu dengan individu lain. Namun karena ketidakmampuannya individu tersebut ia membuat sebuah situasi di mana individu yang dimaksud tertelan oleh situasi yang sudah dibuatnya”. Bukankah kau lebih mengerti itu dari siapapun, Raihan?”
Aku mengerti apa yang Kak Clarrisa ucapkan. Itu adalah sebuah situasi sosial di mana sang individu tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengerti suatu hal sehingga ia menciptakan situasi di mana ia bisa mengerti hal itu, meskipun kebanyakan salah dan merugikan banyak orang.
Contoh paling dekatnya adalah sebuah kisah cinta. Ketika seseorang ditolak cintanya hingga depresi, terkadang orang tersebut akan mulai mengkhayalkan kalau cintanya tersebut diterima. Ataupun contoh lainnya mereka menyebarkan rumor yang buruk kepada orang tersebut.
Jika aku boleh menjawabnya kenapa, jawabannya sangat sederhana. Mereka tidak ingin memenuhi kepala mereka dengan sebuah ilmu sehingga mereka menciptakan dunia mereka sendiri dan menganggap yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar.
Orang-orang tersebut akan terus ada, dan yang hanya bisa kita lakukan adalah membuat sebuah pembatas pada mereka. Itulah yang dilakukan oleh Kak Clarrisa.
“Tapi kau menggunakan itu untuk kepentingan dirimu yang memang kau mempunyai masalah dalam berinteraksi, bukan?”
“Kau mulai pintar berbicara, Raihan. Aku tidak menyangkal hal itu. Kau juga sama seperti itu, bukan?”
“Yah, tidak dalam semua aspek.”
“Kau akan mendapatkan hal itu ketika kau sudah menginjak seusiaku, Raihan.”
“Kita hanya beda satu tahun dan itu tidak akan menyebabkan perbedaan yang berarti.”
Kak Clarrisa hanya diam dan menatap panorama yang ia lihat dari atap sekolah.
Kurasa sudah cukup, waktunya mengakhiri hal ini.
“Kalau begitu, ini adalah pertanyaan terakhir. Apa alasan yang sebenarnya Kakak menginginkanku sebagai wakil?”
Kak Clarrisa membalikkan badannya ke arahku, “Entahlah~ kau bebas menyimpulkan hal itu di kepalamu.”
“Kalau begitu, aku terima tawaranmu.”
Setelah mendengar itu dariku, disertai embusan angin, senyum Kak Clarrisa yang ia perlihatkan sangat indah di mataku.
“Begitu.” Katanya. Lalu pergi menuju pintu atap sekolah, “Sebaiknya kita bergegas kembali, Raihan. Kau tidak ingin meninggalkan kelas, bukan?”
Aku pun tersenyum kecil, “Yah, kau benar.” Lalu aku mengikuti Kak Clarrisa dari belakang.
Baiklah, aku tidak tahu masalah apa yang akan datang. Tapi aku sudah siap akan hal itu.
Aku meyakini bahwa aku menjalani hidup dengan baik. Tentu saja itu adalah buah pemikiran dan hatiku.Mungkin sebagian besar orang akan menganggap aku terlalu percaya diri. Dan tentu saja aku tidak bisa menolak pendapat seperti itu. Karena saat ini aku hannyalah sebuah tunas dan mungkin tidak akan bisa tumbuh nanti.Aku juga sangat meyakini bahwa kehidupan ketika sudah keluar dari dunia pendidikan itu akan sangat jauh berbeda. Jika menginginkan sebuah contoh adalah mencari pekerjaan. Ilmu yang telah kau peroleh bisa saja tidak akan berguna.Dengan syarat bahwa kau tidak mempunyai sebuah mimpi atau hasrat untuk menggapai sesuatu dari dirimu, kau menghilangkan salah satu faktor alasan untuk bekerja keras. Sehingga yang terjadi kau akan merasakan rasa puas dengan hanya bekerja sebagai buruh.Fakta tentang dunia yang berbeda setelah meninggalkan pendidikan berasal dari beberapa orang terdekatku. Mereka mengatakannya langsung dengan lisan mereka. Sedangkan hila
Sudah lewat 3 hari aku menjalani kehidupan sekolahku menjadi wakil ketua untuk OSIS, hanya untuk sementara.Itu juga berarti satu bulan sudah aku menjadi siswa di SMA ini. Bagiku dapat bersekolah di tempat yang bergengsi adalah capaian terbesarku, yang artinya kerja kerasku tidaklah sia-sia. Aku pun mendapatkan seseorang yang bisa disebut dengan teman dengan cepat, Fachri teman sekelasku.Bulan ini adalah bulan Agustus. Sudah saatnya bulan yang sangat sibuk bagi OSIS, karena bulan ini adalah bulan di mana seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaannya.OSIS tentu sudah sadar akan hal ini, namun karena waktu dan keadaan yang tidak mendukung, OSIS belum pulih sepenuhnya dan tidak dapat bekerja secara maksimal.“Baiklah sebelum kalian pergi untuk istirahat ibu akan memberi kalian kertas ini, lalu bagikan kertasnya ke teman kalian yang ada di belakang. Pastikan semuanya dapat, ok?”Tidak lama menunggu, aku mendapatkan kertas milikku dari
Sudah beberapa hari berlalu. Seperti biasanya, di pagi hari aku harus berangkat untuk sekolah. Tidak ada yang spesial, bahkan ide tentang Agustusan pun sudah sedikit pudar di dalam kepalaku.Mungkin aku merasakan perbedaan di pagi ini. Tidak tahu mengapa, jalan yang selalu aku lalui untuk ke sekolah terasa tidak memberatkan. Aku selalu menikmati jalan menuju sekolah, hanya pagi ini terasa berbeda.Buku yang aku baca terus menerus bergerak karena angin selalu datang, menyejukkan memang, namun menghambatku untuk membacanya.“Pagi, Raihan.”“Pagi juga, Shinta.”Eh?Aku melihat ke samping kananku.“Ah, Shinta. Bukankah aku sudah memintamu untuk berhenti melakukan hal itu?”“Aku menolak, reaksimu sangat unik.”“Aku bukanlah mainan.”“Tapi kau merasa senang dijahili oleh Kak Clarrisa.”“Kau salah sangka. Itu tidak benar?”&
Seperti yang sudah dijanjikan, saat ini aku berada di Taman Bambu menunggu kedatangan Kak Clarrisa. Aku tidak tahu kenapa dia memilih tempat yang jauh dari tempat seharusnya, tapi aku tidak dapat menolaknya. Alasannya dia tetap ingin untuk bertemu di sini.Waktu menunjukkan jam 10.50, hanya tinggal 10 menit lagi waktu yang dijanjikan datang, tapi aku sama sekali belum melihat tanda-tanda kedatangan dari Kak Clarrisa. Bahkan pesan yang aku kirimkan tidak ia baca, kuharap dia tidak bercanda menungguku di sini.“Selamat pagi, Raihan.”“Selamat pagi juga, Kak Clarrisa.”Aku terkejut saat melihat Kak Clarrisa. Penampilannya benar-benar berbeda.Dia menggunakan Knee Length Dress berwarna hitam dengan pola garis putih yang mengelilingi roknya. Dari sudut pandangku itu menambahkan aura kedewasaannya.Unntung saja aku memilih pakaianku dengan benar, biasanya aku hanya akan menggunakan kaos polos dengan celana jeans pe
“Apakah kalian sudah menentukan pesanannya, Tuan dan Nyonya?” Tanya seorang waiters lengkap menggunakan baju pelayan khas restoran tersebut.“Ya. Kami ingin memesan menu yang direkomendasikan hari ini.”“Baik. Dua set makan malam akan kami sajikan. Apakah ada permintaan khusus, Nyonya?”“Kurasa itu cukup.”“Dimengerti, mohon untuk menunggunya sebentar. Kalau begitu saya permisi.” Dengan mengatakan itu, si pelayan berbalik arah dan meninggalkan meja kami.Terdengar detikan jarum jam yang sangat jelas, karena saat ini keadaan di dalam restoran tidak begitu ramai. Ini semakin menambah kecam suasana.“Ada apa, Raihan? Tampangmu terlihat aneh, apakah kau sedang sakit?”“A-ah, tidak. Bukan itu, hanya saja...”“Ada apa? Keluarkan saja apa yang ada di pikiranmu.”Aku mengangguk.“A-ah... Bukankah tadi itu orang yang kita
Setelah menunggu beberapa saat aku dan Kak Clarissa menunggu, seorang pelayan yang sama kembali lagi ke meja kami, hanya saja kali ini dia membawa makanan yang kami pesan.Dia membawanya dengan trolley yang ia dorong dari arah para pekerja di restoran ini berkumpul.“Maaf telah menunggu.”Saat sudah tepat berada di meja kami, ia kemudian memindahkan makanan yang masih ditutup dari trolley ke meja kami. Mengingat dia adalah pelajar yang sama sepertiku, aku terkagum melihat ia bisa menyajikannya secara cantik.Selain makanan, ia juga memindahkan dua minuman untukku dan Kak Clarissa yang sudah menyatu dengan set menu makan malam hari ini. Sepertinya restoran ini setiap harinya menawarkan menu yang spesial.Sesudah ia meletakan semuanya, dia kemudian membuka tudung saji secara cantik, kemudian secara perlahan terlihat makanan yang ada di dalamnya. Itu adalah steik yang ukurannya tidak terlalu besar yang disajikan dengan saus rahasia dari re
Tapi sekarang sudah benar-benar larut, ini adalah pertama kalinya bagiku masih terjaga lewat tengah malam dan berada di luar.Aku melangkahkan kakiku untuk pergi ke stasiun terdekat lalu pulang.Mungkin karena ada stadion di sini, stasiun tidak begitu jauh, aku mengatakan dekat karena itu adalah arti yang sebenarnya. Tidak perlu berjalan sampai 30 menit kau sudah bisa sampai di stasiun.Seperti yang aku katakan, malam ini sangat dingin sekali. Aku menyesal tidak membawa jaket, atau setidaknya sebuah hoodie. Tapi, ya... Aku sudah bersyukur kalau pakaianku yang dipakai hari ini cocok untuk makan malam dengan Kak Clarissa.Dan yang lebih menguntungkannya lagi, hari ini adalah hari Minggu. Mungkin aku akan sedikit santai hari ini.Aku berjalan mengikuti jalan yang ada...Terus berjalan...Hanya berjalan...Hingga sampai di stasiun menunggu kereta datang di jalur yang sudah dipilih.“Jadi, mengapa kau mengikutiku?&rdquo
Akhirnya setelah beberapa hari terlewat, acara 17-an di SMA Fortuna Negara di mulai.Acara ini berlangsung selama dua hari dari tanggal 17-18 Agustus, yaitu hari Kamis dan acara ini akan digelar.Di hari pertama tentu saja diawali dengan acara yang formal; kata pengantar dari pihak sekolah dan beberapa acara peresmian lainnya. Setelah itu, semuanya bebas ingin melakukan apa saja.Hanya karena terdapat banyak lomba itu saja sudah membuat banyak murid yang ikut. OSIS tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk itu, mungkin saja mereka ingin menunjukkan kelas mereka adalah kelas yang terbaik.Para senior yang ingin memamerkan pesonanya, serta para junior yang baru bergabung ingin menunjukkan kekuatannya, membuat suasana semakin meriah.Bisa dibilang aku baru menemui sesuatu yang seperti ini.Ada alasannya, biasanya jika ada acara besar, kebanyakan mereka hanya menutup absen dan pergi dari lingkungan sekolah. Mereka akan kembali jika mereka mem