Seketika pasangan paruh baya tersebut terkesiap, setelah mendengar keinginan si penelpon. Tidak ada keputusan yang diberikan oleh Antonio padanya."Bagaimana, Pa? Apa yang harus kita lakukan? Apa kita menyetujuinya?" tanya sang istri dengan cemas.Antonio menghela nafasnya. Sungguh keputusan yang sangat berat baginya jika harus menyetujui keinginan dari penelpon tersebut. Dia tahu betul betapa liciknya si penelpon itu. Bahkan semua informasi tentangnya, sudah dikantongi oleh sang Tuan Besar Mayer."Papa tidak ingin berhubungan atau pun melihatnya lagi," ujar Antonio tanpa ragu."Tapi, Pa. Bagaimana jika yang dikatakannya benar? Bukankah dia penyebab dari semua ini?" tanya sang istri kembali, seolah mengingatkan Antonio atas kejadian yang menimpa putra keduanya. Antonio menatap serius pada istrinya, dan berkata,"Pasti ada jalan keluar lain yang bisa menolongnya.""Apa itu, Pa? Bukankah dokter mengatakan jika kemungkinannya sangat kecil?" tanya sang istri dengan rasa ingin tahunya.An
"Kenapa?" sahut Sean dengan cepatnya, ingin mengetahui alasan penolakan dari sang istri.Celine menatap malas pada suaminya. Dia sudah bosan mengulang-ulang jawaban yang sama padanya."Aku hanya ingin tahu alasannya," ucap Sean ketika melihat ekspresi sang istri."Apa perlu aku mengulanginya lagi? Harus berapa kali aku mengulangnya?" tanya Celine dengan kesalnya.Sean menyeringai, dan menatap sang istri seolah sedang menantangnya, seraya berkata,"Kenapa? Apa kamu lupa dengan alasan yang sudah kamu buat sendiri?" Pertanyaan dari Sean membuat sang istri meradang. Dia membalas tatapan suaminya dengan penuh kebencian, dan berkata,"Mengatakannya kembali sama saja dengan menguak kembali lukaku yang hampir sembuh. Aku tidak mau merasakan sakit dan kecewa yang teramat dalam seperti hari-hari kelamku saat itu. Apa salah jika aku ingin menutup dan menghilangkan lukaku dengan kebahagiaan?"Perkataan sang istri membuat Sean merasa bersalah. Akan tetapi, dia sangat membutuhkan istrinya untuk bi
Kondisi dalam ruangan kantor Sean saat ini mirip seperti kapal setelah terkena badai. Semua barang menjadi pelampiasan amarah sang CEO, hingga jatuh berantakan di lantai.Rendi, asisten yang juga merupakan sekretarisnya itu bergegas keluar dari ruangan tersebut, ketika Sean mulai meluapkan amarahnya pada semua benda di sekitarnya.Semua yang ada dalam daftar rencananya telah hancur berantakan. Putra kedua dari keluarga Mayer tersebut, merasa tidak ada yang berjalan dengan mulus dalam kehidupannya. Tanpa sadar, air mata Sean pun menetes di kedua pipi. Kegagalannya dalam pekerjaan dan dalam rumah tangga membuat dunia sang CEO hancur seketika.Melihat keterpurukan sahabat sekaligus bosnya, Rendi tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia tahu betul jika Sean sangat mementingkan harga dirinya. Selain itu, dia juga tidak bisa membiarkan begitu saja perusahaan tempatnya mencari nafkah diambil alih oleh pihak bank. Dengan tekadnya yang kuat, Rendi memberanikan diri menemui sang presdir di k
"Rendi. Kamu tidak akan mengatakan semuanya pada si Bos, kan?" tanya salah satu di antara mereka, mencoba mengiba pada pria tersebut.Sang asisten dari bos mereka, hanya tersenyum tipis, dan melihat mereka satu per satu, seolah sedang menandai wajah mereka semua. "Jika kalian setakut ini, kenapa kalian tidak langsung menemui Bos dan memberitahukan hasil pertemuan kalian dengan perusahaan-perusahaan itu?" tanya Rendi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.Mereka semua hanya saling menatap, tidak bisa menjawab atau pun menjelaskan kekhawatiran mereka ketika bertemu dengan sang CEO."Jika aku adalah kalian, lebih aku menghadapinya sekarang daripada nanti atau pun besok. Toh juga sama saja. Kalian juga nantinya berhadapan dengan beliau. Itu juga kalau kalian masih mau bekerja di sini. Jika kalian sudah tidak mau bekerja di sini, kalian tidak perlu lagi menghadap beliau," tutur Rendi sembari menahan senyumnya melihat ekspresi dari mereka semua.Seorang pria berkacamata, meletakkan
Mata Antonio Mayer dan Andra saling bertemu. Mereka berdua saling menatap, mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang ada di dalam kepala masing-masing."Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Antonio pada Andra yang masih beradu pandang dengannya."Saya rasa baru pertama kali ini. Apa mungkin wajah saya yang terlalu pasaran?" tanya balik Andra sembari terkekeh.Pria paruh baya yang duduk di hadapannya pun ikut terkekeh menanggapi lelucon yang diberikan olehnya. Setelah candaan mereka usai, Antonio mulai memberitahukan tujuannya mengadakan pertemuan dengan perusahaan CF.'Ada apa ini? Kenapa ini terkesan seperti sebuah hadiah bagi Bos Celine? Apa Tuan Mayer sengaja menjebak kami, atau memang beliau tidak tahu apa pun tentang kami? Sepertinya kami harus tetap waspada. Kami tidak boleh lengah sedikit pun. Tuan Mayer dan perusahaannya bukan lawan yang mudah untuk ditaklukan,' batin Andra yang terlihat kaget mendengar tawaran dari Antonio."Bagaimana? Apa anda bersedia menerima tawaran
Kabar yang diberikan oleh pihak perusahaan CF pun telah sampai pada Antonio Mayer."Bagaimana, Pak Antonio? Apa kita segera memprosesnya?" tanya sang asisten padanya."Apa kamu sudah menggali lebih dalam lagi tentang perusahaan ini?" tanya balik Antonio pada asistennya.Sang asisten menggelengkan kepalanya, seraya berkata,"Saya belum sempat mendapatkan informasi apa pun."Antonio terdiam. Dia memikirkan ulang keputusannya. Satu hal yang tidak diinginkannya adalah penyesalan.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu ruangannya, dan masuklah putra pertamanya yang berjalan masuk menghampirinya."Ada apa, Pa? Sepertinya ada hal yang sangat serius," ujar Dave ketika sudah berdiri di depan meja kerja sang papa."Duduklah, Dave. Papa ingin menanyakan pendapatmu," tukas pria paruh baya tersebut dengan serius.Sang putra pertama pun segera duduk di kursi yang ada di depan sang papa. Dia pun menatap serius pada presdir perusahaan tersebut, dan berkata,"Ada masalah apa, Pa?"Antonio meliha
Sean marah dengan keputusan dari sang papa yang sepihak, tanpa meminta pendapatnya. Sontak saja dia berdiri dari duduknya, seraya berkata,"Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan Celine!""Sampai jumpa di pengadilan!" sahut Celine menyertai kepergian sang suami.Sean tidak menoleh. Dia tetap berjalan dengan membawa amarahnya yang sudah merajai hatinya. Jika dulu, ada tempat yang ditujunya ketika sedang bertengkar dengan sang istri. Akan tetapi, sekarang tempat itu pun menjadi tempat yang paling dibencinya. Raisa, wanita yang selalu memanfaatkan keadaan ketika Sean dan istrinya sedang dalam masalah. Dia suka rela menjadi tempat persinggahan dari CEO perusahaan MY dengan tujuan tertentu. Dan dengan mudahnya Sean tergoda olehnya.Kini, putra kedua dari keluarga Mayer tersebut, hanya mempunyai kamarnya untuk tempat persembunyian. Dia berteriak, mengumpat dan memporak porandakan isi kamarnya untuk melampiaskan kemarahannya.Keadaan dalam kamarnya saat ini hancur berantakan, sama sep
Dengan rasa penasaran pada amplop yang dipegangnya, tanpa meminta ijin dari Sean, Anna pun membukanya. Seketika wanita paruh baya itu, menghela nafasnya membaca lembaran kertas yang diambilnya dari dalam amplop tersebut. "Aku memang sudah menduga jika surat dari pengadilan agama adalah surat panggilan untuk persidangan perceraian mereka, tapi aku tidak mengira jika Sean melewatkan pertemuan pertama mereka," gumamnya sembari menatap nanar pada lembar kertas tersebut."Ada apa, Ma? Kenapa Mama sampai berdiri di depan pintu seperti ini?"Suara tegas seorang pria yang familiar di telinganya, mampu mengalihkan perhatian sang nyonya besar dari lembaran kertas yang sedang dibacanya."Eh, Papa. Bikin kaget Mama saja," ucap wanita paruh baya tersebut sambil menghela nafasnya.Antonio terkekeh melihat ekspresi sang istri. Pria paruh baya itu pun mendaratkan bibirnya pada kedua pipi wanita pujaan hatinya. Kemudian dia berkata,"Apa yang sedang Mama bawa?"Anna memberikan lembaran kertas tersebu