"Ok? Sudah pas?" tanya Osa pada seorang fotografer yang tengah memotretnya dari berbagai arah. Kelihatannya ia membayar fotografer berkelas untuk mengabadikan moment tersebut. Terbaca dari gaya dan caranya bekerja, fotografer yang dibayar Osa tidak main-main. "Sip" sambung Osa setelah mengecek hasil jepretan lelaki brewok itu sambil mengacungkan ibu jarinya. Osa menatap sekeliling rumah, hanya sekadar mengecek kondisinya. Lalu mengarahkan pandangannya pada Milova yang masih memegang bunga mawar merah pemberiannya. "Kenapa masih berdiri di situ? Duduk!" perintahnya. Ia juga menarik salah satu kursi dari meja bundar tersebut dan mendudukinya. "Apa maksud semua ini?" tanya Milova yang masih mematung. Ia yang beberapa detik lalu masih diratukan oleh Osa, kini terasa tak lagi dipedulikan. Memang, Milova tak menjawab apa-apa saat Osa melamarnya, ia hanya mengangguk, itu pun dengan penuh keraguan. "Ini hanya bagian dari rencanaku, aku sengaja tidak memberitahumu agar semuanya te
"Lusi!" Teriak Milova yang terkejut melihat gadis itu bersiap untuk menjatuhkan dirinya dari gedung pustaka. Gedung tersebut dibangun dengan tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk kegiatan belajar siswa, mungkin ada yang ingin mengerjakan tugas dan sebagainya, mereka dapat melakukannya di lantai satu. Lantai 2 berisi deretan buku-buku mata pelajaran dan berbagai koleksi buku fiksi. Di lantai dua juga terdapat petugas perpustakaan, para siswa juga dapat meminjam buku di sana. Selain itu, tersedia pula ruang komputer di lantai dua, jika ada yang ingin membaca buku secara online atau menyelesaikan tugas-tugas online, dapat menggunakan komputer tersebut. Sedangkan untuk lantai 3, biasanya dijadikan aula, tempat para guru melakukan rapat dan berbagai acar penting lainnya. Tak heran jika sedang tidak ada kegiatan, lantai tiga tersebut sepi pengunjung. "Mungkin ia kesambet Rohnya Halimah!" celetuk Raka, bukannya mereda kepanikan, ia justru menambah cerita baru yang tak masuk akal m
"Kamu sudah tidak waras ya?" Osa terlihat sedang kesal dengan tawaran Milova kepada mantan kekasihnya, Lusi. "Iya, aku yang gila, dan kamu yang paling waras!" bentak Milova. Yang benar saja, di saat genting seperti ini, Osa masih saja memikirkan dirinya sendiri. Ada apa dengan lelaki itu? Padahal jelas tertulis di buku catatan penting miliknya, yang sempat dicuri Milova, bahwa pria itu berniat menikahi Lusi, kekasih yang begitu ia cintai. Walaupun mereka sudah putus, dan Osa memutuskan hubungan sebelah pihak. Tapi setidaknya sebagai seorang lelaki, ia masih punya perasaan, apalagi ini menyangkut nyawa Lusi. "Atau jangan-jangan, kamu ... " Milova terdiam, ia tak ingin lagi melanjutkan tuduhannya. Bukan karena ingin menghargai perasaan Osa, tapi ia tak ingin semua orang mendengar. Sebisa mungkin, ia mencoba menahan emosinya yang memuncak pada lelaki sombong itu. Semua mata sedang tertuju pada Lusi. Beberapa guru senior ikut menasihati Lusi dari bawah gedung, untuk mengurungk
Semua menjerit kala menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana jasad Lusi melayang sebelum kemudian jatuh ke bawah. Hanya beberapa detik saja, rasanya semua seperti mimpi. Milova yang awalnya ikut berteriak, kini justru terdiam dengan tubuhnya yang gemetaran. Trauma di masa lalu membuatnya tak bisa berpikir jernih, pikirannya kacau. Bahkan tubuhnya yang tersungkur tak mampu ia tegakkan, meski hanya untuk berdiri. "Kamu gak apa-apa?" Husna baru saja sampai dan langsung menghampiri Milova. Husna tak sempat melihat tragedi tersebut, tetapi ia ikut mendengar teriakan banyak orang saat Lusi jatuh. Namun, karena masih di lantai dua, ia tetap melaju naik, bahkan lebih cepat dari sebelumnya untuk menemui Milova. Milova hanya diam seribu bahasa saat Husna melontarkan pertanyaan kepadanya. Dalam benaknya, ia tak akan kuat menatap jasad Lusi yang mungkin saja sudah tak bernyawa. Lebih baik berdiam diri di lantai 3 sambil menenangkan tubuhnya yang masih gemetar. Suara dari mobil pol
Betapa terkejutnya Lusi mendengar ucapan wanita yang awalnya tak ingin ia lihat, tapi perlahan ia mulai menerima kehadirannya di ruang kamar rawat inapnya. Lusi tak langsung bertanya, ia hanya terdiam menatap wajah Milova dan sedikit mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" akhirnya sebuah pertanyaan terlontar kepada Milova, setelah sebelumnya ia menggeleng dengan penuh rasa ketidakpercayaannya. Milova meletakkan telapak tangan kirinya ke dahi beberapa detik sebelum kemudian ia usap ke seluruh wajahnya. Hanya sekadar menenangkan diri atas semua masalah yang rumit ia jelaskan. "Iya, Osa yang menyelamatkanmu. Dia ada di saat kamu jatuh dan sempat menangkap tubuhmu meski ia tersungkur dan sedikit terluka." jelas Milova. Milova memang tak melihat bagaimana kejadian sebenarnya terjadi. Tetapi ia sempat mendengar penjelasan dari Husna. Bahkan ia melihat sendiri luka yang ada di lengan Osa saat lelaki itu tengah menyeruput minumannya. Memang tak mudah menjelaskan sesuatu yang tak lazi
Milova begitu takut. Keringat dingin keluar dari keningnya. Di luar ruang rawat inap, di sebuah kursi tunggu, ia terdiam. Hatinya tak henti berdoa, berharap Tuhan mengabulkannya. Keringat dingin di keningnya ikut mewakili betapa risaunya hati Milova. Ia menyesal telah mengatakan semuanya kepada Lusi. Tak berhenti ia menyalahkan dirinya sendiri. Dua jam sudah ia duduk di kursi tunggu tersebut. Kedua orang tua Lusi juga sedang menunggu dengan penuh harap. Sempat ditanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi Milova tak berani jujur. Ia berdalih Lusi tiba-tiba saja sesak napas. Dokter yang keluar-masuk ruangan tersebut semakin menambah kekhawatiran. Tapi sebisa mungkin, Milova mencoba tetap tenang. "Gimana keadaannya?" Husna yang tiba-tiba muncul terlihat khawatir dan napasnya terdengar ngos-ngosan. Husna yang menghubungi Milova karena ada beberapa dokumen observasi kelas yang harus ditanda tangani olehnya, terkejut mendengar kabar bahwa Lusi kritis di rumah sakit. Membuatny
Tangannya dingin dan sering gemetaran, sejak tadi subuh ia tak tidur lagi, bersiap-siap untuk hadir ke rumah duka. Meski bukan siapa-siapa, tapi sejak kemarin, Milova mulai menaruh simpati pada Lusi. Air matanya mengalir ketika tengah menyetir mobil. Ia meraih sehelai tisu dan menyekanya. Dari tadi subuh juga ia telah berusaha menghubungi Osa, berkali-kali. Bahkan sampai detik ini ia masih mencoba. Tapi tetap saja tak ada jawaban, tetapi berdering. "Lelaki tak bertanggung jawab" monolognya. Milova melempar ponsel pintarnya, kekesalannya meluap. Lelaki yang tak punya hati seperti Osa tak layak bersemi di muka bumi ini, pikirnya. Gamis dan jilbab hitam yang dipakainya semakin menambah duka tersendiri. Hari ini adalah hari yang paling berat untuk keluarga yang ditinggalkan. Dan Milova juga ikut terhanyut di dalamnya. Sesampainya di rumah Lusi, ia melihat beberapa guru dari SMAS Tunas Bangsa telah hadir. Mereka ikut menguatkan keluarga yang ditinggalkan almarhumah. Terutama Bu
Kemana lelaki itu? Milova berusaha keras berpikir apa yang terjadi. Ia melaju, berbalik arah menuju ruang kerjanya. Pikirannya masih memikirkan Osa, dan itu membuatnya lelah. Dan surat yang ditulis oleh Lusi. Mengapa wanita itu begitu yakin? Pertanyaan yang selalu saja menari di pikirannya. Meski Milova mencoba keras untuk fokus pada pekerjaannya, tetap saja ia tak bisa melakukannya. Tugas Milova di sekolah memang sedang menumpuk. Apalagi ia juga bagian dari observer yang akan melakukan observasi pada sebagian besar guru di SMAS Tunas Bangsa. Tentunya banyak dokumen yang harus segera ia selesaikan. Sudah satu jam Milova bergelut dengan berkas-berkasnya. Sontak ia terpikir sesuatu saat tengah menanda tangani sebuah dokumen. Langsung saja ia meletakkan pena yang dari tadi terpatri di tangannya, lalu menutup semua lembaran yang masih terbuka. Ia meraih tas sandangnya dan pergi meninggalkan sekolah, bahkan panggilan Husna tak sempat ia jawab. Ia hanya melambaikan tangan, pertanda