Semua menjerit kala menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana jasad Lusi melayang sebelum kemudian jatuh ke bawah. Hanya beberapa detik saja, rasanya semua seperti mimpi. Milova yang awalnya ikut berteriak, kini justru terdiam dengan tubuhnya yang gemetaran. Trauma di masa lalu membuatnya tak bisa berpikir jernih, pikirannya kacau. Bahkan tubuhnya yang tersungkur tak mampu ia tegakkan, meski hanya untuk berdiri. "Kamu gak apa-apa?" Husna baru saja sampai dan langsung menghampiri Milova. Husna tak sempat melihat tragedi tersebut, tetapi ia ikut mendengar teriakan banyak orang saat Lusi jatuh. Namun, karena masih di lantai dua, ia tetap melaju naik, bahkan lebih cepat dari sebelumnya untuk menemui Milova. Milova hanya diam seribu bahasa saat Husna melontarkan pertanyaan kepadanya. Dalam benaknya, ia tak akan kuat menatap jasad Lusi yang mungkin saja sudah tak bernyawa. Lebih baik berdiam diri di lantai 3 sambil menenangkan tubuhnya yang masih gemetar. Suara dari mobil pol
Betapa terkejutnya Lusi mendengar ucapan wanita yang awalnya tak ingin ia lihat, tapi perlahan ia mulai menerima kehadirannya di ruang kamar rawat inapnya. Lusi tak langsung bertanya, ia hanya terdiam menatap wajah Milova dan sedikit mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" akhirnya sebuah pertanyaan terlontar kepada Milova, setelah sebelumnya ia menggeleng dengan penuh rasa ketidakpercayaannya. Milova meletakkan telapak tangan kirinya ke dahi beberapa detik sebelum kemudian ia usap ke seluruh wajahnya. Hanya sekadar menenangkan diri atas semua masalah yang rumit ia jelaskan. "Iya, Osa yang menyelamatkanmu. Dia ada di saat kamu jatuh dan sempat menangkap tubuhmu meski ia tersungkur dan sedikit terluka." jelas Milova. Milova memang tak melihat bagaimana kejadian sebenarnya terjadi. Tetapi ia sempat mendengar penjelasan dari Husna. Bahkan ia melihat sendiri luka yang ada di lengan Osa saat lelaki itu tengah menyeruput minumannya. Memang tak mudah menjelaskan sesuatu yang tak lazi
Milova begitu takut. Keringat dingin keluar dari keningnya. Di luar ruang rawat inap, di sebuah kursi tunggu, ia terdiam. Hatinya tak henti berdoa, berharap Tuhan mengabulkannya. Keringat dingin di keningnya ikut mewakili betapa risaunya hati Milova. Ia menyesal telah mengatakan semuanya kepada Lusi. Tak berhenti ia menyalahkan dirinya sendiri. Dua jam sudah ia duduk di kursi tunggu tersebut. Kedua orang tua Lusi juga sedang menunggu dengan penuh harap. Sempat ditanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi Milova tak berani jujur. Ia berdalih Lusi tiba-tiba saja sesak napas. Dokter yang keluar-masuk ruangan tersebut semakin menambah kekhawatiran. Tapi sebisa mungkin, Milova mencoba tetap tenang. "Gimana keadaannya?" Husna yang tiba-tiba muncul terlihat khawatir dan napasnya terdengar ngos-ngosan. Husna yang menghubungi Milova karena ada beberapa dokumen observasi kelas yang harus ditanda tangani olehnya, terkejut mendengar kabar bahwa Lusi kritis di rumah sakit. Membuatny
Tangannya dingin dan sering gemetaran, sejak tadi subuh ia tak tidur lagi, bersiap-siap untuk hadir ke rumah duka. Meski bukan siapa-siapa, tapi sejak kemarin, Milova mulai menaruh simpati pada Lusi. Air matanya mengalir ketika tengah menyetir mobil. Ia meraih sehelai tisu dan menyekanya. Dari tadi subuh juga ia telah berusaha menghubungi Osa, berkali-kali. Bahkan sampai detik ini ia masih mencoba. Tapi tetap saja tak ada jawaban, tetapi berdering. "Lelaki tak bertanggung jawab" monolognya. Milova melempar ponsel pintarnya, kekesalannya meluap. Lelaki yang tak punya hati seperti Osa tak layak bersemi di muka bumi ini, pikirnya. Gamis dan jilbab hitam yang dipakainya semakin menambah duka tersendiri. Hari ini adalah hari yang paling berat untuk keluarga yang ditinggalkan. Dan Milova juga ikut terhanyut di dalamnya. Sesampainya di rumah Lusi, ia melihat beberapa guru dari SMAS Tunas Bangsa telah hadir. Mereka ikut menguatkan keluarga yang ditinggalkan almarhumah. Terutama Bu
Kemana lelaki itu? Milova berusaha keras berpikir apa yang terjadi. Ia melaju, berbalik arah menuju ruang kerjanya. Pikirannya masih memikirkan Osa, dan itu membuatnya lelah. Dan surat yang ditulis oleh Lusi. Mengapa wanita itu begitu yakin? Pertanyaan yang selalu saja menari di pikirannya. Meski Milova mencoba keras untuk fokus pada pekerjaannya, tetap saja ia tak bisa melakukannya. Tugas Milova di sekolah memang sedang menumpuk. Apalagi ia juga bagian dari observer yang akan melakukan observasi pada sebagian besar guru di SMAS Tunas Bangsa. Tentunya banyak dokumen yang harus segera ia selesaikan. Sudah satu jam Milova bergelut dengan berkas-berkasnya. Sontak ia terpikir sesuatu saat tengah menanda tangani sebuah dokumen. Langsung saja ia meletakkan pena yang dari tadi terpatri di tangannya, lalu menutup semua lembaran yang masih terbuka. Ia meraih tas sandangnya dan pergi meninggalkan sekolah, bahkan panggilan Husna tak sempat ia jawab. Ia hanya melambaikan tangan, pertanda
Rumah memang semestinya menjadi tempat ternyaman bagi seorang anak. Dengan semua kasih sayang dan pelukan hangat kedua orang tua, mestinya setiap anak akan selalu merindukan rumahnya. Begitu pun dengan Osa, se-arogan apapun ia, tetap saja yang paling ia syukuri adalah bisa menjadi dirinya sendiri saat berada di rumah. Milova turun dari mobilnya, berniat mengantar Osa masuk ke rumahnya. Tanpa sepatah kata pun, lelaki itu keluar dari mobil dengan sedikit gontai. Awalnya, Milova berpikir untuk menopang sebagian tubuh Osa jika ia tak kuat berjalan. Tapi ia urungkan niatnya, mengingat sikap Osa yang bisa saja akan membuatnya malu dan terpojok. Membuntuti Osa, Milova hanya ingin memastikan lelaki itu sampai ke kamarnya dengan keadaan baik-baik saja. Jujur saja Milova sedikit khawatir, karena raut wajah Osa yang pucat dan tubuhnya yang tak lagi perkasa seperti biasanya. Milova menduga semua itu akibat kurang tidur dan tidak makan, mungkin. Milova membantu Osa membuka pintu kamarnya,
Sudah satu Minggu Osa tidak hadir ke sekolah. Semua tugasnya digantikan oleh Ratna, ibunya. Untuk menandatangi semua berkas ia bisa menggunakan tanda tangan elektrik yang dimiliki Osa. Ratna hanya cukup memeriksa setiap berkas yang akan ditandatangani, agar tidak keliru. "Sampai kapan terus begini?" cetus Raka, saat sedang makan siang di kantin. "Sampai kamu ber-uban!" Husna mulai mengganggu Raka. Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Memang, kehadiran Osa juga tak begitu menyenangkan, ia kerap dikenal sebagai sosok kepala sekolah yang arogan dan super tegas. "Tapi masih mendingan!" Raka mulai membela bosnya.Giliran di saat terjepit seperti sekarang, ia baru tahu sisi baik dari Osa. Biasanya, Raka juga selalu ada di garis depan untuk menolak setiap kebijakan Osa yang tak berkenan di hatinya. Setidaknya Osa masih lebih baik dari pada ibunya, pikir Raka. Selama satu Minggu ini, Raka hampir tidak bisa bekerja dengan tenang, selalu dikejar-kejar, nyaris seperti diteror. Pekerjaan ya
"Maaf, mau coba yang mana dulu?" tawar laki-laki itu kepada Milova. Gaun pengantin yang terpajang sekitar 10 gaun. Belum lagi berbagai kosmetik yang ikut memenuhi ruang kerja Osa. Namun, yang mencengangkan bagi Milova justru semua periasnya didominasi oleh laki-laki. Bagaimana bisa berganti pakaian di ruang terbuka dan ada laki-laki di dalam sana. Yang benar saja. "Kenapa masih diam disitu?" Osa mulai mengoreksi sikap Milova. Milova masih berpikir, ia juga bingung bagaimana cara menjelaskannya. Masa iya, harus dijelaskan sedetail itu? "Coba deh kamu pikir, masa iya aku harus ganti baju di depan semua laki-laki ini?" Milova tak lagi ingin basa-basi. Toh percuma saja, lelaki itu tak akan paham. "aku gak mau ganti baju disini!" Milova bersikeras. Ya, meskipun lelaki yang ada di ruang Osa tak sepenuhnya bermental laki-laki. Tetap saja, Milova tak mungkin ganti baju di depan mereka. "Kamu tetap harus ganti baju di ruang ini!" Osa membalas suara lantang wanita itu. "Udah gak