Grep!
Alexander mencengkram tangan Helena, matanya terus menatap dengan dalam sambil mengamati. ‘Tubuhnya sangat mirip, sorot matanya, bibirnya, dan suaranya. Apakah wanita ini benar-benar Helena?’ batin Alexander. Gagal bisa melihat wajah pria brengsek yang sudah melakukan sesuatu yang tidak sopan padanya, Helena pun menjadi kesal. Merasakan perasaan akrab namun membuat Helena merasakan kewaspadaan yang kuat, ia pun sekuat tenaga membuat gerakan yang pada akhirnya tubuhnya menjauh dari pria itu. Plak! Tak peduli siapa pria itu, Helena memberikan sebuah tamparan keras di wajahnya. Setelah tamparan itu terjadi, Helena mengepalkan tangannya erat, nyatanya yang dia pukul adalah topeng sehingga“Hecel, aku sendiri tidak terlalu memahami benar apa yang terjadi denganmu di masa lalu. Ayah dan kedua kakakmu sudah memblokir semua informasi terkait dirimu. Tapi, pria tadi sepertinya seseorang yang mengenal mu, kan?” ucap Benjamin. Helena mencengkram tangannya sendiri, merasa begitu tertekan karena ucapan Benjamin terasa begitu nyata. Benjamin meraih tangan Helena, membuat tangan yang saling mencengkram itu terpisah. Seketika itu Benjamin langsung membuka kepalan tangan Helena, membuat jemari mereka saling bertautan. “Hecel, jika kau butuh teman untuk bercerita, aku bisa kau percaya dalam hal itu.” ucap Benjamin lembut. Masih jelas wajah Helena yang begitu tertekan saat keluar dari toilet, Benjamin benar-benar tidak akan melepaskan pria itu. “Aku akan berusaha yang terbaik untukmu, Hecel. Kedepannya, aku harap akan baik-baik sa
Helena kini tengah duduk di ruangan kerjanya, sambil menatap gelang giok merah itu. Tergeletak begitu saja di meja, Helena benar-benar bingung dengan keanehan itu. Gelang giok merah itu jelas asli! “Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pria itu, ya? Tiba-tiba saja berdansa denganku, berebut gelang ini denganku, mencium ku dengan brengseknya, lalu sekarang mengirimkan gelang ini untukku? Sial, apa dia sedang mempermainkan aku?” gumam Helena yang makin kebingungan sendiri. Mengeluarkan ponselnya, Helena memutuskan untuk meminta bantuan dari orang kepercayaan keluarga Beauvoir. “Pagi ini aku mendapatkan bingkisan yang tidak biasa, tolong lacak siapa pengirimnya. Kemungkinan besar mulanya adalah dari tempat pelelangan.” ungkap Helena. Setelah selesai, Helena memutuskan untuk meninggalkan ruangan. Gelang g
Helena, Helios, dan Benjamin datang ke pernikahan anak dari teman bisnis Tuan besar Beauvoir sebagai perwakilannya. Keadaan Tuan besar Beauvoir sedang tidak baik hari, Dokter juga memintanya untuk banyak beristirahat saja. Helena memeluk lengan Benjamin, masuk ke dalam tempat tersebut, berbaur dengan para tamu undangan yang lain. Helios pun mengikuti adik perempuannya itu, sepanjang waktu hanya bisa menahan kesal terhadap Benjamin. ‘Pria sialan!’ batin Helios kala melihat Benjamin justru memeluk pinggang Helena. “Heceline, aku sudah menahannya sejak tadi. Tapi, kau benar-benar sangat cantik sampai mataku sulit melihat ke arah lain,” bisik Benjamin. Mendengar itu, Helena pun menyenggol lengan Benjamin dengan lengannya. “Jangan bicara omong kosong, kau mirip seperti pria kelinci, tahu!”
Helena perlahan membuka matanya, dahinya mengernyit seiring kesadarannya yang kembali. Pandangannya buram, namun perlahan dia menyadari bahwa ini bukanlah kamar tidurnya. Ruangan yang asing ini membuat jantungnya berdegup kencang, kepanikan mulai merasuki setiap sudut pikirannya. Tiba-tiba, sebuah suara rendah memecah kesunyian, “Helena, kau sudah bangun?” Suara itu membuat Helena menoleh, dan terkejut bukan kepalang saat melihat Alexander. Pria itu tengah duduk santai di sofa sambil memainkan card yang digunakan sebagai kunci di tangannya. Tubuhnya bergetar, suaranya tercekat saat ia mencoba bicara. “Apa... apa yang kau lakukan? Mengapa aku di sini?” Helena bertanya dengan suara gemetar. Menoleh ke kanan dan ke kiri, Helena semakin tertekan mendapati hanya mereka berdua saja di ruangan itu. ‘Benjamin, Kak Helios, mereka ke mana?’ batin Helena. Alexander bangkit perlahan da
Malam itu, hujan turun dengan sangat derasnya. Kamar hotel tempat Helena dan Alexander berada saat ini seolah semakin sesak dalam keputusasaan. Alexander menahan kedua tangan Helena di atas kepalanya, menekan tubuhnya dengan kuat. Helena meronta, jelas marah, namun Alexander terlalu kuat untuk dilawan. ‘Begini lagi? Kenapa kita harus seperti ini, Alexander?’ batin Helena. Helena terasa seperti mengalami dejavu saat memohon kepada Alexander agar tidak bertindak lebih jauh. “Tolong, berhenti... Aku mohon jangan seperti ini, akan menikah dengan Benjamin tidak lama lagi, tolong jangan lakukan ini....,” rintihnya dengan suara yang bergetar. Namun, Alexander enggan mempedulikan permintaan Helena dan tetap melanjutkan niatnya. “Menikah dengan Benjamin? Jangan bercanda, kau tidak akan bisa melakukannya!” tegas Alexander. Helena menutup matanya, berusaha menghilangkan rasa takut dan keputusasaan yang mendalam sambil tetap berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Alexande
Helena duduk di atas tempat tidur, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Matanya yang terus terarahkan kepada Alexander, memohon untuk segera diberikan kesempatan meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Alexander masih memperhatikan Helena tanpa kata. “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Sekarang, biarkan aku pergi, seseorang sedang menungguku!” ucap Helena, tatapannya jelas memohon. Entah sudah selama apa Helena berada di luar rumah, Angel pasti sudah menunggu. Membayangkan putri kecilnya itu menangis saja hati Helena bagaikan teriris perih. Apapun yang terjadi, bagaimanapun caranya, Helena harus segera pulang ke rumah. “Kenapa kau terus ingin kabur dariku, Helena? Bukankah orang yang paling berhak atas dirimu adalah aku?” ujar Alexander. Helena menggigit bibir bawahnya, tidak tahu lagi harus bagai
Brak! Helena dan Alexander kompak menoleh ke arah yang sama. Dua orang asing masuk, di susul Helios yang terlihat sangat marah. Tanpa menunggu lama, Helios langsung mendekat kepada Alexander, memberikan pukulan keras kepada pria itu. Buggg! “Ahh!” pekik Helena, terkejut. Alexander berpaling wajah, namun pria itu tidak mengaduh sama sekali. Melihat Alexander yang seolah tak kapok, kemarahan itu semakin membakarnya. Tidak menunggu lama, Helios langsung mencengkram leher Alexander karena pria itu masih tak mengenakan pakaian. “Brengsek, matilah saja kau, bajingan!” teriak Helios tak dapat menahan kekesalannya. Bugg! Lagi-lagi pukulan itu diberikan kepada Alexander. “Kak, berhenti!” pinta Helena, bahkan tindakannya itu di luar kesadarannya. Benjamin
Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Helios benar-benar tidak berniat mengatakan apapun. Kemarahan di hatinya atas apa yang terjadi sudah sangat sulit untuk dikondisikan. Penting sekali baginya terus menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan terhadap Helena. Tidak lain halnya dengan Benjamin, pria itu juga memilih diam karena ada banyak sekali yang ingin dia ucapkan hingga bingung bagaimana dia akan memulainya. Melihat pakaian yang dikenakan oleh Helena, tanda merah di bagian leher, sudah menjelaskan apa yang terjadi kepada Helena dan juga Alexander di kamar hotel itu. Bagaimana mungkin dia tidak sangat marah sedang tangannya terus terkepal? Namun, Benjamin pun yakin benar bahwa hal gila yang terjadi itu bukanlah yang diinginkan oleh Helena. Sesampainya di rumah, Tuan besar Beauvoir langsung memeluk erat-erat Helena. Pria itu seseg