Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Helios benar-benar tidak berniat mengatakan apapun.
Kemarahan di hatinya atas apa yang terjadi sudah sangat sulit untuk dikondisikan. Penting sekali baginya terus menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan terhadap Helena. Tidak lain halnya dengan Benjamin, pria itu juga memilih diam karena ada banyak sekali yang ingin dia ucapkan hingga bingung bagaimana dia akan memulainya. Melihat pakaian yang dikenakan oleh Helena, tanda merah di bagian leher, sudah menjelaskan apa yang terjadi kepada Helena dan juga Alexander di kamar hotel itu.Bagaimana mungkin dia tidak sangat marah sedang tangannya terus terkepal? Namun, Benjamin pun yakin benar bahwa hal gila yang terjadi itu bukanlah yang diinginkan oleh Helena. Sesampainya di rumah, Tuan besar Beauvoir langsung memeluk erat-erat Helena. Pria itu seseg“Setelah apa yang terjadi barusan, akan lebih baik kalau kau menikah saja dengan Benjamin. Walaupun kakak agak tidak rela karena kau akan menjadi istrinya orang, kakak akan mencoba untuk menerimanya.” ucap Helios, pria itu mewakili Tuan besar Beauvoir berbicara. Helena terdiam, ada banyak sekali yang dia pikirkan saat ini. “Hecel, kau setuju dengan rencana ini, kan?” tanya Helios, berharap segera mendapatkan tanggapan dari Helena. Tertunduk sejenak, Helena pun pada akhirnya menjawab, “Kak, Benjamin memiliki wajah yang tampan, berpendidikan, memiliki latar belakang yang bagus, dia juga cukup baik. Lantas, bagaimana mungkin pria seperti itu justru menikahi wanita seperti ku?” Helios mengernyit, tidak memahami mengapa Helena harus mengatakan hal semacam itu. “Tidak ada yang kurang dariku, Nak. Jangan meremehkan diri sendiri, apa lagi merendahkan dirimu.
1 Minggu setelah hari itu, Alexander memutuskan kembali ke negara asalnya karena ada rapat yang harus dia hadiri. Di kediaman Beauvoir, Helena juga menjalani harinya seperti biasanya. Tidak ada yang mengungkit hari dimana Helena diculik Alexander, semua orang tengah menjaga perasaan Helena. Begitu sampai di negaranya, Alexander pun langsung menjalankan aktivitas seolah tubuhnya tak kenal lelah. “Han, setelah pekerjaan ini selesai, pastikan dapatkan jadwal khusus untukku. Mulai dari sekarang, aku akan sering datang ke negara itu untuk mengunjungi Helena.” ucap Alexander, pria itu sambil melangkahkan kaki menuju ruang rapat. Mendengar itu, Han pun mengerutkan dahinya bingung. “Tapi, apa anda yakin, Tuan? Kalau anda kembali dengan luka seperti ini, Saya pun akan sulit menahan diri.” “Yang penting nyawaku masih ada. Jangan khawa
Helena terus menjerit panik, tangannya gemetar saat ia mencoba menopang tubuh Ayahnya yang tampak semakin lemah. “Ya ampun, kak. Kenapa dia seperti ini lagi? Dia terus memburuk keadaannya belakangan ini,” ucap wanita paruh baya yang nyatanya adalah adik tiri Tuan Beauvoir. Helena enggan menanggapi orang tersebut, fokus dengan Ayahnya saja. “Pelayan!!” panggil Helena dengan suara yang keras, seorang pelayan pun segera datang dengan terburu-buru. “Segera siapkan mobil! Kita harus bawa Ayahku ke rumah sakit!” teriaknya pada pelayan yang mana membuat pelayan lain langsung berlari keluar ruangan. Air mata Helena mengalir deras, tak kuasa menahan rasa takut yang menggelayuti hatinya. Dengan susah payah, ia membantu Tuan Beauvoir tetap duduk dengan benar di sofa, sambil tangan lainnya sibuk memencet nomor kedua Tuan muda Beauvoir yang belum juga pulang. Pelaya
Tuan Beauvoir kini berada di dalam ruangan rawat khusus, Hendrick menemani tanpa meninggalkan Ayahnya. Helios, pria itu tengah sibuk dengan beberapa hal utamanya kesehatan sang Ayah dan juga pekerjaan. Helena, wanita itu memilih untuk membagi fokusnya dengan Angel, kesehatan Tuan Beauvoir, dan kantor juga karena Hendrick tidak bisa ke sana langsung. Bukan tanpa alasan, mereka memiliki kekhawatiran mereka sendiri. “Hecel, ada banyak orang yang uang berstatus keluarga tapi Nyatanya adalah singa ganas yang siap menerkam kapanpun. Selain kita berempat, Tolong jangan percaya siapapun.” Itulah pesan yang diberikan Helios kepada Helena. “Baiklah. Aku sedikit mengerti situasinya, aku akan berhati-hati.” jawab Helena. Sejak hari itu, Helena mulai diam-diam mencari tahu bany
Hendrick dan Helios terlihat sangat kesal, namun memilih untuk menahan dalam diam. Mereka tidak ingin membuat Ayah mereka khawatir dan terganggu. Helena sudah memberitahukan tentang bunga tulip pemberian Dokter keluarga. “Pria itu, padahal dia benar-benar dipercaya oleh Ayah.” gumam Hendrick. Helios mengusap wajahnya dengan kasar. “Memancing ikan yang lebih besar, maka kita harus menggunakan ikan kecilnya, kan?” Helena menganggukkan kepalanya, Hendrick pun paham. “Pelayan rumah, aku yakin sebagian pasti patut dicurigai.” ucap Helena. Hendrick mengepalkan tangannya. “Ini pasti ada hubungannya dengan Bibi Jesicca, kan?” Helena terdiam, pikirannya mulai menerawang jauh. Setelah apa yang terjadi dengan Ayahnya kemar
Hendrick mendorong pintu rumah dokter dengan kekuatan penuh, Helena mengikuti di belakangnya dengan raut wajah yang pucat. Dokter keluarga sempat mengelak, enggan untuk keluar karena tahu apa yang akan terjadi. Namun, pada akhirnya pria itu pun tidak memilki pilihan lain. Keluar dengan lesu, Dokter keluarga kini berada di hadapan Helena dan Hendrick, berseberangan meja dengannya. “Dokter, Anda harus menjelaskan ini, pastikan tidak ada kebohongan!” seru Hendrick sambil menggebrak meja di depan dokter yang tampak terkejut. Dokter keluarga itu, dengan kemeja rumah yang kusut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Tolong tenang, Tuan muda Hendrick. Saya benar-benar tidak dalam keadaan baik,” ucap dokter itu, suaranya bergetar. Namun, Hendrick tidak peduli, dia melemparkan amplop coklat besar ke meja. “Ini semua bukti bahwa Anda telah meracuni Aya
“Ayah, bukankah akan lebih baik untuk tidak memaksakan diri?” pinta Helena. Tuan Beauvoir menggenggam tangan Helena, menatapnya dengan hangat dan lembut. “Sayang, Dokter sudah mengatakan bahwa keadaan Ayah sudah membaik, kok. Meskipun untuk pulih sempurna membutuhkan waktu yang cukup panjang, Ayah bisa beraktivitas seperti sebelumnya.” Helena menghela napasnya, sudah tidak tahu lagi bagaimana akan melarang Ayahnya itu. Lusa pesta besar akan diadakan untuk anggota keluarga Beauvoir, pada peringatan tahunan. Sudah akan tiga kali Helena akan ikut serta, namun kali ini yakin benar akan berbeda karena adanya Jessica. Sebelumya, wanita itu memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Tapi, entah mengapa memutuskan untuk kembali dan semua yang terjadi ini selalu berkaitan dengannya. Hendrick dan Helios yang ada di sana pun hanya bisa terdiam, namun sorot mata mereka menunjukkan betapa dalamnya pemiki
“Hecel, kami akan ke Ayah dulu, ya.” ucap Hendrick. Helena menganggukkan kepalanya, “Baik, Kak.” Hendrick dan Helios dengan sigap bergerak mendekati Ayanya, yang berada di sudut ruangan, menjaga dengan seksama agar tidak ada yang mengganggunya. Sementara itu, Helena dan Benjamin masih bersama di tempat semula, kini tengah bersiap untuk menikmati pesta dansa yang akan dimulai. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Benjamin mengulurkan tangannya, mengajak Helena untuk berdansa. “Hei, cantik, ulurkan tanganmu dan kita harus berdansa!” Helena, dengan mata berbinar, hampir saja menyentuhkan tangannya pada tangan Benjamin ketika tiba-tiba Alexander muncul dan menyambar tangan Helena. Grep! Helena dan Benjamin terpaku, mata mereka terbuka lebar karena keterkejutan. Alexander, dengan tatapan tajam dan penuh keberanian
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece