Hendrick dan Helios terlihat sangat kesal, namun memilih untuk menahan dalam diam.
Mereka tidak ingin membuat Ayah mereka khawatir dan terganggu. Helena sudah memberitahukan tentang bunga tulip pemberian Dokter keluarga. “Pria itu, padahal dia benar-benar dipercaya oleh Ayah.” gumam Hendrick. Helios mengusap wajahnya dengan kasar. “Memancing ikan yang lebih besar, maka kita harus menggunakan ikan kecilnya, kan?” Helena menganggukkan kepalanya, Hendrick pun paham. “Pelayan rumah, aku yakin sebagian pasti patut dicurigai.” ucap Helena. Hendrick mengepalkan tangannya. “Ini pasti ada hubungannya dengan Bibi Jesicca, kan?” Helena terdiam, pikirannya mulai menerawang jauh. Setelah apa yang terjadi dengan Ayahnya kemarHendrick mendorong pintu rumah dokter dengan kekuatan penuh, Helena mengikuti di belakangnya dengan raut wajah yang pucat. Dokter keluarga sempat mengelak, enggan untuk keluar karena tahu apa yang akan terjadi. Namun, pada akhirnya pria itu pun tidak memilki pilihan lain. Keluar dengan lesu, Dokter keluarga kini berada di hadapan Helena dan Hendrick, berseberangan meja dengannya. “Dokter, Anda harus menjelaskan ini, pastikan tidak ada kebohongan!” seru Hendrick sambil menggebrak meja di depan dokter yang tampak terkejut. Dokter keluarga itu, dengan kemeja rumah yang kusut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Tolong tenang, Tuan muda Hendrick. Saya benar-benar tidak dalam keadaan baik,” ucap dokter itu, suaranya bergetar. Namun, Hendrick tidak peduli, dia melemparkan amplop coklat besar ke meja. “Ini semua bukti bahwa Anda telah meracuni Aya
“Ayah, bukankah akan lebih baik untuk tidak memaksakan diri?” pinta Helena. Tuan Beauvoir menggenggam tangan Helena, menatapnya dengan hangat dan lembut. “Sayang, Dokter sudah mengatakan bahwa keadaan Ayah sudah membaik, kok. Meskipun untuk pulih sempurna membutuhkan waktu yang cukup panjang, Ayah bisa beraktivitas seperti sebelumnya.” Helena menghela napasnya, sudah tidak tahu lagi bagaimana akan melarang Ayahnya itu. Lusa pesta besar akan diadakan untuk anggota keluarga Beauvoir, pada peringatan tahunan. Sudah akan tiga kali Helena akan ikut serta, namun kali ini yakin benar akan berbeda karena adanya Jessica. Sebelumya, wanita itu memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Tapi, entah mengapa memutuskan untuk kembali dan semua yang terjadi ini selalu berkaitan dengannya. Hendrick dan Helios yang ada di sana pun hanya bisa terdiam, namun sorot mata mereka menunjukkan betapa dalamnya pemiki
“Hecel, kami akan ke Ayah dulu, ya.” ucap Hendrick. Helena menganggukkan kepalanya, “Baik, Kak.” Hendrick dan Helios dengan sigap bergerak mendekati Ayanya, yang berada di sudut ruangan, menjaga dengan seksama agar tidak ada yang mengganggunya. Sementara itu, Helena dan Benjamin masih bersama di tempat semula, kini tengah bersiap untuk menikmati pesta dansa yang akan dimulai. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Benjamin mengulurkan tangannya, mengajak Helena untuk berdansa. “Hei, cantik, ulurkan tanganmu dan kita harus berdansa!” Helena, dengan mata berbinar, hampir saja menyentuhkan tangannya pada tangan Benjamin ketika tiba-tiba Alexander muncul dan menyambar tangan Helena. Grep! Helena dan Benjamin terpaku, mata mereka terbuka lebar karena keterkejutan. Alexander, dengan tatapan tajam dan penuh keberanian
“Jangan harap, aku tidak akan pernah tersenyum di saat situasinya tidak mendukung!” tegas Helena. Alexander tersenyum tipis, “Baguslah... Tentu saja akan lebih bagus kalau kau tidak tersenyum, kumpulkan tenagamu dari sekarang karena aku juga memiliki simpanan tenaga yang sangat besar.” Mendengar itu, Helena pun semakin menunjukkan kekesalannya tanpa kata. Alexander jelas menikmati ekspresi itu, kejujuran Helena dalam perasaannya. Helena dan Alexander terus berputar di tengah lantai dansa, mengikuti irama orkestra yang memenuhi ruangan besar itu. Cahaya kristal menghiasi ruangan, memberi efek gemerlap pada wajah para tamu yang hadir. Namun, tatapan penuh tanya dari kerabat dan orang-orang yang mereka tak kenal seolah menjadi bayangan gelap yang mengintai. Helena, dalam gaun malamnya yang mewah, terlihat anggun namun matanya
“Ibu!” teriak Rendy. Tiba-tiba saja, bocah itu berlari langsung menuju Helena. Sementara itu, Helena hanya bisa terdiam dengan detak jantungnya yang begitu memburu. Rendy yang kini sudah berusia 4 tahun benar-benar terlihat sangat tampan, tatapan matanya begitu polos. ‘Rendy, Nona Rachel...’ batin Helena, perih. Bruk! Rendy sudah hampir meraih Helena, namun ditahan oleh Benjamin. “Siapa kau ini?” tanya Benjamin yang merasa tak nyaman ada anak lain yang menuju ke pada Helena. Helena masih terdiam membeku, tanpa terasa air matanya jatuh. ‘Ibu...’ entah siapa yang dipanggi
Helena duduk di pinggir tempat tidur, memeluk Angel yang telah tertidur lelap. Gerakan tangannya mengusap punggung bocah kecil itu dengan lembut, seolah-olah setiap usapan dapat menghapus rasa sakit yang ia rasakan. Memori tentang Rendy, yang kini berusia empat tahun, kembali menghantui pikirannya. Bayangan Rendy yang terus mengejarnya sambil memanggil-manggil ‘Ibu’ terus berputar dalam benaknya, seolah sebuah rekaman yang tak bisa dihentikan. Air mata Helena mulai jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Rasa sakit menyesakkan dadanya, denyutan nyeri yang tak kunjung reda. Dengan suara yang tercekat oleh tangis, Helena berbisik perlahan, memanggil nama Rendy, “Rendy... maafkan aku, Nak...” Suaranya terdengar hampir tak berdaya, penuh penyesalan. D
Helena merasakan dadanya sesak saat melihat judul berita di layar ponselnya yang dengan terang-terangan mengumbar kisah pribadinya. “Apa-apaan, ini?” gumam Helena. Dengan jari yang gemetar, dia mengetik pesan kepada ayahnya, mencari napas kelegaan di tengah kekacauan yang tiba-tiba menimpa hidupnya. “Ayah, apa yang harus aku lakukan? Berita ini... Aku tidak tahu harus mulai dari mana.” bunyi pesan itu. Di ujung sana, Ayahnya dengan suara yang tenang namun berat, menghubungi Helen, “Tenanglah, Hecel. Pertama, kita harus cari tahu siapa yang berani menyebarkan berita ini. Ayah akan bantu menemukannya. Jangan panik dan jaga diri.” Helena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang emosi yang menghantamnya. Dia melihat kembali berita itu, hatinya berdebar kencang. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca menahan air mata yang hendak jatuh.
Helena mengetuk pintu hotel dengan panik, setelah susah payah dia menghindari orang-orang aneh yang mencoba untuk memperhatikan dirinya. Toktok.... “Sial!” maki Helena, “kenapa lama sekali sih, membukanya?” Tangan Helena kembali terulur untuk mengetuk pintu, di saat itu lah pintu terbuka. Alexander di depan pintu, membuat Helena memalingkan wajah karena pria itu tak mengenakan pakaian atasnya. “Selamat datang, Istriku...” ucap Alexander, tersenyum. Helena sempat melihat senyum itu, dia merasa terkejut. Alexander jarang sekali tersenyum, jelas Helena tak biasa karenanya. “Orang gila, jangan beraninya menyebutku istrimu lagi!” tegas Helena. “Di mana Rendy?” Alexander membuka lebar pintunya, mempersilahkan Helena masuk. melewati Alexander begitu saj