“Ibu!” teriak Rendy.
Tiba-tiba saja, bocah itu berlari langsung menuju Helena. Sementara itu, Helena hanya bisa terdiam dengan detak jantungnya yang begitu memburu. Rendy yang kini sudah berusia 4 tahun benar-benar terlihat sangat tampan, tatapan matanya begitu polos. ‘Rendy, Nona Rachel...’ batin Helena, perih. Bruk! Rendy sudah hampir meraih Helena, namun ditahan oleh Benjamin. “Siapa kau ini?” tanya Benjamin yang merasa tak nyaman ada anak lain yang menuju ke pada Helena. Helena masih terdiam membeku, tanpa terasa air matanya jatuh. ‘Ibu...’ entah siapa yang dipanggiHelena duduk di pinggir tempat tidur, memeluk Angel yang telah tertidur lelap. Gerakan tangannya mengusap punggung bocah kecil itu dengan lembut, seolah-olah setiap usapan dapat menghapus rasa sakit yang ia rasakan. Memori tentang Rendy, yang kini berusia empat tahun, kembali menghantui pikirannya. Bayangan Rendy yang terus mengejarnya sambil memanggil-manggil ‘Ibu’ terus berputar dalam benaknya, seolah sebuah rekaman yang tak bisa dihentikan. Air mata Helena mulai jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Rasa sakit menyesakkan dadanya, denyutan nyeri yang tak kunjung reda. Dengan suara yang tercekat oleh tangis, Helena berbisik perlahan, memanggil nama Rendy, “Rendy... maafkan aku, Nak...” Suaranya terdengar hampir tak berdaya, penuh penyesalan. D
Helena merasakan dadanya sesak saat melihat judul berita di layar ponselnya yang dengan terang-terangan mengumbar kisah pribadinya. “Apa-apaan, ini?” gumam Helena. Dengan jari yang gemetar, dia mengetik pesan kepada ayahnya, mencari napas kelegaan di tengah kekacauan yang tiba-tiba menimpa hidupnya. “Ayah, apa yang harus aku lakukan? Berita ini... Aku tidak tahu harus mulai dari mana.” bunyi pesan itu. Di ujung sana, Ayahnya dengan suara yang tenang namun berat, menghubungi Helen, “Tenanglah, Hecel. Pertama, kita harus cari tahu siapa yang berani menyebarkan berita ini. Ayah akan bantu menemukannya. Jangan panik dan jaga diri.” Helena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang emosi yang menghantamnya. Dia melihat kembali berita itu, hatinya berdebar kencang. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca menahan air mata yang hendak jatuh.
Helena mengetuk pintu hotel dengan panik, setelah susah payah dia menghindari orang-orang aneh yang mencoba untuk memperhatikan dirinya. Toktok.... “Sial!” maki Helena, “kenapa lama sekali sih, membukanya?” Tangan Helena kembali terulur untuk mengetuk pintu, di saat itu lah pintu terbuka. Alexander di depan pintu, membuat Helena memalingkan wajah karena pria itu tak mengenakan pakaian atasnya. “Selamat datang, Istriku...” ucap Alexander, tersenyum. Helena sempat melihat senyum itu, dia merasa terkejut. Alexander jarang sekali tersenyum, jelas Helena tak biasa karenanya. “Orang gila, jangan beraninya menyebutku istrimu lagi!” tegas Helena. “Di mana Rendy?” Alexander membuka lebar pintunya, mempersilahkan Helena masuk. melewati Alexander begitu saj
Helena selesai mengenakan pakaiannya, tapi dia benar-benar kesulitan untuk berdiri tegak karena kondisi tubuhnya yang tidak mendukung. Alexander benar-benar menghabiskan waktunya ingin mengerjai Helena. Wanita itu bahkan sampai tidak tahu kapan semua itu berakhir karena pingsan, kelelahan. Alexander hanya tersenyum tanpa kata, membuat Helena semakin menggerutu kesal. “Bajingan itu, bagaimana bisa dia tersenyum seperti anjing bodoh?” gumam Helena, jelas dia kesal. Helena berdiri dengan kaki yang gemetaran, tubuhnya sedikit membungkuk karena rasa sakit yang menusuk di pinggang. “Aduh...” keluhnya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa sakit dan kelelahan yang mendalam. Alexander, dengan tatapan tajam, menahan
Helena melangkah masuk ke rumah dengan langkah yang ragu, tangannya sedikit gemetar saat memegang gagang pintu. “Aku benar-benar jadi waspada begini.” gumam Helena. Ruang tamu itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC, tapi karena tatapan yang dilemparkan oleh Helios, Hendrick, dan sang Ayah. mereka. Ada Benjamin juga di sana, sudah tidak heran karena melihat mobil Benjamin terparkir di halaman rumah. Mereka semua duduk dengan raut wajah yang keras dan mata yang dingin, seolah-olah setiap inci ruangan itu dipenuhi dengan kekecewaan yang tak terucap. “Sudah pulang rupanya,” ucap Tuan Beauvoir, dingin. “I-iya, Ayah.” sahut Helena. Helios, dengan suara yang serius dan tegas, meminta Helena untuk duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka. “Ada hal yang perlu kita bicarakan, Hecel,” ujarnya, suaranya menggema dengan autoritas.
Seluruh anggota keluarga Beauvoir memberikan kesempatan bagi Helena dan Benjamin untuk bicara. Ada banyak hal yang harus mereka bicarakan. Tidak lagi berada di ruang tamu, mereka kini berada di taman samping rumah. “Hecel, aku harap kau benar-benar tidak menemui Alexander lagi. Sungguh, pria itu bukanlah pria yang baik. Sejak dia kecil, mungkin sikap tidak baik itu sudah mendarah daging di tubuhnya.” ungkap Benjamin. Ucapan Benjamin barusan benar-benar membuat dahi Helena mengernyit, menyadari jika selama ini dia belum bertanya kenapa Benjamin dan Alexander terkesan tidak akur. “Kalian tinggal di negara yang berbeda, bagaimana bisa kalian memiliki konflik seolah kalian memahami sekali antara satu dengan yang lain?” tanya Helena, penasaran. Mendengar pertanyaan itu,
Helena menggedor pintu kamar Helios dengan tergesa-gesa, suaranya terdengar mendesak dan penuh kekhawatiran. “Kak Helios, bukakan pintu!” serunya. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dan Helios berdiri di ambang dengan ekspresi datar. “Masuk,” ujarnya singkat. Helena melangkah masuk dan langsung memotong udara dengan pertanyaan yang sudah lama menggantung di hatinya. “Kak, apakah keluarga kita benar-benar menargetkan Rendy?” tanyanya, mata tajamnya mencoba menembus pertahanan Helios. Helios menghela napas, tampak berat untuk menjawab. Ia berjalan perlahan ke arah jendela, memandang keluar seakan mencari jawaban di luar sana. Helena, yang tidak sabar, mengikuti dan berdiri tepat di sampingnya, menuntut pandangan Helios. “Jawab aku, aku mohon jawab aku, Kak Helios! Ini penting.” Dengan raut muka yang berubah menjadi serius, Helios akhirnya menoleh. “Ya, Hecel. Itu benar,” akunya lembut. “A-apa?” Helena tak percaya, tubuhnya gemetar. “Kakak hanya mencoba memperingatkan Alex
“Monica, jangan membicarakan sesuatu yang tidak akan pernah mungkin terjadi kepada anakku. Jangan lupakan bahwa ada batasan yang tidak bisa kau terabas, paham?” peringat Alexander. Mendengar itu, Monica benar-benar hanya menanggapinya dengan santai. “Oke oke, aku paham. Lagi pula, aku juga tidak akan menjadi Ibu tiri karena aku tidak akan sanggup. Aku cuma akan menjadi kekasihmu saja, kok.” Alexander terdiam menahan kesal, membawa Rendy untuk menjauh dari Monica karna tatapan mata bocah itu benar-benar tajam. Sama seperti Alexander yang akan mudah menunjukkan ekspresi dingin, Rendy pun sama persis ekspresinya dengan Alexander. Namun, Rendy juga mudah bersikap manis untuk orang-orang tertentu. “Baiklah. Rendy tidak nyaman dengan keberadaan mu, baiknya kau pergi saja dulu.” ucap Alexander. Monica berdecih sebal, jelas tidak akan mendengar apa yang diucapkan Alexander. “Tidak mau! Aku akan di sini, aku mau menemani kalian berdua.” Rendy terus mengarahkan pandangannya, s