Malam itu, di kediaman Alexander.
“Alexander, aku mengerti bagaimana perasaan mu saat ini. Kau boleh sedih, tidak apa-apa.” ucap Helena, perhatian. “Sayang, bagaimana ini, aku jadi benar-benar kesal. Aku ingin melampiaskan kemarahan ku, tapi orangnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.” ungkap Alexander, lesu. Alexander lemas, duduk bersandar di sofa dengan mata yang sembab. Helena mengeratkan pelukannya, menyelimuti pria itu dengan pelukan hangatnya. “Sudahlah, Alexander,” bisik Helena lembut, lagi-lagi mencoba menghibur. “Seburuk apapun, dia adalah seorang Ibu, dia pasti mencintai mu juga.”Alexander menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku tidak bisa percaya, Sayang... selama ini aku membenci Ayah karena cerita-cerita yang orang di dekat Ibuku berikan. Ternyata, dia bukanlah monster yang mereka gambarkan,” ucapnya dengan suara yang serak, berusaha keras menelan kekecewaan yang menggumpal di dadanAlexander membuka pintu mobilnya dengan gaya yang elegan, sementara mata semua pegawai di parkiran kantor seketika tertuju padanya. Sinar matahari pagi memantul dari setelan jas hitamnya yang rapi, membuatnya tampak seperti bintang film. Tak lama kemudian, Helena juga turun dari mobil dengan langkah yang sigap. Dengan segera, Alexander menggenggam tangan Helena yang tampak anggun dalam balutan gaun berwarna pastel yang lembut. Mereka berjalan bersama menuju ke ruang presiden direktur, tempat Alexander bekerja. Setiap langkah mereka disertai tatapan kagum dari para pegawai yang menyaksikan keharmonisan dan keindahan visual pasangan suami istri tersebut. Meskipun pernah ada isu buruk yang menimpa Helena, tampaknya semua itu sudah menjadi cerita lama yang tidak lagi relevan. Sesampainya di ruang kerja yang mewah, Helena tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.“Wah... ruangan kerjamu membuatku iri,” ujar Hele
Alexander dan Helena melangkah menembus keramaian kota besar, udara segar pagi masih terasa di kulit mereka. Suasana kota yang baru mereka kunjungi itu berbeda dengan tempat mereka tinggal. Dengan antusias, mereka memulai perjalanan liburan pertama mereka setelah menikah maupun sebelumnya dengan mencicipi street food yang terkenal lezat. “Semoga perut kita baik-baik saja ya, Sayang,” harap Alexander. Mendengar itu, Helena pun terkekeh. “Ayolah, tidak usah berlebihan begitu.” Helena memilih sayap ayam bakar yang aromanya menggoda, sementara Alexander memilih kue olahan dari wortel dan tepung yang dibentuk bulat, berkuah, dan agak pedas yang membuatnya berkeringat. “Ahh...” Alexander menggelengkan kepalanya, matanya mulai memerah membuat Helena tertawa kecil. “Sudah, hentikan, jangan makan lagi!” Helena pun memberikan makanannya kepada Alexander. Setelah perut mereka cukup terisi, keduanya berjalan menuju museum terkenal yang menyimpan koleksi benda-benda kuno dari zaman pra
“Sayang, masuklah! Firasat ku tidak baik,” ucap Alexander. Helena menggelengkan kepalanya, “Tidak mau! Ayo cepat kita masuk, minta nahkodanya untuk menjauh dari sini,” ucapnya, panik. Alexander merangkul Helena, membawanya masuk. Namun, langkah kaki Alexander dan Helena terhenti saat melihat nahkoda kapal pesiar yang mereka tumpangi justru pingsan. “A—Alexander... apa lagi ini?” tanya Helena, suaranya bergetar gugup, dan takut. “Dia, pingsan?” gumam Alexander. Alexander membalikkan tubuh nahkoda yang sudah tergeletak lemah, matanya menyala penuh kemarahan. “Sial! Kenapa ini bisa terjadi?!” teriaknya dengan suara menggelegar. Kapal pesiar lain semakin mendekat, membuat keadaan semakin tegang. Helena merasakan tubuhnya gemetar tak terkendali. “Ini sangat aneh, Alexander...apa yang harus kita lakukan?” suaranya nyaris tak terdengar. Alexander mencoba
“Akh!” pekik Alexander saat salah satu dari tiga orang itu berhasil menusukkan pisau ke punggungnya. “Tidak, Alexander!” teriak Helena, histeris. Menggunakan salah satu peralatan selam yang ada di kapal pesiar itu, Helena pun memukul salah satu orang itu dengan keras. ‘Bukk!’ Sayangnya, pukulan Helena barusan tidak terlalu kuat, masih bisa membuat pria itu bangkit dengan mudahnya. Melihat Alexander sudah berdarah di punggung, menahan sakit, Helena pun tak lagi kenal takut. “Enyahlah, brengsek!” teriak Helena, kembali mengayunkan alat selam itu. Namun, pria itu bisa menahan dengan cepat. Tersenyum dengan begitu licik sementara Alexander ditahan pada bagian kanan dan kiri oleh dua orang lainnya. Helena memundurkan langkahnya, matanya tajam masih mengawasi pria it
Mata Helena terbuka lebar, terkejut melihat langit-langit putih yang asing dan mendengar suara bip mesin yang tak henti-hentinya. Terasa infus yang tertancap di lengan kirinya dan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Kilas balik kejadian semalam di kapal pesiar itu langsung membanjiri pikirannya. Dengan wajah pucat pasi, Helena memanggil nama “Alexander” berkali-kali, suaranya penuh kepanikan dan keputusasaan.“Akhhh!” Dalam keadaan histeris, Helena mencoba turun dari brankar, tangannya yang gemetar mencoba melepaskan jarum infus yang menancap di kulitnya. Darah segar meleleh keluar dari luka bekas jarum infus itu. Dengan gerakan cepat, ia juga membanting selang oksigen yang menghalangi gerakannya.“Alexander, aku harus ke sana, dia pasti menungguku! Alexander, tunggulah sebentar, aku akan segera datang...” ucap Helena, lemah. Helena mulai berlari dengan langkah yang tidak stabil keluar dari ruangan, seragam
Helena duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit, kedua kakinya terayun-ayun dengan gelisah. Wajahnya pucat, mata yang sembab tak henti menatap pintu setiap kali ada yang lewat, berharap mendapatkan kabar tentang Alexander. Udara dingin rumah sakit tak mampu menenangkan hatinya yang bergolak. “Alexander, apa dia baik-baik saja? Laut pasti dingin sekali, apa dia menggigil?” tanya Helena, suaranya gemetaran. Tuan Beauvoir dan Hendrick yang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan prihatin. Mereka telah melarang Helena untuk meninggalkan rumah sakit, khawatir akan kondisi Helena yang semakin hari semakin terlihat lelah karena kecemasan.Tiba-tiba, langkah kaki mendekat dan Han muncul di depan pintu dengan wajah lesu. Helena segera berdiri, matanya memancarkan harapan yang segera luntur saat melihat ekspresi Han. “Sekretaris Han, bagaimana? Ada kabar tentang Alexander? Dia di mana sekarang?” tanyanya dengan suara ber
Alexander terbangun perlahan, cahaya matahari yang menusuk membuatnya mengerjap. Tubuhnya terasa seperti telah dihajar ribuan batu, sakit yang memilin dari kepala hingga kaki. “Akhh!!!” pekiknya. Dia mencoba bangkit, namun hanya bisa mendesah kesakitan. Perlahan matanya menelusuri ruangan yang tampak begitu asing dan primitif. Dinding kayu yang kasar dan atap dari tumbuhan kering menambah kesan kuno dan terpencil pada tempat tersebut. “Aku selamat... Tapi, aku di mana?” gumamnya, lirih. Dengan perasaan bingung, Alexander memejamkan mata sejenak, berusaha keras mengingat kejadian terakhir yang bisa dia kenang. Kilasan memori malam di kapal pesiar itu kembali menerpa pikirannya. Suara tawa Helena dan alunan musik yang romantis, anggur non alkohol yang berdenting, dan pelukan hangat serta ungkapan cinta. Kekhawatiran mendalam mulai menguasai pikirannya. Helena, apakah dia se
Sore itu, di tepian pantai. “Sial!!” Alexander mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, gerakan itu kasar dan penuh frustrasi. Mata lelaki itu menatap ke arah pantai luas yang membentang di hadapannya. Pemandangan itu biasanya menenangkan, namun kali ini hanya menambah berat beban pikirannya. Di kejauhan, tidak ada tanda-tanda kapal, helikopter, atau transportasi lain yang bisa membawa dia kembali ke peradaban. Yang ada hanyalah sebuah perahu kecil di pinggir pantai, yang biasa digunakan oleh masyarakat pulau untuk mencari ikan. Alexander menelan ludah, merasakan keputusasaan menggelayut di dadanya. “Kalau begini, dengan cara apa aku bisa pulang untuk menemui Helena? Ya Tuhan... Helena, aku benar-benar ingin cepat menemuimu.” Dengan langkah gontai, dia berjalan menyusuri garis pantai, pasir putih bergesekan dengan alas kaki. Tangisnya pecah dalam diam, suara tangisan itu t