“Sayang, masuklah! Firasat ku tidak baik,” ucap Alexander.
Helena menggelengkan kepalanya, “Tidak mau! Ayo cepat kita masuk, minta nahkodanya untuk menjauh dari sini,” ucapnya, panik. Alexander merangkul Helena, membawanya masuk. Namun, langkah kaki Alexander dan Helena terhenti saat melihat nahkoda kapal pesiar yang mereka tumpangi justru pingsan. “A—Alexander... apa lagi ini?” tanya Helena, suaranya bergetar gugup, dan takut.“Dia, pingsan?” gumam Alexander. Alexander membalikkan tubuh nahkoda yang sudah tergeletak lemah, matanya menyala penuh kemarahan. “Sial! Kenapa ini bisa terjadi?!” teriaknya dengan suara menggelegar.Kapal pesiar lain semakin mendekat, membuat keadaan semakin tegang.Helena merasakan tubuhnya gemetar tak terkendali. “Ini sangat aneh, Alexander...apa yang harus kita lakukan?” suaranya nyaris tak terdengar.Alexander mencoba“Akh!” pekik Alexander saat salah satu dari tiga orang itu berhasil menusukkan pisau ke punggungnya. “Tidak, Alexander!” teriak Helena, histeris. Menggunakan salah satu peralatan selam yang ada di kapal pesiar itu, Helena pun memukul salah satu orang itu dengan keras. ‘Bukk!’ Sayangnya, pukulan Helena barusan tidak terlalu kuat, masih bisa membuat pria itu bangkit dengan mudahnya. Melihat Alexander sudah berdarah di punggung, menahan sakit, Helena pun tak lagi kenal takut. “Enyahlah, brengsek!” teriak Helena, kembali mengayunkan alat selam itu. Namun, pria itu bisa menahan dengan cepat. Tersenyum dengan begitu licik sementara Alexander ditahan pada bagian kanan dan kiri oleh dua orang lainnya. Helena memundurkan langkahnya, matanya tajam masih mengawasi pria it
Mata Helena terbuka lebar, terkejut melihat langit-langit putih yang asing dan mendengar suara bip mesin yang tak henti-hentinya. Terasa infus yang tertancap di lengan kirinya dan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Kilas balik kejadian semalam di kapal pesiar itu langsung membanjiri pikirannya. Dengan wajah pucat pasi, Helena memanggil nama “Alexander” berkali-kali, suaranya penuh kepanikan dan keputusasaan.“Akhhh!” Dalam keadaan histeris, Helena mencoba turun dari brankar, tangannya yang gemetar mencoba melepaskan jarum infus yang menancap di kulitnya. Darah segar meleleh keluar dari luka bekas jarum infus itu. Dengan gerakan cepat, ia juga membanting selang oksigen yang menghalangi gerakannya.“Alexander, aku harus ke sana, dia pasti menungguku! Alexander, tunggulah sebentar, aku akan segera datang...” ucap Helena, lemah. Helena mulai berlari dengan langkah yang tidak stabil keluar dari ruangan, seragam
Helena duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit, kedua kakinya terayun-ayun dengan gelisah. Wajahnya pucat, mata yang sembab tak henti menatap pintu setiap kali ada yang lewat, berharap mendapatkan kabar tentang Alexander. Udara dingin rumah sakit tak mampu menenangkan hatinya yang bergolak. “Alexander, apa dia baik-baik saja? Laut pasti dingin sekali, apa dia menggigil?” tanya Helena, suaranya gemetaran. Tuan Beauvoir dan Hendrick yang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan prihatin. Mereka telah melarang Helena untuk meninggalkan rumah sakit, khawatir akan kondisi Helena yang semakin hari semakin terlihat lelah karena kecemasan.Tiba-tiba, langkah kaki mendekat dan Han muncul di depan pintu dengan wajah lesu. Helena segera berdiri, matanya memancarkan harapan yang segera luntur saat melihat ekspresi Han. “Sekretaris Han, bagaimana? Ada kabar tentang Alexander? Dia di mana sekarang?” tanyanya dengan suara ber
Alexander terbangun perlahan, cahaya matahari yang menusuk membuatnya mengerjap. Tubuhnya terasa seperti telah dihajar ribuan batu, sakit yang memilin dari kepala hingga kaki. “Akhh!!!” pekiknya. Dia mencoba bangkit, namun hanya bisa mendesah kesakitan. Perlahan matanya menelusuri ruangan yang tampak begitu asing dan primitif. Dinding kayu yang kasar dan atap dari tumbuhan kering menambah kesan kuno dan terpencil pada tempat tersebut. “Aku selamat... Tapi, aku di mana?” gumamnya, lirih. Dengan perasaan bingung, Alexander memejamkan mata sejenak, berusaha keras mengingat kejadian terakhir yang bisa dia kenang. Kilasan memori malam di kapal pesiar itu kembali menerpa pikirannya. Suara tawa Helena dan alunan musik yang romantis, anggur non alkohol yang berdenting, dan pelukan hangat serta ungkapan cinta. Kekhawatiran mendalam mulai menguasai pikirannya. Helena, apakah dia se
Sore itu, di tepian pantai. “Sial!!” Alexander mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, gerakan itu kasar dan penuh frustrasi. Mata lelaki itu menatap ke arah pantai luas yang membentang di hadapannya. Pemandangan itu biasanya menenangkan, namun kali ini hanya menambah berat beban pikirannya. Di kejauhan, tidak ada tanda-tanda kapal, helikopter, atau transportasi lain yang bisa membawa dia kembali ke peradaban. Yang ada hanyalah sebuah perahu kecil di pinggir pantai, yang biasa digunakan oleh masyarakat pulau untuk mencari ikan. Alexander menelan ludah, merasakan keputusasaan menggelayut di dadanya. “Kalau begini, dengan cara apa aku bisa pulang untuk menemui Helena? Ya Tuhan... Helena, aku benar-benar ingin cepat menemuimu.” Dengan langkah gontai, dia berjalan menyusuri garis pantai, pasir putih bergesekan dengan alas kaki. Tangisnya pecah dalam diam, suara tangisan itu t
Pagi hari itu, ruang dewan direksi Smith Corporation dipenuhi kecemasan. Semua kursi terisi penuh oleh anggota dewan yang wajahnya tampak gelisah. Di tengah-tengah mereka, duduk Tuan Smith. Raut wajahnya serius, matanya sesekali menatap dokumen-dokumen yang terhampar di hadapannya.“Tuan Smith, sudah lebih dari sebulan bahkan sudah hampir dua bulan Alexander menghilang. Kita perlu keputusan segera,” ucap salah satu anggota dewan, suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.Tuan Smith menghela napas berat, “Aku mengerti kekhawatiran kalian. Namun, menggantikan Alexander bukanlah hal yang mudah. Kita semua tahu dia adalah jiwa dari perusahaan ini.”Suasana ruangan semakin tegang. Beberapa anggota dewan saling bertukar pandang, tidak yakin dengan langkah yang harus diambil.“Kita tidak bisa terus menunggu, Tuan Smith. Kita perlu solusi secepatnya,” tegas anggota dewan lainnya.Tuan Smith mengangguk, “Aku akan melaku
Helena berdiri di depan foto pernikahannya dengan Alexander, tangannya terkepal erat. Berusaha menguatkan diri demi anak-anaknya dan agar bisa terus bertahan menunggu kepulangan suaminya. Keyakinannya bahwa Alexander masih hidup, meski entah di mana, menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. “Alexander, apa kau tahu betapa rindunya aku mendengar kau memanggilku dengan lembut? Aku akan selalu rindu, dan aku aku memanggilmu dengan sebutan mesra saat kau pulang nanti,” ucap Helena, penuh harap. Menarik napasnya dalam-dalam, matanya menatap wajah Alexander pada foto itu. “Akan aku tunjukkan bahwa aku pantas untuk kau cintai seumur hidup mu, Alexander...” Dengan tekad bulat, dia memutuskan bahwa mulai besok, dia akan resmi menggantikan posisi Alexander sebagai CEO Smith Corporation. Helena berharap bisa menyelesaikan tugas tersebut dengan baik hingga saat suaminya kembali. Tahu ini adalah tantangan besar, tetapi demi kel
Helena mengerahkan seluruh energinya untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan totalitas, seolah itu adalah satu-satunya cara untuk melupakan sejenak kenyataan bahwa Alexander masih belum ditemukan. Ketika pulang ke rumah, Helena mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk kedua anaknya. Namun, saat malam tiba dan semua terlelap, Helena hanya bisa menangis, merasakan kerinduan mendalam terhadap Alexander, sambil terus bertanya-tanya tentang perkembangan terbaru dalam pencarian suaminya.Lelah dan berat itu harus Helena atasi, seperti hari ini yang begitu melelahkan. Helena menatap tajam divisi keamanan yang tampak lesu. “Apa kau tidak tahu seberapa besar kerugian yang kita dapatkan karena kelalaian mu?” Rasa marahnya menggelegak melihat kelalaian yang membuat desain produk terbaru Smith Corporation bocor. Lebih menyakitkan lagi, perusahaan lawan mengklaim des