Pagi hari itu, ruang dewan direksi Smith Corporation dipenuhi kecemasan.
Semua kursi terisi penuh oleh anggota dewan yang wajahnya tampak gelisah.Di tengah-tengah mereka, duduk Tuan Smith. Raut wajahnya serius, matanya sesekali menatap dokumen-dokumen yang terhampar di hadapannya.“Tuan Smith, sudah lebih dari sebulan bahkan sudah hampir dua bulan Alexander menghilang. Kita perlu keputusan segera,” ucap salah satu anggota dewan, suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.Tuan Smith menghela napas berat, “Aku mengerti kekhawatiran kalian. Namun, menggantikan Alexander bukanlah hal yang mudah. Kita semua tahu dia adalah jiwa dari perusahaan ini.”Suasana ruangan semakin tegang. Beberapa anggota dewan saling bertukar pandang, tidak yakin dengan langkah yang harus diambil.“Kita tidak bisa terus menunggu, Tuan Smith. Kita perlu solusi secepatnya,” tegas anggota dewan lainnya.Tuan Smith mengangguk, “Aku akan melakuHelena berdiri di depan foto pernikahannya dengan Alexander, tangannya terkepal erat. Berusaha menguatkan diri demi anak-anaknya dan agar bisa terus bertahan menunggu kepulangan suaminya. Keyakinannya bahwa Alexander masih hidup, meski entah di mana, menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. “Alexander, apa kau tahu betapa rindunya aku mendengar kau memanggilku dengan lembut? Aku akan selalu rindu, dan aku aku memanggilmu dengan sebutan mesra saat kau pulang nanti,” ucap Helena, penuh harap. Menarik napasnya dalam-dalam, matanya menatap wajah Alexander pada foto itu. “Akan aku tunjukkan bahwa aku pantas untuk kau cintai seumur hidup mu, Alexander...” Dengan tekad bulat, dia memutuskan bahwa mulai besok, dia akan resmi menggantikan posisi Alexander sebagai CEO Smith Corporation. Helena berharap bisa menyelesaikan tugas tersebut dengan baik hingga saat suaminya kembali. Tahu ini adalah tantangan besar, tetapi demi kel
Helena mengerahkan seluruh energinya untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan totalitas, seolah itu adalah satu-satunya cara untuk melupakan sejenak kenyataan bahwa Alexander masih belum ditemukan. Ketika pulang ke rumah, Helena mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk kedua anaknya. Namun, saat malam tiba dan semua terlelap, Helena hanya bisa menangis, merasakan kerinduan mendalam terhadap Alexander, sambil terus bertanya-tanya tentang perkembangan terbaru dalam pencarian suaminya.Lelah dan berat itu harus Helena atasi, seperti hari ini yang begitu melelahkan. Helena menatap tajam divisi keamanan yang tampak lesu. “Apa kau tidak tahu seberapa besar kerugian yang kita dapatkan karena kelalaian mu?” Rasa marahnya menggelegak melihat kelalaian yang membuat desain produk terbaru Smith Corporation bocor. Lebih menyakitkan lagi, perusahaan lawan mengklaim des
Alexander memandang hamparan lautan yang luas dari bawah pepohonan di pinggir pantai. Perasaan pilu menyelimuti hatinya, ia pun masih sangat merindukan keluarganya. Kondisi fisiknya memang semakin membaik, tetapi hatinya masih terasa hampa. Nama ‘Helena’ terus terlintas di benaknya, membuat rindu itu semakin menyesakkan. “Sayang, sudah tiga bulan aku di sini, kau pasti sangat khawatir padaku. Aku mohon, tetaplah hidup dengan nyaman, aku janji akan berusaha untuk kembali secepatnya.” gumam Alexander, jelas begitu penuh harap. Saat melamun dalam keheningan, tiba-tiba Alexander melihat sebuah kapal besar melintas di kejauhan. Menggosok matanya, Alexander takut itu hanyalah halusinasinya saja. “Benar, ini bukan khayalanku saja!” ucap Alexander, bersemangat. Seketika dia terkesia
“Apa?!” Helena terkejut dan marah setelah mendengar kabar pengkhianatan yang dilakukan oleh Robert. Brak! Dengan emosi yang memuncak, ia memukul meja dan menatap Han penuh tekad. “Kau yakin untuk informasi ini, sekretaris Han?” Han menganggukkan kepalanya, lalu menjelaskan bahwa Robert telah mengalihkan sekitar 65% saham perusahaan pribadi Alexander dan berusaha menguasai beberapa aset penting. Untungnya, masih ada waktu untuk menghentikannya. Han juga memberi tahu bahwa Robert berada di bawah tekanan dan pengaruh beberapa orang tokoh terkemuka yang memanfaatkan situasi karena Alexander tak terdengar kabarnya selama tiga bulan terakhir. “Saya sendiri masih belum bisa memahami benar Mengapa Robert yang dulunya sangat setia bisa mengambil tindakan seperti ini. Namun, pasti ada sesuatu yang cukup serius sampai dia menghianati Tuan Alexander sampai sejauh ini, Nyonya.” ucap Han, ekspresi dan nada bicarany
Helena berdiri di balkon kamarnya, matanya tertuju pada bulan yang terang benderang. Cahaya bulan menerangi wajahnya yang murung, memperlihatkan air mata yang menetes perlahan. “Alexander, kapan kau akan kembali?” gumamnya pelan, suaranya serak karena rindu yang mendalam. Dalam keheningan malam, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani lamunannya.Di tempat yang jauh, di sebuah pulau terpencil, Alexander duduk di tepi pantai, memandangi bulan yang sama. Kerinduannya pada Helena dan kedua anak mereka membuat dadanya sesak. Setiap malam dia berdoa agar sebuah kapal lewat dan membawanya pulang. “Helena, aku akan segera kembali,” bisiknya ke angin malam, berharap pesannya tersampaikan.Kedua hati yang terpisah oleh jarak, terhubung oleh sinar bulan yang sama, berbagi keinginan yang sama untuk bersatu kembali. Mereka tidak tahu kapan atau bagaimana, tapi keyakinan untuk bertemu lagi terus mereka pelihara di dalam doa masing-masing
Helena dan Han kini tengah meeting di sebuah restauran yang ada di sebuah hotel ternama. ”Syukurlah... meskipun bukan dengan Presdir Alexander, Saya cukup percaya diri untuk memperpanjang kontrak kerja sama kita,” ucap rekan bisnis tersebut, atau sebut saja Tuan Horrison. Helena dan Han mengangguk setuju dan ramah. Di ruang makan pribadi di restoran hotel, suasana tampak begitu tenang setelah pertemuan bisnis berakhir. Namun, Helena tak menyadari tatapan Tuan Harrison yang begitu intens ke arahnya. Han benar-benar membaca situasi dengan tepat dan juga detail, mengamati perubahan sikap Tuan Harrison dengan waspada. “Nyonya Helena, saya turut berduka atas kepergian Alexander,” ujar Tuan Harrison dengan nada penuh empati. Helena tersenyum pahit, mencoba menyembunyikan kerinduannya yang mendalam kepada si pemilik nama. “Terimakasih banyak untuk simpatik Anda. Namun, anda tidak perlu menyebut berduka atas kepergian Alexander karena suamiku itu tidak pernah diumumkan sudah m
Alexander menatap cakrawala dengan pandangan kosong, angin laut yang lembut membelai wajahnya, membawa aroma asin dan kesunyian yang tak pernah berubah. Sejauh matanya memandang, hanya laut biru yang luas, seolah mengurungnya dalam penantian yang tiada ujung. Di hatinya, ada dorongan yang terus menyesakkan. Rindu yang mengendap seiring berjalannya waktu, semakin berat, semakin pekat. “Hampir satu tahun...” gumamnya pelan, “aku mulai takut sekarang. Bagaimana kalau aku benar-benar tidak bisa bertemu Helena lagi?” Alexander menunduk, kakinya menggali-gali pasir, bermain-main seolah-olah berusaha mengusir resah yang tak kunjung pergi. Di sana, di pasir yang basah oleh air laut, nama ‘Helena’ tampak jelas, tergurat dengan huruf-huruf besar yang kini mulai terhapus oleh sapuan ombak kecil. “Apakah kau juga merindukanku, Helena?” tanyanya pada angin, meski tahu bahwa tidak ada yang akan menjawab.
“Ini, minumlah, Alexander!” ucap Mota, menyodorkan segelas teh. “Terima kasih,” ucapnya. Alexander menyesap teh yang diberikan Mota dengan tenang. Aroma kuat yang khas memenuhi hidungnya, memberikan sensasi hangat dan sedikit menenangkan, meski ada sesuatu yang terasa aneh di balik itu semua. Namun, kelelahan dan keputusasaan yang mendera membuat Alexander menerima minuman itu tanpa curiga. Sambil memandang matahari yang hampir tenggelam, Alexander membiarkan dirinya menikmati saat-saat senja yang hening. Mota masih terus berbicara, tapi Alexander sibuk dengan pemikirannya sendiri. Tapi perlahan-lahan, sesuatu yang ganjil mulai terasa. Pandangannya menjadi buram, pikirannya kabur, dan rasa kantuk yang berat mulai menguasai dirinya. Ia berusaha mengedipkan mata, mencoba untuk tetap terjaga, tapi setiap detik rasanya semakin mustahil. Alexander menoleh, menatap Mota dengan pandangan penuh tanda tanya. “Apa... yan