Helena berdiri di balkon kamarnya, matanya tertuju pada bulan yang terang benderang. Cahaya bulan menerangi wajahnya yang murung, memperlihatkan air mata yang menetes perlahan. “Alexander, kapan kau akan kembali?” gumamnya pelan, suaranya serak karena rindu yang mendalam.
Dalam keheningan malam, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani lamunannya.Di tempat yang jauh, di sebuah pulau terpencil, Alexander duduk di tepi pantai, memandangi bulan yang sama.Kerinduannya pada Helena dan kedua anak mereka membuat dadanya sesak. Setiap malam dia berdoa agar sebuah kapal lewat dan membawanya pulang. “Helena, aku akan segera kembali,” bisiknya ke angin malam, berharap pesannya tersampaikan.Kedua hati yang terpisah oleh jarak, terhubung oleh sinar bulan yang sama, berbagi keinginan yang sama untuk bersatu kembali.Mereka tidak tahu kapan atau bagaimana, tapi keyakinan untuk bertemu lagi terus mereka pelihara di dalam doa masing-masingHelena dan Han kini tengah meeting di sebuah restauran yang ada di sebuah hotel ternama. ”Syukurlah... meskipun bukan dengan Presdir Alexander, Saya cukup percaya diri untuk memperpanjang kontrak kerja sama kita,” ucap rekan bisnis tersebut, atau sebut saja Tuan Horrison. Helena dan Han mengangguk setuju dan ramah. Di ruang makan pribadi di restoran hotel, suasana tampak begitu tenang setelah pertemuan bisnis berakhir. Namun, Helena tak menyadari tatapan Tuan Harrison yang begitu intens ke arahnya. Han benar-benar membaca situasi dengan tepat dan juga detail, mengamati perubahan sikap Tuan Harrison dengan waspada. “Nyonya Helena, saya turut berduka atas kepergian Alexander,” ujar Tuan Harrison dengan nada penuh empati. Helena tersenyum pahit, mencoba menyembunyikan kerinduannya yang mendalam kepada si pemilik nama. “Terimakasih banyak untuk simpatik Anda. Namun, anda tidak perlu menyebut berduka atas kepergian Alexander karena suamiku itu tidak pernah diumumkan sudah m
Alexander menatap cakrawala dengan pandangan kosong, angin laut yang lembut membelai wajahnya, membawa aroma asin dan kesunyian yang tak pernah berubah. Sejauh matanya memandang, hanya laut biru yang luas, seolah mengurungnya dalam penantian yang tiada ujung. Di hatinya, ada dorongan yang terus menyesakkan. Rindu yang mengendap seiring berjalannya waktu, semakin berat, semakin pekat. “Hampir satu tahun...” gumamnya pelan, “aku mulai takut sekarang. Bagaimana kalau aku benar-benar tidak bisa bertemu Helena lagi?” Alexander menunduk, kakinya menggali-gali pasir, bermain-main seolah-olah berusaha mengusir resah yang tak kunjung pergi. Di sana, di pasir yang basah oleh air laut, nama ‘Helena’ tampak jelas, tergurat dengan huruf-huruf besar yang kini mulai terhapus oleh sapuan ombak kecil. “Apakah kau juga merindukanku, Helena?” tanyanya pada angin, meski tahu bahwa tidak ada yang akan menjawab.
“Ini, minumlah, Alexander!” ucap Mota, menyodorkan segelas teh. “Terima kasih,” ucapnya. Alexander menyesap teh yang diberikan Mota dengan tenang. Aroma kuat yang khas memenuhi hidungnya, memberikan sensasi hangat dan sedikit menenangkan, meski ada sesuatu yang terasa aneh di balik itu semua. Namun, kelelahan dan keputusasaan yang mendera membuat Alexander menerima minuman itu tanpa curiga. Sambil memandang matahari yang hampir tenggelam, Alexander membiarkan dirinya menikmati saat-saat senja yang hening. Mota masih terus berbicara, tapi Alexander sibuk dengan pemikirannya sendiri. Tapi perlahan-lahan, sesuatu yang ganjil mulai terasa. Pandangannya menjadi buram, pikirannya kabur, dan rasa kantuk yang berat mulai menguasai dirinya. Ia berusaha mengedipkan mata, mencoba untuk tetap terjaga, tapi setiap detik rasanya semakin mustahil. Alexander menoleh, menatap Mota dengan pandangan penuh tanda tanya. “Apa... yan
Helena menangkup wajah Alexander dengan penuh kasih, menatapnya dalam-dalam, seolah-olah ingin memastikan bahwa pria di depannya benar-benar suaminya yang telah lama ia rindukan. “Sayang...” panggil Helena, air mata bahagianya jatuh. “Sayang, akhirnya kita bertemu lagi.” Alexander masih terlihat lemah, seolah masih berada di bawah pengaruh obat yang diberikan Mota. Dengan air mata yang terus mengalir, Helena memeluknya erat, “Sayang, aku benar-benar merindukan mu sampai ingin mati rasanya!” Alexander yang setengah sadar menganggap semua ini hanyalah mimpi indah yang tak ingin ia akhiri. “Kalau ini mimpi… aku tidak ingin bangun lagi,” gumamnya pelan, sambil memejamkan matanya dan membiarkan kepalanya bersandar di dada Helena. Melihatnya begitu lucu dan polos, Helena hanya tersenyum, kemudian mencium pipinya berkali-kali, berbisik, “Aku sudah menemukanmu, suamiku. Kau aman sekarang. Terima kasih, Tuhan… Ter
Alexander perlahan membuka matanya, mengerutkan kening saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. Rasa bingung merambat di hatinya, tapi keterkejutannya tak berhenti di sana. Saat ia menoleh ke samping, matanya terpaku pada wajah seorang wanita yang begitu dirindukannya, ‘Helena’. Wanita itu terlelap di lengannya, dengan tubuhnya yang bersandar hangat sambil memeluk erat tubuh Alexander.“Si–sialan... kenapa mimpiku berkepanjangan seperti ini, sih?” gumamnya, kesal. Dengan perasaan tak percaya, Alexander mengulurkan tangan, menampar pipinya sendiri, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini bukan sekadar mimpi. Plak!Rasa sakit menjalar, memberi tahu bahwa ini nyata, tapi masih terasa begitu tak masuk akal hingga ia menampar dirinya sekali lagi, lebih keras.Plak! Tamparan itu ternyata membuat Helena terbangun, matanya membuka perlahan. Ia menatap Alexander dengan sorot bingung, mengernyit
Alexander menggenggam tangan Helena erat, seolah takut jika ia melepaskannya, Helena akan menghilang. Hari itu, Alexander merasa seluruh dunianya kembali, setelah semua rasa sakit dan kesepian yang ia alami. Meskipun lelah, ia tetap tidak ingin terlelap tanpa memastikan bahwa ini bukan mimpi. Setiap kali ia terbangun, matanya selalu mencari sosok Helena yang setia berada di sisinya.“Sayang, tenanglah. Aku tidak kemana-mana, jadi tidurlah dengan nyaman, ya. Tubuhmu masih belum pulih, jangan memikirkan apapun dulu,” peringat Helena, lembut. Helena menatap Alexander dengan penuh kasih, tanpa satu pun keluhan keluar dari bibirnya. Meski harus meninggalkan pekerjaannya di perusahaan, dia tahu prioritasnya sekarang adalah mendampingi suaminya dalam masa pemulihan. Sesekali, ia akan membelai rambut Alexander dengan lembut, berharap rasa tenang bisa menjalar ke dalam hati pria yang dicintainya itu.****
Alexander melangkah keluar dari mobilnya dengan penuh wibawa, diikuti oleh Han yang setia mendampinginya. Pemandangan seperti ini sudah lama tidak terlihat di gedung Smith Corporation, sudah hampir setahun sejak kejadian tragis yang menimpanya di kapal pesiar bersama Helena. Semua orang yang melihat kedatangan Alexander dan Han tampak terkejut, beberapa bahkan tampak canggung dan tidak percaya. Mereka semua mengira bahwa Alexander telah tiada. “P–Presdir Alexander, dia kembali...” ucap salah satu pegawai, tak percaya dengan yang ia lihat. “Benar. Beliau nampak kurus, pasti sesuatu yang besar terjadi padanya.” “Padahal, semua orang sudah yakin dia pasti sudah tiada.” Alexander tak memperdulikan tatapan heran para pegawai yang menatapnya. Begitu pula Han, yang tetap tenang dan profesional. Mereka berjalan menyusuri koridor kantor hingga mencapai ruangan presdir, tempat Alexander biasa bekerja sebelum insiden itu. Namun, di dalam sana, seseorang sudah menunggunya. “
“Paman, apa paman pikir uang ini saja bisa menyelamatkan putri kita dari rasa malu kedepannya?” tanya Monica. Tuan Smith menatap Monica dengan tatapan yang tajam dan tegas. Di ruang bacayang sunyi, hanya terdengar suara napas keduanya yang saling bersahutan. Monica menunduk, air matanya mulai menggenang, tapi Tuan Smith tak tergoyahkan oleh air mata itu. Dengan suara rendah namun tegas, ia berkata, “Aku tidak ingin menikahi siapa pun lagi, Monica. Selain karena usiaku yang sudah tidak muda, aku hanya ingin fokus menghabiskan sisa hidupku untuk hal-hal yang aku inginkan.” Kata-kata itu meluncur tanpa jeda, menghujam hati Monica. Ia berusaha tetap tenang, tapi hatinya remuk. Suaranya bergetar saat ia mencoba membuka mulut, namun Tuan Smith melanjutkan tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara. “Ingat, Monica. Kau sendiri yang menyodorkan tubuhmu kepadaku. Aku hanya meladeni mu,” ujarnya sambil tertawa kecil, seolah tak peduli pada rasa saki