Helena duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit, kedua kakinya terayun-ayun dengan gelisah.
Wajahnya pucat, mata yang sembab tak henti menatap pintu setiap kali ada yang lewat, berharap mendapatkan kabar tentang Alexander.Udara dingin rumah sakit tak mampu menenangkan hatinya yang bergolak.“Alexander, apa dia baik-baik saja? Laut pasti dingin sekali, apa dia menggigil?” tanya Helena, suaranya gemetaran.Tuan Beauvoir dan Hendrick yang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan prihatin. Mereka telah melarang Helena untuk meninggalkan rumah sakit, khawatir akan kondisi Helena yang semakin hari semakin terlihat lelah karena kecemasan.Tiba-tiba, langkah kaki mendekat dan Han muncul di depan pintu dengan wajah lesu.Helena segera berdiri, matanya memancarkan harapan yang segera luntur saat melihat ekspresi Han. “Sekretaris Han, bagaimana? Ada kabar tentang Alexander? Dia di mana sekarang?” tanyanya dengan suara berAlexander terbangun perlahan, cahaya matahari yang menusuk membuatnya mengerjap. Tubuhnya terasa seperti telah dihajar ribuan batu, sakit yang memilin dari kepala hingga kaki. “Akhh!!!” pekiknya. Dia mencoba bangkit, namun hanya bisa mendesah kesakitan. Perlahan matanya menelusuri ruangan yang tampak begitu asing dan primitif. Dinding kayu yang kasar dan atap dari tumbuhan kering menambah kesan kuno dan terpencil pada tempat tersebut. “Aku selamat... Tapi, aku di mana?” gumamnya, lirih. Dengan perasaan bingung, Alexander memejamkan mata sejenak, berusaha keras mengingat kejadian terakhir yang bisa dia kenang. Kilasan memori malam di kapal pesiar itu kembali menerpa pikirannya. Suara tawa Helena dan alunan musik yang romantis, anggur non alkohol yang berdenting, dan pelukan hangat serta ungkapan cinta. Kekhawatiran mendalam mulai menguasai pikirannya. Helena, apakah dia se
Sore itu, di tepian pantai. “Sial!!” Alexander mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, gerakan itu kasar dan penuh frustrasi. Mata lelaki itu menatap ke arah pantai luas yang membentang di hadapannya. Pemandangan itu biasanya menenangkan, namun kali ini hanya menambah berat beban pikirannya. Di kejauhan, tidak ada tanda-tanda kapal, helikopter, atau transportasi lain yang bisa membawa dia kembali ke peradaban. Yang ada hanyalah sebuah perahu kecil di pinggir pantai, yang biasa digunakan oleh masyarakat pulau untuk mencari ikan. Alexander menelan ludah, merasakan keputusasaan menggelayut di dadanya. “Kalau begini, dengan cara apa aku bisa pulang untuk menemui Helena? Ya Tuhan... Helena, aku benar-benar ingin cepat menemuimu.” Dengan langkah gontai, dia berjalan menyusuri garis pantai, pasir putih bergesekan dengan alas kaki. Tangisnya pecah dalam diam, suara tangisan itu t
Pagi hari itu, ruang dewan direksi Smith Corporation dipenuhi kecemasan. Semua kursi terisi penuh oleh anggota dewan yang wajahnya tampak gelisah. Di tengah-tengah mereka, duduk Tuan Smith. Raut wajahnya serius, matanya sesekali menatap dokumen-dokumen yang terhampar di hadapannya.“Tuan Smith, sudah lebih dari sebulan bahkan sudah hampir dua bulan Alexander menghilang. Kita perlu keputusan segera,” ucap salah satu anggota dewan, suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.Tuan Smith menghela napas berat, “Aku mengerti kekhawatiran kalian. Namun, menggantikan Alexander bukanlah hal yang mudah. Kita semua tahu dia adalah jiwa dari perusahaan ini.”Suasana ruangan semakin tegang. Beberapa anggota dewan saling bertukar pandang, tidak yakin dengan langkah yang harus diambil.“Kita tidak bisa terus menunggu, Tuan Smith. Kita perlu solusi secepatnya,” tegas anggota dewan lainnya.Tuan Smith mengangguk, “Aku akan melaku
Helena berdiri di depan foto pernikahannya dengan Alexander, tangannya terkepal erat. Berusaha menguatkan diri demi anak-anaknya dan agar bisa terus bertahan menunggu kepulangan suaminya. Keyakinannya bahwa Alexander masih hidup, meski entah di mana, menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. “Alexander, apa kau tahu betapa rindunya aku mendengar kau memanggilku dengan lembut? Aku akan selalu rindu, dan aku aku memanggilmu dengan sebutan mesra saat kau pulang nanti,” ucap Helena, penuh harap. Menarik napasnya dalam-dalam, matanya menatap wajah Alexander pada foto itu. “Akan aku tunjukkan bahwa aku pantas untuk kau cintai seumur hidup mu, Alexander...” Dengan tekad bulat, dia memutuskan bahwa mulai besok, dia akan resmi menggantikan posisi Alexander sebagai CEO Smith Corporation. Helena berharap bisa menyelesaikan tugas tersebut dengan baik hingga saat suaminya kembali. Tahu ini adalah tantangan besar, tetapi demi kel
Helena mengerahkan seluruh energinya untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan totalitas, seolah itu adalah satu-satunya cara untuk melupakan sejenak kenyataan bahwa Alexander masih belum ditemukan. Ketika pulang ke rumah, Helena mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk kedua anaknya. Namun, saat malam tiba dan semua terlelap, Helena hanya bisa menangis, merasakan kerinduan mendalam terhadap Alexander, sambil terus bertanya-tanya tentang perkembangan terbaru dalam pencarian suaminya.Lelah dan berat itu harus Helena atasi, seperti hari ini yang begitu melelahkan. Helena menatap tajam divisi keamanan yang tampak lesu. “Apa kau tidak tahu seberapa besar kerugian yang kita dapatkan karena kelalaian mu?” Rasa marahnya menggelegak melihat kelalaian yang membuat desain produk terbaru Smith Corporation bocor. Lebih menyakitkan lagi, perusahaan lawan mengklaim des
Alexander memandang hamparan lautan yang luas dari bawah pepohonan di pinggir pantai. Perasaan pilu menyelimuti hatinya, ia pun masih sangat merindukan keluarganya. Kondisi fisiknya memang semakin membaik, tetapi hatinya masih terasa hampa. Nama ‘Helena’ terus terlintas di benaknya, membuat rindu itu semakin menyesakkan. “Sayang, sudah tiga bulan aku di sini, kau pasti sangat khawatir padaku. Aku mohon, tetaplah hidup dengan nyaman, aku janji akan berusaha untuk kembali secepatnya.” gumam Alexander, jelas begitu penuh harap. Saat melamun dalam keheningan, tiba-tiba Alexander melihat sebuah kapal besar melintas di kejauhan. Menggosok matanya, Alexander takut itu hanyalah halusinasinya saja. “Benar, ini bukan khayalanku saja!” ucap Alexander, bersemangat. Seketika dia terkesia
“Apa?!” Helena terkejut dan marah setelah mendengar kabar pengkhianatan yang dilakukan oleh Robert. Brak! Dengan emosi yang memuncak, ia memukul meja dan menatap Han penuh tekad. “Kau yakin untuk informasi ini, sekretaris Han?” Han menganggukkan kepalanya, lalu menjelaskan bahwa Robert telah mengalihkan sekitar 65% saham perusahaan pribadi Alexander dan berusaha menguasai beberapa aset penting. Untungnya, masih ada waktu untuk menghentikannya. Han juga memberi tahu bahwa Robert berada di bawah tekanan dan pengaruh beberapa orang tokoh terkemuka yang memanfaatkan situasi karena Alexander tak terdengar kabarnya selama tiga bulan terakhir. “Saya sendiri masih belum bisa memahami benar Mengapa Robert yang dulunya sangat setia bisa mengambil tindakan seperti ini. Namun, pasti ada sesuatu yang cukup serius sampai dia menghianati Tuan Alexander sampai sejauh ini, Nyonya.” ucap Han, ekspresi dan nada bicarany
Helena berdiri di balkon kamarnya, matanya tertuju pada bulan yang terang benderang. Cahaya bulan menerangi wajahnya yang murung, memperlihatkan air mata yang menetes perlahan. “Alexander, kapan kau akan kembali?” gumamnya pelan, suaranya serak karena rindu yang mendalam. Dalam keheningan malam, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani lamunannya.Di tempat yang jauh, di sebuah pulau terpencil, Alexander duduk di tepi pantai, memandangi bulan yang sama. Kerinduannya pada Helena dan kedua anak mereka membuat dadanya sesak. Setiap malam dia berdoa agar sebuah kapal lewat dan membawanya pulang. “Helena, aku akan segera kembali,” bisiknya ke angin malam, berharap pesannya tersampaikan.Kedua hati yang terpisah oleh jarak, terhubung oleh sinar bulan yang sama, berbagi keinginan yang sama untuk bersatu kembali. Mereka tidak tahu kapan atau bagaimana, tapi keyakinan untuk bertemu lagi terus mereka pelihara di dalam doa masing-masing