Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika Helena memasuki kantor dengan langkah pasti, seolah memiliki seluruh dunia di bawah kendalinya.
“Selamat pagi, Wakil CEO Helena.” sapa para staf, kompak. Helena menganggukkan kepalanya, “Selamat pagi juga.” Dia langsung menuju ke sudut ruangan, tempat sebuah bangku yang terletak strategis menghadap area kerja stafnya berada. Dengan mantap, dia duduk, menyesuaikan posisi sehingga pandangannya bisa dengan leluasa mengamati seluruh ruangan. “Ngomong-ngomong, kedepannya anda semua bisa mempersingkat panggilan dengan sebutan Miss Helena saja.” ujar Helena. Semua staf mengangguk paham. “Baik, Miss Helena.” jawab mereka, kompak. Grett! Dari kejauhan, Sarah mengepalkan tangannya, matanya terlihat tajam, menusuk langsung ke arah Helena. Ekspresi wajahnyaSarah merasakan detak jantungnya memompa lebih keras saat lampu di ruangan kantor itu tiba-tiba padam seluruhnya, meninggalkannya dalam gelap gulita. “Sialan! Kenapa situasinya menyebalkan begini?!” Sarah frustrasi. Hanya suara rintik hujan dan guntur yang memecah keheningan. Tapi ada suara lain, suara yang lebih menyeramkan. Sebelumya Sarah pikir dia hanya berhalusinasi saja karena mulai kelelahan dan mengantuk, tapi suara itu semakin jelas. Lagi-lagi suara yang memanggil namanya dengan nada lirih dan menakutkan terdengar, “Sarah... jangan tinggalkan aku... temani aku...” Sarah menelan ludah, berusaha keras untuk menenangkan diri. “Tidak, tidak boleh begini! Ini hanya imajinasiku,” bisiknya pada diri sendiri. Namun, ketika kilat menyambar dan menerangi ruangan sejenak, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, “Sarah, jangan pergi... aku butuh kau t
Pagi itu, koridor kantor berubah menjadi panggung drama yang tak terduga. Sarah, dengan rambut acak-acakan dan baju yang tak lagi rapi, tergeletak tak jauh dari pintu lift. Bau pesing menyengat yang berasal darinya menambah suasana menjadi lebih memalukan. Satu per satu staf yang baru tiba berhenti, membentuk lingkaran di sekelilingnya. Bisikan dan tawa teredam mulai mengisi ruangan, membuat Sarah yang semula terlelap, terbangun. “Apa dia mabuk semalam? Padahal, Miss Helena kan memintanya segera menyelesaikan desain,” ujar salah atau staff di sana. “Entahlah... dia benar-benar terlihat memalukan, apa dia masih waras?” “Pantas saja dia tidak diperlakukan dengan hormat padahal katanya dia adalah anggota keluarga Wijaya. Mungkin, kebiasaan seperti inilah yang membuat dia seperti keluarga Wijaya yang tidak dianggap.” “Ya ampun, bagaimana dia bisa tertidur dengan nyaman padahal ba
Cahaya sore yang hangat menyelinap melalui jendela kantor Alura Fashion Group, memberikan nuansa keemasan pada ruangan yang dipenuhi dengan desain dan sketsa. Helena menginstruksikan salah satu pegawainya untuk membeli beberapa cup kopi dari kafe favorit mereka di luar. Tidak lama kemudian, pegawai itu kembali dengan tangan penuh cup kopi aneka rasa. “Kopinya sudah datang, yuhu...!” ucapnya, bersemangat. Satu persatu, setiap orang di kantor mengambil kopi sesuai dengan selera mereka, termasuk Sarah yang memilih Americano dengan ekspresi puas, persis seperti yang Helena pikirkan. ‘Bagus sekali! Tidak rugi juga menjadi budakmu dulu, aku tahu banyak hal tentangmu, Sarah.’ batin Helena. Kesibukan kembali menyelimuti ruangan, suara ketukan keyboard dan diskusi tentang desain terbaru mengisi sore itu.
Setelah makan malam bersama kedua orang tuanya, Sarah mengucapkan, “Selamat malam, Ayah dan Ibu. Aku akan pergi ke kamar untuk istirahat lebih dulu,” Kedua orang tuanya mengangguk setuju, “Pergilah,” jawab mereka, kompak. Sarah melangkah ke kamarnya, dia benar-benar akan tidur dengan tenang karena hanya di kamarnya saja lah dia akan merasa aman dan nyaman. Membaringkan dirinya di atas kasur, Sarah menarik selimut hingga ke dagu. Kamar itu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak lambat terdengar menemani keheningannya. Sarah terlelap, namun tidak lama kemudian, mimpi buruk mulai menghantui tidurnya. Dalam mimpi itu, suara mendesing yang menyeramkan menggema di telinganya. Sarah berada di sebuah ruangan gelap, dan tiba-tiba sosok yang tak asing lagi muncul di hadapannya. “Sarah...” Dengan wajah pucat dan mata
Dengan langkah gontai, Sarah memasuki kantor. Wajahnya pucat pasi, mata sembab dan rambut acak-acakan, jelas menunjukkan bahwa dia baru saja mengalami malam yang mengerikan. Sambil memegang kepala yang berdenyut, Sarah mencoba duduk di depan komputer dan menatap layar yang menyala, tapi tulisan di layar itu seperti berputar-putar, tidak bisa dia pahami. “Sial!” maki Sarah, pelan. “Kenapa aku tidak bisa berpikir sedikitpun, sih?” Setiap kali dia mencoba untuk fokus, suara mendiang Ralin yang lembut namun menyeramkan kembali menggema di kepalanya, “Sarah... Sarah...” Keringat dingin mulai membasahi keningnya, tangannya gemetar saat mencoba mengetik laporan yang harus disiapkan untuk rapat siang itu. Sarah menoleh ke belakang, sekeliling tempatnya berada, semua orang yang ada di ruangan itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. ‘Sudahlah, aku harus lebih berk
Malam itu, di kediaman Tuan Wijaya kedua. Sarah terjaga dari tidurnya, matanya lelah dan terasa berat, dengan rambut yang kusut tak terurus. Kamar yang biasanya rapi kini berubah menjadi sarang kekacauan, pakaian berserakan, buku-buku terbuka tergeletak di lantai, dan foto-foto yang telah terlepas dari dindingnya. Dia merasakan ketakutan yang mendalam, sebuah ketakutan yang telah menghantuinya selama berhari-hari. Suaranya terdengar parau saat dia berteriak, “Bibi Ralin, hentikan!” Namun, hanya hening yang menjawab teriakannya. Tangisannya pecah tanpa peringatan, suara isakan yang menyayat hati menggema di dinding kamar yang sepi. Sarah meremas kepalanya sendiri, berusaha mengusir suara-suara yang hanya dia yang bisa mendengar. “Sarah, cukup!” teriak Tuan Wijaya kedua dari luar pintu yang terkunci. Ibunya berusah
Alexander memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, kekhawatiran memuncak di dadanya saat mendengar kabar dari kepala pelayan rumah bahwa Nyonya dan Tuan Wijaya telah datang ke rumahnya. Jantungnya berdebar, mengingat bagaimana pasangan tersebut seringkali menindas Helena dengan kata-kata kasar dan perbuatan semena-mena setelah kematian Rachel. “Ah, sial! Kenapa juga jalannya macet, sih?” gerutu Alexander. Pedal gas ditekan lebih dalam saat jalan sudah bisa dilalui dengan lancar, setiap detik terasa berharga untuk melindungi Helena dari cengkeraman mereka. “Semoga saja mereka tidak melakukan apapun kepada Helena,” Harap Alexander. Sesampainya di rumah, Alexander mendapati bahwa Tuan dan Nyonya Wijaya sudah pergi. Napasnya sedikit terengah-engah saat dia melangkah masuk, mencari keberadaan Helena. Sudah terbayang bagaimana mungkin Helena terluka atau terintimidasi oleh kedatangan mendadak me
Pagi itu di rumah sakit jiwa Atalres, Sarah bersimpuh di lantai ruangan berdinding putih itu, matanya memandang penuh keputusasaan ke arah Tuan dan Nyonya kedua Wijaya. Tangisannya pecah, memecah hening ruangan rumah sakit jiwa yang sepi. “Aku tidak gila, Ayah, Ibu,... aku hanya bisa merasakan kehadiran roh Bibi Ralin. Wanita itu, dia benar-benar tidak melepaskan ku sama sekali, aku tidak gila...” ucapnya, suaranya tercekat oleh isak tangis. Tuan kedua Wijaya, dengan raut muka yang keras, memandang Sarah dengan sinis. Dengan kasar, ia menepis tangan Sarah yang mencoba meraih simpatinya. “Lebih baik kami mengadopsi anak dari panti asuhan daripada melahirkan anak yang gila sepertimu,” katanya dengan dingin, suara itu bagai petir yang menyambar hati Sarah. Menggelengkan kepalanya, Sarah kembali meraih tangan Tuan kedua Wijaya. “Ayah, aku mohon... aku benar-benar tidak gila, aku hanya sedang berusaha menyingkirkan Bibi