Setelah makan malam bersama kedua orang tuanya, Sarah mengucapkan, “Selamat malam, Ayah dan Ibu. Aku akan pergi ke kamar untuk istirahat lebih dulu,”
Kedua orang tuanya mengangguk setuju, “Pergilah,” jawab mereka, kompak. Sarah melangkah ke kamarnya, dia benar-benar akan tidur dengan tenang karena hanya di kamarnya saja lah dia akan merasa aman dan nyaman. Membaringkan dirinya di atas kasur, Sarah menarik selimut hingga ke dagu. Kamar itu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak lambat terdengar menemani keheningannya. Sarah terlelap, namun tidak lama kemudian, mimpi buruk mulai menghantui tidurnya. Dalam mimpi itu, suara mendesing yang menyeramkan menggema di telinganya. Sarah berada di sebuah ruangan gelap, dan tiba-tiba sosok yang tak asing lagi muncul di hadapannya. “Sarah...” Dengan wajah pucat dan mataDengan langkah gontai, Sarah memasuki kantor. Wajahnya pucat pasi, mata sembab dan rambut acak-acakan, jelas menunjukkan bahwa dia baru saja mengalami malam yang mengerikan. Sambil memegang kepala yang berdenyut, Sarah mencoba duduk di depan komputer dan menatap layar yang menyala, tapi tulisan di layar itu seperti berputar-putar, tidak bisa dia pahami. “Sial!” maki Sarah, pelan. “Kenapa aku tidak bisa berpikir sedikitpun, sih?” Setiap kali dia mencoba untuk fokus, suara mendiang Ralin yang lembut namun menyeramkan kembali menggema di kepalanya, “Sarah... Sarah...” Keringat dingin mulai membasahi keningnya, tangannya gemetar saat mencoba mengetik laporan yang harus disiapkan untuk rapat siang itu. Sarah menoleh ke belakang, sekeliling tempatnya berada, semua orang yang ada di ruangan itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. ‘Sudahlah, aku harus lebih berk
Malam itu, di kediaman Tuan Wijaya kedua. Sarah terjaga dari tidurnya, matanya lelah dan terasa berat, dengan rambut yang kusut tak terurus. Kamar yang biasanya rapi kini berubah menjadi sarang kekacauan, pakaian berserakan, buku-buku terbuka tergeletak di lantai, dan foto-foto yang telah terlepas dari dindingnya. Dia merasakan ketakutan yang mendalam, sebuah ketakutan yang telah menghantuinya selama berhari-hari. Suaranya terdengar parau saat dia berteriak, “Bibi Ralin, hentikan!” Namun, hanya hening yang menjawab teriakannya. Tangisannya pecah tanpa peringatan, suara isakan yang menyayat hati menggema di dinding kamar yang sepi. Sarah meremas kepalanya sendiri, berusaha mengusir suara-suara yang hanya dia yang bisa mendengar. “Sarah, cukup!” teriak Tuan Wijaya kedua dari luar pintu yang terkunci. Ibunya berusah
Alexander memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, kekhawatiran memuncak di dadanya saat mendengar kabar dari kepala pelayan rumah bahwa Nyonya dan Tuan Wijaya telah datang ke rumahnya. Jantungnya berdebar, mengingat bagaimana pasangan tersebut seringkali menindas Helena dengan kata-kata kasar dan perbuatan semena-mena setelah kematian Rachel. “Ah, sial! Kenapa juga jalannya macet, sih?” gerutu Alexander. Pedal gas ditekan lebih dalam saat jalan sudah bisa dilalui dengan lancar, setiap detik terasa berharga untuk melindungi Helena dari cengkeraman mereka. “Semoga saja mereka tidak melakukan apapun kepada Helena,” Harap Alexander. Sesampainya di rumah, Alexander mendapati bahwa Tuan dan Nyonya Wijaya sudah pergi. Napasnya sedikit terengah-engah saat dia melangkah masuk, mencari keberadaan Helena. Sudah terbayang bagaimana mungkin Helena terluka atau terintimidasi oleh kedatangan mendadak me
Pagi itu di rumah sakit jiwa Atalres, Sarah bersimpuh di lantai ruangan berdinding putih itu, matanya memandang penuh keputusasaan ke arah Tuan dan Nyonya kedua Wijaya. Tangisannya pecah, memecah hening ruangan rumah sakit jiwa yang sepi. “Aku tidak gila, Ayah, Ibu,... aku hanya bisa merasakan kehadiran roh Bibi Ralin. Wanita itu, dia benar-benar tidak melepaskan ku sama sekali, aku tidak gila...” ucapnya, suaranya tercekat oleh isak tangis. Tuan kedua Wijaya, dengan raut muka yang keras, memandang Sarah dengan sinis. Dengan kasar, ia menepis tangan Sarah yang mencoba meraih simpatinya. “Lebih baik kami mengadopsi anak dari panti asuhan daripada melahirkan anak yang gila sepertimu,” katanya dengan dingin, suara itu bagai petir yang menyambar hati Sarah. Menggelengkan kepalanya, Sarah kembali meraih tangan Tuan kedua Wijaya. “Ayah, aku mohon... aku benar-benar tidak gila, aku hanya sedang berusaha menyingkirkan Bibi
Pagi itu, di perusahaan Alura Fashion Group. Helena memasuki ruangan CEO dengan langkah pasti, namun hal yang tidak terduga terjadi ketika matanya tertumbuk pada sosok wanita berpenampilan elegan yang sudah menunggu di sana. Wanita itu mengenakan setelan jas desainer mahal, rambutnya tersisir rapi, dan seutas senyum dingin terukir di wajahnya. “Sepertinya, hari ini aku tidak memilki waktu untuk berperan sebagai wakil CEO dulu, deh.” gumam Helena, pelan sekali. Helena mengambil tempat duduk di depan wanita tersebut, berusaha menunjukkan sikap tenang meski di dalam hatinya mulai terasa tidak nyaman. Wanita itu mengangkat dagu, matanya menatap Helena dengan pandangan yang meremehkan sebelum akhirnya memperkenalkan diri dengan suara yang tenang namun penuh otoritas. “Aku Elizabeth Smith, nona tertua di keluarga Smith,” ucapnya seraya tangannya memainkan pena di atas meja. “Artiny
“Aku hanya datang ingin menyapa adik ipar yang tidak pernah kau kenalkan kepada Keluarga, apa itu sebuah kesalahan?” tanya Elizabeth, tersenyum mencemooh. Alexander masih menatap tajam, namun Helena terus mencoba bersikap santai. “Jangan salah paham. Aku tidak mengenalkan Helena karena tidak ingin dia tekena bisa ular yang amat beracun, dia terlalu berharga sampai rasanya ingin kubawa ke manapun Ku pergi.” balas Alexander. Mendengar itu, Elizabeth pun hanya tersenyum sinis namun tidak memiliki minat untuk menanggapi ucapan Alexander. “Apa aku perlu keluar dari ruangan ini supaya kalian bisa bicara dengan nyaman?” tanya Helena. Elizabeth menghela napasnya, meraih tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. “Aku tidak memiliki minat untuk banyak bicara. Jadi, aku tidak mau juga berlama-lama di sini.” Elizabeth bangkit, langs
Untuk membuktikan sedikit keseriusan tentang perasaan, Alexander pun memaksa Helena untuk ikut dengannya. Menuju ke rumah, Helena pun kebingungan apa yang ingin dilakukan Alexander. Sudah bertanya kepada pria itu tentang apa yang akan dilakukan, kemana tujuan mereka, tapi Alexander tidak memberikan jawaban. Mobil berhenti di depan gerbang rumah, barulah Helena berhenti merasa penasaran. Akhirnya, yang bisa Helena lakukan adalah tetap mengikuti langkahnya Alexander menuju ke kamar mereka. Mengabaikan Angel dan Rendy sejenak, Alexander tidak ingin kegiatannya dengan Helena diganggu. “Ya ampun, kau serius mau ke kamar sekarang?” tanya Helena, keheranan. “Sejuta rius, Sayang!” jawab Alexander. Ketika Alexander mendorong sebuah rak buku di sudut ruangan kamar mereka, Helena terperangah melihat sebuah pintu tersembunyi terbuka. Alexander me
Sarah terduduk lemas di sudut kamar rumah sakit jiwa, air matanya mengalir deras. Kedua orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya tanpa alasan yang jelas, membuat pikirannya semakin terperosok dalam kekacauan. Suara bisikan tak henti-hentinya menerobos masuk ke dalam benaknya, beradu keras dan tak terkendali, seolah-olah berusaha memecah belah sanubarinya. “Hancur, semuanya sudah hancur berantakan. Aku tidak bisa lagi mendapatkan apa yang aku inginkan. Menjadi Nona tunggal keluarga Wijaya, kekayaan Wijaya, menjadi desainer terkenal, aku tidak bisa mendapatkan semua itu lagi!” teriaknya, bercampur suara tangis. Dalam keadaan yang tak lagi bisa dikendalikan, Sarah mulai membenturkan kepalanya ke dinding kamarnya berulang kali. Setiap hantaman meninggalkan jejak darah yang semakin memperburuk keadaan, namun rasa sakit fisik itu tak cukup untuk mengatasi kehancuran mental yang dia rasakan.