Sarah terduduk lemas di sudut kamar rumah sakit jiwa, air matanya mengalir deras.
Kedua orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya tanpa alasan yang jelas, membuat pikirannya semakin terperosok dalam kekacauan. Suara bisikan tak henti-hentinya menerobos masuk ke dalam benaknya, beradu keras dan tak terkendali, seolah-olah berusaha memecah belah sanubarinya. “Hancur, semuanya sudah hancur berantakan. Aku tidak bisa lagi mendapatkan apa yang aku inginkan. Menjadi Nona tunggal keluarga Wijaya, kekayaan Wijaya, menjadi desainer terkenal, aku tidak bisa mendapatkan semua itu lagi!” teriaknya, bercampur suara tangis. Dalam keadaan yang tak lagi bisa dikendalikan, Sarah mulai membenturkan kepalanya ke dinding kamarnya berulang kali. Setiap hantaman meninggalkan jejak darah yang semakin memperburuk keadaan, namun rasa sakit fisik itu tak cukup untuk mengatasi kehancuran mental yang dia rasakan.Di pemakaman yang seharusnya penuh dengan penghormatan dan kesedihan, suasana menjadi tegang dan dramatis. Nyonya Wijaya kedua, dengan mata yang memerah dan napas yang tersengal-sengal, melangkah mendekati Helena dengan niat untuk melampiaskan amarah. Wajahnya terlihat keras, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata tuduhan yang menyakitkan terhadap Helena. “Kau yang membuat semuanya jadi seperti ini! Kau sebabkan Sarah mati!” teriaknya dengan suara parau. Orang-orang yang berdiri di sekeliling, termasuk beberapa yang berjaga untuk Alexander, segera mengambil tindakan. Mereka dengan cepat mencegah Nyonya Wijaya kedua mendekati lebih lanjut, memegang kedua lengannya dengan erat. Wajahnya Helena pucat pasi, hanya bisa menatap tanpa bisa berkata apa-apa. Dengan suara tegas namun berusaha tetap tenang, Alexander berdiri tegap menghadapi Nyonya Wijaya kedua. “Nyonya, mohon mengertilah, k
Pagi itu seperti biasanya, Helena dan Alexander akan keluar dari rumah, menggunakan mobil yang sama. Alexander mengantarkan Helena lebih dulu ke kantornya, barulah setelah itu dia akan menuju ke kantornya sendiri. “Sayang, nanti aku kirim makan siang untukmu. Pulang juga harus bersamaku, dengar?” peringat Alexander. Mendengar itu, Helena pun segera menganggukkan kepalanya. “Oke!” Alexander mengecup bibir Helena sebentar, mereka pun berpisah untuk menjalani aktivitas masing-masing. Saat Helena sampai di pintu ruangan para staff, ucapan yang tak enak didengar pun terpaksa masuk ke telinganya. “...Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Nona keluarga Wijaya harus meninggal semua? Dulu, desusnya Miss Helena adalah dalang dari kematian Rachel Wijaya. Tapi, sekarang pun masih sama.” “Aku benar-benar t
Alat bukti yang dimilki pria gak dikenal itu sudah cukup untuk menggiringnya ke kantor polisi. Helena juga berada di sana, menunggu pria itu mendapatkan giliran untuk diinterogasi. Tak lama kemudian Alexander datang, langsung memeluk Helena begitu melihatnya. “Kau tidak apa-apa, kan? Aku benar-benar bisa gila kalau begini,” ucapnya, tubuh pria itu terasa begitu dingin. Helena mengusap punggung pria itu, membiarkan sejenak supaya tenang. “Aku baik-baik saja, pria itu juga sudah diamankan, sebentar lagi kita akan tahu siapa yang memintanya melakukan hal ini.” Mendengar itu, Alexander pun menghela napasnya, lega. Untungnya Helena baik-baik saja, entah apa yang akan terjadi jika wanita itu terluka. Menggenggam tangan Helena, Alexander membawa istrinya itu masuk ke sebuah ruangan yang mana akan bisa mendengar kesaksian dari pelaku l
Witsel Alankes menatap Helena dengan tatapan matanya yang tajam, namun juga terlihat sangat frustrasi. “Kau sedang mengancamku?” Helena tersenyum smirk. “Benar. Aku tidak akan bermurah hati, bahkan aku juga akan dengan mudah hati membuat mereka menjadi bintang gosip. Jadi, bagaimana menurutmu?” Meski tidak bisa menekan dengan cara yang tegas, Helena paham ini adalah satu-satunya cara yang paling ampuh untuk membuat pria itu mengalah. Witsel Alankes, meskipun dia tampak menyeramkan, nyatanya dia adalah pria yang sangat menyayangi istri dan anak. Pria itu berusaha menjauhkan keluarganya dari kesulitan ekonomi karena tahu benar akan sesulit apa menjadi miskin. Gara-gara tidak memiliki uang, Witsel harus kehilangan anak pertamanya, dia tidak ingin kisah pahit itu terulang lagi, apapun caranya. “Baiklah. Boldden room, lantai 2 no 47. Aku tinggal di sana, rekaman suara dan transaksi bank semuanya aku simpan di sana. Tadinya aku ingin menggunakan semua itu sebagai alat peras unt
Sore itu, di kantor polisi. Nyonya Wijaya kedua duduk dengan tegang di ruang interogasi, raut wajahnya mencerminkan kegelisahan yang mendalam. Sementara itu, Tuan Wijaya kedua terlihat lebih tenang, meski kedua tangannya terlipat erat di atas meja. Interogator memaparkan bukti demi bukti yang mengaitkan Nyonya Wijaya kedua dengan pembunuhan atau aksi kejahatan yang ditujukan pada Helena melalui jasa Witsel Alankes yang diatur oleh sopir mereka. Setiap kali bukti dipresentasikan, Nyonya Wijaya kedua segera mengarang cerita atau alasan baru untuk mengelak, suaranya terdengar serak dan matanya menghindar dari kontak mata yang langsung. “Nyonya, semakin anda menyangkal, anda hanya semakin membuang waktu!” ucap polisi itu, tegas. Nyonya Wijaya kedua menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak tahu, aku bukan pelakunya.” ucapnya, ia benar-benar nampak tak berkonsentrasi. Ditanya apa, jawabnya apa juga tidak nyambung. Sopir mereka, yang juga hadir dalam ruangan tersebut, memberi
Setelah kepergian Tuan dan Nyonya Wijaya, Alexander pun kini tengah bersama Helena di kamar mereka. Alexander mengusap wajah Helena dengan lembut, matanya penuh kelembutan saat melihat wanita itu. “Beberapa waktu belakangan ini pasti sangat melelahkan untukmu. Bersabarlah, aku akan berusaha supaya segala masalah kita cepat terselesaikan.” Mengangguk pelan, Helena jelas berharap yang sama. Di kamar yang hanya diterangi lampu tidur, mereka berdua berada di ranjang, bersiap untuk beristirahat. Namun, pasangan itu sama-sama tidak bisa memejamkan mata. Dalam dekapan erat Alexander, Helena bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup cepat. “Aku sungguh hanya berharap semua masalah ini cepat terselesaikan,” bisik Alexander dengan nada berat. “Penting bagiku melihatmu bahagia, banyak tersenyum dan tertawa. Tapi, kenapa sekarang seperti sulit sekali, ya?” Helena mendesah pelan, kebingungan
Pagi itu, Alexander dan Han berangkat lebih pagi dari biasanya, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk membersihkan nama Helena. Sampai di kantor polisi, Alexander dengan tenang menyerahkan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan. Bukti-bukti yang solid dan alibi yang tidak terbantahkan. Dengan logat yang tegas, Han memperjelas setiap detail kasus tersebut kepada petugas. Setelah beberapa jam berdiskusi dengan pihak berwajib, akhirnya polisi mengambil keputusan, akhirnya menghubungi Tuan dan Nyonya Wijaya, memberitahu mereka bahwa laporan mereka tidak dapat diterima karena kekurangan bukti, bahkan buktinya nihil. Sementara itu, di rumah, Helena merasakan campuran emosi yang kuat. Semalam, dia mengetahui tentang apa yang dilakukan Tuan dan Nyonya Wijaya langsung dari Alexander. Perasaan sedih karena tuduhan tersebut, marah karena ketidakadilan yang ia rasakan, namun di
Di kediaman keluarga Wijaya. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat, tangan Nyonya Wijaya gemetar saat memegang bingkai foto putrinya. “Kenapa aku baru mengetahui sekarang, kenapa?” gumamnya lirih, suara hatinya terasa hancur mengingat Rachel yang meninggal hampir empat tahun lalu. Tubuhnya terguncang oleh isak tangis, perasaan bersalah memenuhi dada. “Ibu seharusnya bisa melindungi mu, Rachel,” ucapnya sambil memeluk foto itu seolah bisa merasakan kehangatan putrinya sekali lagi. Kegelapan rahasia yang baru terungkap bahwa pelakunya adalah Sarah, keponakannya sendiri, semakin menambah luka. Di luar kamar, Tuan Wijaya hanya bisa mendengarkan isak tangis istrinya dengan perasaan pilu. Dia memutuskan untuk masuk perlahan, mendekat, mencoba meraih tangan Nyonya Wijaya yang dingin, tapi wanita itu menarik tangan kembali, seolah-olah sentuhan itu menambah berat beban yang dihadapinya. Tuan Wijaya merasa