Pagi itu seperti biasanya, Helena dan Alexander akan keluar dari rumah, menggunakan mobil yang sama.
Alexander mengantarkan Helena lebih dulu ke kantornya, barulah setelah itu dia akan menuju ke kantornya sendiri. “Sayang, nanti aku kirim makan siang untukmu. Pulang juga harus bersamaku, dengar?” peringat Alexander. Mendengar itu, Helena pun segera menganggukkan kepalanya. “Oke!” Alexander mengecup bibir Helena sebentar, mereka pun berpisah untuk menjalani aktivitas masing-masing. Saat Helena sampai di pintu ruangan para staff, ucapan yang tak enak didengar pun terpaksa masuk ke telinganya. “...Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Nona keluarga Wijaya harus meninggal semua? Dulu, desusnya Miss Helena adalah dalang dari kematian Rachel Wijaya. Tapi, sekarang pun masih sama.” “Aku benar-benar tAlat bukti yang dimilki pria gak dikenal itu sudah cukup untuk menggiringnya ke kantor polisi. Helena juga berada di sana, menunggu pria itu mendapatkan giliran untuk diinterogasi. Tak lama kemudian Alexander datang, langsung memeluk Helena begitu melihatnya. “Kau tidak apa-apa, kan? Aku benar-benar bisa gila kalau begini,” ucapnya, tubuh pria itu terasa begitu dingin. Helena mengusap punggung pria itu, membiarkan sejenak supaya tenang. “Aku baik-baik saja, pria itu juga sudah diamankan, sebentar lagi kita akan tahu siapa yang memintanya melakukan hal ini.” Mendengar itu, Alexander pun menghela napasnya, lega. Untungnya Helena baik-baik saja, entah apa yang akan terjadi jika wanita itu terluka. Menggenggam tangan Helena, Alexander membawa istrinya itu masuk ke sebuah ruangan yang mana akan bisa mendengar kesaksian dari pelaku l
Witsel Alankes menatap Helena dengan tatapan matanya yang tajam, namun juga terlihat sangat frustrasi. “Kau sedang mengancamku?” Helena tersenyum smirk. “Benar. Aku tidak akan bermurah hati, bahkan aku juga akan dengan mudah hati membuat mereka menjadi bintang gosip. Jadi, bagaimana menurutmu?” Meski tidak bisa menekan dengan cara yang tegas, Helena paham ini adalah satu-satunya cara yang paling ampuh untuk membuat pria itu mengalah. Witsel Alankes, meskipun dia tampak menyeramkan, nyatanya dia adalah pria yang sangat menyayangi istri dan anak. Pria itu berusaha menjauhkan keluarganya dari kesulitan ekonomi karena tahu benar akan sesulit apa menjadi miskin. Gara-gara tidak memiliki uang, Witsel harus kehilangan anak pertamanya, dia tidak ingin kisah pahit itu terulang lagi, apapun caranya. “Baiklah. Boldden room, lantai 2 no 47. Aku tinggal di sana, rekaman suara dan transaksi bank semuanya aku simpan di sana. Tadinya aku ingin menggunakan semua itu sebagai alat peras unt
Sore itu, di kantor polisi. Nyonya Wijaya kedua duduk dengan tegang di ruang interogasi, raut wajahnya mencerminkan kegelisahan yang mendalam. Sementara itu, Tuan Wijaya kedua terlihat lebih tenang, meski kedua tangannya terlipat erat di atas meja. Interogator memaparkan bukti demi bukti yang mengaitkan Nyonya Wijaya kedua dengan pembunuhan atau aksi kejahatan yang ditujukan pada Helena melalui jasa Witsel Alankes yang diatur oleh sopir mereka. Setiap kali bukti dipresentasikan, Nyonya Wijaya kedua segera mengarang cerita atau alasan baru untuk mengelak, suaranya terdengar serak dan matanya menghindar dari kontak mata yang langsung. “Nyonya, semakin anda menyangkal, anda hanya semakin membuang waktu!” ucap polisi itu, tegas. Nyonya Wijaya kedua menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak tahu, aku bukan pelakunya.” ucapnya, ia benar-benar nampak tak berkonsentrasi. Ditanya apa, jawabnya apa juga tidak nyambung. Sopir mereka, yang juga hadir dalam ruangan tersebut, memberi
Setelah kepergian Tuan dan Nyonya Wijaya, Alexander pun kini tengah bersama Helena di kamar mereka. Alexander mengusap wajah Helena dengan lembut, matanya penuh kelembutan saat melihat wanita itu. “Beberapa waktu belakangan ini pasti sangat melelahkan untukmu. Bersabarlah, aku akan berusaha supaya segala masalah kita cepat terselesaikan.” Mengangguk pelan, Helena jelas berharap yang sama. Di kamar yang hanya diterangi lampu tidur, mereka berdua berada di ranjang, bersiap untuk beristirahat. Namun, pasangan itu sama-sama tidak bisa memejamkan mata. Dalam dekapan erat Alexander, Helena bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup cepat. “Aku sungguh hanya berharap semua masalah ini cepat terselesaikan,” bisik Alexander dengan nada berat. “Penting bagiku melihatmu bahagia, banyak tersenyum dan tertawa. Tapi, kenapa sekarang seperti sulit sekali, ya?” Helena mendesah pelan, kebingungan
Pagi itu, Alexander dan Han berangkat lebih pagi dari biasanya, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk membersihkan nama Helena. Sampai di kantor polisi, Alexander dengan tenang menyerahkan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan. Bukti-bukti yang solid dan alibi yang tidak terbantahkan. Dengan logat yang tegas, Han memperjelas setiap detail kasus tersebut kepada petugas. Setelah beberapa jam berdiskusi dengan pihak berwajib, akhirnya polisi mengambil keputusan, akhirnya menghubungi Tuan dan Nyonya Wijaya, memberitahu mereka bahwa laporan mereka tidak dapat diterima karena kekurangan bukti, bahkan buktinya nihil. Sementara itu, di rumah, Helena merasakan campuran emosi yang kuat. Semalam, dia mengetahui tentang apa yang dilakukan Tuan dan Nyonya Wijaya langsung dari Alexander. Perasaan sedih karena tuduhan tersebut, marah karena ketidakadilan yang ia rasakan, namun di
Di kediaman keluarga Wijaya. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat, tangan Nyonya Wijaya gemetar saat memegang bingkai foto putrinya. “Kenapa aku baru mengetahui sekarang, kenapa?” gumamnya lirih, suara hatinya terasa hancur mengingat Rachel yang meninggal hampir empat tahun lalu. Tubuhnya terguncang oleh isak tangis, perasaan bersalah memenuhi dada. “Ibu seharusnya bisa melindungi mu, Rachel,” ucapnya sambil memeluk foto itu seolah bisa merasakan kehangatan putrinya sekali lagi. Kegelapan rahasia yang baru terungkap bahwa pelakunya adalah Sarah, keponakannya sendiri, semakin menambah luka. Di luar kamar, Tuan Wijaya hanya bisa mendengarkan isak tangis istrinya dengan perasaan pilu. Dia memutuskan untuk masuk perlahan, mendekat, mencoba meraih tangan Nyonya Wijaya yang dingin, tapi wanita itu menarik tangan kembali, seolah-olah sentuhan itu menambah berat beban yang dihadapinya. Tuan Wijaya merasa
“Tidak mungkin, Helena CEO Aluna Fashion group?” Kantor itu seketika hening, semua mata tertuju pada sosok Helena yang baru saja duduk di meja kerjanya. Ketenangan dan kepercayaan dirinya begitu terpancar meskipun ia hanya berpendidikan dari sekolah yang mengandalkan prestasi. Helena, seorang CEO muda yang sebelumnya hanyalah anak dari pelayan, kini menguasai panggung dengan aura yang mengintimidasi, mereka begitu tak mampu mempercayainya. Helena tersenyum tipis, menatap satu persatu wajah staff yang beberapa detik lalu berteriak di depan ruangan CEO, meminta dirinya untuk dipecat. Suasana tegang menyelimuti ruangan itu saat Helena memulai bicaranya dengan suara dingin, “Jadi, karena tidak mungkin membuat Helena dipecat, apakah sekarang kalian akan memecat CEO? Bagaimana sekarang, apakah kalian masih i
Helena dan Alexander memasuki kamar mereka, suasana hening menyelimuti malam itu. Mereka duduk di tepi ranjang, saling memandang dengan penuh pengertian. “Setiap hari pasti melelahkan untukmu ya, Sayang?” ujar Alexander. Mendengar itu, Helena pun membuang napas dan memaksakan senyumnya. “Bukan hanya untukku saja, kau pun sama.” “Benar. Tapi, selama kau di sisiku, aku yakin aku akan baik-baik saja, Sayang.” Alexander mengulurkan tangan, menarik Helena untuk berbaring di sampingnya. Mereka saling berpelukan, mencari kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kehidupan mu dan Rachel sebelum semua ini terjadi?” tanya Alexander, penasaran. Sambil memandangi langit-langit kamar, Helena mulai bercerita. “Rachel, dia selalu bersikap baik pada Sa