Setelah kepergian Tuan dan Nyonya Wijaya, Alexander pun kini tengah bersama Helena di kamar mereka.
Alexander mengusap wajah Helena dengan lembut, matanya penuh kelembutan saat melihat wanita itu. “Beberapa waktu belakangan ini pasti sangat melelahkan untukmu. Bersabarlah, aku akan berusaha supaya segala masalah kita cepat terselesaikan.” Mengangguk pelan, Helena jelas berharap yang sama. Di kamar yang hanya diterangi lampu tidur, mereka berdua berada di ranjang, bersiap untuk beristirahat. Namun, pasangan itu sama-sama tidak bisa memejamkan mata. Dalam dekapan erat Alexander, Helena bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup cepat. “Aku sungguh hanya berharap semua masalah ini cepat terselesaikan,” bisik Alexander dengan nada berat. “Penting bagiku melihatmu bahagia, banyak tersenyum dan tertawa. Tapi, kenapa sekarang seperti sulit sekali, ya?” Helena mendesah pelan, kebingunganPagi itu, Alexander dan Han berangkat lebih pagi dari biasanya, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk membersihkan nama Helena. Sampai di kantor polisi, Alexander dengan tenang menyerahkan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan. Bukti-bukti yang solid dan alibi yang tidak terbantahkan. Dengan logat yang tegas, Han memperjelas setiap detail kasus tersebut kepada petugas. Setelah beberapa jam berdiskusi dengan pihak berwajib, akhirnya polisi mengambil keputusan, akhirnya menghubungi Tuan dan Nyonya Wijaya, memberitahu mereka bahwa laporan mereka tidak dapat diterima karena kekurangan bukti, bahkan buktinya nihil. Sementara itu, di rumah, Helena merasakan campuran emosi yang kuat. Semalam, dia mengetahui tentang apa yang dilakukan Tuan dan Nyonya Wijaya langsung dari Alexander. Perasaan sedih karena tuduhan tersebut, marah karena ketidakadilan yang ia rasakan, namun di
Di kediaman keluarga Wijaya. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat, tangan Nyonya Wijaya gemetar saat memegang bingkai foto putrinya. “Kenapa aku baru mengetahui sekarang, kenapa?” gumamnya lirih, suara hatinya terasa hancur mengingat Rachel yang meninggal hampir empat tahun lalu. Tubuhnya terguncang oleh isak tangis, perasaan bersalah memenuhi dada. “Ibu seharusnya bisa melindungi mu, Rachel,” ucapnya sambil memeluk foto itu seolah bisa merasakan kehangatan putrinya sekali lagi. Kegelapan rahasia yang baru terungkap bahwa pelakunya adalah Sarah, keponakannya sendiri, semakin menambah luka. Di luar kamar, Tuan Wijaya hanya bisa mendengarkan isak tangis istrinya dengan perasaan pilu. Dia memutuskan untuk masuk perlahan, mendekat, mencoba meraih tangan Nyonya Wijaya yang dingin, tapi wanita itu menarik tangan kembali, seolah-olah sentuhan itu menambah berat beban yang dihadapinya. Tuan Wijaya merasa
“Tidak mungkin, Helena CEO Aluna Fashion group?” Kantor itu seketika hening, semua mata tertuju pada sosok Helena yang baru saja duduk di meja kerjanya. Ketenangan dan kepercayaan dirinya begitu terpancar meskipun ia hanya berpendidikan dari sekolah yang mengandalkan prestasi. Helena, seorang CEO muda yang sebelumnya hanyalah anak dari pelayan, kini menguasai panggung dengan aura yang mengintimidasi, mereka begitu tak mampu mempercayainya. Helena tersenyum tipis, menatap satu persatu wajah staff yang beberapa detik lalu berteriak di depan ruangan CEO, meminta dirinya untuk dipecat. Suasana tegang menyelimuti ruangan itu saat Helena memulai bicaranya dengan suara dingin, “Jadi, karena tidak mungkin membuat Helena dipecat, apakah sekarang kalian akan memecat CEO? Bagaimana sekarang, apakah kalian masih i
Helena dan Alexander memasuki kamar mereka, suasana hening menyelimuti malam itu. Mereka duduk di tepi ranjang, saling memandang dengan penuh pengertian. “Setiap hari pasti melelahkan untukmu ya, Sayang?” ujar Alexander. Mendengar itu, Helena pun membuang napas dan memaksakan senyumnya. “Bukan hanya untukku saja, kau pun sama.” “Benar. Tapi, selama kau di sisiku, aku yakin aku akan baik-baik saja, Sayang.” Alexander mengulurkan tangan, menarik Helena untuk berbaring di sampingnya. Mereka saling berpelukan, mencari kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kehidupan mu dan Rachel sebelum semua ini terjadi?” tanya Alexander, penasaran. Sambil memandangi langit-langit kamar, Helena mulai bercerita. “Rachel, dia selalu bersikap baik pada Sa
“Mari ikut Saya, Nona!” paksa Han kepada Monica. Wanita itu mencoba menarik tangannya dari genggaman Han yang kuat, tetapi usahanya sia-sia. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat menahan amarah. “Lepaskan aku, Han! Kau ini benar-benar tidak sopan!” teriaknya, suaranya memecah kesunyian. Melihat itu, Alexander pun hanya bisa menggeleng heran. Namun, apa yang dilakukan oleh Han sudah sama persis seperti yang diinginkannya. “Jangan membuang waktu terlalu banyak, Saya juga harus menyelesaikan pekerjaan, Nona Monica.” Han mencengkram erat lengan Monica, membawa wanita itu keluar. Begitu sampai di luar, dengan tatapan tenang namun tegas Han pun berkata, “Nona Monica, saya mohon untuk tidak mengganggu lagi Tuan Alexander. Beliau sedang dalam situasi penting,” ujarnya, tegas dan dingin. Han menahan pintu dengan satu tangan, memastikan Monica tidak bisa kembali masuk. Monica, merasa direndahkan,
Pagi itu, Han mengendarai mobilnya menuju ke perusahaan Smith. Han merasakan jantungnya berdegup kencang saat ia melihat mobil hitam yang sejak tadi mengekornya kini bermanuver dan melintas di depannya. Mata Han melebar, tangan kanannya segera memegang kemudi dengan erat. Ia coba memperlambat laju mobilnya, berharap mobil misterius itu akan meninggalkannya. Namun, apa daya, mobil tersebut justru melambat dan tetap berada tepat di depannya. Kening Han berkerut, rasa curiga semakin menguat saat mobil hitam itu tiba-tiba mengurangi kecepatannya sampai hampir berhenti, memaksa Han untuk melakukan hal yang sama. Ia menarik napas dalam, mencoba untuk tetap tenang meskipun adrenalinnya meningkat. Dengan segala keberanian, Han membuka jendela mobilnya, berusaha melihat siapa pengemudi di mobil hitam itu. Namun, kaca mobil tersebut gelap, tidak memungkinkan Han untuk melihat ke dalam. “Sial!, Sebenarnya, apa tujuan orang di dalam mobil itu?” Han merasakan adrenalinnya mening
Dalam keheningan mobil yang melaju, Helena merasakan detak jantungnya yang cepat saat Alexander mulai membuka cerita tentang Han. Bibir Alexander bergerak pelan, mengungkapkan bahwa Han telah menjadi sasaran pembunuhan oleh oknum yang bahkan Alexander bisa menebak siapa itu. Mata Helena membulat, tubuhnya mengeras di kursi penumpang. “Gila! Bagaimana mereka terus menargetkan orang seperti ini?” suaranya terdengar serak, penuh kekhawatiran. Alexander mengangguk perlahan, tangannya yang satu masih setia pada kemudi sementara yang lain mencoba menenangkan Helena dengan usapan lembut di punggung tangannya. “Iya, sayang. Itu sebabnya aku memintanya untuk bersembunyi sementara waktu. Kita harus menjaga keselamatan semua yang terlibat,” jelas Alexander, suaranya mencoba tetap tenang meski matanya sesekali terlihat cemas melirik Helena. Helena menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Pikirannya melayang ke Han, pria yang selama ini seperti sau
Tenggorokan Alexander terasa kering saat ia menatap kedua mata Tuan Smith yang membara dengan rasa marah dan kecewa. Ruangan itu seketika menjadi arena medan perang yang tidak kelihatan, dimana setiap kata yang terucap bagaikan pedang yang tajam. “Ayah bisa mengatur tentang urusan perusahaan, tapi jangan campuri lagi urusan rumah tangga ku, apalagi sampai mencoba mencelakai orang kepercayaan ku,” suara Alexander datar, namun tegas. “Helena akan tetap menjadi istri ku, akan menjadi sosok yang paling aku lindungi begitu juga dengan anak kandung kami.” Wajah Tuan Smith memerah, urat-urat di lehernya menonjol, tanda amarah yang tak terbendung. “Sudah berapa kali harus aku katakan, Alexander? Perempuan rendahan itu tidak pantas untukmu!” teriaknya, suaranya menggema di dinding-dinding mewah ruangan itu. Namun, Alexander hanya tersenyum sinis, sebuah senyum yang menantang segala otoritas yang pernah dipegang oleh Tuan Smith. “Ayah, mungkin anda lupa kalau aku benar-benar adalah pria y