Helena dan Alexander memasuki kamar mereka, suasana hening menyelimuti malam itu.
Mereka duduk di tepi ranjang, saling memandang dengan penuh pengertian. “Setiap hari pasti melelahkan untukmu ya, Sayang?” ujar Alexander. Mendengar itu, Helena pun membuang napas dan memaksakan senyumnya. “Bukan hanya untukku saja, kau pun sama.” “Benar. Tapi, selama kau di sisiku, aku yakin aku akan baik-baik saja, Sayang.” Alexander mengulurkan tangan, menarik Helena untuk berbaring di sampingnya. Mereka saling berpelukan, mencari kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kehidupan mu dan Rachel sebelum semua ini terjadi?” tanya Alexander, penasaran. Sambil memandangi langit-langit kamar, Helena mulai bercerita. “Rachel, dia selalu bersikap baik pada Sa“Mari ikut Saya, Nona!” paksa Han kepada Monica. Wanita itu mencoba menarik tangannya dari genggaman Han yang kuat, tetapi usahanya sia-sia. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat menahan amarah. “Lepaskan aku, Han! Kau ini benar-benar tidak sopan!” teriaknya, suaranya memecah kesunyian. Melihat itu, Alexander pun hanya bisa menggeleng heran. Namun, apa yang dilakukan oleh Han sudah sama persis seperti yang diinginkannya. “Jangan membuang waktu terlalu banyak, Saya juga harus menyelesaikan pekerjaan, Nona Monica.” Han mencengkram erat lengan Monica, membawa wanita itu keluar. Begitu sampai di luar, dengan tatapan tenang namun tegas Han pun berkata, “Nona Monica, saya mohon untuk tidak mengganggu lagi Tuan Alexander. Beliau sedang dalam situasi penting,” ujarnya, tegas dan dingin. Han menahan pintu dengan satu tangan, memastikan Monica tidak bisa kembali masuk. Monica, merasa direndahkan,
Pagi itu, Han mengendarai mobilnya menuju ke perusahaan Smith. Han merasakan jantungnya berdegup kencang saat ia melihat mobil hitam yang sejak tadi mengekornya kini bermanuver dan melintas di depannya. Mata Han melebar, tangan kanannya segera memegang kemudi dengan erat. Ia coba memperlambat laju mobilnya, berharap mobil misterius itu akan meninggalkannya. Namun, apa daya, mobil tersebut justru melambat dan tetap berada tepat di depannya. Kening Han berkerut, rasa curiga semakin menguat saat mobil hitam itu tiba-tiba mengurangi kecepatannya sampai hampir berhenti, memaksa Han untuk melakukan hal yang sama. Ia menarik napas dalam, mencoba untuk tetap tenang meskipun adrenalinnya meningkat. Dengan segala keberanian, Han membuka jendela mobilnya, berusaha melihat siapa pengemudi di mobil hitam itu. Namun, kaca mobil tersebut gelap, tidak memungkinkan Han untuk melihat ke dalam. “Sial!, Sebenarnya, apa tujuan orang di dalam mobil itu?” Han merasakan adrenalinnya mening
Dalam keheningan mobil yang melaju, Helena merasakan detak jantungnya yang cepat saat Alexander mulai membuka cerita tentang Han. Bibir Alexander bergerak pelan, mengungkapkan bahwa Han telah menjadi sasaran pembunuhan oleh oknum yang bahkan Alexander bisa menebak siapa itu. Mata Helena membulat, tubuhnya mengeras di kursi penumpang. “Gila! Bagaimana mereka terus menargetkan orang seperti ini?” suaranya terdengar serak, penuh kekhawatiran. Alexander mengangguk perlahan, tangannya yang satu masih setia pada kemudi sementara yang lain mencoba menenangkan Helena dengan usapan lembut di punggung tangannya. “Iya, sayang. Itu sebabnya aku memintanya untuk bersembunyi sementara waktu. Kita harus menjaga keselamatan semua yang terlibat,” jelas Alexander, suaranya mencoba tetap tenang meski matanya sesekali terlihat cemas melirik Helena. Helena menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Pikirannya melayang ke Han, pria yang selama ini seperti sau
Tenggorokan Alexander terasa kering saat ia menatap kedua mata Tuan Smith yang membara dengan rasa marah dan kecewa. Ruangan itu seketika menjadi arena medan perang yang tidak kelihatan, dimana setiap kata yang terucap bagaikan pedang yang tajam. “Ayah bisa mengatur tentang urusan perusahaan, tapi jangan campuri lagi urusan rumah tangga ku, apalagi sampai mencoba mencelakai orang kepercayaan ku,” suara Alexander datar, namun tegas. “Helena akan tetap menjadi istri ku, akan menjadi sosok yang paling aku lindungi begitu juga dengan anak kandung kami.” Wajah Tuan Smith memerah, urat-urat di lehernya menonjol, tanda amarah yang tak terbendung. “Sudah berapa kali harus aku katakan, Alexander? Perempuan rendahan itu tidak pantas untukmu!” teriaknya, suaranya menggema di dinding-dinding mewah ruangan itu. Namun, Alexander hanya tersenyum sinis, sebuah senyum yang menantang segala otoritas yang pernah dipegang oleh Tuan Smith. “Ayah, mungkin anda lupa kalau aku benar-benar adalah pria y
Tubuh Monica bergerak lincah mendekati Alexander yang terpojok di sudut toilet sempit itu. Dengan sengaja, ia mengusap dada Alexander yang terbuka, mencoba menggoda dengan setiap sentuhannya yang semakin memanas. “Alexander, ada aku, bagaimana kalau kita coba? Kamar tamu ada di dekat sini, kan?” bisiknya, menggoda. Alexander, yang merasa terancam, berusaha menepis tangan Monica yang terus merayap di tubuhnya. “Enyahlah, Monica!” Wajahnya memerah, matanya mencerminkan rasa ketakutan dan kebingungan yang mendalam. Monica tidak peduli dengan penolakan Alexander, malah semakin erat dengan tubuhnya yang hampir tanpa busana. Ia bangga menunjukkan lekuk tubuhnya, seolah-olah itu akan membuat Alexander luluh. “Lihatlah dengan seksama, bagaimana kau akan melewatkan kesempatan yang luar biasa ini, Alexander?” Ada senyum cantik yang ditunjukkan wanita itu. Napas Alexander semakin cepat, dadanya naik turun tidak teratur karena kegelisahan yang amat sangat. “Tidak, aku tidak boleh...”
Helena tidak mengerti apa maksudnya, ia pun keluar dari mobil untuk menanyakan kepada Han. “Sekretaris Han, apa yang terjadi?” Han berbalik badan sebentar, “Obat perangsang! Tuan sepertinya teracuni oleh obat itu, Nyonya.” Mendengar itu, Helena terkejut. Gegas kembali membuka pintu belakang mobil dengan gerakan yang tergesa-gesa. Sebelum Helena sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, Alexander sudah menariknya masuk. Bruk! Helena ambruk di atas pangkuan Alexander, pria itu langsung memeluknya erat. “Ada apa denganmu, Alexander? Apa yang tidak nyaman, katakan saja pada–” Ciuman yang rakus mendarat di bibir Helena, mendesak dan tak memberi ruang untuk protes. Helena dapat merasakan nafsu yang berbeda dari biasanya membara dalam diri Alexander, ada sesuatu yang mengendalikan pria itu. Helena berpegangan pada tengkuk pria itu, merasakan pendingin di mobil itu sangat dingin, serasa mampu membekukan kulitnya. Namun, sungguh aneh karena ternyata Alexander seperti
Pagi yang cerah itu seolah berbeda dengan suasana hati yang gelisah. Alexander menggenggam erat tangan Helena saat mereka memasuki ruang tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat, dan matanya sesekali melirik ke leher dan lengan Helena yang ditutupi pakaian longgar. Helena tersenyum lemah, mencoba menenangkan suaminya yang terlihat sangat cemas. “Dokter bilang ini hanya prosedur standar, Alexander,” ucap Helena, mencoba menenangkan. Namun, Alexander tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang menggelayut di hatinya. Cedera yang tidak sengaja ia berikan terasa seperti dosa besar. Ia merasa sebagai pelindung Helena, ia telah gagal. Mereka dipanggil masuk ke ruangan dokter. Alexander tak henti-hentinya memeriksa ekspresi wajah dokter yang tampak serius memeriksa hasil X-ray. Helena memegang tangan Alexander, mencoba memberikan kekuatan meskipun ia sendiri merasa tegang. “Dari hasil pemeriksaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata dokter itu akhirnya, menyelipkan senyum lega di
Pagi itu, Helena menarik napas lega saat melangkahkan kaki ke rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Meskipun hatinya bergemuruh dengan kegugupan, namun kesan pertama yang diterimanya kali ini berbeda. Tuan dan Nyonya Wijaya menyambutnya dengan senyum hangat, tidak ada lagi tatapan tajam atau kata-kata penghakiman seperti yang dulu sering terjadi. “Selamat datang, Rendy, Helena, dan...” Helena menimpali, “Angel, namanya Angel, Nyonya dan Tuan.” Nyonya dan Tuan Wijaya kembali tersenyum. “Kau juga, selamat datang, Angel.” Rendy dan Angel nampak penasaran dengan keseruan rumah itu, segera berlarian ke taman, mengejar kupu-kupu dan tertawa riang, melupakan sejenak kisruh yang pernah terjadi. Helena menatap mereka bermain, hatinya dipenuhi kebahagiaan melihat anak-anaknya gembira. Di ruang tamu, Nyonya Wijaya mengajak Helena duduk di sofa empuk sambil mengamati Rendy dan Angel.