Pagi itu, Helena menarik napas lega saat melangkahkan kaki ke rumah Tuan dan Nyonya Wijaya.
Meskipun hatinya bergemuruh dengan kegugupan, namun kesan pertama yang diterimanya kali ini berbeda. Tuan dan Nyonya Wijaya menyambutnya dengan senyum hangat, tidak ada lagi tatapan tajam atau kata-kata penghakiman seperti yang dulu sering terjadi. “Selamat datang, Rendy, Helena, dan...” Helena menimpali, “Angel, namanya Angel, Nyonya dan Tuan.” Nyonya dan Tuan Wijaya kembali tersenyum. “Kau juga, selamat datang, Angel.” Rendy dan Angel nampak penasaran dengan keseruan rumah itu, segera berlarian ke taman, mengejar kupu-kupu dan tertawa riang, melupakan sejenak kisruh yang pernah terjadi. Helena menatap mereka bermain, hatinya dipenuhi kebahagiaan melihat anak-anaknya gembira. Di ruang tamu, Nyonya Wijaya mengajak Helena duduk di sofa empuk sambil mengamati Rendy dan Angel.Helena hendak turun dari mobil sambil menggandeng tangan Rendy dan menggendong Angel. “Hati-hati, Sayang!” ucap Helena kepada Rendy. “Iya, Bu,” jawab Rendy. Ketika pintu mobil terbuka, Helena merasakan kaki yang terasa seperti timah, menopang tubuhnya yang lelah dan niatnya hanya ingin beristirahat sejenak. Namun, sebelum dia sempat menarik napas lega, sosok Tuan Beauvoir dan Hendrick, sudah terlihat berdiri di depan pintu rumah. Wajah Helena berubah cerah, seraya dia berteriak girang, “Ayah, kak Hendrick!” Ia pun berlari dengan langkah yang ringan seolah-olah kelelahannya barusan lenyap seketika. Dia melepaskan genggaman Rendy dan membiarkan Angel turun dari gendongannya. Helena memeluk Tuan Beauvoir yang dengan cepat mengangkat Angel dan mencium pipinya. Tawa lepas menggema ketika Hendrick ikut serta dalam pelukan itu, berebutan untuk mencium pipi Angel dan memperlihatkan rindu yang tak terbendung kepada keponakannya. Sesaat itu, Rendy hanya bisa menatap saja.
Sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai yang terbuka lebar, menghangatkan wajah Monica yang masih terlelap. Mata Monica terbuka perlahan, terpejam beberapa kali seakan tidak percaya dengan apa yang dirasakannya. Seiring dengan kenyataan yang mulai terbentang, Monica menyadari keadaannya yang hanya tertutup selimut tipis. Detik berikutnya, matanya membulat sempurna, tanda terkejut yang tak terbendung. Kepalanya bergerak pelan, menoleh ke samping, dan hatinya serasa berhenti ketika dia melihat seorang pria yang terlelap di sampingnya. “Ahhhhh!!” Teriakan Monica memecah kesunyian pagi itu, “Siapa kau?! Apa yang sudah kamu lakukan?!” Monica menahan selimut, tidak ingin tubuhnya terlihat. Pria di sampingnya terbangun dengan tiba-tiba, terkejut oleh suara keras Monica. Dia adalah pelayan hotel yang rambutnya masih acak-acakan dan wajahnya tampak bingung. “Tunggu, Nona, saya bisa jelaskan! Semalam anda yang—” kata pelayan hotel sambil mencoba merangkai kata-kata yang benar. “
Siang itu, di kediaman Monica. “Apa ini?!” Monica membuka mata lebar-lebar, tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya di layar ponsel. Jantungnya berdebar kencang, sebuah potongan video menggambarkan dirinya sedang dalam posisi kompromi dengan pelayan hotel, sebuah insiden yang terjadi di hotel tempat dia menginap beberapa hari yang lalu. Tangannya gemetar, amarah membanjiri pikirannya saat dia dengan kasar membanting ponsel ke lantai. Seisi kamar tiba-tiba menjadi saksi bisu atas kemarahan yang tak terbendung. Monica mengacak-acak tempat tidurnya, melemparkan bantal dan selimut ke sudut ruangan. Napasnya tersengal, raut wajahnya merah padam dan matanya berkaca-kaca tidak hanya karena amarah tetapi juga karena ketakutan akan dampak video tersebut terhadap kariernya. Selama bertahun-tahun, dia membangun reputasi sebagai aktris yang profesional dan dihormati, namun dalam s
“Tidak, tidak boleh, Helena!!” Helena dan Hendrick menoleh, terkejut. Alexander berdiri di belakang sofa, tatapan matanya begitu tajam dan dingin. “Sayang, apa kau bahkan lupa kalau aku adalah priamu? Mau berapa suami, kau bahkan kesulitan untuk mengimbangi ku, bagaimana bisa kau mencintai pria lain, hah?!” Hendrick menggeleng kepala, wajahnya kesal sekali. “Matamu terlalu buta, dasar bodoh!” Helena tersenyum, “Cinta yang aku maksud memiliki makna yang berbeda, Alexander,” sahutnya. Alexander menghela napasnya, entah kenapa mendengar kata ‘cinta’ yang bukan ditujukan padanya rasanya menyebalkan sekali. “Sayang, ayo kita masuk ke kamar! Ini kan sudah malam, jangan lama-lama berduaan dengan orang asing, paham?” “Aku bukan orang asing, bodoh!” Hendrick terperangan kesal, gegas dia bangkit. “Aku jadi ingin membawa Helena tidur di kamarku saja kalau begini,” anc
Setelah melihat Wendy barusan, Helena memutuskan untuk tidak menemui Alexander. Menyadari hal itu, Wendy pun tersenyum miring, ada rasa puas yang tersampaikan melalui ekspresi wajahnya. Tidak memikirkan soal Wendy, kira-kira apa yang terjadi di ruang baca sehingga penampilan Wendy begitu tidak rapih saat keluar. Helena justru tidur nyenyak, dia kelelahan. Alexander masuk ke dalam kamar tidak lama setelah itu, langsung menyusul Helena. “Jahat sekali, dia tidur tanpa menungguku.” Membawa Helena ke dalam pelukannya, Alexander mulai memejamkan matanya sambil merasai kehangatan itu. Pagi harinya, Helena membuka matanya perlahan. Begitu melihat Alexander memeluknya, Helena pun menghela napas sambil tersenyum. “Dia ini benar-benar tidak bisa menjauh sedikit dariku, ya?” “Kenapa juga aku harus menjauh darimu, hem? Aku malah ingin menempel terus seperti kuman di tubuhmu. Jadi, bagaimana, dong...” Alexander pun mulai membuka matanya. Helena terkekeh. Mencubit hidung Alexander
Masih di kediaman Alexander, di taman samping rumah. Alexander memainkan rambut Helena, namun matanya tertuju kepada dua anaknya yang sedang sibuk bermain. “Sayang,” panggil Alexander. “Aku tidak melihat Ayah mertua dan Hendrick, kemana mereka?” tanyanya. Helena mendesah penat. “Matahari belum muncul tapi mereka sudah pergi. Kau ingat kan kalau Ayah dan kakak-kakak ku membahas bisnis baru yang mulai didirikan di sini? Mereka mulai mengurus itu, Ayahku tentu membantunya juga.” “Eh, mereka sudah mulai, ya?” tanya Alexander. “Kalau memang ingin berbisnis di negara ini, kenapa tidak ikut sertakan aku?” herannya. “Jangan tersinggung. Mereka semua lebih nyaman mendirikan bisnis dengan kekuatan mereka, mengandalkan kemampuan yang mereka miliki meski koneksinya tidak seluas di negara kami. Tapi, untuk survey dan percobaan mereka sudah melakukan ini sejak kita kembali ke sini, jadi jangan khawatir.” ungkap Helena. “Mereka orang-orang hebat, kenapa juga aku harus meragukan merek
Wendy berjalan menuju dapur, sedikit membungkuk menahan nyeri. Melihat suasananya agak sepi, ia pun mengeluarkan ponselnya. Menekan beberapa angka, bersiap menghubungi seseorang. “Tuan, Saya sudah berusaha. Tapi, memang sangat sulit, mohon berikan waktu lebih lama, Saya mohon...” ucap Wendy. Wendy menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang akan mendengar pembicaraannya. “Helena dan Alexander seperti tidak menganggap keberadaan Saya. Ini akan jadi lebih sulit dari yang Saya pikirkan sebelumnya. Baiklah, Saya akan berusaha dengan lebih keras lagi.” Wendy menutup teleponnya, kembali menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Seorang pelayan lain muncul dari balik dinding, sejak tadi dia mendengar ucapan Wendy. **** Monica melangkah mantap menuju ruangan Tuan Smith dengan penuh percaya diri. Setibanya di depan pintu, ia mengatur napas dan memperbaiki lipatan dress-nya sebelum mengetuk pintu dengan lembut. Begitu pintu terb
Pagi itu, di kediaman Alexander. Wendy mengintip ke sekeliling dengan hati-hati, memastikan bahwa tidak ada pelayan yang memperhatikannya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, detak jantungnya meningkat seiring dengan gerakannya yang cepat dan tersembunyi. Setelah yakin bahwa tidak ada yang mengawasi, dia dengan lincah mengarahkan tangannya ke kantong pakaian seragam pelayan, mengeluarkan sebungkus kecil racun bubuk. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencurahkan isinya ke atas piring yang sudah diatur untuk Angel. Sebelum melakukan aksinya, Wendy telah memastikan bahwa posisi kamera CCTV di ruangan itu tidak lagi mengarah ke tempat dia berdiri. Dia telah memutar arah kamera dengan hati-hati saat pelayan lain sibuk di dapur. Kini, tanpa pengawasan kamera, Wendy merasa lebih berani namun tetap waspada. Saat Alexander dan keluarga lainnya memasuki ruang makan, Wendy segera mengambil langkah ke belakang, menyembunyikan wajah yang pucat. “Syukurlah aku berhasil,” gumam Wendy, gegas i