Tubuh Monica bergerak lincah mendekati Alexander yang terpojok di sudut toilet sempit itu. Dengan sengaja, ia mengusap dada Alexander yang terbuka, mencoba menggoda dengan setiap sentuhannya yang semakin memanas. “Alexander, ada aku, bagaimana kalau kita coba? Kamar tamu ada di dekat sini, kan?” bisiknya, menggoda. Alexander, yang merasa terancam, berusaha menepis tangan Monica yang terus merayap di tubuhnya. “Enyahlah, Monica!” Wajahnya memerah, matanya mencerminkan rasa ketakutan dan kebingungan yang mendalam. Monica tidak peduli dengan penolakan Alexander, malah semakin erat dengan tubuhnya yang hampir tanpa busana. Ia bangga menunjukkan lekuk tubuhnya, seolah-olah itu akan membuat Alexander luluh. “Lihatlah dengan seksama, bagaimana kau akan melewatkan kesempatan yang luar biasa ini, Alexander?” Ada senyum cantik yang ditunjukkan wanita itu. Napas Alexander semakin cepat, dadanya naik turun tidak teratur karena kegelisahan yang amat sangat. “Tidak, aku tidak boleh...”
Helena tidak mengerti apa maksudnya, ia pun keluar dari mobil untuk menanyakan kepada Han. “Sekretaris Han, apa yang terjadi?” Han berbalik badan sebentar, “Obat perangsang! Tuan sepertinya teracuni oleh obat itu, Nyonya.” Mendengar itu, Helena terkejut. Gegas kembali membuka pintu belakang mobil dengan gerakan yang tergesa-gesa. Sebelum Helena sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, Alexander sudah menariknya masuk. Bruk! Helena ambruk di atas pangkuan Alexander, pria itu langsung memeluknya erat. “Ada apa denganmu, Alexander? Apa yang tidak nyaman, katakan saja pada–” Ciuman yang rakus mendarat di bibir Helena, mendesak dan tak memberi ruang untuk protes. Helena dapat merasakan nafsu yang berbeda dari biasanya membara dalam diri Alexander, ada sesuatu yang mengendalikan pria itu. Helena berpegangan pada tengkuk pria itu, merasakan pendingin di mobil itu sangat dingin, serasa mampu membekukan kulitnya. Namun, sungguh aneh karena ternyata Alexander seperti
Pagi yang cerah itu seolah berbeda dengan suasana hati yang gelisah. Alexander menggenggam erat tangan Helena saat mereka memasuki ruang tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat, dan matanya sesekali melirik ke leher dan lengan Helena yang ditutupi pakaian longgar. Helena tersenyum lemah, mencoba menenangkan suaminya yang terlihat sangat cemas. “Dokter bilang ini hanya prosedur standar, Alexander,” ucap Helena, mencoba menenangkan. Namun, Alexander tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang menggelayut di hatinya. Cedera yang tidak sengaja ia berikan terasa seperti dosa besar. Ia merasa sebagai pelindung Helena, ia telah gagal. Mereka dipanggil masuk ke ruangan dokter. Alexander tak henti-hentinya memeriksa ekspresi wajah dokter yang tampak serius memeriksa hasil X-ray. Helena memegang tangan Alexander, mencoba memberikan kekuatan meskipun ia sendiri merasa tegang. “Dari hasil pemeriksaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata dokter itu akhirnya, menyelipkan senyum lega di
Pagi itu, Helena menarik napas lega saat melangkahkan kaki ke rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Meskipun hatinya bergemuruh dengan kegugupan, namun kesan pertama yang diterimanya kali ini berbeda. Tuan dan Nyonya Wijaya menyambutnya dengan senyum hangat, tidak ada lagi tatapan tajam atau kata-kata penghakiman seperti yang dulu sering terjadi. “Selamat datang, Rendy, Helena, dan...” Helena menimpali, “Angel, namanya Angel, Nyonya dan Tuan.” Nyonya dan Tuan Wijaya kembali tersenyum. “Kau juga, selamat datang, Angel.” Rendy dan Angel nampak penasaran dengan keseruan rumah itu, segera berlarian ke taman, mengejar kupu-kupu dan tertawa riang, melupakan sejenak kisruh yang pernah terjadi. Helena menatap mereka bermain, hatinya dipenuhi kebahagiaan melihat anak-anaknya gembira. Di ruang tamu, Nyonya Wijaya mengajak Helena duduk di sofa empuk sambil mengamati Rendy dan Angel.
Helena hendak turun dari mobil sambil menggandeng tangan Rendy dan menggendong Angel. “Hati-hati, Sayang!” ucap Helena kepada Rendy. “Iya, Bu,” jawab Rendy. Ketika pintu mobil terbuka, Helena merasakan kaki yang terasa seperti timah, menopang tubuhnya yang lelah dan niatnya hanya ingin beristirahat sejenak. Namun, sebelum dia sempat menarik napas lega, sosok Tuan Beauvoir dan Hendrick, sudah terlihat berdiri di depan pintu rumah. Wajah Helena berubah cerah, seraya dia berteriak girang, “Ayah, kak Hendrick!” Ia pun berlari dengan langkah yang ringan seolah-olah kelelahannya barusan lenyap seketika. Dia melepaskan genggaman Rendy dan membiarkan Angel turun dari gendongannya. Helena memeluk Tuan Beauvoir yang dengan cepat mengangkat Angel dan mencium pipinya. Tawa lepas menggema ketika Hendrick ikut serta dalam pelukan itu, berebutan untuk mencium pipi Angel dan memperlihatkan rindu yang tak terbendung kepada keponakannya. Sesaat itu, Rendy hanya bisa menatap saja.
Sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai yang terbuka lebar, menghangatkan wajah Monica yang masih terlelap. Mata Monica terbuka perlahan, terpejam beberapa kali seakan tidak percaya dengan apa yang dirasakannya. Seiring dengan kenyataan yang mulai terbentang, Monica menyadari keadaannya yang hanya tertutup selimut tipis. Detik berikutnya, matanya membulat sempurna, tanda terkejut yang tak terbendung. Kepalanya bergerak pelan, menoleh ke samping, dan hatinya serasa berhenti ketika dia melihat seorang pria yang terlelap di sampingnya. “Ahhhhh!!” Teriakan Monica memecah kesunyian pagi itu, “Siapa kau?! Apa yang sudah kamu lakukan?!” Monica menahan selimut, tidak ingin tubuhnya terlihat. Pria di sampingnya terbangun dengan tiba-tiba, terkejut oleh suara keras Monica. Dia adalah pelayan hotel yang rambutnya masih acak-acakan dan wajahnya tampak bingung. “Tunggu, Nona, saya bisa jelaskan! Semalam anda yang—” kata pelayan hotel sambil mencoba merangkai kata-kata yang benar. “
Siang itu, di kediaman Monica. “Apa ini?!” Monica membuka mata lebar-lebar, tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya di layar ponsel. Jantungnya berdebar kencang, sebuah potongan video menggambarkan dirinya sedang dalam posisi kompromi dengan pelayan hotel, sebuah insiden yang terjadi di hotel tempat dia menginap beberapa hari yang lalu. Tangannya gemetar, amarah membanjiri pikirannya saat dia dengan kasar membanting ponsel ke lantai. Seisi kamar tiba-tiba menjadi saksi bisu atas kemarahan yang tak terbendung. Monica mengacak-acak tempat tidurnya, melemparkan bantal dan selimut ke sudut ruangan. Napasnya tersengal, raut wajahnya merah padam dan matanya berkaca-kaca tidak hanya karena amarah tetapi juga karena ketakutan akan dampak video tersebut terhadap kariernya. Selama bertahun-tahun, dia membangun reputasi sebagai aktris yang profesional dan dihormati, namun dalam s
“Tidak, tidak boleh, Helena!!” Helena dan Hendrick menoleh, terkejut. Alexander berdiri di belakang sofa, tatapan matanya begitu tajam dan dingin. “Sayang, apa kau bahkan lupa kalau aku adalah priamu? Mau berapa suami, kau bahkan kesulitan untuk mengimbangi ku, bagaimana bisa kau mencintai pria lain, hah?!” Hendrick menggeleng kepala, wajahnya kesal sekali. “Matamu terlalu buta, dasar bodoh!” Helena tersenyum, “Cinta yang aku maksud memiliki makna yang berbeda, Alexander,” sahutnya. Alexander menghela napasnya, entah kenapa mendengar kata ‘cinta’ yang bukan ditujukan padanya rasanya menyebalkan sekali. “Sayang, ayo kita masuk ke kamar! Ini kan sudah malam, jangan lama-lama berduaan dengan orang asing, paham?” “Aku bukan orang asing, bodoh!” Hendrick terperangan kesal, gegas dia bangkit. “Aku jadi ingin membawa Helena tidur di kamarku saja kalau begini,” anc