Di kediaman keluarga Wijaya.
Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat, tangan Nyonya Wijaya gemetar saat memegang bingkai foto putrinya. “Kenapa aku baru mengetahui sekarang, kenapa?” gumamnya lirih, suara hatinya terasa hancur mengingat Rachel yang meninggal hampir empat tahun lalu. Tubuhnya terguncang oleh isak tangis, perasaan bersalah memenuhi dada. “Ibu seharusnya bisa melindungi mu, Rachel,” ucapnya sambil memeluk foto itu seolah bisa merasakan kehangatan putrinya sekali lagi. Kegelapan rahasia yang baru terungkap bahwa pelakunya adalah Sarah, keponakannya sendiri, semakin menambah luka. Di luar kamar, Tuan Wijaya hanya bisa mendengarkan isak tangis istrinya dengan perasaan pilu. Dia memutuskan untuk masuk perlahan, mendekat, mencoba meraih tangan Nyonya Wijaya yang dingin, tapi wanita itu menarik tangan kembali, seolah-olah sentuhan itu menambah berat beban yang dihadapinya. Tuan Wijaya merasa“Tidak mungkin, Helena CEO Aluna Fashion group?” Kantor itu seketika hening, semua mata tertuju pada sosok Helena yang baru saja duduk di meja kerjanya. Ketenangan dan kepercayaan dirinya begitu terpancar meskipun ia hanya berpendidikan dari sekolah yang mengandalkan prestasi. Helena, seorang CEO muda yang sebelumnya hanyalah anak dari pelayan, kini menguasai panggung dengan aura yang mengintimidasi, mereka begitu tak mampu mempercayainya. Helena tersenyum tipis, menatap satu persatu wajah staff yang beberapa detik lalu berteriak di depan ruangan CEO, meminta dirinya untuk dipecat. Suasana tegang menyelimuti ruangan itu saat Helena memulai bicaranya dengan suara dingin, “Jadi, karena tidak mungkin membuat Helena dipecat, apakah sekarang kalian akan memecat CEO? Bagaimana sekarang, apakah kalian masih i
Helena dan Alexander memasuki kamar mereka, suasana hening menyelimuti malam itu. Mereka duduk di tepi ranjang, saling memandang dengan penuh pengertian. “Setiap hari pasti melelahkan untukmu ya, Sayang?” ujar Alexander. Mendengar itu, Helena pun membuang napas dan memaksakan senyumnya. “Bukan hanya untukku saja, kau pun sama.” “Benar. Tapi, selama kau di sisiku, aku yakin aku akan baik-baik saja, Sayang.” Alexander mengulurkan tangan, menarik Helena untuk berbaring di sampingnya. Mereka saling berpelukan, mencari kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kehidupan mu dan Rachel sebelum semua ini terjadi?” tanya Alexander, penasaran. Sambil memandangi langit-langit kamar, Helena mulai bercerita. “Rachel, dia selalu bersikap baik pada Sa
“Mari ikut Saya, Nona!” paksa Han kepada Monica. Wanita itu mencoba menarik tangannya dari genggaman Han yang kuat, tetapi usahanya sia-sia. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat menahan amarah. “Lepaskan aku, Han! Kau ini benar-benar tidak sopan!” teriaknya, suaranya memecah kesunyian. Melihat itu, Alexander pun hanya bisa menggeleng heran. Namun, apa yang dilakukan oleh Han sudah sama persis seperti yang diinginkannya. “Jangan membuang waktu terlalu banyak, Saya juga harus menyelesaikan pekerjaan, Nona Monica.” Han mencengkram erat lengan Monica, membawa wanita itu keluar. Begitu sampai di luar, dengan tatapan tenang namun tegas Han pun berkata, “Nona Monica, saya mohon untuk tidak mengganggu lagi Tuan Alexander. Beliau sedang dalam situasi penting,” ujarnya, tegas dan dingin. Han menahan pintu dengan satu tangan, memastikan Monica tidak bisa kembali masuk. Monica, merasa direndahkan,
Pagi itu, Han mengendarai mobilnya menuju ke perusahaan Smith. Han merasakan jantungnya berdegup kencang saat ia melihat mobil hitam yang sejak tadi mengekornya kini bermanuver dan melintas di depannya. Mata Han melebar, tangan kanannya segera memegang kemudi dengan erat. Ia coba memperlambat laju mobilnya, berharap mobil misterius itu akan meninggalkannya. Namun, apa daya, mobil tersebut justru melambat dan tetap berada tepat di depannya. Kening Han berkerut, rasa curiga semakin menguat saat mobil hitam itu tiba-tiba mengurangi kecepatannya sampai hampir berhenti, memaksa Han untuk melakukan hal yang sama. Ia menarik napas dalam, mencoba untuk tetap tenang meskipun adrenalinnya meningkat. Dengan segala keberanian, Han membuka jendela mobilnya, berusaha melihat siapa pengemudi di mobil hitam itu. Namun, kaca mobil tersebut gelap, tidak memungkinkan Han untuk melihat ke dalam. “Sial!, Sebenarnya, apa tujuan orang di dalam mobil itu?” Han merasakan adrenalinnya mening
Dalam keheningan mobil yang melaju, Helena merasakan detak jantungnya yang cepat saat Alexander mulai membuka cerita tentang Han. Bibir Alexander bergerak pelan, mengungkapkan bahwa Han telah menjadi sasaran pembunuhan oleh oknum yang bahkan Alexander bisa menebak siapa itu. Mata Helena membulat, tubuhnya mengeras di kursi penumpang. “Gila! Bagaimana mereka terus menargetkan orang seperti ini?” suaranya terdengar serak, penuh kekhawatiran. Alexander mengangguk perlahan, tangannya yang satu masih setia pada kemudi sementara yang lain mencoba menenangkan Helena dengan usapan lembut di punggung tangannya. “Iya, sayang. Itu sebabnya aku memintanya untuk bersembunyi sementara waktu. Kita harus menjaga keselamatan semua yang terlibat,” jelas Alexander, suaranya mencoba tetap tenang meski matanya sesekali terlihat cemas melirik Helena. Helena menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Pikirannya melayang ke Han, pria yang selama ini seperti sau
Tenggorokan Alexander terasa kering saat ia menatap kedua mata Tuan Smith yang membara dengan rasa marah dan kecewa. Ruangan itu seketika menjadi arena medan perang yang tidak kelihatan, dimana setiap kata yang terucap bagaikan pedang yang tajam. “Ayah bisa mengatur tentang urusan perusahaan, tapi jangan campuri lagi urusan rumah tangga ku, apalagi sampai mencoba mencelakai orang kepercayaan ku,” suara Alexander datar, namun tegas. “Helena akan tetap menjadi istri ku, akan menjadi sosok yang paling aku lindungi begitu juga dengan anak kandung kami.” Wajah Tuan Smith memerah, urat-urat di lehernya menonjol, tanda amarah yang tak terbendung. “Sudah berapa kali harus aku katakan, Alexander? Perempuan rendahan itu tidak pantas untukmu!” teriaknya, suaranya menggema di dinding-dinding mewah ruangan itu. Namun, Alexander hanya tersenyum sinis, sebuah senyum yang menantang segala otoritas yang pernah dipegang oleh Tuan Smith. “Ayah, mungkin anda lupa kalau aku benar-benar adalah pria y
Tubuh Monica bergerak lincah mendekati Alexander yang terpojok di sudut toilet sempit itu. Dengan sengaja, ia mengusap dada Alexander yang terbuka, mencoba menggoda dengan setiap sentuhannya yang semakin memanas. “Alexander, ada aku, bagaimana kalau kita coba? Kamar tamu ada di dekat sini, kan?” bisiknya, menggoda. Alexander, yang merasa terancam, berusaha menepis tangan Monica yang terus merayap di tubuhnya. “Enyahlah, Monica!” Wajahnya memerah, matanya mencerminkan rasa ketakutan dan kebingungan yang mendalam. Monica tidak peduli dengan penolakan Alexander, malah semakin erat dengan tubuhnya yang hampir tanpa busana. Ia bangga menunjukkan lekuk tubuhnya, seolah-olah itu akan membuat Alexander luluh. “Lihatlah dengan seksama, bagaimana kau akan melewatkan kesempatan yang luar biasa ini, Alexander?” Ada senyum cantik yang ditunjukkan wanita itu. Napas Alexander semakin cepat, dadanya naik turun tidak teratur karena kegelisahan yang amat sangat. “Tidak, aku tidak boleh...”
Helena tidak mengerti apa maksudnya, ia pun keluar dari mobil untuk menanyakan kepada Han. “Sekretaris Han, apa yang terjadi?” Han berbalik badan sebentar, “Obat perangsang! Tuan sepertinya teracuni oleh obat itu, Nyonya.” Mendengar itu, Helena terkejut. Gegas kembali membuka pintu belakang mobil dengan gerakan yang tergesa-gesa. Sebelum Helena sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, Alexander sudah menariknya masuk. Bruk! Helena ambruk di atas pangkuan Alexander, pria itu langsung memeluknya erat. “Ada apa denganmu, Alexander? Apa yang tidak nyaman, katakan saja pada–” Ciuman yang rakus mendarat di bibir Helena, mendesak dan tak memberi ruang untuk protes. Helena dapat merasakan nafsu yang berbeda dari biasanya membara dalam diri Alexander, ada sesuatu yang mengendalikan pria itu. Helena berpegangan pada tengkuk pria itu, merasakan pendingin di mobil itu sangat dingin, serasa mampu membekukan kulitnya. Namun, sungguh aneh karena ternyata Alexander seperti
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece