Pagi itu di rumah sakit jiwa Atalres,
Sarah bersimpuh di lantai ruangan berdinding putih itu, matanya memandang penuh keputusasaan ke arah Tuan dan Nyonya kedua Wijaya. Tangisannya pecah, memecah hening ruangan rumah sakit jiwa yang sepi. “Aku tidak gila, Ayah, Ibu,... aku hanya bisa merasakan kehadiran roh Bibi Ralin. Wanita itu, dia benar-benar tidak melepaskan ku sama sekali, aku tidak gila...” ucapnya, suaranya tercekat oleh isak tangis. Tuan kedua Wijaya, dengan raut muka yang keras, memandang Sarah dengan sinis. Dengan kasar, ia menepis tangan Sarah yang mencoba meraih simpatinya. “Lebih baik kami mengadopsi anak dari panti asuhan daripada melahirkan anak yang gila sepertimu,” katanya dengan dingin, suara itu bagai petir yang menyambar hati Sarah. Menggelengkan kepalanya, Sarah kembali meraih tangan Tuan kedua Wijaya. “Ayah, aku mohon... aku benar-benar tidak gila, aku hanya sedang berusaha menyingkirkan BibiPagi itu, di perusahaan Alura Fashion Group. Helena memasuki ruangan CEO dengan langkah pasti, namun hal yang tidak terduga terjadi ketika matanya tertumbuk pada sosok wanita berpenampilan elegan yang sudah menunggu di sana. Wanita itu mengenakan setelan jas desainer mahal, rambutnya tersisir rapi, dan seutas senyum dingin terukir di wajahnya. “Sepertinya, hari ini aku tidak memilki waktu untuk berperan sebagai wakil CEO dulu, deh.” gumam Helena, pelan sekali. Helena mengambil tempat duduk di depan wanita tersebut, berusaha menunjukkan sikap tenang meski di dalam hatinya mulai terasa tidak nyaman. Wanita itu mengangkat dagu, matanya menatap Helena dengan pandangan yang meremehkan sebelum akhirnya memperkenalkan diri dengan suara yang tenang namun penuh otoritas. “Aku Elizabeth Smith, nona tertua di keluarga Smith,” ucapnya seraya tangannya memainkan pena di atas meja. “Artiny
“Aku hanya datang ingin menyapa adik ipar yang tidak pernah kau kenalkan kepada Keluarga, apa itu sebuah kesalahan?” tanya Elizabeth, tersenyum mencemooh. Alexander masih menatap tajam, namun Helena terus mencoba bersikap santai. “Jangan salah paham. Aku tidak mengenalkan Helena karena tidak ingin dia tekena bisa ular yang amat beracun, dia terlalu berharga sampai rasanya ingin kubawa ke manapun Ku pergi.” balas Alexander. Mendengar itu, Elizabeth pun hanya tersenyum sinis namun tidak memiliki minat untuk menanggapi ucapan Alexander. “Apa aku perlu keluar dari ruangan ini supaya kalian bisa bicara dengan nyaman?” tanya Helena. Elizabeth menghela napasnya, meraih tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. “Aku tidak memiliki minat untuk banyak bicara. Jadi, aku tidak mau juga berlama-lama di sini.” Elizabeth bangkit, langs
Untuk membuktikan sedikit keseriusan tentang perasaan, Alexander pun memaksa Helena untuk ikut dengannya. Menuju ke rumah, Helena pun kebingungan apa yang ingin dilakukan Alexander. Sudah bertanya kepada pria itu tentang apa yang akan dilakukan, kemana tujuan mereka, tapi Alexander tidak memberikan jawaban. Mobil berhenti di depan gerbang rumah, barulah Helena berhenti merasa penasaran. Akhirnya, yang bisa Helena lakukan adalah tetap mengikuti langkahnya Alexander menuju ke kamar mereka. Mengabaikan Angel dan Rendy sejenak, Alexander tidak ingin kegiatannya dengan Helena diganggu. “Ya ampun, kau serius mau ke kamar sekarang?” tanya Helena, keheranan. “Sejuta rius, Sayang!” jawab Alexander. Ketika Alexander mendorong sebuah rak buku di sudut ruangan kamar mereka, Helena terperangah melihat sebuah pintu tersembunyi terbuka. Alexander me
Sarah terduduk lemas di sudut kamar rumah sakit jiwa, air matanya mengalir deras. Kedua orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya tanpa alasan yang jelas, membuat pikirannya semakin terperosok dalam kekacauan. Suara bisikan tak henti-hentinya menerobos masuk ke dalam benaknya, beradu keras dan tak terkendali, seolah-olah berusaha memecah belah sanubarinya. “Hancur, semuanya sudah hancur berantakan. Aku tidak bisa lagi mendapatkan apa yang aku inginkan. Menjadi Nona tunggal keluarga Wijaya, kekayaan Wijaya, menjadi desainer terkenal, aku tidak bisa mendapatkan semua itu lagi!” teriaknya, bercampur suara tangis. Dalam keadaan yang tak lagi bisa dikendalikan, Sarah mulai membenturkan kepalanya ke dinding kamarnya berulang kali. Setiap hantaman meninggalkan jejak darah yang semakin memperburuk keadaan, namun rasa sakit fisik itu tak cukup untuk mengatasi kehancuran mental yang dia rasakan.
Di pemakaman yang seharusnya penuh dengan penghormatan dan kesedihan, suasana menjadi tegang dan dramatis. Nyonya Wijaya kedua, dengan mata yang memerah dan napas yang tersengal-sengal, melangkah mendekati Helena dengan niat untuk melampiaskan amarah. Wajahnya terlihat keras, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata tuduhan yang menyakitkan terhadap Helena. “Kau yang membuat semuanya jadi seperti ini! Kau sebabkan Sarah mati!” teriaknya dengan suara parau. Orang-orang yang berdiri di sekeliling, termasuk beberapa yang berjaga untuk Alexander, segera mengambil tindakan. Mereka dengan cepat mencegah Nyonya Wijaya kedua mendekati lebih lanjut, memegang kedua lengannya dengan erat. Wajahnya Helena pucat pasi, hanya bisa menatap tanpa bisa berkata apa-apa. Dengan suara tegas namun berusaha tetap tenang, Alexander berdiri tegap menghadapi Nyonya Wijaya kedua. “Nyonya, mohon mengertilah, k
Pagi itu seperti biasanya, Helena dan Alexander akan keluar dari rumah, menggunakan mobil yang sama. Alexander mengantarkan Helena lebih dulu ke kantornya, barulah setelah itu dia akan menuju ke kantornya sendiri. “Sayang, nanti aku kirim makan siang untukmu. Pulang juga harus bersamaku, dengar?” peringat Alexander. Mendengar itu, Helena pun segera menganggukkan kepalanya. “Oke!” Alexander mengecup bibir Helena sebentar, mereka pun berpisah untuk menjalani aktivitas masing-masing. Saat Helena sampai di pintu ruangan para staff, ucapan yang tak enak didengar pun terpaksa masuk ke telinganya. “...Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Nona keluarga Wijaya harus meninggal semua? Dulu, desusnya Miss Helena adalah dalang dari kematian Rachel Wijaya. Tapi, sekarang pun masih sama.” “Aku benar-benar t
Alat bukti yang dimilki pria gak dikenal itu sudah cukup untuk menggiringnya ke kantor polisi. Helena juga berada di sana, menunggu pria itu mendapatkan giliran untuk diinterogasi. Tak lama kemudian Alexander datang, langsung memeluk Helena begitu melihatnya. “Kau tidak apa-apa, kan? Aku benar-benar bisa gila kalau begini,” ucapnya, tubuh pria itu terasa begitu dingin. Helena mengusap punggung pria itu, membiarkan sejenak supaya tenang. “Aku baik-baik saja, pria itu juga sudah diamankan, sebentar lagi kita akan tahu siapa yang memintanya melakukan hal ini.” Mendengar itu, Alexander pun menghela napasnya, lega. Untungnya Helena baik-baik saja, entah apa yang akan terjadi jika wanita itu terluka. Menggenggam tangan Helena, Alexander membawa istrinya itu masuk ke sebuah ruangan yang mana akan bisa mendengar kesaksian dari pelaku l
Witsel Alankes menatap Helena dengan tatapan matanya yang tajam, namun juga terlihat sangat frustrasi. “Kau sedang mengancamku?” Helena tersenyum smirk. “Benar. Aku tidak akan bermurah hati, bahkan aku juga akan dengan mudah hati membuat mereka menjadi bintang gosip. Jadi, bagaimana menurutmu?” Meski tidak bisa menekan dengan cara yang tegas, Helena paham ini adalah satu-satunya cara yang paling ampuh untuk membuat pria itu mengalah. Witsel Alankes, meskipun dia tampak menyeramkan, nyatanya dia adalah pria yang sangat menyayangi istri dan anak. Pria itu berusaha menjauhkan keluarganya dari kesulitan ekonomi karena tahu benar akan sesulit apa menjadi miskin. Gara-gara tidak memiliki uang, Witsel harus kehilangan anak pertamanya, dia tidak ingin kisah pahit itu terulang lagi, apapun caranya. “Baiklah. Boldden room, lantai 2 no 47. Aku tinggal di sana, rekaman suara dan transaksi bank semuanya aku simpan di sana. Tadinya aku ingin menggunakan semua itu sebagai alat peras unt