"Elara, dengarkan Ayah! Anak Pak Lurah itu lelaki baik, masa depanmu akan terjamin kalau kau menikah dengannya," Suara berat dari ruang tamu memecah keheningan pagi itu.
Elara Rose menggeleng tegas, matanya memancarkan tekad yang kuat.
"Ayah, aku sudah bilang. Aku ingin kuliah, aku ingin mengejar mimpiku menjadi tour guide internasional!" Suaranya bergetar, separuh karena emosi, separuh karena takut membuat suasana semakin memanas.
"Tour guide? Apa kau tidak waras, Elara? Hidup di kota itu keras, dan kau tahu keluarga kita tidak punya cukup uang untuk itu!" Suara lembut tapi sarat kekhawatiran menyela. "Anak Pak Lurah itu mau melamarmu. Kau tidak perlu susah payah lagi kalau menikah dengannya."
"Ayah, Ibu, tolong mengerti. Aku tidak mau menikah hanya demi uang. Aku ingin punya hidupku sendiri, dan aku sudah menabung. Aku bisa membiayai kuliahku!" Elara bersikeras, meski hatinya agak ragu melihat wajah kecewa di depannya.
Tangan besar menghantam meja kayu, membuat gelas teh bergetar. "Kau keras kepala sekali! Kalau kau pergi, jangan harap kau bisa kembali ke rumah ini lagi!"
Air mata menggenang di mata Elara, tetapi ia menegakkan bahunya.
"Baik. Kalau itu yang Ayah inginkan." Tanpa menunggu respon lebih lanjut, ia berlari ke kamarnya, mengunci pintu, dan segera merapikan pakaian ke dalam tas kecil. Di bawah tempat tidurnya, ia mengeluarkan batok kelapa yang berisi uang tabungannya selama beberapa tahun terakhir.
Malam itu, dengan langkah pelan agar tidak membangunkan siapa pun, Elara meninggalkan rumahnya. Desa yang sunyi dan penuh kenangan itu tampak seperti bayangan kelam di bawah sinar rembulan. Hatinya berat, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk meraih apa yang ia impikan.
Beberapa jam kemudian, Elara tiba di terminal bus di kota kabupaten tempat ia dibesarkan, ia duduk sendirian dengan tas di pangkuannya. Kepalanya terasa penuh dengan pikiran kalut, rasa bersalah, ketakutan, dan juga percikan sisa semangatnya.
"Pergi ke kota, ya?" tanya seseorang, memecah lamunannya.
"Iya, Pak," jawab Elara singkat, mencoba tersenyum.
"Hati-hati di kota. Jangan mudah percaya sama orang." Pesan itu terdengar tulus, sebelum lelaki paruh baya itu berlalu meninggalkannya sendiri lagi.
Sesaat kemudian, bus yang ditunggu tiba. Dengan hati yang campur aduk, Elara melangkah naik, mencari tempat duduk dekat jendela. Perjalanan menuju ke kota tujuannya hanya butuh beberapa jam saja dari kota kabupaten, tetapi rasanya seperti sangat lama. Elara memandang keluar jendela, mencoba menenangkan dirinya. Dia harus sukses. Dia harus membuktikan bahwa mimpinya bukan hanya angan-angan kosong.
Saat bus berhenti di terminal kota, Elara menurunkan tasnya dengan hati-hati. Gemuruh keramaian dan hiruk pikuk kendaraan membuatnya terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa gugup yang menyerangnya.
"Kamu mau ke mana? Butuh ojek?" tanya seseorang, menyadarkannya.
"Ah, tidak. Terima kasih," jawab Elara gugup sambil melangkah menjauh. Ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, alamat rumah kost yang sudah ia cari sebelumnya. Meski tabungannya cukup untuk biaya awal, ia tahu harus segera mencari pekerjaan untuk bertahan hidup.
Langkah-langkah kecil Elara membawa dirinya ke depan sebuah rumah kost sederhana. Pemilik rumah, seorang ibu paruh baya, menyambutnya dengan senyum hangat.
"Jadi, kamu Elara? Kamu yang telepon kemarin, kan?" tanya pemilik rumah.
"Iya, Bu. Ini saya," jawab Elara sambil tersenyum kecil. "Saya mau bayar uang sewanya untuk sebulan dulu."
"Baik, kamar kamu di lantai dua. Silakan naik, kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja ke Ibu, ya," kata wanita itu ramah.
Setelah mengatur barang-barangnya, Elara duduk di tepi tempat tidur kecil itu. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan rumah, ia merasa benar-benar sendirian. Namun, ia juga merasa bebas. Besok adalah awal baru, perjalanan panjang untuk mewujudkan mimpinya.
Keesokan paginya, Elara bangun dengan tekad dan semangat yang baru. Ia pergi ke kampus untuk mengurus pendaftaran terakhir dan memastikan semuanya berjalan lancar. Setelah itu, ia berjalan-jalan di sekitar kota untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Restoran kecil, toko kelontong, bahkan laundry—semua ia datangi, tetapi jawabannya selalu sama: "Kami tidak butuh karyawan, saat ini."
Langkah kakinya membawa dia ke sebuah halte bus. Mata Elara tertuju pada satu selebaran yang mencolok: "Dibutuhkan perawat pribadi. Bayaran tinggi. Pengalaman tidak diperlukan."
"Perawat pribadi?" gumam Elara, alisnya mengerut. Pekerjaan itu terdengar aneh, tetapi bayaran tinggi yang disebutkan di selebaran itu menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang, ia mencatat nomor kontak yang tertera.
Keesokan harinya, Elara menghadiri wawancara di sebuah kantor penyalur tenaga kerja. Hatinya berdebar menunggu gilirannya untuk masuk ke dalam ruangan. Saat namanya dipanggil, ia pun masuk ke dalam ruang wawancara. Di sana, Ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang tampak dingin dan tegas.
"Elara Rose, ya? Silakan duduk," kata wanita itu, membaca profilnya..
"Terima kasih, Bu," jawab Elara, mencoba menenangkan diri.
"Apa kamu yakin akan melamar pekerjaan sebagai perawat?” tanya wanita itu, menurunkan kacamatanya.
“Saya sangat yakin, Bu.”
“Pekerjaan ini tidak mudah, kamu harus merawat klien kami yang berasal dari keluarga terpandang. Ia membutuhkan perhatian khusus. Dia kehilangan kepercayaan pada beberapa perawat sebelumnya, jadi kami butuh seseorang yang sabar dan bisa menjaga rahasianya," jelasnya.
Rahasia? Apa maksudnya? Pertanyaan itu muncul dalam benak Elara. Namun, ia segera tersadar saat pemilik yayasan menggeser kursi, dan melangkah mendekatinya.
“Apa kamu gugup?” tuduhnya.
"Sssayaa… tidak, emmaksud saya, saya akan berusaha bekerja sebaik mungkin, Bu," jawab Elara dengan yakin.
"Baiklah. Kamu bisa mulai besok," kata wanita itu. "Oh, satu hal lagi. Jangan kaget jika kamu tidak diberitahu banyak tentang klien kita. Itu untuk menjaga privasi mereka."
Elara mengangguk, meski rasa penasaran mulai mengusik pikirannya. Siapa sebenarnya klien ini? Dan kenapa pekerjaan ini terasa begitu misterius?
Ia tidak tahu bahwa pekerjaan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Elara begitu bersemangat menyambut hari barunya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin.
“Baiklah… sekarang, Suster Elara. Dasar orang kaya, mereka tidak mau bersusah payah merawat orang tuanya saat sudah tua. Tapi, dengan begitu aku jadi punya pekerjaan. Meskipun, harus merawat lansia lumpuh.” Elara Rose tersenyum saat menyebut namanya sendiri dan merapikan blousenya.
Hari pertama bekerja, Elara berdiri di depan rumah megah itu dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Gerbang besar terbuka perlahan, memperlihatkan taman luas dan jalan setapak menuju pintu utama. Ketika ia mengetuk pintu, seorang wanita berseragam ART membukakan dan mempersilakannya masuk.
"Silakan tunggu di sini," ujar wanita itu, meninggalkan Elara sendirian di ruang tamu yang terasa sepi, meski mewah.
Elara menggigit bibirnya, mencoba mengusir rasa gugup. Terdengar suara langkah kaki mendekat, berat dan lambat. Ia menoleh, berharap bertemu dengan sosok yang akan menjadi kliennya. Akan tetapi, langkah itu berhenti sebelum sampai di tempatnya menunggu sang Majikan.
"Dia sudah siap?" Suara seseorang bertanya di sisi yang tak terlihat, entah berbicara kepada siapa.
Pelan-pelan, pintu kamar di dekat tangga itu terbuka. Suara langkah kaki dan roda dari kursi roda yang didorong, terdengar saling bersahutan. Dan, itu cukup untuk menghentikan napas Elara sejenak. Sosok yang muncul membuat hatinya mendadak gelisah. Wajahnya tampak terkejut, tak mampu ia sembunyikan.
"Apa benar ini... klienku?" tanyanya di dalam hati yang berdebar.
Elara Rose terkejut. Matanya melebar saat melihat pria muda di kursi roda. Ia mengira klien yang akan dirawatnya adalah seorang lansia, mungkin pria tua yang sudah uzur. Namun, kenyataan di hadapannya jelas-jelas berbeda. Pria muda itu tampak berusia akhir dua puluhan, dengan mata tajam yang mengintimidasi dan sikapnya begitu dingin."Nona Rose, mari saya perkenalkan," ujar Kepala ART dengan senyum formal. "Ini adalah tuan muda kita, Tuan Yuan Edbert Ramiro dan ini Nyonya di rumah ini, ibunya Tuan Muda Yuan."Elara Rose masih tertegun, ia tidak dapat mengalihkan pandangannya pada sosok pria muda yang duduk di kursi roda itu."Apa yang kau lihat?" tanya Yuan sinis, memecah keheningan.Elara tergagap, tak tahu harus berkata apa. "Ah, maaf, saya hanya... tidak menyangka...""Tidak menyangka apa? Bahwa ternyata aku bukan seorang kakek renta?" Pria itu mendengus pelan. "Bagus sekali. Aku sudah muak dengan perawat yang datang dengan ekspektasi mereka sendiri.""Yuan," ujar wanita anggun di
"A-aapa yang Anda lakukan?!" serunya panik.Yuan mengangkat alis, ekspresi dinginnya berubah menjadi seringai kecil. "Apa menurutmu aku akan meminta hal aneh darimu? Aku hanya ingin berganti pakaian. Kau harus membantu kalau mau bertahan di sini."Wajah Elara memerah. "Tidak perlu melepas pakaian di depan saya seperti itu!"Yuan tertawa lirih, suara rendahnya terdengar mengejek. "Kau akan menjadi perawatku, bukan? Ini bagian dari pekerjaanmu. Jangan bilang kau sudah takut bahkan sebelum mulai."Elara Rose mengintip dari celah jarinya, memastikan Yuan hanya duduk dengan setengah kemejanya yang terbuka. Napasnya bergetar karena malu sekaligus jengkel. Pria ini jelas tahu bagaimana memanipulasi situasi untuk membuatnya tidak nyaman. Namun, ia menolak menyerah begitu saja."Baiklah," katanya akhirnya, menurunkan tangannya dari wajah. "Tapi saya hanya membantu apa yang diperlukan. Tidak lebih."Yuan menatapnya dengan sedikit menarik ujung bibirnya. Sepertinya, ia merasa puas karena bisa me
"Aku ingin kau membantuku pergi ke lantai dua.” Yuan melipat tangannya, ekspresi wajahnya penuh tantangan.Elara mengerutkan kening. “Lantai dua? Tapi… untuk apa Tuan Muda ingin ke lantai dua? Bukankah kamar Tuan sudah dilengkapi dengan semua fasilitas?”“Tentu saja,” Yuan menjawab sambil mengangkat alis. “Tapi ada sesuatu yang aku butuhkan di sana. Lagipula, aku ingin memastikan kau cukup kompeten. Jadi, ayo.”Ia memutar kursi rodanya ke arah tangga, roda-roda besinya menimbulkan suara bergemuruh di lantai marmer. Elara menatap tangga panjang yang melengkung ke atas dengan hati berdebar.“Tapi… ada lift, kan?” tanya Elara ragu.“Tidak ada,” Yuan menjawab dengan nada datar, lalu menoleh dengan senyuman kecil. “Itulah tantangannya. Kau harus membawaku ke atas.”“APA?!” Elara membulatkan matanya. “Tuan bercanda, kan?”Yuan hanya mengangkat bahu dengan santai. “Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku. Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, bukan?”Elara menghela napas, berusaha mereda
Pagi itu, Elara mengetuk pintu kamar Yuan dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian kemarin, ia merasa harus melakukan sesuatu. Bukan untuk membalas Yuan, tetapi untuk membantunya. Di balik sikap dinginnya, Yuan terlihat seperti seseorang yang membutuhkan semangat dan motivasi. Walaupun, pertanyaan mengenai foto itu belum menemukan jawaban, tapi ia memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya.“Tuan Muda,” panggil Elara sambil membuka pintu sedikit. “Saya ingin bicara sebentar.”“Apa lagi sekarang?” Yuan menjawab dari tempat tidur, suaranya serak karena baru bangun.Elara masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Sarapan dulu, lalu kita bicara. Ini penting.”Yuan mendengus. “Apa yang bisa lebih penting daripada tidurku?”“Terapi fisik,” jawab Elara tegas, membuat Yuan langsung menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah tajam.“Terapi fisik?” Yuan mengulang dengan nada mencemooh. “Aku sudah bilang, itu buang-buang waktu.”“Tuan Muda, Anda harus mencobanya. Saya membaca tentang metode baru
Ketika Elara Rose sadar, ia menemukan dirinya tidur di sofa besar di kamar Yuan. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang tenang, tapi terasa aneh. Yuan ada di dekatnya masih duduk di kursi roda dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.“Tuan Muda Yuan, apa yang sedang terjadi?” Elara bertanya, bingung dengan situasinya.“Kau tidak ingat?” Yuan membalas dengan nada datar. “Seseorang mencoba menyeretmu keluar tadi. Aku kebetulan melihatnya dari kamera pengawas.”Elara menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Yuan. “Lalu, bagaimana saya bisa di sini?”“Aku membawamu ke sini. Tidak ada tempat yang lebih aman di rumah ini selain kamarku,” katanya tanpa ragu. “Kau akan menginap di sini malam ini.”“Apa? Menginap di sini?” Elara hampir tersedak. Wajahnya memerah karena rasa canggung.“Tenang saja. Aku bukan pria mesum,” Yuan menambahkan sambil tersenyum tipis. “Lagipula, aku lebih suka membuat hidupmu sulit daripada merusak reputasimu.”Elara menghela napas panjang. “Baiklah
Ketika Elara Rose sadar, ia menemukan dirinya tidur di sofa besar di kamar Yuan. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang tenang, tapi terasa aneh. Yuan ada di dekatnya masih duduk di kursi roda dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.“Tuan Muda Yuan, apa yang sedang terjadi?” Elara bertanya, bingung dengan situasinya.“Kau tidak ingat?” Yuan membalas dengan nada datar. “Seseorang mencoba menyeretmu keluar tadi. Aku kebetulan melihatnya dari kamera pengawas.”Elara menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Yuan. “Lalu, bagaimana saya bisa di sini?”“Aku membawamu ke sini. Tidak ada tempat yang lebih aman di rumah ini selain kamarku,” katanya tanpa ragu. “Kau akan menginap di sini malam ini.”“Apa? Menginap di sini?” Elara hampir tersedak. Wajahnya memerah karena rasa canggung.“Tenang saja. Aku bukan pria mesum,” Yuan menambahkan sambil tersenyum tipis. “Lagipula, aku lebih suka membuat hidupmu sulit daripada merusak reputasimu.”Elara menghela napas panjang. “Baiklah
Pagi itu, Elara mengetuk pintu kamar Yuan dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian kemarin, ia merasa harus melakukan sesuatu. Bukan untuk membalas Yuan, tetapi untuk membantunya. Di balik sikap dinginnya, Yuan terlihat seperti seseorang yang membutuhkan semangat dan motivasi. Walaupun, pertanyaan mengenai foto itu belum menemukan jawaban, tapi ia memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya.“Tuan Muda,” panggil Elara sambil membuka pintu sedikit. “Saya ingin bicara sebentar.”“Apa lagi sekarang?” Yuan menjawab dari tempat tidur, suaranya serak karena baru bangun.Elara masuk, membawa nampan berisi sarapan. “Sarapan dulu, lalu kita bicara. Ini penting.”Yuan mendengus. “Apa yang bisa lebih penting daripada tidurku?”“Terapi fisik,” jawab Elara tegas, membuat Yuan langsung menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah tajam.“Terapi fisik?” Yuan mengulang dengan nada mencemooh. “Aku sudah bilang, itu buang-buang waktu.”“Tuan Muda, Anda harus mencobanya. Saya membaca tentang metode baru
"Aku ingin kau membantuku pergi ke lantai dua.” Yuan melipat tangannya, ekspresi wajahnya penuh tantangan.Elara mengerutkan kening. “Lantai dua? Tapi… untuk apa Tuan Muda ingin ke lantai dua? Bukankah kamar Tuan sudah dilengkapi dengan semua fasilitas?”“Tentu saja,” Yuan menjawab sambil mengangkat alis. “Tapi ada sesuatu yang aku butuhkan di sana. Lagipula, aku ingin memastikan kau cukup kompeten. Jadi, ayo.”Ia memutar kursi rodanya ke arah tangga, roda-roda besinya menimbulkan suara bergemuruh di lantai marmer. Elara menatap tangga panjang yang melengkung ke atas dengan hati berdebar.“Tapi… ada lift, kan?” tanya Elara ragu.“Tidak ada,” Yuan menjawab dengan nada datar, lalu menoleh dengan senyuman kecil. “Itulah tantangannya. Kau harus membawaku ke atas.”“APA?!” Elara membulatkan matanya. “Tuan bercanda, kan?”Yuan hanya mengangkat bahu dengan santai. “Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku. Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, bukan?”Elara menghela napas, berusaha mereda
"A-aapa yang Anda lakukan?!" serunya panik.Yuan mengangkat alis, ekspresi dinginnya berubah menjadi seringai kecil. "Apa menurutmu aku akan meminta hal aneh darimu? Aku hanya ingin berganti pakaian. Kau harus membantu kalau mau bertahan di sini."Wajah Elara memerah. "Tidak perlu melepas pakaian di depan saya seperti itu!"Yuan tertawa lirih, suara rendahnya terdengar mengejek. "Kau akan menjadi perawatku, bukan? Ini bagian dari pekerjaanmu. Jangan bilang kau sudah takut bahkan sebelum mulai."Elara Rose mengintip dari celah jarinya, memastikan Yuan hanya duduk dengan setengah kemejanya yang terbuka. Napasnya bergetar karena malu sekaligus jengkel. Pria ini jelas tahu bagaimana memanipulasi situasi untuk membuatnya tidak nyaman. Namun, ia menolak menyerah begitu saja."Baiklah," katanya akhirnya, menurunkan tangannya dari wajah. "Tapi saya hanya membantu apa yang diperlukan. Tidak lebih."Yuan menatapnya dengan sedikit menarik ujung bibirnya. Sepertinya, ia merasa puas karena bisa me
Elara Rose terkejut. Matanya melebar saat melihat pria muda di kursi roda. Ia mengira klien yang akan dirawatnya adalah seorang lansia, mungkin pria tua yang sudah uzur. Namun, kenyataan di hadapannya jelas-jelas berbeda. Pria muda itu tampak berusia akhir dua puluhan, dengan mata tajam yang mengintimidasi dan sikapnya begitu dingin."Nona Rose, mari saya perkenalkan," ujar Kepala ART dengan senyum formal. "Ini adalah tuan muda kita, Tuan Yuan Edbert Ramiro dan ini Nyonya di rumah ini, ibunya Tuan Muda Yuan."Elara Rose masih tertegun, ia tidak dapat mengalihkan pandangannya pada sosok pria muda yang duduk di kursi roda itu."Apa yang kau lihat?" tanya Yuan sinis, memecah keheningan.Elara tergagap, tak tahu harus berkata apa. "Ah, maaf, saya hanya... tidak menyangka...""Tidak menyangka apa? Bahwa ternyata aku bukan seorang kakek renta?" Pria itu mendengus pelan. "Bagus sekali. Aku sudah muak dengan perawat yang datang dengan ekspektasi mereka sendiri.""Yuan," ujar wanita anggun di
"Elara, dengarkan Ayah! Anak Pak Lurah itu lelaki baik, masa depanmu akan terjamin kalau kau menikah dengannya," Suara berat dari ruang tamu memecah keheningan pagi itu.Elara Rose menggeleng tegas, matanya memancarkan tekad yang kuat."Ayah, aku sudah bilang. Aku ingin kuliah, aku ingin mengejar mimpiku menjadi tour guide internasional!" Suaranya bergetar, separuh karena emosi, separuh karena takut membuat suasana semakin memanas."Tour guide? Apa kau tidak waras, Elara? Hidup di kota itu keras, dan kau tahu keluarga kita tidak punya cukup uang untuk itu!" Suara lembut tapi sarat kekhawatiran menyela. "Anak Pak Lurah itu mau melamarmu. Kau tidak perlu susah payah lagi kalau menikah dengannya.""Ayah, Ibu, tolong mengerti. Aku tidak mau menikah hanya demi uang. Aku ingin punya hidupku sendiri, dan aku sudah menabung. Aku bisa membiayai kuliahku!" Elara bersikeras, meski hatinya agak ragu melihat wajah kecewa di depannya.Tangan besar menghantam meja kayu, membuat gelas teh bergetar. "